Ada orang-orang yang hadir dalam hidupmu bukan sebagai kebetulan, tapi sebagai garis yang digambar semesta dengan tinta yang tak bisa dihapus; ia muncul pelan di antara waktu yang berjalan tipis, tumbuh bersama hari-hari biasa, lalu menetap sebagai bagian dari cerita tanpa pernah meminta diingat.
Bagi Nara, garis itu bernama Sena.
Mereka pertama kali bertemu saat umur delapan tahun, di depan warung Bu Leli, sama-sama rebutan es lilin rasa stroberi. Nara memeluk dua batang es lilin dingin yang mulai meleleh, sementara Sena berdiri di sampingnya, keringat menetes, bibir manyun, rambut acak-acakan seperti habis dikejar ayam kampung.
“Itu… terakhir?” tanya Sena dengan suara kecil.
Nara melihat es lilin di tangannya, lalu melihat wajah Sena yang memelas.
“Iya,” jawab Nara mantap.
Ia mengangkat dua es lilin itu, seolah menunjukkan kemenangan.
“Tapi aku bisa bagi satu, kalau kamu nggak keberatan esnya sudah meleleh setengah.”
Sena langsung sumringah. “Aku nggak keberatan! Aku suka yang cair-cair duluan.”
Sejak hari itu, mereka pulang sekolah bareng. Main bareng. Berantem kecil yang selalu berakhir dengan tawa. Dunia kecil mereka cuma diisi hal-hal sederhana: mengejar kupu-kupu yang tidak pernah mau ditangkap, bermain lompat karet yang talinya sering putus, atau membangun istana pasir di pinggir sungai yang bentuknya selalu mirip gundukan kuburan.
Tapi justru dari hal-hal kecil itulah, persahabatan mereka tumbuh.
Sejak sore itu di depan warung Bu Leli, keduanya tumbuh menjadi dua garis yang berjalan berdampingan tanpa pernah saling mendahului. Tidak ada yang secara resmi mengumumkan, “Mulai hari ini kita sahabatan.” Tidak ada akad, tidak ada tanda tangan. Hanya kebiasaan kecil yang perlahan berubah menjadi kebutuhan—seperti udara yang tak pernah dipertanyakan.
Setiap pagi, Nara akan menunggu di depan rumah dengan rambut dikuncir asal dan tas menggantung seperti mau jatuh. Sena datang sambil mengayuh sepeda mini biru yang bunyinya selalu nyaring, seolah memanggil, “Ayo berangkat, dunia menunggu kita!”
Kadang mereka bertengkar karena hal remeh: rebutan pensil warna, berebut kursi dekat jendela, atau sepatu Sena yang selalu menginjak sepatu Nara. Tapi sore-sore berikutnya mereka sudah duduk di bawah pohon jambu sambil makan buahnya yang asam, pura-pura marah tapi diam-diam ingin tertawa.
Tahun berjalan seperti halaman buku yang dibalik angin. Mereka tumbuh, berubah, tapi jarak di antara mereka tetap sama: sedekat nadi dengan denyutnya.
Saat remaja, hubungan mereka tidak pernah butuh definisi. Tidak perlu disebut “sahabat dekat,” atau “teman sejak kecil.” Semua orang tahu, kalau melihat satu dari mereka, biasanya yang lain ada tidak jauh di belakang.
Suatu sore saat mereka duduk di pinggir lapangan, ketika matahari merayap turun perlahan dan menggambar cahaya keemasan di rambut Nara, Sena menoleh sekilas dan berkata,
“Nar, kalau suatu hari kamu jadi orang terkenal, jangan lupa aku.”
Nara mengangkat alisnya tinggi, lebih tinggi daripada tinggi badannya
“Yakin dulu aku bakal terkenal. Mukaku tuh standar banget buat jadi figuran.”
“Ya udah, kalau jadi figuran pun, jangan lupakan aku,” Sena menyenggol bahunya sambil tersenyum lebar.
“Aku kan sahabat pertamamu.”
