Aku duduk menunggu seseorang. Di bangku semen bawah pohon depan kantor satpam kampus. Sendirian. Berteman tas punggung yang kutaruh disampingku.
Kulihat jam tanganku. Jam tangan hadiah darinya. Ucapan selamat atas terbitnya buku pertamaku. Jarum pendek di angka delapan. Jarum panjang diangka dua. Sudah sepuluh menit aku menunggu. Perempuan itu belum datang.
Ku rogoh saku celanaku. Mengecek hp. Sepi. Tak ada pesan darinya. Mungkin dia tak sempat. Mungkin dia lupa atau mungkin kini ia sedang terburu-buru.
Dia adalah seseorang yang belum lama kukenal. Baru hitungan bulan semenjak aku mengikuti sebuah komunitas di kampusku. Tujuan awalku mengikuti komunitas itu sebenarnya hanya untuk pelarian, namun entah bagaimana pelarianku sekejap berhenti sejak bertemu dengannya. Aku berhenti berlari, dan memutuskan menetap di dalam kedua matanya yang beralis cantik.
Minggu
pagi seperti ini kampus tidak terlalu ramai. Hanya beberapa motor yang lewat.
Pengendaranya rapi-rapi.Orang yang sama setiap minggu pagi seperti ini. Pikirku
mereka terlalu rajin. Hidupnya terlalu monoton. Hanya berkutat dengan buku dan
kelas. Sehari sajalah beri otaknya istirahat. Sejenak menghabiskan minggu pagi
dengan bersantai diteras. Membaca Koran dan menyeruput teh hangat. Sejenak
saja. Sepagi hari minggu saja. Tidak terlampau lama, bukan ?.
Di depanku, kantor satpam sudah sibuk mulai sejam lalu. Petugasnya sudah rapi berseragam. Sudah siap bekerja. Rutinitas yang sama setiap harinya. Kulihat lagi jam tanganku. Sudah hampir setengah jam. Daun-daun kering beberapa mulai berguguran. Dan sampai sekarang, dia masih belum datang.
Sudah berulang-kali dia ku telfon. Namun tidak diangkat. Juga sudah kucoba kirim pesan. Namun tak ada balasan. Aku mulai khawatir. Mawar dan selembar puisi ditasku mulai bimbang. Dapatkah sampai ke tangannya ?.
Akhirnya aku beranjak. Meraih tas disampingku. Menggendongnya. Melangkah beberapa ke depan. Berhenti sejenak. Membungkuk. Mengais selembar daun hijau yang ikut gugur. Merenung. Bahkan yang masih hijau dapat gugur, apalagi yang telah kering.
=======================================================
Semalam aku bertengkar dengan perempuanku. Pertengkaran yang besar. Memahat luka yang dalam dan menganga. Sore hari itu kulihat dia sedang berdua dengan seorang laki-laki. Bergandengan tangan. Berpindah dari satu rak ke rak lain. Menelusuri toko buku favoritku. Entah sedang mencari apa mereka. Mungkin novel romantis. Atau novel drama tragis hancurnya sebuah hubungan yang telah bertahun-tahun terjalin karena orang ketiga ?. aku tak tahu. Yang ku tahu, mereka amat mesra.
Lalu malamnya sengaja kuajak dia makan. Kuberikan dia setangkai mawar. Dia tersenyum. Tapi sebelum sampai di tanganya, ku patahkan tangkainya. Dia bingung. Dahinya berkerut. Ku lempar mawar itu kesembarang arah. Ku ambil hpku, lalu kutunjukkan sebuah foto. Fotonya sore tadi dengan laki-laki itu. Matanya mulai basah. Lalu aku berkata “aku tahu, bahkan selembar daun hijau pun dapat gugur, apalagi yang telah kering”. Dia menangis. Aku beranjak. Malam yang menyebalkan. Aku pergi meninggalkannya sendirian. Aku tak peduli. Toh dia bisa menelfon laki-lakinya untuk menjemputnya, bukan ?.
Malam itu terjadi setahun silam. Malam yang indah aslinya. Malam yang langitnya ramai. Bulan bundar penuh. Bintang berserakan. Namun keindahan malam saat itu menjadi tak terlihat. Kalah dengan sakit yang lebih ramai di dalam hati ini. Malam itu kuhabiskan dengan mempertanyakan berbagai hal. Mengapa ia bisa sejauh itu? Apa kesalahanku sehingga dia berpaling? Mengapa ia tampak lebih bahagia dengan lelakinya daripada saat denganku? Mengapa matanya terlihat lebih berbinar setiap menatap lelakinya daripada saat denganku? Seribu pertanyaan kuajukan namun seribu diam pula yang kudapatkan. Malam yang habis dengan luka itu hanya menyisakan satu jawaban pendek menjelang pagi, "Memang sudah takdir Tuhan, Kau harus ikhlas".
