Disukai
1
Dilihat
1,035
Mbak Jamu
Slice of Life

Jamu buatan ibu harus selalu diminum, harus habis, dan harus seperti itu setiap harinya. Mulai dari jamu racikan hingga yang cuma bentuk rebusan tunggal dari daun-daunan yang terkadang Murni tahu namanya, tetapi kebanyakan ia tak tahu namanya. Yang Murni tahu, ibu memang sangat takut dengan penyakit, meski itu cuma sekedar pusing atau masuk angin. Ibunya itu akan menangis tersedu di tengah do’a ketika pulang dari acara muslimat karena masuk angin setelah mengendarai motor di malam hari. 

Murni yang masih duduk di bangku SMP hanya mampu mengiyakan kata-kata ibunya yang selalu mengatakan bahwa jamu-jamu itu pasti akan membuatnya semakin sehat, itulah yang dibilang oleh ibu-ibu di pasar tempat ibu membeli empon-empon. Atau mungkin karena itu yang dikatakan oleh internet tentang khasiat dari tanaman A hingga Z. Tetapi Murni juga akan tetap meminumnya, agar ibu tidak khawatir tentang kesehatannya. 

Ibu sudah rapi menyediakan satu gelas besar jamu berwarna hijau sebelum Murni berangkat ke sekolah, tetapi yang membuat Murni heran adalah warna hijaunya hari ini berbeda. Murni yang sudah sedikit kritis akhirnya mulai memberanikan diri untuk bertanya pada bapak tentang jamu apa yang dihidangkan oleh Ibu kali ini. 

“Buuuuuuu,” panggil Murni dengan suara yang sedikit dikencangkan, malas untuk mencari Ibunya sendiri. 

“Ibu cabut rumput di sawahnya Bang Romli.” 

“Bapak nggak takut Ibuk diculik Bang Romli?” 

“Bapak nggak takut sama uangnya Mur.” 

“Bapak tahu ini jamu apa?” 

“Nggak tahu, minum aja Mur, buatan ibuk, biar nggak masuk angin.”

Murni tidak menjawab pernyataan bapaknya, itu karena ada keraguan dari dirinya yang sudah menginjak puber. Memang Murni tidak merasakan sakit yang parah atau apa pun setelah meminum jamu-jamu itu, tetapi ada kalanya Murni tidak mau minum sesuatu yang dia tidak tahu apa bahan bakunya, apalagi jika rasanya pahit luar biasa. Ia akhirnya bersiap untuk berangkat ke sekolah dengan cepat, berharap ibunya tidak datang sebelum Murni berangkat ke sekolah. 

Setelah melakukan dengan sedikit lebih cepat semua ritual pagi yang harus dilakukan Murni setiap hari, ia kemudian mencari bapaknya, namun nihil. Jika bapaknya itu sudah tidak ada di rumah, itu berarti sudah saatnya ibu pulang ke rumah untuk pergi ke pasar dan menyiapkan buntelan bapak nanti siang. 

Dengan langkah terburu-buru dan keringat dingin yang menetes, Murni menarik sepedanya di ruang tamu dengan tergesa, sepeda tua yang jerujinya berbunyi tek tek tek itu semakin berbunyi kencang, membuat Murni semakin panik. Ketika Murni sudah berhasil mengeluarkan sepedanya, ia dapat melihat ibunya yang menggunakan topi caping sedang berjalan dengan santai ke arah rumah dengan membawa celurit. Dengan cepat Murni mengendap endap sambil menuntun sepeda seperti film detektif yang habis ia tonton dengan teman-temannya seminggu yang lalu. Tetapi itu semua nihil, langkah ibunya lebih cepat, membuat Murni terkaget dan tergagap. 

“Mur! Kamu nggak mau uang saku apa nduk?” teriak ibunya dari kejauhan, kemudian hanya dapat dibalas oleh Murni dengan ceringisan, Murni baru ingat akan pergi ke sekolah tanpa sepeser uang di saku atasannya yang telah sedikit menguning. Dalam ketegangan yang terjadi dalam tubuh Murni, ia berjalan menjatuhkan sepedanya dan berjalan dengan senyuman kaku di wajahnya sambil menghampiri ibunya. Terlihat baju ibunya itu penuh lumpur, termasuk bagian tubuhnya banyak terlihat lumpur kering yang menempel, keringat juga terlihat membasahi dahi dan pakaiannya. 

“Nih uang sakumu, hari ini tiga ribu saja,” kata ibunya sambil mengeluarkan selembar uang dua ribu dan satu koin seribu yang khas dengan pohon kelapanya, Murni pun dengan cepat menerima uang itu lalu berjalan dengan cepat mengambil sepeda yang sudah ia jatuhkan dengan kencang. 

“Hati-hati nduk!” teriak ibunya, tapi tidak dibalas oleh Murni. Murni memang dikenal ibunya sebagai anak yang pendiam dan penurut, meski terkadang tidak menurut dan berakhir terkena sial dengan sendirinya. 

Ibu terdiam sejenak melihat Murni berlalu hingga menghilang di belokan jalan dengan kayuhan sepeda yang lebih cepat tidak seperti biasanya. Ibu kemudian ikut berlalu dari tempat ia berdiri, memutuskan untuk segera memasuki rumah dan memulai aktivitasnya untuk memasak buntelan yang akan menjadi makan siang orang-orang di sawah, termasuk suaminya. 

Ketika ibu memasuki rumah, ia mulai heran dengan lampu yang masih belum dimatikan, padahal matahari akan segera terbit dan ibu yakin jika Murni bukanlah anak yang pelupa dan ceroboh akan hal-hal kecil. 