Nara mendengus. “Emang aku punya sahabat kedua?”
Jawaban itu membuat mereka tertawa lama, tawa yang entah kenapa selalu terdengar seperti dunia sedang baik-baik saja. Tawa yang rasanya bisa menggulung seluruh kecemasan dunia hingga hanya menjadi serpihan kecil yang mudah ditiup angin.
Ada banyak malam ketika mereka duduk di depan rumah Nara sambil memandangi bulan, seakan cahaya pucat itu satu-satunya saksi yang memahami mereka.
“Kamu pernah takut masa depan?” tanya Nara suatu malam. Suaranya pelan, seolah kalau terlalu keras, masa depan bisa kabur menjauh dan menyembunyikan diri.
Sena menatap langit, mencari jawaban di antara bintang-bintang yang belum tentu peduli.
“Pernah,” katanya akhirnya. “Tapi kalau kamu ada, kayaknya masa depan nggak semenakutkan itu.”
Nara tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, membiarkan kata-kata itu meresap, seperti embun yang menempel di kaca jendela.
Lalu, tanpa aba-aba, angin berubah. Udara yang tadinya hangat tiba-tiba membawa dingin yang menggigit ujung jari. Daun-daun di pohon jambu depan rumah bergesek gelisah, seperti hendak memperingatkan sesuatu.
“Hm?” Sena mendongak. “Kok gelap mendadak?”
Nara ikut menatap langit, tapi belum sempat ia berkata apa pun, sebuah titik air jatuh di pipinya.
Titik kedua mendarat di hidung Sena.
Kemudian langit meledak dalam rintik-rintik hujan yang turun tanpa usul periksa.
“Eh...kok jadi hujan?” seru Nara sambil mundur sedikit.
Namun Sena justru berdiri, merentangkan tangan, membiarkan hujan mengenai wajahnya. Ia menengok ke arah Nara dengan senyum yang lumayan aneh—jenis senyum yang hanya muncul saat ia punya ide konyol.
“Ayo, Nar,” katanya. “Sekali aja. Kita main hujan sebelum kita tua, rematik, dan takut pilek.”
Nara memelototinya, tapi hujan sudah menempel di pipinya seperti ajakan yang terlalu susah ditolak.
“Kamu tuh… selalu ngajak hal aneh.”
“Tapi kamu selalu ikut.”
Dan benar saja—Nara berdiri, melepas sandalnya, dan melangkah ke luar pagar bersama Sena.
Hujan turun deras, tapi lembut. Jalanan berkilau seperti kaca yang baru dicuci langit. Mereka berlari kecil, membiarkan air hujan memercik ke kaki dan baju mereka.
“Nar!” Sena tertawa sambil memutar tubuhnya. “Masih ingat waktu SD kita kabur dari kelas cuma buat main hujan di lapangan belakang?”
Nara ikut tertawa, meski matanya harus menyipit karena hujan.
“Ingat! Terus Bu Yanti ngejar kita pakai sapu! Kamu jatuh, aku juga jatuh gara-gara kamu narik bajuku!”
“Itu artinya…” Sena menunjuk Nara sambil terengah, “…kita selalu jatuh bareng!”
Ada sesuatu pada kalimat itu—sesuatu yang membuat Nara berhenti sejenak. Hujan menetes di wajahnya, tapi dadanya yang terasa hangat justru lebih membingungkannya.
Sena mendekat, menundukkan suara.
“Kalau masa depan nanti menakutkan… ya kita hadapi kayak gini. Sama-sama basah.”
Nara menutup wajahnya setengah tertawa, setengah ingin menangis.
“Kamu tuh… suka banget ngomong hal-hal yang bikin aku baper.”
“Bonus paket persahabatan,” Sena mengangkat bahu santai.
Mereka kembali tertawa di bawah hujan, tawa ringan yang mengambang di udara seperti gelembung sabun. Hujan menulis jejak-jejak kaki mereka di tanah, lalu menghapusnya perlahan. Tapi malam itu terasa seperti akan tinggal lebih lama daripada yang seharusnya.
