Konon, putri Anjarwati dari kerajaan Pranira adalah titisan dewi Sri yang merupakan dewi pertanian dan kesuburan. Sebagai inkarnasi dari seorang dewi yang dipercaya oleh rakyat kerajaan, konon setiap gerak-gerik putri Anjarwati akan menentukan subur atau gersangnya tanah pertanian di kerajaan ketika musim bercocok tanam telah tiba.
Rakyat kerajaan Pranira percaya jika suasana hati sang putri sedang bahagia maka tanah akan menjadi subur, jika suasana hati putri sedang sedih pertanian menjadi gersang, ketika putri sedang marah maka hama akan datang menyerang. Namun, ada yang berbeda pada musim tanam tahun ini yang dimulai ketika musim penghujan tiba. Seharusnya begitu, tetapi ternyata tidak.
Sudah beberapa hari sejak ramalan tetua kerajaan mengenai kapan hujan pertama turun, tetapi hujan belum kunjung turun. Alih-alih hujan yang turun, embusan angin panas bak angin muson timur malah kian menyebabkan kemarau berkepanjangan. Meskipun tidak ada yang memberitahunya, raja Kusumandanu yang bijaksana tahu bahwa rakyatnya sedang gelisah karena hujan tidak kunjung turun. Raja pun menghampiri putrinya dan menanyakan keadaannya.
“Apakah engkau sedang sakit, wahai Putriku? Ataukah sedang sedih?” tanya raja Kusumandanu tatkala menghampiri putrinya.
“Tidak, Ayahanda. Saya sedang sehat walafiat,” jawab putri Anjarwati.
“Baiklah kalau begitu,” balas sang raja singkat.
Raja kemudian langsung bergegas menuju balairung dan mengadakan pertemuan para petinggi dan penasihat kerajaan. Mereka membahas kemungkinan apa yang mungkin terjadi pada putrinya dan kerajaannya serta bagaimana solusinya.
Beberapa hari berselang, kerajaan Pranira benar-benar menghadapi krisis terbesarnya. Di satu hari saja, rakyat kerajaan tersebut bak menghadapi tiga musim yang diringkas dalam satu hari. Di pagi hari mereka dihadapkan dengan panas terik seperti padang pasir, siang hari salju biru turun menutupi seluruh kerajaan, dan di sore hari badai datang mengempas lahan dan perumahan.
Raja Kusumandanu yang masih belum menemukan solusi terbaik kembali menghampiri putrinya. “Apakah ada hal yang mengganggumu, wahai Putriku?” tanya sang kepada putrinya.
“Tidak, Ayahanda. Hanya saja, sekitar tiga minggu yang lalu saya bertemu dengan seorang pria,” jawab putri Anjarwati.
“Pria? Apakah dia menyakitimu? Atau dia mengganggumu?” potong sang raja.
“Bukan, Ayahanda. Hanya saja, setelah bertemu dengannya walaupun hanya melihat aktivitasnya dari jauh, saya merasa ada yang berbeda. Setiap hari saya memikirkannya bahkan memimpikannya. Ketika kian hari tidak bertemu dengannya kembali entah kenapa dada ini terasa sesak dan tubuh ini seperti tidak ada daya. Hampir setiap hari, saya selalu memikirkannya. Entah kenapa itu membuat saya sedih sekaligus senang dan gelisah di saat yang sama,” jelas putri Anjarwati.
Sang raja yang mendengar penjelasan sang putri tertawa keras sampai membuat gigi sang raja yang bijaksana tersebut kelihatan. Tidak disangka bahwa yang membuat gelisah putrinya adalah seorang pria yang ditemuinya. Raja Kusumandanu kembali mengingat apa yang dibicarakan rakyatnya yang menyatakan bahwa putrinya adalah inkarnasi dari dewi Sri yang di kala bahagianya bisa membuat tanah subur dan di kala sedihnya bisa membuat pertanian gersang. Terlebih dari itu, putrinya hanya seorang gadis biasa yang baru saja mengenal cinta.
Raja terdiam. “Baik, Putriku. Mari kita cari obatnya bersama,” ajak sang raja kepada putrinya.