Rumahku terlihat biasa saja dari luar, bisa dikata mirip dengan rumah-rumah lainnya seperti milik kalian. Catnya mulai mengelupas, pagar besinya berderit saat dibuka karena aus dimakan waktu. Tapi sejak aku tinggal sendirian di sini, aku tahu satu hal: rumah ini tidak pernah benar-benar diam.
Setiap malam, ketika lampu dimatikan dan suara jam berdetak lebih keras dari biasanya, persis seperti ritme jantung kita, suara-suara itu muncul.
“Akhirnya dia pulang lagi,” bisik dinding ruang tamu.
“Iya, langkah kakinya berat hari ini,” sahut lantai dengan nada lelah.
Aku membeku di ambang pintu. Suara-suara itu bukan di kepalaku, tapi datang dari rumah itu sendiri. Dari tembok, pintu, kursi, bahkan atap yang bocor.
“Aku dengar dia menangis di kamar mandi tadi pagi,” kata cermin di lorong.
“Air matanya jatuh bertumpahan,” timpal kamar mandi pelan.
Aku menutup telinga, tapi percakapan itu tak hendak berhenti. Mereka membicarakanku. Tentang kebiasaanku duduk termenung di sofa, tentang makanan yang sering tak habis, tentang malam-malam ketika aku hanya melamun menatap langit-langit kamar.
“Dia makin sering terjaga sampai pagi,” kata kasur.
“Dan makin jarang bermimpi,” jawab lampu meja dengan cahaya redup.
Rumah ini tahu segalanya. Setiap rahasia yang tak pernah kuucapkan, setiap ketakutan yang kusimpan, semuanya bahkan tercatat di retakan tembok dan debu lantai.
Suatu malam, aku memberanikan diri bertanya, “Kenapa kalian selalu membicarakanku?”
Rumah itu terdiam, untuk pertama kalinya suasana sunyi terasa menakutkan.
Lalu pintu kamar berderit pelan.
“Karena hanya kamulah yang mendengarkan kami,” katanya.
“Dan kami ,” sambung seluruh rumah serempak, “hanya bisa hidup dari apa yang terjadi di dalam diri penghuninya.”
Aku duduk di lantai, punggung bersandar pada dinding yang hangat. Untuk pertama kalinya, aku tak merasa sendirian. Rumah ini bukan sekadar bangunan—ia saksi semuanya. Dan aku adalah ceritanya.
***
Rumah ini tidak pernah memanggil namaku.
Ia hanya menyebut apa yang kulakukan.
“Aku tahu kamu terbangun jam tiga pagi lagi,” kata jam dinding tanpa bergerak.
“Napasmu lebih pendek dari kemarin,” bisik tirai yang tak tertiup angin.
Aku tidak kaget. Sejak lama, rumah ini selalu berbicara. Bukan dengan suara keras, tapi dengan kalimat-kalimat yang terdengar seperti pikiranku sendiri.
Saat aku duduk di meja makan, kursi berkata, “Kamu duduk terlalu lama, tapi tidak benar-benar makan.”
Piring menimpali, “Kamu menyiapkan makanan hanya supaya terlihat normal.”
Aku menunduk. Mereka semua benar. Rumah ini tidak menuduh, hanya mencatat apa yang terjadi dan aku rasakan.
Di kamar tidur, kasur menghela napas saat aku rebah.
“Kamu berharap tidur bisa menghapus hari ini,” katanya.
“Tapi kamu selalu bangun dengan beban yang sama.”
Lampu kamar tidak pernah benar-benar padam. Ia tahu aku takut gelap, tapi lebih takut pada pikiranku sendiri.
“Kamu menyebut ini rumah,” kata dinding, “padahal kamu hanya bersembunyi di sini.”
Aku ingin keluar. Tapi pintu depan berbisik lebih pelan dari yang lain.
“Di luar pun kamu membawa dirimu sendiri.”
“Apakah kalian membenciku?” ujarku tak tahan untuk bertanya sesuatu yang mengganjal di pikiranku, karena mereka selalu berbicara tentang aku, tentang sesuatu yang tidak seluruhnya baik menurut mereka.
Rumah itu terdiam lama. Lalu suara-suara itu kembali, kali ini menjadi lebih lembut.
“Kami hanya mengulang apa yang kamu tanamkan di sini,” kata langit-langit.
“Setiap diam, setiap penyangkalan, setiap luka yang kamu simpan.”
Aku menutup mata. Aku sadar rumah ini tidak hidup. Yang hidup adalah pikiranku, memantul di setiap sudut, mencari tempat untuk didengar.
“Apa yang harus kulakukan?” tanyaku.
Rumah menjawab serempak, nyaris seperti bisikan batin: “Berhentilah hanya menganggap sekedar tinggal. Mulailah benar-benar hidup di dalam dirimu.”
***
Pagi datang. Rumah kembali sunyi.
Namun kali ini, kesunyian itu tidak terasa kosong—melainkan jadi ruang yang bisa diisi.
Malam-malam sendiri tak lagi menakutkan, begitu juga suara-suara itu.
Mereka hanya mengingatkanku bahwa setiap langkah, setiap luka, setiap napas—selalu meninggalkan gema di tempat yang kita sebut rumah.