Dan meskipun mereka tidak menyadarinya, hujan yang turun malam itu akan menjadi salah satu kenangan yang paling mereka jaga di genggaman waktu.
Keesokan harinya, matahari muncul dengan wajah paling ramahnya, seolah dunia ingin menebus hujan semalam. Sinar kuning lembut itu menembus tirai kamar Nara, menyentuh pipinya yang masih hangat oleh sisa mimpi.
Nara menggeliat pelan, lalu meringkuk lagi seperti burrito hidup. “Lima menit lagi,” gumamnya pada alarm yang bahkan belum berbunyi. Ia meraih guling, memeluknya erat, kemudian, entah untuk siapa menggumamkan, “Selamat pagi, dunia yang tidak pernah sabar…”
Setelah beberapa detik berdebat dengan diri sendiri, ia akhirnya duduk, rambut acak-acakan seperti singa habis bangun tidur. Ia merapikannya dengan tangan, gagal, lalu menyerah. “Ya udah, gaya alamiah,” katanya sambil menunjuk bayangannya di layar ponsel yang mati.
Masih dengan mata setengah terbuka, ia berjalan ke cermin. Dia mencoba tersenyum. Gagal. Coba lagi. Gagal. “Nara versi manusia… 30% hidup, 70% butuh kopi,” komentarnya pada diri sendiri.
Ia membuka lemari, berencana memilih pakaian, tetapi malah sibuk berputar putar kecil di kamar sambil menyentuh pipinya. “Masih mimpi nggak sih aku semalam?” tanyanya pada dirinya sendiri sambil menyengir tanpa alasan yang jelas, mengingat sesuatu, atau seseorang yang membuat dadanya menghangat.
Baru ketika ia meraih sisir, ponselnya bergetar di atas meja.
Nara menoleh.
Pesan itu muncul.
Dari Sena.
Dan semua ngantuk, rasa malas, bahkan drama kecil yang ia buat sendiri di kamar… hilang dalam satu detik.
“Keluar, yuk. Aku tahu tempat yang bisa bikin kamu senyum,” tulis Sena.
Nara membalas cepat.
“Kalo tempatnya warung mi ayam, aku langsung siap.”
“Bukan. Lebih sakral.”
“Gereja?”
“Bukan. Bukan tempat ibadah, hoi.”
Nara mengetik lagi.
“Apaan dong? Tempat sakral apa yang bikin orang senyum?”
“Pokoknya sakral. Kayak tempat orang menemukan jati diri.”
Nara mendelik pada layar.
“Kampus?”
“HEH. Kok hina amat?”
“Lah kan kamu bilang tempat menemukan jati diri…”
“Bukan itu! Yang bener-bener sacral dan dingin.”
Nara makin bingung.
“Rumah makan Padang yang ada AC?”
“Bukan. Kamu lapar, ya?”
“Nggak. Cuma realistis.”
Sena mengirim emoji facepalm.
“Udah. Diam. Siap-siap. Kita ke…”
“Apa?”
“Gramedia.”
Hening sepersekian detik. Lalu Nara membalas:
“Oh. Iya. Bener. Itu sakral.”
“Kan.”
“Tapi jangan lama-lama ya. Aku kalau masuk situ suka lupa cara keluar.”
“Tenang. Aku udah siapin tali biar kamu nggak hilang.”
“Aku anjing?”
“Enggak. Tapi kamu pernah hilang di Indomaret waktu nyari shampoo.”
“Itu tiga tahun lalu, Sena. Kamu dendam banget sama masa lalu?”
“Gimana nggak dendam… Aku cari kamu keliling rak lima kali. Kupikir kamu diculik promo beli 2 gratis 1.”
Nara membalas cepat.
“LEBAY.”
“Tapi fakta.”
Sena datang sepuluh menit lebih awal, kebiasaan lama yang tak pernah berubah. Ia mengetuk pintu rumah Nara tanpa henti, seperti sales yang sedang kejar target.