Kini kisah itu hanya kujadikan renungan. Kisah itu selalu berputar sendiri dikepalaku tiap kulihat sehelai daun hijau ikut gugur. Dan kini kisah itu berputar kembali. Membuatku murung dan merenung. Meski kini perempuan itu sudah jauh. Meski waktu telah lama berlalu.
Sehelai
daun hijau yang kukais tadi kusimpan disakuku. Entah untuk apa nantinya aku tak
tahu. Ku lanjutkan langkahku. Tapi saat baru beberapa, langkahku terhenti.
Suara yang kurindukan terdengar memanggil namaku. “im”. Bernada khawatir. Aku
menoleh. Kulihat wajahnya gusar. Kutebak kalimat pertamanya pasti tentang maaf.
Dia menyusulku agak berlari. Aku tersenyum. Aku selalu suka wajah yang tulus
seperti wajah itu. Dia sampai. Wajahnya menunduk. Aku diam. Dia mulai bersuara,
“maaf. Aku terlambat. aku tadi harus menjemput ibuku sebentar dipasar.”.
hening. Aku tetap diam. Sedikit tersenyum--Aku selalu suka suara yang tulus
seperti suara itu. Akhirnya dia menyelesaikan kalimatnya,”kamu boleh marah”.
wajahnya tetap menunduk. Tapi aku tahu suaranya bergetar. Aku tahu matanya
mulai basah.
Lalu aku mulai bicara,”pagi yang indah. Banyak hal yang kudapat selama menunggumu. aku tidak marah. tidak akan. Tapi pagi ini belum sempurna indah. Ada satu hal yang kurang. Dan aku ingin kau membantuku menyempurnakannya”. “apa itu ?” dia bertanya. “angkat wajahmu, aku perlu melihat senyummu”. Wajahnya terangkat, lalu tersenyum. Meski matanya masih sembab -- Aku selalu suka mata yang tulus, seperti mata itu. “terimakasih sudah membantu menyempurnakan pagiku”. Dia mengangguk. Senyumnya lebih terkembang. “mari berangkat”.
=======================================================
Malamnya, setelah semua hal selesai. Perempuan itu mengambil setangkai mawar dan selembar kertas dari mejanya. Pemberianku sore tadi sebelum berpisah. Dibacanya isi kertas itu. kata tiap kata. Isinya hanya beberapa baris. Tapi itu cukup mampu membuatnya mimpi indah malam itu dan tersenyum sepanjang esok harinya.
Aku sebenarnya tak pandai benar berpuisi. Tapi tak apalah, aku akan belajar untuk kamu.
#
Aku tak perlu cemas
Seperti cemasnya pujangga yang merindu purnama
Karena aku sudah cukup dengan melihatmu
Aku tak perlu resah
Seperti resahnya pendengki yang melihat sesamanya bahagia
Karena aku sudah cukup dengan memilikimu
Setangkai mawar itu untukmu
Mawar tanpa duri
Agar jemarimu tak terluka saat memegangnya
Mengandung makna “aku khawatir kamu kenapa-kenapa”
Selembar daun hijau itu juga untukmu
Mungkin kau bertanya, untuk apa ?
Kau tahu, ia selembar daun hijau yang ikut gugur dengan daun kering
Mengandung makna “yang gugur satu itu untukmu. Simpanlah. Agar tak ada daun hijau lain yang ikut gugur. Aku mau hubungan kita panjang. Tak cepat gugur seperti selembar daun hijau itu”
#
==========================================================
Malam mulai larut. langitnya kian ramai. Bulan bundar penuh. Bintang berserakan. Angin bertiup tenang. Tak terlalu dingin. Jendela-jendela rumah tertutup berlapis gorden. Lampu kamar dimatikan. Mulai sunyi. Mulai pekat. Gelapnya melingkupi dan menyelimuti harapan-harapan dan doa-doa yang belum usai hari itu dan yang untuk diusaikan esok hari. Perempuan itu tidur lelap. Tenggelam dalam mimpi yang tersambung dengan laki-lakinya ---- Tersambung dengan mimpiku.
-- Yogyakarta, 2017