Wajahku terus menatap ke arah luar jendela kereta api yang baru saja aku naiki sekitar 5 menit yang lalu. Kereta ini belum bergerak melaju meninggalkan Kediri, tapi hatiku sudah beranjak lebih dulu berubah menjadi pilu. Kupikir hastag ‘Pare Jahat’ yang sangat terkenal untuk siapapun yang pernah mengambil kursus bahasa inggris di Kampung Inggris itu tidak akan terjadi padaku. Toh, aku hanya 4 bulan di Pare. Namun nyatanya, kini aku mengalami itu karena aku jatuh cinta dengan tutorku. Sosok lelaki yang telah menyelesaikan pendidikan S2nya dengan beasiswa luar negri di usia 24 tahun dan bahkan akan segera melanjutkan ke jenjang selanjutnya. Namanya Mr. Arditto.
Drrrt-Drrrt. Ponselku bergetar di dalam tas selempang kecilku. Ada satu pesan WhatsApp dari Risyad. Ia satu-satunya sahabatku yang semalaman suntuk mendengarkan kegalauanku yang akan meninggalkan Pare keesokan paginya.
‘Jadi, lo beneran baper sama tutor lo hanya karena dua kalimat “Kita saling mendoakan, ya.” dan “Iya, See you ya Kayonna.” Saat terakhir kalian bertemu? Waras, please! Btw, take care, Kay. Jangan isi perjalanan 13 jam kereta lo dengan menangis.’
Aku segera membalas pesan itu.
‘Nggak bisa. Malah sepertinya gue akan menangis di sepanjang perjalanan ini. Mata gue udah mendung dan telinga gue udah siap mendengarkan lagu-lagu galau milik Honne. Sesaat kereta ini jalan, tandanya gue udah nggak bisa lihat dia lagi, kan? ☹’
Sejurus kemudian aku menarik napas panjang sambil bergerak memasang headphoneku dan menyetel musik. Kereta pun berjalan bersamaan dengan pejaman mataku yang seketika kembali membawaku pada ingatan yang baru terjadi semalam. Kejadian terakhir kali aku bertemu secara tidak sengaja dengan Mr. Arditto di toko fotokopi. Masih terasa sangat jelas ketika jantungku berdebar seakan tak percaya melihat dirinya di sana. Padahal, dua minggu terakhir aku tidak masuk di kelas yang diajarnya di mana itu satu-satunya keadaan aku dapat melihat dia dengan jelas. Melihat cara dia berbicara dan menatap yang mampu menjatuhkan hatiku. Tuhan memang baik telah memberiku hadiah bisa melihatnya untuk terakhir kali sebelum aku kembali. Tapi, apakah ini hadiah yang membahagiakan? Iya. Untuk sesaat.
‘Besok ujian terakhir kamu masuk kelas saya, ya. Saya akan mulai jam 10 pagi.’
‘Besok saya pulang, Mister. Kereta jam 7 pagi.’
Raut wajahnya kulihat seketika berubah, ‘Maksud kamu ke Jakarta? Kenapa pulang lebih cepat? Kamu nyerah belajar di sini? Gimana perkembangan kamu?’
Sesaat mataku terbuka sambil tersenyum, namun kembali kupejamkan. Dari banyaknya murid yang telah dia ajar, dia bisa ingat denganku meski aku bukan murid yang menonjol di kelasnya. Dia ingat bahwa aku tidak bisa masuk kelasnya seperti biasa jam 8.30, karena jam kelasnya bersamaan dengan jam kelas kursusku yang lain. Dia juga ingat aku berasal dari Jakarta. Dan raut wajahnya pun berubah. Wajar bukan kalau aku berpikir dia peduli denganku? Dan juga, kenapa dia merubah jam kelasnya dan menyuruhku untuk datang? Toh, aku sudah ketinggalan banyak materi. Meski aku berpikir itu hanya sebuah bentuk peduli seorang guru pada muridnya, aku tetap terbawa arus dengan perasaan jatuh cinta yang kurasakan sendiri sebagai pengagum rahasia ini.
‘Saya engga nyerah. Saya masih akan berjuang mengejar mimpi saya untuk mendapatkan beasiswa S2 di luar negri. Doakan saya ya, Mister.’
‘Lebih baik kita saling mendoakan, ya. Kamu doakan saya dan saya doakan kamu. Adil, bukan?’, ucap Mr. Aditto sambil tersenyum yang bagiku penuh arti.