“Udah mulai puber kali ya si Murni?” gumam ibu. Pikiran itu semakin berkecamuk ketika ibu melangkahkan kakinya masuk ke dapur, satu-satunya tempat yang dikuasai oleh kegelapan yang pekat. Ketika bola lampu neon itu dinyalakan dari kejauhan, ibu dapat langsung melihat piring-piring kotor berserakan dan masih belum dicuci seperti biasanya oleh Murni, bahkan sarapan Murni juga masih tersisa sedikit di atas piring. Padahal sejak dulu ibu tidak suka melihat orang lain menyisakan secuil apa pun di atas piring.

Ibu terdiam sesaat, mencerna kejanggalan yang banyak masuk ke dalam kepalanya. Kemudian penglihatannya menangkap sesuatu yang membuat percikan api dalam hatinya tiba-tiba membara. Ibu bisa memaafkan segala kesalahan Murni pagi itu, kecuali satu hal. Cairan yang ada di dalam gelas besar itu tak tersentuh, sekalipun gagangnya, bahkan tidak bergeser satu senti pun dari tempatnya. Itu masih berwarna kehijauan dan ada busa yang naik dari bawah ke atas secara perlahan, seakan mengadu pada Ibu bahwa orang-orang di rumah itu mengabaikannya atau justru mencibir ibu. 

Tidak hanya suaminya yang mengabaikan jamu buatannya hari ini, tapi juga Murni, anaknya. Ibu terdiam beberapa saat hingga terasa ada sesuatu yang menaiki leher hingga kepalanya, kepalanya terasa mau pecah karena sudah mendidih dan tidak segera diangkat. Ibu buru-buru meraih gelas besar yang menjadi pusat amarahnya, ia minum semua air kehijauan hingga airnya tak tersisa dan hanya meninggalkan sedikit ampas. 

Matahari sudah berada di atas kepala Murni, entah kenapa sejak tadi hatinya terasa tidak tenang, terutama setelah meninggalkan begitu saja jamu buatan Ibu di dapur. Keraguan dalam hati Murni akan jamu buatan ibu hari ini bukanlah tak berdasar, itu karena pagi ini ibu tidak ada di rumah sehingga ia tidak bisa menanyakan bahan dasarnya. Murni memang tidak mau sakit, tapi ia juga tidak mau keracunan. Selain itu, karena hari ini dia berangkat lebih cepat, ia bisa bertemu dengan kakak kelasnya, Bagas. 

Sudah beberapa putaran minggu Murni merasakan rasa ngilu di dadanya ketika ia berkontak mata dengan Bagas, kakak kelas Murni yang sudah kelas 9 SMP. Murni ragu dengan perasaan aneh yang mengalir dari dadanya, ia memang pernah merasakan hal seperti ini pada gurunya ketika masih di sekolah dasar, tapi itu hanya sementara, tetapi kali ini tidak. Sudah hampir satu semester Murni merasa bahwa kesesakan itu menjadi hal yang biasa, tapi Murni tidak bisa bicara, seperti terlalu pengap untuk sekedar mengajak Bagas bicara atau sekedar menyapa, padahal mereka berdua satu sekolah.

Di rumah atau di sekolah, Murni memang orang yang pendiam, tak banyak bicara, tidak aktif, dan nilainya juga biasa-biasa saja, yang dia punya hanya jamu kunir yang setiap hari disiapkan oleh ibunya sebagai bekal sekolahnya. Dari sekian banyak jamu-jamuan, Murni hanya menyukai jamu kunir, hanya jamu itu saja yang biasa menjadi favorit banyak orang, termasuk Murni. Murni menyukai rasa pahit yang pekat dan tidak suka dengan rasa manis, tetapi kunir tidak semanis gulali yang dijual di sekolah. 

Dibanding suka, Murni sudah ketagihan dengan jamu kunir, beruntung baginya jika ibunya setiap hari akan membuat banyak persediaan kunir di rumah, termasuk persediaan untuk dijual ke teman-temannya, itulah kenapa Murni kemudian dipanggil dengan ‘gadis kuning’ oleh teman-temannya karena jamu itu memang berwarna kuning ke oranye-an yang pekat. Meski terdengar seperti sebuah ejekan, tetapi bagi Murni itu hal yang biasa, juga seperti biang promosi baginya, mirip seperti influencer TikTok yang punya sebutan si botak, si paling, si slime, dan si yang masih banyak lagi. 

Beruntungnya, keluarga Bagas adalah langganan jamu-jamu buatan ibunya itu. Bagas menjadi salah satu orang yang selalu bisa menarik perhatian banyak anak, selain wajahnya yang berseri-seri, dia juga aktif di sekolah dan memiliki tinggi menjulang hingga dijuluki sebagai ‘tonggak masyarakat’. Kemudian Murni semakin bangga dengan jamu-jamu kesukaannya itu, meninggalkan fakta bahwa ia sendiri sudah mulai takut meminum jamu buatan ibunya.

Ketika Murni akan pulang dari sana, ia mulai berpikir bagaimana reaksi ibunya ketika mengetahui jamu itu tidak disentuhnya, apalagi berangkat dalam keadaan buru-buru pagi tadi. Murni mulai mencoba memikirkan ide yang lain, ia berpikir bahwa ibunya itu akan menganggap itu cuma hal lalu karena kecerobohannya yang biasa. Setidaknya, ia harus memberikan bukti berupa sisa satu botol kunir yang kosong, bukti bahwa ia sudah meminum jamu kunir hari ini. Murni berharap itu akan melegakan hati ibunya yang serapuh karet gelang untuk membungkus nasi pecel, mudah patah dan menyakitkan. 

Ketika air mengalir masuk ke dalam raganya, haus itu terasa hilang meski jamu-jamu itu tidak terlapisi oleh es atau dimasukkan ke dalam termos es. Aroma kunir merambat ke penciumannya, melegakan seluruh anggota badannya. Tubuh Murni yang sudah kelelahan itu mendadak terasa sangat ringan dan rileks, ada bunyi kepuasan saat Murni menenggak seluruh jamu dalam botol tiga ratus lima puluh liter. 

“Murni, kamu dicariin Mas Bagas tuh! Hihihi kiw kiw mbak jamuuu,” goda salah satu teman Murni dari luar, yang lainnya juga ikut menyoraki. 

“Masuk aja Mas, gak usah dilepas sepatunya hehehe.” Teman-teman Murni mengintip dari luar jendela. 

“Hah? Siapa?” tanya Murni. Sebelum pertanyaan itu terjawab, Bagas sudah berada di ambang pintu kelasnya, menyisakan kikik-an kecil dari teman-temannya di luar. 

Percakapan itu sangat singkat, berlalu hingga nyaris terlewatkan. Bagas berlalu begitu saja, tetapi mendadak Murni terkena serangan jantung. Murni tidak pernah menyangka bahwa itu menjadi satu interaksi paling dekatnya dengan Bagas. 

Badannya masih merinding jika mengingat perkataan Bagas, seorang Bagas memesan dua botol besar kunir untuk ibu Bagas yang sedang terkena hipertensi, dan pesanan itu langsung pada dirinya. Biasanya, Bagas hanya membeli jamu langsung pada ibunya, itu karena kunir buatan ibunya entah kenapa bisa laris di kalangan ibu-ibu di dusunnya, tetapi hanya jamu kunir-nya saja. Tetapi obsesi ibunya pada jamu tidak hanya sebatas itu, lebih tepatnya, ibunya itu terobsesi pada kesehatan keluarganya. Jamu-jamu itu sudah menjadi bagian terpenting dalam hidup mereka, melebihi diri mereka sendiri.

Wajah Murni memanas ketika ia mengingat bagaimana sulitnya ia menata detak jantung dan kata-kata yang akan ia lontarkan, sehingga percakapan itu berakhir begitu saja ketika ia mengangguk dengan kencang dan jangan lupakan badannya yang membatu seperti robot. Mengingat hal itu saja dapat membuat dirinya melompat lompat di tengah jalan raya.

Bak terlalu lama diserang dan diperangi oleh terik matahari, Murni seperti kehilangan matanya dalam waktu yang singkat. Murni menjadi tegang sesaat, bahkan keringat dingin langsung meluncur dari kepalanya, ia berpikir itu efek karena dirinya terlalu riang di siang hari yang terik. 

Murni menampar pipinya dengan cukup keras, itu berbahaya, tepat di sepanjang jalan di sebelah kirinya adalah sungai yang sangat dalam tanpa pembatas jalan, lengah sedikit saja bisa membuatnya terjatuh di ketinggian lebih dari tujuh meter, membayangkan ia terjatuh saja membuat jantung Murni lebih berdegup kencang ketimbang ketika ia berinteraksi dengan Bagas. Seketika itu Murni komat kamit memohon do’a pada Tuhan, meminta maaf sudah terlalu berlebihan mencintai makhluknya.

Dalam perjalanan yang penuh fantasi dalam sebuah pikiran yang melayang, Murni justru semakin semangat memompa lebih cepat sepedanya, ia lupa bahwa ia sudah membangunkan api dalam hati ibunya sejak pagi tadi. Tetapi seketika itu juga dunia di sekeliling Murni menghitam, terjatuh dan menghilang begitu saja tanpa sempat ia berteriak.

  

**** 

  

“Yang namanya orang sakit itu ya dibuat sendiri, mana ada orang tiba-tiba sakit seperti kamu nduk?” 

Murni terbaring lemas dalam ingatannya. Untungnya, itu bukanlah atraksi mendadak seperti melompat ke dalam sungai yang tinggi dan kemudian bangkit seperti seorang pahlawan, tetapi itu sudah sampai di persawahan, dan Murni ditemukan di pinggir sawah oleh Bang Romli yang sedang asyik main mandor-mandoran sambil minum es kunir. Kemudian ia tergopoh-gopoh dan mengeluarkan suara lima oktav untuk memanggil bapak Murni yang sedang fokus membajak sawahnya, suara itu kemudian mengagetkan orang-orang di jarak satu hektar sawah. Bapak yang kebetulan ada di petak kedua sawah langsung menghampiri Bang Romli yang juga ikut panik. 

Kemudian Murni tidak mengingat apa-apa. Ketika terbangun, tubuhnya sudah dililit oleh kemarahan ibunya yang sudah dalam batas mengungkit kembali kesalahannya saat usia dua tahun, atau bahkan merasa bersalah tidak membuang Murni di tumpukan tebu. Yang jelas, ia sudah ada di atas tempat tidurnya dengan seragam biru putih yang masih menempel, lengkap dengan betnya yang bertuliskan 'VIII', tetapi sabuk sekolah dan kaus kakinya sudah menghilang. 

“Aku aja gak tau kenapa bisa pingsan lo buk,” celetuk Murni dengan suara yang masih sedikit parau. 

“Nah, jamu tadi pagi kamu minum nggak nduk?” 

“Hehe...” 

Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Murni. Sebenarnya, ia sendiri tidak tahu apakah itu memang kesalahannya atau bukan, tetapi ia sendiri terlalu malas menanggapi ibunya. Itu karena kepalanya masih terasa sakit, badannya juga masih terasa lemas sehingga Murni hanya bisa melengos saja. 

“Tadi pagi itu jamu apa sih buk?” tanya bapak yang tiba-tiba ikut nimbrung sambil membawakan teh hangat. 

“Itu kunir pak, tapi ibu beri campuran seledri.” 

