Hujan Pelangi Senja

Usiaku delapan tahun. Setiap pagi aku melihat keluar lewat jendela rumah sakit, melihat anak-anak seusiaku yang berangkat sekolah. Seperti mereka, aku juga punya banyak mimpi. Namun, setelah dokter mengatakan jika usiaku tinggal beberapa hari lagi, satu-satunya mimpiku sekarang adalah, aku ingin punya teman.

Hari itu hujan saat aku terbangun dari tidur. Aku pikir aku sendirian di kamar pasien VIP yang aku tempati, tapi aku menemukan anak laki-laki seumuranku yang berdiri di dekat jendela dan melihat hujan.

Aku bertanya, "Kamu siapa?"

Dia menoleh dan menyapa, "Hai! Namaku Hujan."

Dia tergolong tinggi untuk anak seusiaku. Rambutnya hitam legam. Matanya sipit. Kulitnya pucat.

"Kenapa kamu ada di sini?" Tanyaku.

Dia menjawab, "Karena hujan."

Aku bingung, "Kenapa namamu Hujan?"

"Karena tanpa hujan aku tidak hidup. Hujan adalah duniaku."

Aku tidak mengerti. Dia kembali diam dan memandang hujan. Beberapa saat kemudian, aku kembali tertidur. Saat aku bangun, anak itu masih di sana tapi warna rambutnya berbeda. Warna rambutnya berubah jadi warna-warni. Kapan dia mewarnai rambutnya? Pikirku.

"Hei, hei, hei, lihat!" Dia menunjuk ke langit. Ke arah pelangi yang melengkung indah di atas sana.

"Hujan, kenapa kau masih di sini?" Tanyaku.

"Apa maksudmu? Namaku Pelangi, bukan Hujan," Ujarnya, "Ngomong-ngomong, kau suka warna apa?"

"Biru langit," Jawabku.

Dia menyahut, "Sama! Pelangi juga sangat menyukai langit!"

Hari memasuki sore. Pelangi di langit sudah tidak ada lagi. Anak bernama Pelangi pun sudah pergi entah sejak kapan.

Aku duduk di kursi roda. Mencoba memutar roda kursiku sendiri agar berjalan menuju jendela. Lalu, aku melihat anak itu lagi. Duduk di jendela dan lagi-lagi menatap ke arah langit. Kali ini warna rambutnya jingga. Aku yakin namanya juga berbeda.

"Siapa namamu?" Tanyaku.

"Senja," Jawabnya tanpa berpaling dari matahari yang telah tenggelam separuh.

"Tadi, Hujan dan Pelangi juga datang kemari," Aku memberi tahu.

"Benarkah? Menurutmu, bisakah aku bertemu mereka?"

"Entahlah. Aku tidak yakin. Apakah mungkin Pelangi bisa muncul saat hujan? Awan mendung pasti menutupi senja saat hujan sore. Tapi aku rasa akan sangat indah kalau Pelangi muncul saat Senja," Aku mengamatinya yang tampak murung, "Apa kau kesepian?" Tanyaku.

Dia tidak menjawab.

"Aku juga kesepian."

Dia melihatku.

"Mau jadi temanku?" Tanyanya.

Aku langsung mengangguk berkali-kali.

Langit menjadi petang. Senja pergi. Aku sendirian lagi. Aku masih menatap keluar jendela. Memandang bintang yang bertabur di langit malam. Aku harap saat ini aku punya teman bernama Bintang.

Hujan adalah anak yang ramah. Pelangi sangat ceria begitu melihat dirinya menampakkan diri di langit. Senja pendiam dan sering murung karena dia pikir dirinya adalah simbol perpisahan.

Tanpa diketahui siapapun, malam ini adalah ujung hidupku. Nafas terakhirku telah terhembus. Tidak masalah karena mimpiku memiliki teman telah terkabul. Tidak ada yang aku sesali di dunia.

Selamat tinggal, Dunia.

9 disukai 6 komentar 4.1K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@aeraaa : Terimakasih ya ☺
@nadillahoemar : Terimakasih 😊
@wahjoehm : Terimakasih, kak
Bisa ditebak, tapi tetap enak
Saya suka penempatan endingnya... aduh bangetttt
Wahhh ide ceritanya keren, kak
Saran Flash Fiction