Mendengar itu jantungku semakin berdebar tak beraturan. Hingga aku tak bisa berucap untuk sekedar menjawab ucapannya. Aku rasa aku hampir gila. Aku mematung.
‘Kamu hati-hati, ya. Jaga kesehatan. Tetap semangat dan jangan pernah berpikir untuk menyerah. See you!’ ucapnya lagi.
‘Mister juga hati-hati. 5 bulan lagi mister jadi berangkat ke Australia?’
‘Iya, See you ya Kayonna.’
Iya. Sebuah percakapan yang sebenarnya biasa, namun kalimat itu keluar dari seseorang yang kusukai. Semua terdengar lain. Semua bisa aku terjemahkan dengan arti yang berbeda. Yang jelas, sejak saat itu motivasiku semakin kuat untuk mengejar mimpiku. Aku akan menjemputnya dengan mimpi yang akan kujadikan nyata.
* * *
Wajah Risyad nampak mematung beberapa detik menatap layar laptopku yang menampilkan sebuah pesan di kotak masuk emailku, “GI-LA!.” ucap Risyad yang lalu beralih menatap ke arahku yang berada di hadapannya yang sedang memasang muka sombong senyum tipis-tipis, “Ini asli, kan? Ini benar surat pemberitahuan elo lolos beasiswa dan diterima di UNSW Ausie?” tanya Risyad memastikan masih tak percaya.
Aku menjitak kepalanya dengan gemas, “Ya menurut elo aja, Ferguhso!”
“Selamat, Kay! Wah, gila! Rasanya baru kemarin elo galau balik dari Pare dan ternyata dua tahun sudah berlalu. Akhirnya, lo bisa buktiin kalau elo bisa.”
“Inget, Syad. Ini tuh nggak gampang. Lo inget kan berapa kali nemenin gue nangis saat gue gagal?’
“Inget banget dan nggak akan lupa! Mungkin 8-10 kali lo gagal. Sampai bosan gue lihat lo nangis melulu. Gue suruh lo nyerah aja, lo kekeuh nggak mau. Karena alasan lo yang harus kejar mimpi lo untuk bisa ketemu pujaan hati lo dalam kondisi yang lebih baik agar bisa sepadan dengan dia. Emang dasar cewek baper gila!”
“Beruntung gue nggak dengerin elo. Syad, coba lo pikir deh. Dari banyaknya universitas yang gue daftar selain di Australia, kenapa gue tembusnya di sana? Bukankah ini suatu pertanda?”
“Kay, yang jadi pertanyaan gue selama ini, elo kan benar-benar jadi pengagum rahasianya dia. Gue suruh lo follow instagram dia aja nggak berani. Paling tidak, modus tanya kabar. Sekarang, sudah dua tahunan berlalu, apakah dia masih single kayak lo?”
Aku terdiam. Sama sekali tak pernah terlintas dipikiranku tentang itu. Selama dua tahun ini aku hanya fokus bagaimana caranya mendapatkan beasiswa di manapun itu dan muncul sebagai wanita yang pintar di matanya. Di otakku, aku hanya harus bekerja lebih keras daripada biasanya dan juga orang lain. Aku yang bisanya tidak komitmen, namun kali ini aku menjadi orang yang disiplin, penuh semangat dan tidak kenal kata menyerah. Aku rasa kata-kata Mr. Arditto yang menyuruhku untuk tidak menyerah adalah bahan bakar yang lebih dari cukup untuk aku menggapai kedua mimpiku. Iya. Mimpiku sedari SMP yang ingin beasiswa S2 di luar negri dan muncul dengan percaya diri di hadapannya.
* * *
Aku terus menatap wajahnya lekat-lekat. Terasa seperti mimpi. Dahulu, aku tak berani menatapnya seperti ini, tapi sekarang aku memiliki kepercayaan diri penuh duduk di hadapannya. Mr. Arditto duduk berhadapan denganku. Kalau aku menengok ke sebelah kiri aku bisa melihat Gedung Operah Sydney dengan sangat jelas. Ini adalah tempat yang selalu kubayangkan selama ini. Meski aku berani menatap, namun lidahku terasa kelu.
“Doa saya untukmu ternyata sampai. Kamu bisa mewujudkan impianmu,” kata Mr. Arditto yang tatapannya kulihat sama sepertiku.
“Iya, tapi lama sampai 2 tahun,” kataku sambil tertawa kecil.
“Kamu juga doakan saya, kan? Buktinya saya lancar sekali bisa menyelesaikan gelar doktor saya di sini. Dua bulan lagi saya wisudah dan segera kembali ke Indonesia.”
Ada rasa senang dan sedih secara bersamaan mendengar ucapannya.
“Sejujurnya saya menyimpan kontakmu dan tahu id instagrammu. Tapi saya tidak pernah berani menghubungimu lebih dulu. Kemarin setelah melihat pesan di instragram darimu yang mengajak untuk bertemu di sini, saya kaget, senang dan juga kecewa karena saya sebagai lelaki tidak memulainya lebih dulu. Maafkan saya, Kayonna.”
“Jangan meminta maaf. Saya bisa sampai di sini juga karena mister. Maaf, saya akan mengatakan ini. Saya menyukai mister sejak mister mengajar di kelas. Mister sosok lelaki yang dari dulu saya impikan. Sosok pekerja keras, pemimpi yang berjuang mewujudkan mimpinya dan juga rendah hati dengan apapun yang telah dicapai. Saya menyukai mister tapi tidak tahu bagaimana cara meyampaikannya. Satu-satunya cara yang bisa saya lakukan adalah tetap mengejar mimpi saya sambil mengharapkan bonus bertemu dengan mister kembali. Dahulu saya murid dengan nilai terkecil, jadi saya pikir mister tidak akan tertarik dengan saya. Saya juga tidak cantik.”
“Kamu salah. Justru saya menyukaimu sejak hari pertama saya melihatmu. Saya belum mengenalmu, tapi jantung saya berdebar dan hati saya terasa bahagia. Saya tidak memiliki kriteria wanita seperti apa yang akan saya cintai, namun ketika saya jatuh cinta, ya saya akan suka. Dan saat itu kamu orangnya.”
Aku terkejut mendengar jawabannya. Aku tidak menyangka bahwa kalimat itu akan kudengar. Aku kira selama ini aku hanya terbawa perasaan saja. Aku senang.
“Saya tidak pernah berhenti mendoakanmu, Kay. Doa adalah satu-satunya wujud cinta yang saya lakukan untukmu. Saya pemberani dalam soal menggapai cita, tapi untuk cinta saya pengecut. Maaf saya telah berhenti berdoa untuk kita sejak setahun yang lalu karna saya dijodohkan oleh ibu dan kini saya sudah menikah. Istri saya juga ada di sini.”
Deg! Air mata dengan mudahnya mengalir di pipiku. Tanganku yang sedari tadi gagah di atas meja kini kumenariknya dan menggerakkan secara tak beraturan di bawah meja. Aku tertunduk. Kulihat dari bayangan mata, setetes air mata juga jatuh di mejanya. Ia juga menangis. Kami terdiam cukup lama. Seakan membiarkan waktu untuk menenangkan perasaan di hati kami masing-masing. Jujur, aku tidak tahu lagi apa yang harus aku katakan. Perjuanganku selama ini seperti sirna begitu saja.
Berulang kali Mr. Arditto menarik napasnya dalam-dalam dan mengatur nada suaranya, “Saya akan menghargai istri saya karena sekarang saya mulai mencintainya. Saya harap kamu sama seperti saya, bisa tetap melanjutkan kehidupan meski banyak hal yang tidak sesuai dengan yang kita inginkan.”
Dengan suara bergetar aku berkata, “Iya. Saya akan coba sekuat mungkin sama seperti jalan saya menuju ke sini. Terima kasih pernah mendoakan dan juga mencintai saya. Pernah ada di hati mister juga salah satu harapan saya yang terkabul, meski takdirnya kita tidak untuk saling memiliki,” aku kembali terisak.
* * *
3 tahun lalu adalah hari di mana aku merasa patah sepatah-patahnya. Aku selalu mendoakannya seakan-akan dia kelak menjadi jodohku. Nyatanya, seberapa kuat doaku dan sebesar apapun perjuanganku, kalau dia bukan jodohku, ia tak akan tertukar dengan orang lain. Sejak hari itu aku pikir, duniaku sudah runtuh dan aku tak akan mampu membangunnya kembali. Lucunya, hari ini aku dan Risyad menikah. Aku menikahi sahabatku yang selalu mendengarkan ceritaku tentang Mr. Arditto.
“Dahulu, dia memang pernah menguasai hatiku, tapi sekarang bisa aku pastikan bahwa hanya ada nama kamu, Risyad. Terima kasih selalu berasama denganku di saat terpuruk dan bahagiaku...” ucapku yang lalu dibalas pelukan hangat oleh Risyad. Dia tersenyum. Ternyata senyuman itu yang ditakdirkan untuk menemani perjalanan hidupku.
* * *