“Hah? Kok di campur seledri?” kali ini Murni reflek bertanya, terkejut dengan jawaban ibunya. 

“Kunir sama seledri itu bagus untuk darah tinggi, kita itu keturunan darah tinggi, ibu punya darah tinggi. Selain itu kata mbok jamu di pasar, seledri itu bagus untuk ginjal, biar nggak kena batu ginjal kaya istrinya Bang Romli yang suka minum paramex itu. Biar ginjalmu gak rusak. Kan ini juga biar nyegah kamu nggak kena darah tinggi kaya ibuk nduk,” kata ibu sembari mencubit perut Murni. 

Murni hanya bisa mengaduh sambil mengangguk-angguk seakan dia benar-benar paham. Dalam otaknya, itu bisa di masukkan logika, pasalnya dia sendiri suka kena getah dari keturunan ibunya, mulai dari bronkitis, hingga getah bening di lehernya, itu semua sudah pernah terjadi pada keturunan ibunya, dan Murni yang melengkapi itu semua. Mengingat hal itu, Murni kembali melengos di atas tempat tidurnya. 

“Mas Bagas pesan dua botol kunir buk.” Kata Murni di tengah-tengah omelan ibunya. 

“Bagas anaknya Bu Mar?” 

“Nggak tahu nama ibunya, pokoknya yang pesen Mas Bagas.” 

“Tumben?” 

“Buat ibunya yang kena hipertensi katanya. Eh buk, mau teh...” ucap Murni dengan nada merengek, membuat wajah ibunya mengerut, tetapi kemudian memberikan teh yang tadi dibawakan bapak untuk Murni. 

“Loh pak, kok teh sih?” seru ibu tiba-tiba, seperti baru pertama kali melihat teh dan baru menyadari jika sejak tadi yang menjadi objek adalah teh. 

“Lah, kalau orang abis pingsan ya teh buk. Masa jamunya Ibuk?” 

“Iya jamuuuu.” 

“Murni minum teh dulu deh buk, ntar kalau udah baikan baru jamunya ibuk deh.” Ucap Murni kemudian buru-buru meminum teh yang sudah ia pegang sedari tadi. Kemudian ibu menatapnya dengan malas, tidak bisa memprotes keduanya. 

“Gimana kalau besok Murni periksa aja buk?” tanya Murni setelah menenggak habis segelas teh ditangannya. 

“Nggak usah, itu penyakit kamu buat sendiri, gara-gara gak minum jamu buatan ibu. Kamu pagi tadi buru-buru karena sengaja gak mau minum jamu kan?” tembak ibu tepat pada kejanggalan pagi ini. Murni sedikit terhenyak, tentu saja itu akan ketahuan pada akhirnya. 

“Nggak lah!” bela Murni pada dirinya sendiri. 

“Halah....” 

“Tau gitu aku buang aja jamunya,” lirih Murni, untungnya tidak terdengar oleh ibu. Jika ia berbicara langsung pada ibunya, ia jamin namanya sudah tidak ada di kartu keluarga keesokan harinya. Yang terjadi kemudian, Murni hanya terkekeh, takut apapun yang keluar dari mulutnya membuat ibunya semakin berapi-api dan meletus. 

“Iya buk, Murni janji nggak akan ngelewatin jamu Ibuk tiap pagi.” Jawab Murni dengan nada pasrah. Kemudian ia meletakkan gelas kosong di atas papan kasurnya dan terdiam di sana, tidak berani menatap ibunya. 

“Udah gedhe, bukannya tambah pinter kamu nduk.” Ucap ibunya sembari merebut gelas dari tangan Murni dengan kasar, sebagai tanda bahwa ibunya marah besar pada dirinya. 

Bapak Murni ada di ambang pintu, menatap dengan wajah kelelahan, entah lelah karena apa. Kemudian Murni enggan menatap bapak, ia merasa tidak adil jika yang menjadi sumber kemarahan ibunya itu hanya dirinya, padahal ia yakin jika bapaknya juga berangkat ke sawah tanpa meminum jamu buatan ibu. 

  

**** 

Jamu itu masih sama seperti kemarin, warnanya hijau kekuningan. Perasaan Murni menjadi semakin tidak karuan, jamu kunir memang enak, tapi akan berbeda ketika dicampur dengan bahan yang lain. Murni mengangkat gelas besar yang tampak lebih besar dari biasanya, melihat bagian bawah gelas yang masih terlihat sisa endapan dari kunir yang tidak ikut tersaring. 

Murni masih memutar-mutar gelas besar tepat di hadapannya, hingga kemudian ibu memukul bahunya yang membuat Murni tersadar dari lamunannya. 

“Diminum, bukan cuma diliatin aja nduk,” ucap ibunya yang terdengar mengintimidasi. Murni yang tersadar dari lamunannya pun langsung membuka penutup gelas besar itu, seketika bau kunir yang dicampur dengan air rebusan seledri menusuk indra penciumannya, membuat Murni sedikit kepayang karena dua bau yang menyengat bercampur menjadi satu. Dengan sepenuh tenaga, Murni menenggak jamu itu sambil menahan nafas. Tidak lama, gelas itu kosong dan hanya menyisakan sedikit endapan di bagian dasarnya. 

“Loh, bapakmu nggak kamu sisain nduk?” tanya ibu Murni, terkejut melihat anaknya meminum satu gelas besar jamu buatannya yang isinya kurang lebih tujuh ratus hingga delapan ratus mili liter. 

“Nggak papa buk, biar kuat ujiannya. Murni berangkat dulu ya buk. Do’a-in ujiannya Murni ya buk,” jawab murni dengan cepat sambil meraih punggung tangan ibunya untuk di cium, tanda bahwa ia sudah berpamitan. 