“Nar! Ayo! Kamu butuh dunia literasi!” teriaknya.
Nara keluar sambil mengancingkan kemejanya setengah sambil jalan. “Aku butuh dunia mimpi, bukan literasi.”
“Udah, nggak usah banyak alasan. Kamu tuh kalau diajak keluar, dramanya kayak sinetron kejar tayang.”
“Kok kamu tau? Kamu nonton aku tiap hari?”
“Aku sahabatmu apa CCTV?”
Nara mendelik sambil mengunci pintu. “CCTV juga nggak sejudes kamu.”
Sena hanya terkekeh lalu menarik lengan Nara. “Cepet. Sebelum kamu mikir buat batalin.”
Perjalanan menuju Gramedia terasa seperti berjalan masuk ke masa kecil mereka—berdebat tentang hal remeh, saling menyindir, tapi dengan jarak yang tak pernah benar-benar berubah.
Begitu pintu Gramedia terbuka dan aroma kertas baru menyeruak, Nara menghela napas panjang.
“Hahhh… bau surga,” gumamnya.
Sena melirik. “Kamu tuh aneh. Orang lain kalo nyium bau enak bilang ‘lapar’. Kamu bilang ‘surga’.”
“Ya karena kamu nggak ngerti nikmatnya jadi kutu buku.”
“Tentu aku ngerti,” balas Sena sambil menunjuk tanda harga. “Nikmatnya itu nihil. Lihat tuh angka, bikin sakit dada.”
Nara menepis bahunya dan berjalan masuk lebih dulu. “Minggir. Orang miskin jangan menghalangi jalan pencerahan.”
“Aku tabok, ya?”
Nara sudah masuk ke rak novel, matanya berbinar seperti anak kecil ketemu toko permen. Ia menyentuh punggung buku perlahan, seolah menyapa makhluk hidup.
Sena mengikutinya, tapi dengan wajah seperti orang yang tersesat dalam seminar akademik.
“Nar, kalau kamu nikah nanti, aku yakin kamu lebih sayang rak bukumu daripada suamimu,” celetuk Sena.
“Tergantung suaminya. Bisa baca atau nggak.”
“Maksudmu kalau dia buta huruf—”
“Ya mending aku nikah sama perpustakaan keliling.”
Sena menutup wajahnya. “Serius deh, kamu tuh calon istri siapa sih…”
Nara tertawa sambil mengambil satu buku tebal. “Lihat deh, ini bagus.”
Sena mengambil buku itu, membuka halaman pertama, lalu memasangnya di dahi.
“Berat. Kamu yakin otakku siap?”
“Kamu punya otak?”
“DIJAWAB BENERAN DONG?!”
Orang-orang menoleh; Nara buru-buru menarik buku itu dari dahinya. “Sssst! Jangan malu-maluin. Ini tempat suci.”
“Tuh kan sakral,” gumam Sena.
Nara langsung berjalan cepat ke deretan novel lainnya, sementara Sena mengikutinya dengan langkah malas, tangan dimasukkan ke saku, seperti sudah hafal ritual ini.
“Yang ini sudah kamu punya?” tanya Sena sambil menunjuk novel bersampul biru laut.
“Sudah. Dua tahun lalu.”
“Kalau yang ini?” Ia mengambil novel lain.
“Boring.”
“Yang ini?” Sena menunjuk sebuah novel tebal.
Nara menjawab tanpa menoleh, “Udah baca online.”
Sena mendesah panjang, seolah baru bekerja shift malam. “Kenapa kamu kayak database berjalan, sih? Susah banget cari buku buat kamu.”
Nara menahan tawa. “Makanya jangan sok-sokan ngetes aku.”
Sena akhirnya menyerah dan mengambil satu buku secara acak dari rak. “Oke. Yang ini. Kamu pasti belum punya.”
Nara menatap sampulnya. Novel itu bertema petualangan dengan tokoh utama perempuan yang keras kepala.
