Saat proses pengadilan berlangsung, Pak Guru berkaca mata dan berwajah sahaja itu menundukkan kepalanya. Dia mengajar Ekonomi di sebuah sekolah negeri. Murid-murid yang sebelumnya mengasihinya heran, kenapa guru mereka jadi pembunuh? Pada saat yang sama, keluarga korban mengetahui Pak Guru merupakan orang yang sangat dihormati oleh korban.
Saat ditanya alasan pembunuhan itu, Pak Guru mengaku iri karena mantan anak didiknya bisa lebih sukses dari anak-anaknya sendiri. Melihat Anak-anaknya tidak ada yang sesukses mantan anak didiknya itu, bertumpuk pertanyaan bercokol di dalam hati.
Kekayaan Budiono berkembang dengan wajar. Awalnya dia juga bersepeda seperti gurunya. Hari berganti bulan dan bulan berganti tahun, dia bisa membeli sepeda motor. Dia bisa menyalip gurunya dan kadang-kadang tak menyapa. Tahun berganti tahun, Budiono bisa membeli rumah. Sedangkan anak-anak Pak Guru malah bergantung hidup padanya.
Pada suatu hari, ketika Budiono datang ke rumah dan memberinya baju batik dan kue brownies sebagai rasa syukur bisnis franchisenya berhasil membuka cabang di luar kota, dia juga menyampaikan telah berhasil membeli rumah yang diidam-idamkannya, juga mengumumkan akan segera menikahi pujaan hatinya. Semau itu membuat hati sang guru semakin panas. Terbersit ide buruk dalam pikirannya.
Saat itu Budiono hanya berpikir untuk berterimakasih pada guru ekonominya karena kesuksesannya banyak dipengaruhi oleh gurunya yang telah memberikan pengetahuan berbisnis, cara menghitung modal, laba, dan rugi. Dia mempelajarinya lebih lanjut di luar bangku sekolah. Ujian universitas kehidupan lebih liat, dia berhasil menaklukkan setiap tahapannya, itulah kenapa dia bisa dibilang mampu menjadi pebisnis dan pada saat itu tengah naik daun.
Ketika Budiono undur diri, Pak Guru menengok anak-anaknya. Tidak ada yang menyenangkan baginya. Setelah lulus sekolah anak perempuan dan laki-lakinya memilih kerja lalu berumah tangga. Rumah tangga mereka juga gagal. Sampai sekarang mereka masih tinggal satu atap. Cucu-cucunya merengek minta ini dan itu dan sudah waktunya masuk sekolah, sedangkan orang tua mereka selalu minta-minta, tak terlihat ada usaha agresif untuk membahagiakan cucu-cucunya atau kehidupan mereka sendiri.
Keesokan harinya, Pak Guru membeli kue dan bubuk racun. Dibubuhkannya bubuk racun mematikan ke dalam makanan dan diberikannya pada Budiono dengan dalih kebaikan dibalas kebaikan, kue dibalas dengan kue, Budiono pun menerima.
Seperti yang diharapakannya, keesokan harinya Pak Guru mendengar berita duka kalau Budiono meninggal di rumah. Hasil otopsi mengatakan racun sianida ditemukan di dalam pencernaan Budiono.
Mendengar itu, Pak Guru yang mengayuh sepedanya ke sekolah merasakan sesuatu yang bercokol di dalam hatinya telah menghilang sampai polisi menggiringnya ke penjara. Nampaknya Pak Guru lupa, di rumah Budiono ada pembantu yang menjadi saksi saat dia memberikan kue beracun itu pada Budiono.
Dalam angan Pak Guru, dia memberikan racun itu kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Namun, itu tak pernah terjadi. Budionolah yang kena sasaran kegelapan dalam hatinya.