Murni segera bergegas untuk mengeluarkan sepedanya, saatnya untuk berangkat ke sekolah, mengabaikan perutnya yang terasa menggembung karena dipenuhi oleh jamu yang ditenggaknya dengan sangat cepat, tetapi sesekali Murni mengelus perutnya. Ada yang tidak beres dengan apa yang ia minum, atau memang ada yang tidak beres dengan dirinya. 

Perjalanan selama dua puluh menit berangkat ke sekolah itu membuat Murni merasa sedikit lemas, tidak seperti biasanya. Perut itu juga masih terisi banyak air jamu, Murni ingin memuntahkannya, tetapi sebentar lagi ujian akan dimulai, dan Murni ingin membaca beberapa materi yang belum sempat ia pelajari semalam. Air jamu itu naik ke kerongkongannya, kemudian naik hingga akan keluar dari mulutnya, Murni dengan cepat menutup mulutnya yang menggembung dengan kedua tangan, takut air itu akan keluar tiba-tiba, kemudian menelannya kembali dengan perlahan. 

Keringat dingin membasahi dahi Murni ketika sampai di kelas yang sudah ramai. Nafasnya masih tidak karuan dan sedikit tersengal-sengal. Murni segera duduk di bangkunya yang ada di bagian depan kelas, kemudian membuka bukunya dengan buru-buru karena jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, setengah jam lagi ujian akan dimulai. Kepala Murni terasa sakit ketika ia mulai membaca dengan cepat materi yang ada di bukunya, keringat dingin itu juga menjadi semakin banyak. 

“Eh Mur, kamu paham yang bab enam ini nggak?” tanya salah satu teman Murni padanya. Murni yang sudah ada di ambang batas kesabarannya, hanya menggelengkan kepala dan pergelangan tangannya, tanda ia sudah malas menjawab dengan mulutnya. Murni takut hampir menumpahkan isi perutnya lagi seperti tadi, ia memilih mengatupkan mulutnya saja. 

Murni tak tetap berbicara sepatah kata pun meski ujiannya sudah dimulai. Perutnya masih penuh, seperti enggan mencerna jamu buatan ibunya. Ujian itu sudah berjalan lebih dari setengah jam, Murni tidak bisa berkonsentrasi, dan keringat dingin itu semakin banyak, padahal ia duduk di dekat kipas angin, tapi justru rasanya semakin memburuk, perutnya terasa semakin kembung. 

“Loh nduk, wajahmu kok pucat banget? Kamu masih kuat ujian?” tanya Pak Rohman yang sedang menjaga ruangan ujian. Murni langsung menoleh kepada wajah Pak Rohman, tetapi yang terjadi pandangannya semakin berputar tak karuan. 

Isi perut Murni seperti sebuah roket yang memaksa untuk meluncur. Arus niagara yang cepat dan deras menyemprot dengan deras badan dan meja Pak Rohman. Arus itu berwarna kuning kehijauan, tetapi juga dilengkapi dengan butiran nasi yang bercampur dengan warna kecoklatan dari ikan pindang yang menjadi sarapan Murni pagi ini. Cairan itu berbau tidak karuan dengan bau asam yang pekat. 

Kejadian itu hanya sepersekian detik, tapi membuat seluruh kelas heboh. Ada yang kaget karena ikut terkena cipratan isi perut Murni, ada yang terdiam dan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, ada yang masih asyik mengerjakan ujian, ada yang tertawa seperti sehabis menonton sirkus, ada yang langsung berlari keluar untuk mencari guru yang lain, dan ada yang menghampiri Pak Rohman untuk memberikan tisu yang selalu tersedia di kelas. Sedangkan Murni, masih memproses apa yang baru saja ia lakukan, termasuk memikirkan bagaimana nasib kertas ujiannya yang sudah basah kuyup dan berbau tak sedap. 

Nduk, kalau sakit itu bilang, bukan muntah di baju batik kesayangan bapak, sekarang kamu ke UKS aja ya? Itu tolong temennya di bantu ke UKS ya,” kata Pak Rohman dengan nada yang memelas. 

“Gak usah Pak, saya lanjut ngerjain aja ya Pak? Murni mohon Pak, maafin saya ya?” jawab Murni tidak kalah melasnya, memohon karena ia tidak ingin menyusul ujian di lain waktu. Selain itu, Murni takut pada ibunya jika ia harus pulang sekarang.

“Gak bisa nduk, itu kertasmu aja udah nggak bisa di pakai,” jawab Pak Guru, kali ini dengan nada penuh kekesalan, membuat Murni ciut dan terdiam. 

“Mana yang sakit? Ikut sama Ibu ke UKS ya?” Perawat UKS menyusul Murni di kelas, berkat temannya yang sigap menuju ke UKS untuk melapor setelah tragedi singkat tersebut. 

“Udah Bu, ini anaknya bawa ke UKS saja,” kata Pak Guru dengan nada memohon. Murni tampak enggan untuk pergi dari tempatnya, padahal seragam Murni juga terkena muntahannya sendiri dalam jumlah yang tak kalah banyak. 

Dengan sigap, perawat itu menarik tangan murni, memaksanya untuk pergi dari sana, kemudian terjadi peristiwa tarik menarik karena rasa takut Murni yang jauh lebih besar daripada rasa gengsinya. Ketika peristiwa tarik menarik itu menjadi semakin intens, Murni merasakan rasa sakit luar biasa di kepalanya, badannya semakin melemas, keringat dingin sudah membasahi seluruh seragamnya. 

Air mata Murni tiba-tiba mengalir tidak karuan, Murni yang tidak pernah menangis di depan teman-temannya, hari itu mengeluarkan air mata kesakitan yang luar biasa, tetapi Murni enggan mengeluarkan suara. Dalam sekejap, Murni terjembab, terjatuh di lantai, sempat membentur kursi yang ada di belakangnya. 