Ia membalik halaman belakang—dan senyumnya langsung melebar.
“Ini… bagus banget,” katanya pelan.
“Aku tahu,” jawab Sena sambil nyengir. “Aku sengaja cari semalaman.”
Nara terhenyak. “Serius?”
“Serius. Aku googling ‘novel yang bikin perempuan suka literasi tambah bahagia.’”
Nara memukul lengannya pelan. “Kamu tuh yaaaa…”
Mereka menghabiskan hampir satu jam di antara rak-rak itu. Nara sibuk memilih, Sena sibuk mengomentari model sampul yang “terlalu abstrak”, “mirip mood swing kamu”, atau “kaya poster seminar motivasi yang gagal”.
Pada akhirnya, mereka keluar membawa tiga buku, satu untuk Nara, satu lagi pilihan Sena yang katanya “biar aku juga ikut waras,” dan satu buku diskon yang sebenarnya Nara tidak butuh tapi Sena memaksa beli karena “cover-nya lucu”.
Hari-hari setelah malam Gramedia itu berjalan seperti lembaran kecil yang ringan namun penuh warna.
Minggu pertama dipenuhi hal-hal sederhana—Nara tiba-tiba datang ke rumah Sena, menemukan sahabatnya itu baru bangun tidur jam tiga sore, rambut berantakan seperti habis digulung angin. Mereka menghabiskan sore dengan roti bakar, debat rasa cokelat atau keju, dan tawa yang pecah tanpa alasan jelas.
Memasuki minggu kedua, Sena tiba-tiba menjemput Nara untuk “nostalgia.” Mereka menyusuri jalan kecil yang dulu mereka lewati saat SD, menertawakan kenangan receh: Sena jatuh dari sepeda karena mengejar kupu-kupu, Nara terseret tas ranselnya sendiri. Kota seolah membuka pintu kenangan yang selama ini mereka biarkan tertidur.
Minggu ketiga tak kalah ramai. Mereka makan bakso di warung pinggir jalan; Sena memasukkan sambal terlalu banyak lalu panik setengah mati. Nara menolong sambil tertawa, sementara Sena menahan air mata pedas dan martabatnya yang perlahan luntur.
Hari-hari terasa seperti potongan video pendek yang tidak penting, namun justru itulah yang membuatnya hidup.
Minggu keempat berjalan paling tenang. Mereka jalan ke minimarket hanya untuk beli permen, nonton film lalu ribut karena tokohnya “kebangetan bodohnya,” atau sekadar duduk di teras membicarakan langit. Tidak ada yang aneh. Tidak ada tanda apa pun. Semuanya tampak biasa, terlalu biasa.
Dan justru di minggu yang paling tenang itulah, hujan turun lagi. Malam itu, hampir tengah malam, pesan dari Sena muncul:
“Nar… besok kamu sibuk? Aku mau ngomong sesuatu.”
Kalimat pendek yang terasa seperti tangan tak terlihat mengetuk dada Nara.
Pagi itu tidak istimewa.
Langit hanya biru pucat, jalanan biasa saja, dan angin berembus tanpa niat apa pun. Justru karena itulah Nara merasa gelisah, seolah ketenangan ini terlalu rapi untuk hari yang katanya hanya “mau cerita sesuatu”.
Sena sudah duduk lebih dulu di bangku taman kecil dekat halte lama. Jaketnya sama seperti biasanya, wajahnya sama, cara ia menendang kerikil di bawah kakinya pun tak berubah. Terlalu normal untuk seseorang yang mengirim pesan tengah malam.
“Kamu cepet,” kata Nara sambil duduk di sampingnya.
Sena tersenyum. “Takut kamu keburu kabur.”
“Ngapain aku kabur?”
“Takut dengar cerita orang ganteng,” jawab Sena ringan.
Nara memutar mata. “Tolong realistis.”
Mereka terdiam.
Bukan hening yang canggung, tapi hening yang penuh, seperti udara sebelum hujan turun.
