Disukai
2
Dilihat
1,145
SEPATU GHAIB
Misteri

Di suatu pagi yang cerah, pada hari minggu, Aku berteriak sangat kencang karena kesal tahu barang kesukaanku yang dibelikan Ibu tidak ada di rak sepatu. Sepatu itu adalah hadiah dari Ibuku dua minggu yang lalu saat aku berulang tahun yang ke empat belas tahun.

"Ada apa pagi-pagi udah teriak gini? Malu di denger sama tetangga loh Kak."

Kata Ibuku saat itu dengan wajah yang terlihat panik. Aku tahu Ibu datang terburu-buru, terlihat dari pakaiannya yang terbalik dan handuk yang tidak rapi digulungkan begitu saja di kepalanya yang basah sehabis keramas. 

"Ini, sepatu Ara nggak ada. Kemarin, perasaan, Ara taro sini deh! Mau Ara cuci. Kemana ya?" Jawabku dengan cemberut menunjuk ke arah rak sepatu itu. Adikku, Sela yang mendengar dari arah luar langsung masuk dan menjawab "Sepatu Ghaib!"

Aku mengerutkan kening sambil melihat ke adikku, bocah Sekolah Dasar yang sedang percaya takhayul akibat sering mendengar cerita dari para tetangga yang mengaku kehilangan barang dan disebabkan oleh kelakuan Tuyul yang beredar.  

“Apa sih kok malah jadi Sepatu Ghaib.” Jawabku dengan menggerutu karena tidak terima Sepatu baruku dibilang Ghaib setelah melihat jelas dengan ke dua bola mataku sendiri bahwa Sepatunya ada.

“Ih, Om Iwan bilang sama aku katanya ada Tuyul yang lagi hobby ngambilin barang orang. Jangan-jangan Sepatu Kakak disembunyiin sama Tuyul itu.” Kata adikku sambil terlihat serius seperti seseorang yang akan mulai menyelidiki sesuatu.

“Ini jangan-jangan kamu cuman pake alasan buat nutupin yang sebenarnya ya? Ngaku sama Kakak, kamu yang nyembunyiinnya kan? Tuyulnya itu kamu kan?" Kataku dengan kesal karena ia terus membahas perihal Tuyul penyebab Sepatuku yang hilang dan aku menuduh adikku yang menyembunyikannya bukan tanpa sebab. Setelah Ibu memberikan hadiah Sepatu itu, adikku cemberut ingin dibelikan barang yang sama. Ia sampai menolak makan bersama dan lebih memilih makan di teras rumah Om iwan, tetangga sebelah, sambil mendengarkan cerita Tuyul.

"Ih ko jadi nuduh aku sih!" Kata adikku dengan wajah yang mulai sebal.

"Habisnya kamu yang paling mencurigakan dari beberapa orang yang ada di rumah ini. Kembaliin gak sebelum aku marah besar?" Adikku hanya mendelikkan matanya, nampak tak peduli dengan ucapanku.

"Kakak jangan sembarang nuduh, ya! Kata Om Iwan kalau sembarang nuduh nanti jadi temannya Tuyul."

Aku mengepalkan tanganku karena kesal. Kalau saja menyentil mulutnya adalah sebuah pahala, maka aku akan segera lakukan berulang kali. Tapi sayangnya sebagai Kakak, aku tidak bisa melakukan itu karena bagaimanapun dia adalah adikku dan Ibuku mengajarkanku untuk tidak berbuat seperti itu kepada orang lain jika merasa kesal. Satu-satu yang bisa kulakukan adalah kembali menjawabnya dengan cukup sarkastik.

"Iya temennya kamu, bukan? Jadi gimana kerjasama sembunyiin sepatu akunya, sukses?"

Terdengar helaan nafas Ibu yang melihat kami terus bertengkar. Sepertinya Ibu mulai berpikir bahwa kami malah memperumit masalah bukan menyederhanakan masalah dan bukan mencari solusi yang tepat untuk bisa menemukan sepatuku itu. 

"Coba kamu ingat-ingat lagi, Kak. Terakhir kali kamu nyimpennya dimana?" Kata Ibuku mencoba untuk mencegah kami untuk bertengkar lebih lanjut dengan bertanya dimana kali terakhir aku menyimpannya. Padahal, sudah jelas tadi aku mengatakan bahwa aku menyimpannya di rak sepatu yang kini ada di hadapan kami.

"Udah aku bilang, aku simpan di sini, Bu. Di rak sepatu ini."

Kini aku melihat Ibu yang sepertinya meragukan ucapanku. Apa Ibu berpikir bahwa Aku sedang bercanda? Apa Ibu mulai tidak mempercayaiku karena aku tak bisa menjaga hadiah ulang tahun pemberiannya? Apa Ibu merasa sia-sia menyisihkan uang bulanannya dengan membeli Sepatu merk mahal itu untuk diberikan kepadaku? Pikiran itu mulai menghantui benakku.

"Bener kamu simpan di rak sepatu? Udah cari di tempat lain? Siapa tahu nyelip…" Tanyanya lagi seperti mengintrogasi.

"Iya, Bu. Kemarin jelas-jelas aku simpan di sini. Ibu kok gak percaya sih sama Tiara" Kataku dengan nada yang sebal karena aku merasa sepertinya Ibu tidak mempercayai ucapanku bahkan ingatanku.