  

**** 

Nduk, jangan lupa ini di minum kunirnya.” 

Ibu datang dari dapur, memberikan segelas kunir, kali ini benar-benar warnanya seperti kunir yang biasa di minum Murni. Tetapi Murni hanya melihat gelas itu sambil terdiam, menjadi tidak nafsu memakan sarapannya di meja. 

“Buk, Murni takut pingsan lagi waktu ujian. Hari ini gak usah dulu ya?” 

“Nduk, kemarin kamu pingsan itu karena kebanyakan minum, bukan karena kunir-nya. Kemarin Ibuk udah ngomong sama guru yang nganter kamu kemarin pulang. Lagipula nduk, kamu gak akan punya tenaga buat ujian kalau gak minum kunir,” jawab Ibu sambil mengambil dua botol besar kunir di dalam kulkas. 

“Oh, itu buat Mas Bagas?” tebak Murni ketika kedua botol itu dikeluarkan. 

“Iya, sekalian ya Mur, soalnya kan dia juga pesannya ke kamu.” 

Murni mengangguk dengan semangat, ia langsung meraih kedua botol jamu itu dan memasukkannya ke dalam kresek hitam besar, ingin segera buru-buru berangkat ke sekolah dan menemui pujaan hatinya. Tetapi sebelum itu, ada yang mengalir dalam pikiran Murni ketika ibu melanjutkan kembali pekerjaannya di dapur. 

“Ibu mau janji sama aku nggak? Kalau Murni minum kunir ini, minggu depan Ibu bawa aku ke puskesmas. Gak usah dokter, cukup ke puskesmas,” tawar Murni dengan suara yang agak ditinggikan, agar ibunya yang lanjut memasak di dapur dapat mendengar suaranya dari meja makan. 

“Ya di puskesmas ada dokter nduk, kamu ini ngelawak?” 

“Iya, oke atau nggak nih?” 

Tidak ada jawaban dari ibu, kemudian ketika Murni akan beranjak, Ibunya dengan keras mengiyakan tawaran Murni. 

“Liat aja tuh, ntar aku buktiin kalau jamunya ibuk yang bikin aku sakit,” gumam Murni lirih dengan penuh semangat dan emosi yang berapi. Murni kemudian melanjutkan sarapan paginya dengan semangat, tidak lupa menantang mautnya dengan meminum segelas kunir. Ia pikir, segelas kunir tidak akan mencelakainya seperti kemarin. 

Sayangnya, di jalan pulang yang dipenuhi oleh cahaya putih itu Murni terlihat lemas, matanya berkaca-kaca, dan kayuhannya sangat pelan. Ada satu hal yang paling menyakitkan di tubuhnya, yaitu hatinya. Itu karena ia melihat Bagas menyerahkan dua botol besar jamu kunir itu kepada teman perempuannya yang sangat cantik. Jika tak salah menebak, perempuan itu adalah atlet basket di sekolahnya, yang mana kunir memang baik untuk meningkatkan tenaga, itu sebabnya ibu selalu membawa jamu kunir jika pergi bekerja di sawah. 

Bagas jelas sudah meminta maaf pada Murni jika ia berbohong karena malu. Tapi pengakuannya itu justru membuat retakan di dalam diri murni menjadi jebol dan semakin menganga. Cinta pertama si monyet itu berlalu begitu saja, seperti berniat untuk menghancurkan diri Murni sebelum asmaranya berkobar lebih lama. Mengingat kejadian itu membuat air mata Murni mengalir kembali, isak tangis itu masih terasa meski ia mencoba untuk menahannya. 

Ketika Murni melewati sawah Bang Romli, ia enggan untuk menyapa, justru melajukan sepedanya dengan lebih kencang. Meski sepeda itu dikayuh dengan kencang, tetapi Bang Romli tahu jika Murni sedang menangis sesenggukan. Tetapi Bang Romli mengabaikannya, ia sendiri harus turun ke sawah lagi untuk mengawasi pekerjaan para buruh di sawahnya. 

Tidak lama, suara yang lumayan keras terdengar dari belakang Bang Romli, bahkan orang-orang yang ada di petak kedua dapat mendengar suara itu, termasuk bapak Murni. Para buruh melihat Bang Romli berlari dari kejauhan sambil berteriak minta tolong. Bapak langsung ikut berlari, semakin kencang larinya, semakin ia menyadari jika yang ada di sana adalah anaknya. 

Siang berubah malam, kejadian yang menghebohkan itu sudah berakhir. Kini hanya ada Murni yang masih terbaring di atas kasurnya, meski sudah sadar, Murni enggan untuk bangkit dari sana. Semakin enggan ketika ia melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan di meja belajarnya ada seceret jamu, lengkap dengan gelasnya. Emosi itu diperkeruh ketika ada juga segelas air yang berwarna hijau pekat. 

Besok ada ujian yang harus Murni hadiri, tapi sudah pukul sepuluh malam, dan Murni belum bisa belajar. Di posisinya saat ini, kepalanya masih terasa berputar, hanya saja tidak seperti saat ia terjatuh dari sepeda. Ia ingat jika dirinya masih sadar saat itu, tidak pingsan, tapi pandangannya sudah sangat menggelap sehingga ia terjatuh di sana. 

