Menikah

Gista membaca undangan temannya, setelannya memasukan kedalam tasnya.

"Ta,ngerinya perasaan tuh bocah anak kemarin sore udah nikah aja?" celoteh Dina

"Jodoh enggak ada yang tahu, aku sih salut karna dia mantep nikah di usia muda"

"Jangan jangan dia....?"

"Apaan sih, dosa ditanggung sendiri, mau dia hamil duluan kek, itu bukan hak kita buat hakimi"

"Iya juga sih?"

Mereka menikmati mie ayam yang baru disajikan tanpa suara.

"Eh ada neng Gista?" sapa tetangganya Gista.

"Iya Bu," Gista tersenyum menunduk.

"Duh cantiknya, kok belum nikah aja sih neng?" Gista kembali tersenyum disela suapan.

"Jaman sekarang katanya cari jodoh gampang tinggal pajang foto, temen Andre cakep cakep dan mapan neng, nanti saya kenalin ya neng?"

Gista menghela nafas masih dengan senyumannya yang tenang, sementara Dina mulai dongkol denger tetangga Gista ngoceh.

"Kalau udah nemu jodohnya nanti juga nikah?" timpal penjual mie.

"Bener tuh bang?" sahut Dina.

"Semoga cepet ketemu jodohnya ya neng, kalau gitu saya duluan ya?" pamitnya membuat hati Gista lega.

"Bang sambelnya kalah pedes sama lidah tuh ibu?" sewot Dina.

"Biar tambah pedes kamu jadi tetangganya aja, mantep tiap hari enggak usah bikin sambel, dengerin aja dia ngoceh," Gista tertawa meledek.

"Tenang mba Dina, mie ayamnya bisa delivery kok."

"Wah mantap bang" Gista mengacungkan jempolnya.

"Ta, handphone kamu bunyi tuh, siapa sih?" kepo Dina.

"Halo..."

Gista menjawab panggilan telponnya dengan gaya bicara yang sedikit nyeleneh diselingi beberapah tawanya yang khas, Dina penasaran memperhatikan Gista hingga selesai berbicara dengan orang disebelah sana.

"Siapa ta?" tanya Dina melihat exspresi Gista yang berbeda.

"Biasalah, kamu tahu sendiri, sering banget orang ngasih nomer sembarangan, kalau enggak diizinin dibilang sombong dan belagu" jawab Gista kesal menyeruput minumannya.

"Mereka ribet banget ya, masalah jodoh kita"

"Mungkin dia perhatian tapi buat aku tuh jadi ngerasa enggak nyaman, kayaknya enggak percaya kita bisa dapet jodoh yang baik menurut kita"

"Perhatian tapi cara mereka salah, kebanyakan mereka maksa malah" Dina ikut kesal.

"Aku lebih seneng seseorang datang sendiri kerumah, tanpa perlu takut diusir, dengan catatan dia harus tahu antara ditolak atau diterima, karna itu resiko yang kita dapat"

"Gimana kalau langsung ngelamar?"

"Antara ditolak atau diterima?" cuek Gista.

"Katanya lebih seneng datang langsung?"

"Karna aku punya rumah dan keluarga, inget jodoh itu masalah hati bukan tentang usia harta apalagi tahta"

"Iya juga sih?"

"Mau dia lajang duda kaya miskin, itu enggak masalah, asal dia bisa ambil hati aku, karna aku mau menikah dengan mereka yang tulus bukan karna iba"

"Tapi susah nyari yang gitu ya, emang ada yang kayak gitu?" Dina pesimis.

"Buat aku menikah itu mudah dan simple, selama dia bisa tunjukan ketulusannya, karna ketulusan itu melingkupi segalanya, tentang tanggung jawab serta kesetiaan"

"Karna lelaki itu pemimpin, harus bisa bertanggung jawab dunia dan akhirat pasangannya" tambah Dina tersenyum.

"Dan menikah itu menyatukan dua keluarga, siap berbagi suka dan duka bersama pasangan, berpondasi pada iman"

"Tidak membuka aib pasangan di sosmed saat berantem"

"Jangan terpaku pada USIA?" tegas Gista.

"Menikah itu belajar seumur hidup tentang pasangan kita"

"Berhenti membandingkan tentang jalan hidup kita dengan orang lain" kompak mereka tertawa lepas.

6 disukai 1 komentar 5.7K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Saran Flash Fiction