"Terus kondisi terakhir sepatunya kaya gimana? Inget gak?" Tanyanya lagi kini semakin detail mengorek ingatanku.

"Sepatunya kotor kena lumpur jadi…" Aku berhenti di pertengahan kalimat.

"Jadi apa?" Kata Ibuku bertanya lagi. Sepertinya ia semakin penasaran tentang keberadaan sepatuku yang tidak terlihat itu.

"Jadi seingetku sepatu itu aku bungkus pake kresek item karena kotor kena lumpur waktu main ke Gua Pakar sama temen-temen sekelas." Adikku mengerutkan kening mendengar perkataanku, ia sama sekali tak mengerti dengan apa yang aku perbuat.

"Ngapain juga sepatu dimasukin kresek, aneh ih Kakak."

Aku melihatnya semakin dongkol karena ia sama sekali tak membantu, hanya memperkeruh suasana hatiku yang semakin kesal.

"Ya, karena kotor lah makannya aku masukin kresek." Jawabku dengan penuh penegasan agar adikku mengerti.

"Kamu masukin sepatu ke kreseknya kapan? "

Tanya Ibu lagi yang kesekian kali. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya kini membuatku pusing. Mau tidak mau aku harus mengingat kejadian dua hari yang lalu saat aku bermain ke Gua Pakar bersama dengan teman-teman.

"Waktu di Gua Pakar… aku masukin sepatu ke kreseknya karena kotor, aku ganti jadi pake sendal." Jawabku sambil mengingat-ngingat.

"Terus?" Tanya Ibuku lagi.

"Terus aku simpan di dekat penyimpanan tas lalu aku main lagi sama temen-temen dan udah puas sama mainnya langsung pulang." Jawabku lagi, kali ini aku baru merasakan ada yang salah juga dengan ingatanku.

"Kamu simpen kresek isi sepatunya langsung dimasukin ke tas kan?"

Pertanyaan Ibu selanjutnya membuatku cukup terdiam lama. Aku berusaha mengingat karena takut salah ingat. 

"Eeee… kan Ara masukin sepatu ke kreseknya terus Ara iket kreseknya. Terus… ah, ya ampun baru inget!" Pikiranku saat itu seperti di masukan file rekaman baru dari dua hari yang lalu.

"Baru ingat apa?" Tanya Ibu memastikan anaknya mengingat dimana ia meletakan sepatunya.

"Ara simpan di bawah kursi penitipan tas…" Kemudian tiba-tiba adikku menyela dengan antusias.

"Tuhkan, Tuyulnya bukan aku!" Katanya dengan sangat senang karena akhirnya aku mengingat dimana keberadaan sepatu yang telah membuatnya jadi tersangka. 

"...Ara buru-buru, soalnya itu kan tasnya pada tumpuk-tumpuk di atas meja. Ada yang jaga dan Ara pikir bakal aman disimpan di bawah kursinya taunya Ara lupa masukin kresek isi sepatu itu ke tas dan main pulang gitu aja."

Ibuku menghela nafas lagi.

"Jadi yang tuyul bukan aku ya, tapi Kakak sendiri."

Ulang adikku lagi untuk meyakinkanku dengan jelas bahwa bukan dialah pelakunya. Karena merasa malu, Aku tak membalas perkataan adikku yang telah menuduhnya dan merasa bersalah karena tidak bertanggung jawab dengan barang milik pemberian Ibuku. Ibu yang mendengar adikku berkata seperti itu, hanya menggelengkan kepalanya sedangkan adikku menutup mulutnya dengan tertawa ringan.

"Maaf ya bu, Ara lupa kalau ninggalin sepatunya di sana dan malah marah gak jelas pagi-pagi gini. Maafin Ara udah ngilangin kepercayaan Ibu dan gagal lindungi sepatu pemberian Ibu." Ibu mendekat ke arahku dan tersenyum.

"Ibu gak apa-apa. Jadikan pembelajaran buat kedepannya ya? Dan bukan Ibu yang harus jawab permintaan maaf Kakak. Tadi inget udah nuduh adiknya?" Aku mengangguk lalu melihat ke adikku.

"Maaf tadi udah nuduh yang nggak-nggak." Kataku dengan menunduk merasa malu. Namun tiba-tiba, adikku mendekat dan menyenggol tubuhku dengan senyum ceria.

“Udah aku maafin, tenang aja. Sekarang Kakak harus sering minum susu anget kalau mau tidur biar gak lupa.” Aku mengerutkan keningku, mencari arti dari maksud perkataan adikku.

“Itu, nggak usah diingetin juga kan Ibu selalu bikin Susu anget kalau mau tidur. Kamu kan yang sering nolak?” Tanyaku dengan hati-hati takut menyinggungnya lagi.

“Eits, sekarang aku rajin minum susu. Kata Om Iwan kalau nggak mau jadi pelupa harus rajin minum Susu. Inget nggak Kakak dua hari ini kalau mau tidur suka lupa minum Susu? Ibu jadi sedih, jadi aku deh yang abisin. Tapi nggak apa-apa, aku senang biar nggak jadi pelupa kayak Kakak sekarang hahaha” Jawabnya tanpa ada rasa bersalah pada raut wajahnya telah berkata bahwa aku adalah seorang yang pelupa. Namun aku hanya terdiam mendengarkan ocehannya kala itu sebagai bentuk perminta maaf dariku yang telah menuduhnya sebagai Tuyul yang menyembunyikan sepatu milikku.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Misteri
Rekomendasi