Tanpa ibu sangka, ada suara yang sangat keras seperti benda yang terjatuh dan pecah masuk ke pendengarannya. Jantung ibu berdetak dengan kencang, ia yakin suara itu berasal dari kamar Murni, membuatnya berlari dengan kencang, takut anaknya pingsan lagi. Tetapi yang ditemukan oleh ibu berbeda dari ekspektasinya. Murni bertumpu pada mejanya, tetapi ceret dan gelas-gelas ibu sudah tidak ada di sana, sengaja untuk dijatuhkan hingga berkeping-keping 

Ibu merasakan sesuatu yang cair menghampiri ujung jari kakinya, terasa dingin dengan beberapa bulir yang menempel, hitam dan pekat. Kemudian suara tangisan masuk ke pendengarannya, menusuk hatinya, baik yang menyentuh kakinya, juga suara tangisan itu. 

“Udah buk, Murni gak mau minum apa-apa lagi. Jamu-jamu ibuk ini yang bikin Murni sakit.” 

Murni berjuang dalam tiap kata-katanya, karena sesenggukan yang ia alami itu membuatnya susah untuk berbicara dan bernafas dalam satu waktu. Tetapi amarah ibu juga tidak kalah asyiknya berputar, ada sesuatu yang naik di kepala ibunya. 

“Kamu nyalahin Ibuk? Kamu sakit itu karena perbuatanmu sendiri nduk. Bukan karena Ibuk,” bela ibunya dengan nada yang ditinggikan. Nafas Murni masih tersengal, tetapi tangannya sudah mengepal karena menahan amarahnya meledak lebih hebat lagi. 

“Kalau bukan jamu-jamu buatan Ibuk, Murni gak akan begini. Gak akan harus ngulang ujian-ujian murni dan Murni gak harus sakit hati kaya gini. Besok Murni mau ujian, tapi Murni gak kuat ngapa-apain. Memangnya jamu-jamu ini bisa buat aku sembuh?” tanya Murni sambil menunjuk pada pecahan gelas dan ceret yang sudah berserakan di lantai. 

Ibu bukanlah orang yang mudah bernegosiasi dengan kata-kata. Ibu dengan cepat meraih ceret besi yang masih menyisakan jamu kunir sedikit kemudian menyiramkan sisa jamu itu ke Murni, membuat Murni kaget dan reflek jongkok sambil memeluk kepalanya. Ketika air membasahi badannya, sesuatu meledak dalam diri Murni, ia membiarkan kenyaringan itu mengalir dari bagian tubuhnya yang terdalam, hingga suara itu dapat masuk ke dalam rumah tetangganya yang berjarak lebih dari lima meter. 

Bapak yang sedari tadi sedang mencuci piring di dapur langsung tegopoh begitu mendengar teriakan Murni yang sangat kencang. Ketika bapak sampai di sana, yang ia lihat adalah bahwa ibu memukul Murni dengan ceret yang ia pegang, sedangkan Murni mengeluarkan kata ‘ampun’ terus menerus dari mulutnya. Bapak yang panik langsung berhambur memegangi ibu dari belakang lalu menyeretnya sedikit menjauh. Sedangkan tangisan dan teriakan Murni semakin heboh dan semakin membuat amarah ibu memuncak. 

“Buk udah buk, Murni sudah gak bisa apa-apa lagi itu.” kata bapak dengan suara yang memohon dengan panik karena bapak sadar jika kemarahan istrinya itu selalu tidak biasa. Sedangkan Murni tidak dapat membalas apapun, selalu begitu. 

“Anakmu ini pak, sudah durhaka, bodohnya dibikin sendiri tapi orang lain yang disalahkan.” 

“Memang ibuk yang salah.” Murni dengan segenap tenaga menjawab perkataan Ibu. Tidak disangka, perkataan itu menjadi petaka bagi murni. 

Ibu masuk ke dapur disusul dengan bapak yang mencoba menenangkannya. Tidak lama, ibu datang dengan sebotol cairan pekat jamu sambiloto yang belum diencerkan. Itu adalah ekstrak sambiloto murni yang rasa pahitnya tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, Murni paham betul hal itu. 

“Jangan buk, ampun!” teriak Murni dengan panik. Tetapi Ibu sudah seperti kerasukan setan, sedangkan bapak tidak bisa melakukan apa-apa, hanya menarik kecil badan ibu yang besar. Murni yakin, ibu akan mencekokinya jamu yang sangat pahit itu, Murni tidak sanggup. 

Seperti terpatri bahwa kematian ada di depan mata, Murni memohon pada ibunya hingga bersujud dan memegang kaki, menangis dan memohon di sana. Meski begitu, Murni tahu jika ibunya itu bukan orang bersumbu panjang, Ibunya itu selalu berubah menjadi malaikat pencabut nyawa jika sudah mulai marah. Murni masih ingat bagaimana sabetan rotan ibu selalu membekas hingga saat ini ketika Murni kesulitan mengeja atau membaca. Dan bapak selalu tidak berguna di saat seperti ini. 

“Apa semua itu masih salah Ibuk, Mur?” 

Ketika pertanyaan itu ditujukan kembali, keberanian Murni juga naik kembali. Ketakutan itu menjadi hal terlalu naif baginya, meski sedang menangis dan berpasrah, Murni lebih memilih tidak menjawab. Murni meninggalkan semua hal di belakangnya, berpasrah pada apa yang akan terjadi. Sedangkan sesuatu menaiki kepala ibunya lebih tinggi. 

Rasa pahit dan menyakitkan itu mengalir dalam kerongkongan Murni. Murni menyukai rasa pahit, tapi tidak dengan rasa sesak dan menyakitkan. Murni sudah kehabisan nafas, memasukkan segala hal termasuk ampas sambiloto ke dalam kerongkongan hingga perutnya. Di tengah itu, Murni memberontak, mencoba menepis satu tangan ibunya yang menjambak kepalanya, namun ia tidak mampu, ia terlalu lemah. Sejak tadi, ia menahan rasa sakit di kepalanya. Pengelihatannya sudah menghitam, yang ia lihat terakhir kali adalah wajah bapak yang ketakutan dan panik namun tidak dapat melakukan apa-apa. 

