A Better Day
1. 1.

Desember 2020

Scene 1 – Int. Kantor Gubernur- Sore hari

Dardan [50] seorang lelaki yang memiliki keriput di wajahnya namun masih gagah berdiri di depan mimbar dengan matanya yang menyala bagai api.

 

DARDAN

[Berbicara dengan lantang] Kita akan selalu mengingat tahun ini sebagai tahun yang menyedihkan.

[Kamera memerlihatkan penonton di rumah dan staf di kantor Gubernur yang menyaksikan keputusan dari pemerintahan]

Dardan

Namun, sampai kapan kita harus berdiam diri dan menutup mata seperti ini? Saya pun sama seperti kalian. Puteri saya satu-satunya sudah terinveksi. Tiap malam dia menangis kesakitan, meneriakan nama saya meminta tolong, sampai maut menjemputnya. [Menunduk lalu mengambil sapu tangan di sakunya dan menyeka matanya] Kita harus berkorban untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. [Diam sejenak]

[Staf Gubernur merasa iba]

Dardan

Kita telah kehilangan banyak orang dari musibah ini, keluarga, kerabat, teman, orang yang kita cinta. Indonesia bahkan harus kehilangan Presiden dan wakilnya akibat virus ini. Butuh berapa banyak lagi korban untuk menggerakan hati kita? Satu-satunya cara terbaik untuk mengusir penyakit ini, kita harus memusnahkan mereka yang sudah terjangkit tanpa kecuali. Semakin lama kita bertindak, virus ini akan menyebar semakin luas. Kita harus bersatu.

[Warga yang menonton dari layar televisi merenung. Ada yang menangis karena akan kehilangan dan ada yang setuju untuk kebaikan bersama]

Dardan

Dengan ini, dengan terpaksa, saya sebagai perwakilan dari pemerintah, memutuskan untuk mengeksekusi semua orang yang terjangkit, tanpa kecuali.[Menatap lurus]

Pukul 00.00

[Pembantaian masal terhadap warga yang terjangkit virus gila di mulai. Mereka yang terjangkit di masukkan ke dalam lubang yang sudah di gali sangat dalam. Lelaki yang menggunakan baju pelindung mulai mengeluarkan bensin dari truk. Para pekerja bekerja sangat cepat. Tahapan terakhir, para pekerja melemparkan obor ke dalam lubang itu dan api mulai membesar]

 

A BETTER DAY.

 

Scene 2 - Eks. Sekolah - Pagi

Juli 2013

Tiana [13] berasal dari keluarga yang berekonomi rendah. Ibunya sudah mangkat, ayahnya bekerja sebagai supir angkutan umum.

[Tiana berdiri di depan gerbang sekolah tertegun melihat penampilan teman-temannya yang berbeda jauh dengan dirinya. Melihat sepatu yang dipakainya sudah sobek. Menghela nafas lalu masuk ke sekolah]

 

Scene 3 - Int. Ruang Kelas - Pagi

[Mata tiana menelusuri ruangan mencari kursi kosong. Dia mendekati satu kursi tersisa di pojok sebelah kanan. Tiana mendudukinya. Rautnya berubah sedih melihat semua orang mendapatkan teman duduk sedangkan dia harus duduk sendiri. Tapi dia menegarkan dirinya dengan tersenyum]

[Seorang siswi berbisik ke temannya]

SISWI 1 [Siska]

[Melirik tiana yang duduk di belakangnya] Dia itu tetanggaku, ayahnya temenan sama preman, tukang mabok, suka bertengkar. Kata mamahku, jangan dekat-dekat sama dia. 

SISWI 2 [Andin]

[Ikut melirik tiana lalu kembali ke temannya] Tapi kan yang jahat ayahnya?

Siska

Tetep aja kan. Memangnya kamu mau temenan sama anak preman?

Andin

[MENGGELENG]

Siska

Makanya kita ga boleh deket-deket sama dia apalagi temenan.

[Siska dan Andin memindahkan tempat duduk mereka di kursi kosong sebelah kiri menjauhi tiana]

[Tiana mendengar percakapan Siska dan Andin tadi. Tiana memerhatikan Siska yang sedang menyebarkan gosip tadi ke yang lainnya. Tiana hanya bisa pasrah menerimanya]

[Seorang perempuan yang berpakaian seperti guru masuk. Ruangan yang tadinya ramai mendadak sunyi]

GURU [Bu Teti]

Selamat datang anak-anakku di SMP Satu Sukacita. Untuk satu tahun ke depan, Ibu ditunjuk menjadi wali kelas dari kelas ini. Ibu perkenalan terlebih dahulu ya, karena tak kenal maka tak sayang. Nama ibu, Teti Komalasari. Ibu mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas tujuh, jadi nanti kalian belajar Bahasa Indonesia dengan ibu. [Diam sejenak] Untuk agenda hari ini hanya perkenalan saja. Kita bisa mengisi waktu dengan perkenalan dan memilih struktur organisasi kelas, yaitu memilih ketua, wakil, sekertaris, bendahara dan lain-lain.

[Siska mengangkat tangan]

Siska

Ibu, kita izin ke toilet sebentar boleh?

Bu Teti

Kita dengan ibu?

Siska

[Menggeleng] Bukan bu, sama Andin. [Menunjuk Andin]

Bu Teti

[Tersenyum] Kamu tahu kan arti kita?

Siska

[Kebingungan] Maksudnya, bu?

Bu Teti

Tadi kamu mengatakan kita, kalau kita berarti ibu ikut dong?

[Siska dan Andin saling menatap]

Bu Teti

Yasudah begini saja. Siapa nama kamu?

Siska

Siska bu.

Bu Teti

Kamu tahu perbedaan kita dan kami?

[Siska menggelengkan kepala]

Bu Teti

Kalau yang sebelahnya tahu?

[Andin menggelengkan kepala]

Bu Teti

Ayo dari kalian, apa ada yang tahu perbedaan kita dan kami?

[Kelas menjadi sangat hening. Kebanyakan anak menunduk]

[Tiana mengangkat tangannya]

Bu Teti

Iya itu siapa yang mengangkat tangan, Silakan!

Tiana

[Berdiri] Kita itu menunjuk kepada aku dan kamu. Kami itu menujuk kepada aku dan dia atau mereka. Jadi kalau “kita” orang yang diajak bicara juga ikut, kalau “kami” berarti orang yang diajak bicara tidak ikut.

Bu Teti

Bagus. Bisa kamu beri contoh?

Tiana

[Mengangguk] Ayo kita ke pasar bu. Berarti saya mengajak ibu untuk ke pasar. [Diam sejenak] Bu kami ke pasar ya. Berarti saya pamit pergi ke pasar dengan orang lain.

Bu Teti

Pintar. Siapa nama kamu?

Tiana

Tiana bu.

Bu Teti

Jadi kalau tadi Siska meminta izin seharusnya bagaimana Tiana?

Tiana

Bu, kami izin ke toilet.

Bu Teti

Pintar. Silahkan duduk kembali.

[TIANA DUDUK KEMBALI]

Bu Teti

[MENATAP KE ARAH SISKA DAN ANDIN] Kalau tadi Siska megatakan bu kita izin ke toilet itu keliru ya Siska.

[Suara tawa dari beberapa siswa]

Bu Teti

Eh! Sudah jangan ditertawakan. [Menatap Siska] Sekarang kamu sudah tahu, jadi jangan salah lagi ya.

Siska

Baik bu.

[Siska menatap Tiana sinis. Matanya melotot tajam]

Bu Teti

Yasudah silahkan!

[Siska dan Andin pergi ke toilet]

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@rainzanov hehehhe engga kak, aku udah kuliah
2 tahun 11 bulan lalu
kakak masih SMP kah?
2 tahun 11 bulan lalu