Sena menggaruk tengkuknya, kebiasaan lama setiap kali ia gugup.
“Nar,” katanya akhirnya, suaranya tidak main-main seperti biasanya, “kamu ingat nggak… kita pertama kali ketemu?”
Nara mengernyit. “Di warung Bu Leli. Kamu kalah cepat beli es lilin.”
“Iya.” Sena tertawa kecil. “Sejak itu aku mikir… aneh ya, ada orang yang dari kecil sampai sekarang selalu ada di hidup kita.”
Nara menelan ludah. Dadanya terasa sedikit lebih sesak dari seharusnya.
“Kamu tuh,” lanjut Sena pelan, “orang yang paling tahu aku. Bahkan hal-hal yang aku sendiri kadang nggak paham.”
Nara menoleh.
Wajah Sena tidak bercanda. Tidak juga berlebihan. Hanya jujur.
“Aku sering mikir,” kata Sena lagi, “gimana jadinya kalau suatu hari… kita nggak sedeket ini lagi.”
Nara tertawa kecil, tawa refleks yang terlalu cepat.
“Ngapain mikir yang aneh-aneh. Kita kan—”
“Aku serius, Nar.”
Kalimat itu memotong.
Dan tiba-tiba, semua kemungkinan yang selama ini disimpan rapi oleh Nara bergerak gelisah di kepalanya. Tentang jarak. Tentang perasaan yang tidak pernah diberi nama. Tentang kata-kata yang terlalu lama ditahan.
Sena menarik napas dalam-dalam. Tangannya mengepal di atas lutut.
“Aku mau jujur sama kamu,” katanya. “Dan aku takut kalau nggak sekarang, aku nggak bakal punya keberanian lagi.”
Detik-detik itu terasa panjang.
Terlalu panjang.
Nara tersenyum, senyum yang ia pakai saat berusaha tampak kuat.
“Iya,” katanya lembut. “Kamu bisa cerita apa aja ke aku.”
Sena menatapnya lama, seolah menghafal wajah itu.
“Aku…,” ia berhenti sebentar, “aku bakal pindah.”
Nara berkedip.
Sekali.
Dua kali.
“Pindah?” ulangnya pelan.
Sena mengangguk. “Keluar kota. Lumayan jauh.”
“Oh.”
Hanya itu yang keluar dari mulut Nara.
Bukan karena tidak ada yang ingin ia katakan, tapi karena seluruh kalimat di kepalanya runtuh bersamaan.
“Kesempatan kerja,” lanjut Sena cepat, seolah takut keheningan mengambil alih. “Bagus. Sayang kalau dilepas.”
“Oh.”
Lagi-lagi hanya itu.
Nara tersenyum. Senyum yang rapi. Terlalu rapi.
“Ya… bagus dong,” katanya. “Kamu kan selalu pengen maju.”
Sena menghela napas, seperti baru saja menahan sesuatu yang berat.
“Aku takut kamu marah.”
Nara menggeleng cepat. “Kenapa aku harus marah?”
“Karena aku baru bilang sekarang.”
Nara menatap tanah. Kerikil-kerikil kecil di sana tampak lebih aman untuk dilihat.
“Ya mungkin kamu… butuh waktu.”
Sena menatapnya, seolah ingin mengatakan sesuatu yang lain. Tapi tidak jadi.
“Aku pergi minggu depan,” katanya akhirnya.
Ada jeda.
Dan di jeda itu, Nara menyadari sesuatu yang pahit tapi jujur:
ia tidak kehilangan Sena hari itu, ia hanya baru diberi nama untuk kehilangan yang akan datang.
Ia menoleh, tersenyum lagi. Senyum yang tetap berdiri meski lututnya goyah.
“Kapan pun kamu pergi,” katanya, “jangan lupa pulang.”
Sena tertawa kecil, tapi matanya tidak ikut tertawa.
“Janji.”
Mereka duduk berdampingan, jarak di antara mereka tidak berubah, namun dunia di sekeliling terasa sedikit lebih jauh dari biasanya.
Dan Nara baru sadar:
kadang, yang paling menyakitkan bukanlah perasaan yang tak pernah diucapkan,
melainkan kebersamaan yang diam-diam harus belajar merelakan diri sendiri.
Hari terakhir datang dengan cara yang tidak dramatis.
Tidak ada hujan. Tidak ada langit kelabu. Matahari justru bersinar terlalu terang, seolah dunia sengaja bersikap tidak tahu apa-apa.
Sena menjemput Nara seperti biasa. Jaketnya sama. Motornya sama. Candanya pun masih ada, meski terdengar sedikit lebih pendek.
“Kamu yakin nggak mau batalin pergi?” tanya Nara setengah bercanda.
Sena meliriknya. “Kalau aku batal, kamu yang tanggung jawab masa depanku.”
“Wah, berat. Aku cuma sanggup tanggung jawab perasaan,” jawab Nara cepat.
Sena tertawa. Tapi tawanya berhenti terlalu cepat.
Mereka berjalan tanpa tujuan jelas. Menyusuri trotoar, melewati warung lama, lampu-lampu jalan yang mulai menyala satu per satu. Kota terasa sibuk, tapi langkah mereka lambat—seolah sedang menunda sesuatu yang tak bisa dihindari.
Di bawah lampu jalan yang agak redup, Sena berhenti.
“Nar,” katanya.
“Hm?”
Sena merogoh saku jaketnya. Gerakannya ragu, seperti sedang mempertimbangkan ulang sesuatu yang sudah lama diputuskan.
“Aku punya sesuatu,” katanya akhirnya.
Nara menoleh. “Apaan? Jangan bilang oleh-oleh padahal kamu belum pergi.”
“Bukan.”
Sena mengeluarkan sebuah gelang.
Putih.
Sederhana.
Dengan manik-manik kecil yang samar, tidak mencolok, tapi terasa hangat entah kenapa.
“Ini… buat kamu.”
Nara menatap gelang itu lama. Terlalu lama.
“Putih?” katanya pelan. “Kamu yakin ini bukan punya ibu-ibu arisan?”
“Eh,” Sena protes, “jangan remehkan selera estetikku.”
Nara tersenyum kecil. Sena lalu mengambil tangan Nara, gerakannya canggung, seperti anak kecil yang takut dimarahi.
“Aku pasangin ya,” katanya.
Tanpa menunggu jawaban, ia melingkarkan gelang itu di pergelangan tangan Nara. Jarinya menyentuh kulit Nara sebentar dan itu cukup untuk membuat Nara menahan napas.
“Kenapa putih?” tanya Nara, mencoba terdengar santai.
Sena mengangkat bahu. “Biar gampang cocok sama apa aja.”
“Alasan klise.”
“Alasan aman,” balas Sena. “Kayak aku.”
Nara tertawa pelan.
“Terus manik kecilnya ini apa?”
Sena menatap gelang itu sebentar.
“Biar kamu inget… hal kecil juga bisa bertahan lama.”
Kalimat itu jatuh pelan, tapi menghantam tepat di dada.
Nara menunduk, memainkan gelang itu dengan ibu jarinya.
“Kalau aku ilang?” tanyanya setengah bercanda.
“Gelangnya jangan,” jawab Sena cepat. “Orangnya… ya jangan juga.”
Hening lagi.
Angin malam lewat di antara mereka, membawa bau aspal dan kenangan yang belum siap dilepas.
“Kamu jangan lepas gelang itu,” kata Sena tiba-tiba.
Nara menoleh. “Kenapa?”
“Biar aku tahu,” jawab Sena pelan, “kalau di kota lain nanti… ada bagian dari kamu yang masih di sini.”
Nara tersenyum. Senyum yang kali ini tidak sepenuhnya kuat.
“Kamu jahat,” katanya lirih. “Ngasih kenang-kenangan pas mau pergi.”
“Biar kamu kesel,” jawab Sena. “Biar kamu nggak gampang lupa.”
Nara menggeleng kecil. “Tenang. Aku susah lupa sama hal-hal yang datang pelan.”
Sena menatapnya lama. Terlalu lama untuk sekadar sahabat, terlalu singkat untuk mengatakan lebih.
“Aku pergi besok pagi,” katanya akhirnya.
Nara mengangguk.
“Oke.”
Tidak ada pelukan panjang.
Tidak ada kata “jaga diri baik-baik” yang berlebihan.
Hanya dua orang yang berdiri berdampingan, menyimpan perasaan masing-masing di saku yang sama-sama penuh.
Saat Sena melangkah pergi, Nara memanggilnya sekali.
“Sena.”
Sena menoleh.
“Kalau suatu hari kamu pulang,” kata Nara, suaranya pelan tapi teguh, “jangan pura-pura jadi orang baru.”
Sena tersenyum, senyum yang hangat dan retak di waktu yang sama.
“Tenang,” katanya. “Aku nggak pernah tahu cara jadi orang lain.”
Motor itu menjauh.
Lampu belakangnya memudar.
Nara menatap pergelangan tangannya lagi.
Gelang putih itu diam di sana, dengan manik kecil yang setia berkilau.
Dan untuk pertama kalinya, ia sadar:
tidak semua yang tinggal harus menetap,
dan tidak semua yang pergi benar-benar meninggalkan.
Beberapa bulan setelah Sena pergi, Nara berhenti menghitung hari.
Ia berhenti menunggu pesan yang tidak pernah datang di jam-jam tertentu. Berhenti menoleh setiap kali ada motor yang lewat dengan suara mirip. Kota mengajarinya satu hal: waktu tidak pernah benar-benar berhenti untuk siapa pun.
Gelang putih itu masih ia pakai.
Kadang ia lupa gelang itu ada. Kadang ia merasa benda itu lebih tahu isi kepalanya daripada dirinya sendiri.
Suatu sore, saat Nara membantu ibunya membereskan laci lama, sebuah buku catatan jatuh ke lantai. Sampulnya tipis, warnanya pudar. Nara tidak ingat pernah membelinya.
Di halaman pertama, ada tulisan kecil.
Untuk Nara.
Jangan dibuka kalau kamu belum siap kehilangan.
Nara terdiam lama sebelum duduk di lantai dan membuka halaman berikutnya.
Isinya tidak panjang. Tidak puitis.
Hanya tanggal-tanggal.
Tempat-tempat.
Hal-hal kecil.
Hari ini Nara ketawa gara-gara aku salah pesan minum.
Hari ini Nara marah karena bukunya dilipat.
Hari ini hujan dan Nara lari tanpa sandal.
Di halaman terakhir, sebuah tiket lama diselipkan. Tiket bus. Rute pendek. Jarak yang sekarang terasa sangat jauh.
Tulisan di bawahnya hanya satu kalimat:
Aku nggak bawa kamu pergi.
Aku ninggalin sebagian diriku di sini.
Nara menutup buku itu pelan.
Tangannya bergetar saat ia menyadari, gelang di pergelangan tangannya bukan sekadar gelang. Manik kecilnya berjumlah sama dengan jumlah halaman di buku itu.
Ia tidak menangis.
Ia hanya duduk lama, memandangi sore yang berjalan tanpa menunggunya.
Hari itu, untuk pertama kalinya, Nara melepas gelang putih itu. Bukan untuk melupakan, tapi karena ia tidak lagi perlu diingatkan.
Ia memasukkan gelang dan buku itu ke dalam tas, lalu keluar rumah.
Langit mulai gelap. Lampu jalan menyala satu per satu.
Nara melangkah tanpa menoleh.
Bukan karena ia sudah sembuh, tapi karena ia tahu: beberapa perpisahan tidak diminta untuk dipahami, cukup diterima dan dibawa diam-diam, seperti arah pulang yang akhirnya dihafal.