Ketika itu semua tak terjamah dalam indera dan pengelihatan Murni, semua hal kembali dalam raganya ketika nafasnya sudah kembali. Tetapi semua isi perutnya sudah tak berbentuk di lantai, rambutnya sudah acak-acakan dan terpotong pendek, sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi. Ia hampir pingsan dalam genangan muntahannya. Ibu dan bapak sudah meninggalkan kamarnya, meninggalkan ia sendirian di sana. 

Pintu kamar Murni terbuka beberapa waktu setelahnya, menampakkan bapak Murni yang terdiam di pintu. Menjadikan Murni semakin muak dan langsung terbangun dari tempatnya tertidur sedari tadi, dalam sekejap, ia rasakan kepala dan badannya sangat sakit. 

“Harusnya nggak kamu lawan ibumu itu Mur,” kata bapaknya lirih pada Murni. 

“Bapak cuma diam saja kan? Meski Murni seperti ini, sejak dulu bapak dan ibuk tidak pernah berubah.” jawab Murni dengan lirih tanpa melihat bapak. Dan bapak juga tidak peduli dengan respon Murni. 

“Bersihin dulu itu badanmu Mur.” 

Murni beranjak dari sana dengan sedikit pincang dan pelan, mendorong bapaknya agar tidak berada di ambang pintu, kemudian menutup pintu itu seperti biasa. Setelah pintu itu tertutup, Murni jatuh bersujud dalam posisinya, seluruh dari dirinya terasa sakit dan kebas, Murni menahan tangisan dengan menutup mulutnya dengan kedua tangan dan badan yang bersujud dalam waktu yang lama. 

Sebelum subuh datang, bapak mendapati Murni sudah tak ada di kamarnya, bahkan anaknya itu masih menyisakan kekacauan semalam, tidak sedikitpun di bersihkan. Kamar itu mirip sekali dengan kamar bekas pembantaian.

“Paling sudah berangkat sekolah, dari dulu dia juga kalau ngambek selalu begitu pak,” kata ibu ketika bapak mengabari jika Murni tidak ada di kamarnya. Tetapi hati ibu juga merasa tidak enak, seperti ada yang mengganjal dalam hatinya setelah menghukum anaknya. 

Semalam, darah tinggi ibu juga kambuh, tetapi sudah reda setelah meminum jamu kunir yang dicampur dengan jamu seledri buatannya. Jamu memang selalu menjadi obat bagi keturunan ibu yang memiliki darah tinggi. Bahkan tidak hanya keluarganya, tetapi juga orang lain, dan ibu senang bisa membantu mereka semua. 

Pertengkaran semalam menjadi pertengkaran kedua ibu dengan Murni tentang jamunya. Tetapi dahulu tidak seintensif saat ini, itu karena kemarin Murni lebih berani untuk melawan dibanding dahulu. Dan ibu yang punya darah tinggi juga tidak dapat menahan amarah yang menggelora, ia juga tidak mau darah tingginya itu kambuh. Bagi ibu, itu adalah hal terbaik yang didapatkan oleh anaknya. 

Ketika jam sudah menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit, seseorang mengetuk pintunya dengan cepat. Bapak yang belum berangkat ke sawah langsung membuka pintu, setelah beberapa detik, suara langkah kaki bapak menjadi sangat cepat. Bersamaan dengan suara yang memanggil-manggil ibu, ada isakan di dalamnya.

“Ibuk, Murni...udah gak ada buk.” 

Tak ada yang dapat berbicara, tak ada yang dapat bereaksi dengan jelas. Murni mengayuh dengan lambat di sepanjang jalan menuju sekolahnya setelah ia tidak tidur untuk belajar semalaman. Mata Murni sembab sangat besar, dan air mata terkadang masih keluar dari matanya, bahkan isak tangisnya juga masih tersisa. Sepanjang jalan, Murni sesekali memegang dada kirinya, jantungnya terasa sangat sakit, di perutnya masih tersisa jamu yang dicekoki ibunya semalam, beberapa kali Murni berhenti untuk muntah, tapi tidak ada yang keluar dari sana. 

Kemudian ketika seratus meter menuju sekolahnya, kendaraan sudah mulai ramai, tetapi Murni kehilangan seluruh indera di sana, perut dan jantungnya kehilangan kendali, kontraksi bersamaan dalam jumlah tinggi. Murni terbaring di atas aspal yang masih dingin dengan luka di tubuhnya, keluar busa dari mulutnya, dan matanya membelalak ke atas seperti orang kehabisan nafas. Banyak langkah kaki mendekat ke arahnya, mencoba menyelamatkan sisa kehidupan dalam dirinya. Namun ketika semua orang hendak mengangkutnya, harapannya sudah hilang, cahaya matanya juga ikut hilang ketika satu hentakan besar keluar melalui tubuh Murni. 

Sejak saat itu, rumah itu hanya tersisa ibu dan bapak tanpa seorang anak, tidak ada gelas besar untuk dihidangkan, dan mereka kehilangan cahaya kehidupan yang selama ini selalu menjadi motivasi keduanya untuk memanaskan kompor mereka setiap pagi. Tumbuh-tumbuhan toga di halaman belakang mengering, bersamaan dengan mengeringnya perasaan mereka berdua. Ibu berhenti membuat jamu, bapak pergi ke sawah seperti tidak ada yang terjadi. Bapak sudah tidak pernah memakan masakan ibu karena ibu hanya mau menggunakan gula dan garam untuk masakannya. Kehidupan yang mengering itu melewati hari-hari ibu dan bapak tanpa henti seiring dengan kuburan Murni yang mengering dan pecah.

 

TAMAT 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi