Nia Dunia

Nia Dunia, gadis pujaan. Berhala baru di era globalisasi, pengecualian bagi mata yang lelah dengan literatur, oasis di padang gersang, nyala api dikebekuan dan sebagaianya, atau mungkin racun dimeja belajar. Di usia duapuluh Nia memiliki pemahaman yang dalam tentang tersipu, tertawa atau mentertawakan. Ilmu yang selaras dengan laju kehidupanya yang menyenangkan. Sebagai mahasiswi sosiologi dia sama sekali tidak menonjol dalam kuliah, tapi jelas dia tau tentang bersosialisasi, dan jelas ada bagian menonjol dibagian depan dan belakang yang sering dibalut dengan baju ketat atau rok pendek yang mini. Nia dunia, juga bukan gadis yang tak memiliki pandangan tentang masadepan, ekspektasinya jelas dan terarah, tapi sayang nya lebih mirip bagian akhir dongeng putri yang dikawini pangeran kaya kumudian hidup bahagia selamanya, selamanya ?. Dongeng diri tanpa awal dan isi.

           Di pertengahan semester empat aku terakhir bertemu denganya, setelah beberapa dan cukup banyak teman kampusku merasa patah hati dan berhenti mengerjakan tugas kuliah Nia, tepat setelah sebuah pertunjukan masak antara nia dan seorang dosen di panggung busa beredar di layar sempit, harga diri yang luntur seperti pakaian mereka yang terlucuti. Pemujaan yang memudar, Nia telah ditinggalkan umatnya, mungkin kehilangan kepercayaan. Dihari itu juga Dosen paruh baya sekaligus mahasiswa pasca sarjana yang menjadi lawan main Nia dikeluarkan dari kampus, media mobile memberitakan dirinya juga telah dipecat sebagai menantu, dan diceraikan oleh istrinya, dan entah dia masih berstatus ayah dari kedua putrinya atau telah di PHK (pemutusan hubungan keluarga). Dan Nia sama sekali tidak terlihat berduka, dia berpose seperti selebriti overnight di majalah kampus.

           Nia telah menghilang dari peredaran, dan apa yang terjadi kepadanya, sama sekali bukan urusanku, ketidak adaanya mungkin adalah kehilangan besar di ruang fantasi, juga mata lelaki yang sering butuh untuk memperhatikan struktur dari rancangan yang menggugah ditengah kebosanan jam kuliah, atau pengganti dari film film barat ataupun timur yang sudah dilarang beredar tapi masih terjamah, dan entah sejak kapan menjadi tugas belajar yang tak juga terselesaikan, menyita waktu dan memalingkan.

           Dibawah tiang lampu taman Nia berdiri di pinggir jalan, lebih menyilaukan ketimbang lampu lampu jalan. Tujuh tahun telah berlalu, dan Nia masih tampak menggoda mungkin lebih. pemandangan yang jarang ditemui. Kami berjumpa disana, secara tak sengaja dan tak disangka, Nia terlihat lebih dewasa dan guratan diwajahnya seperti goresan kata yang memelas. Tapi tak seperti Nia yang dulu, Nia terlihat malu, memalingkan muka, ingin sembunyi, dan tak dikenal. Obrolanpun terjadi dalam satu sapaan, yang membawa kami menyingkir kebangku taman.

Memaksa tersenyum nia bertanya “apa kau masih memuja tubuh ini”, Nia menelan ludah dan melanjutkan”enam ratus”. “ha..!” hanya itu yang tersampaikan oleh bibirku. “harga diri yang murah” ucap Nia, “tapi tidak lebih murah dari mereka yang menyerahkan diri kepada yang bukan suaminya” lanjut Nia. “suami” ulang Nia. “apa kau sudah menikah ?” tanya Nia dengan wajah pilu. Aku mengangguk pelan “sukma” ucapku. Nia tersenyum kecut “pulanglah temui istrimu, jaga dirinya, dirimu, juga anak anakmu jauh dari duniaku”. Obrolan itu berakhir dengan sebuah panggilan, dan bangku taman itu menjadi meja belajar yang tidak terbawapulang sebelumnya. Mungkin perlu dibungkus. ^_^.

12 disukai 5.9K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction