I will love you for 365 days
Hari ke-365, 12 November 2019
Di bawah rintik hujan yang sendu, semerbak bau hujan yang bercampur dengan tanah membuat hidungku terasa sangat nyaman. Sudah 365 hari semenjak istriku tiada; rumah terasa sangat sunyi, seperti halnya pasar yang ditinggalkan oleh para pedagang dan para pembeli. Hati terasa sangat pilu, seperti belati yang tak tersentuh.
Aku memandang dengan tatapan kosong, melihat kursi roda tempat aku selalu mendorong istriku ke mana pun dia ingin pergi. Sudah 365 hari sejak terakhir kali aku mendorong kursi roda ini, dan aku sudah lupa seperti apa senyum manismu serta tawa candamu itu.
Hatiku terasa begitu hampa dan sunyi, seperti angsa yang kehilangan pasangannya
"Rani, sekarang sudah 365 hari sejak terakhir kali aku bersama kamu. Aku sangat merindukanmu; aku sangat ingin memelukmu.
Aku akan tidur dan menunggu esok supaya aku bisa melihat dirimu lagi dalam sunyi mimpiku, dalam rindu hangatmu, dan dengan senyuman manismu. Malam adalah sejarah kerinduanku yang begitu dalam, dan kau adalah malamku.”
********
Pagi pun telah datang. Suara gemericik hujan telah usai, meninggalkan tanah yang basah serta meninggalkan bau yang begitu harum.
Kakiku mulai melangkah menuju pasar, tempat para pedagang bunga menjajakan dagangannya; tempat para pedagang mencari secercah nafkah untuk keluarganya di rumah.
Pemandangan pagi begitu indah dengan sedikit kabut yang menggantung di sekitar pedagang bunga, menandakan bahwa pagi ini begitu dingin oleh kabut embun yang menggantung—bagaikan langit-langit yang telah roboh, seperti tiang-tiang yang kehilangan sanggahannya
Tanpa terasa, hidungku mulai tersentuh oleh harumnya semerbak bunga-bunga yang dijajakan oleh para pedagang. Aku memandang mereka penuh dengan kekaguman. Hidungku seakan dimanjakan oleh harumnya bunga-bunga yang ditawarkan oleh para pedagang.
Mataku mulai mencari cari bunga yang menjadi alasanku pergi ke tempat ini; bunga yang melambangkan ketulusan, keindahan, serta emosi yang mengagumkan
Hingga pandanganku tertuju pada bunga Hydrangea biru yang dijajakan oleh seorang nenek penjual bunga. Bunga yang melambangkan ketulusan istriku; bunga yang melambangkan kecantikan serta emosinya.
Aku memandang Mbok Sartiem, seorang nenek penjual bunga yang usianya sudah hampir 73 tahun, tetapi senyum serta semangat di wajahnya bisa menghipnotis siapa saja yang memandangnya. Senyumnya begitu tulus dan indah. Dirinya saat ini sedang menjajakan bunga dagangannya dengan hamparan karung-karung goni menjadi alas dagangannya. Bunga-bunga yang dijual Mbok Sartiem sangatlah beragam dan sangat berwarna, tetapi pandanganku hanya tertuju pada satu bunga yang menjadi alasanku mencarinya.
Mbok Sartiem sangatlah sederhana. Dirinya hanya mengenakan kebaya berlengan panjang dengan motif batik klasik bernuansa cokelat tua, dipadukan dengan kain batik bermotif sogan sebagai bawahannya.
Mbok Sartiem juga memakai penutup kepala berwarna putih polos sebagai pelindung kepalanya dari udara dingin yang begitu sejuk.
Aku pun menghampirinya untuk membeli beberapa ikat bunga yang Mbok jual untuk istriku.
“Mbok, saya mau beli bunganya dua ikat ya, yang biru ya, Mbok”.
“Oh, Mas Rama mau beli bunga biru lagi ya? Boleh, Mas. Mas Rama mau berapa ikat lagi?”
“Saya mau dua ikat saja, Mbok. Saya suka bunga yang ini” ucapku sambil menunjuk bunga yang istri saya suka (Hydrangea biru).
“Makasih Mbok, bunganya bagus banget. Ini uangnya, Mbok,” ucapku sambil menyerahkan uang 100 ribu untuk membayar bunga yang aku beli.
“Oh, uangnya kebesaran Mas, nanti Mbok cari dulu kembaliannya," Ucap Mbok sambil mencari-cari uang kembalian yang ia simpan di tas kecil yang Mbok letakan di sebelah tempat duduknya.
"Sudah Mbok, tidak apa-apa, tidak usah kembalian. Buat Mbok makan saja di rumah." Aku memang berniat tak ingin meminta kembalian kepada Mbok Sartiem karena dulu istriku sangat dekat dengan beliau.
"Oh, tidak apa-apa Mas, Mbok ada kembalian," Ucap Mbok Sartiem dengan nada tidak enak hati karena menerima uang yang aku berikan; Mbok masih berniat ingin memberikan uang kembaliannya.
"Tidak usah Mbok, tidak usah. Saya ikhlas buat Mbok makan," jawabku dengan nada sedikit memaksa supaya Mbok tidak mengembalikan uang tersebut. Aku memang berniat agar uang yang aku berikan bisa digunakan untuk keperluan makan Mbok di rumah.
“Makasih ya, Mas, ramah..Mbok jadi gak enak.” Mbok Sartiem terharu, matanya sedikit berkaca-kaca mengucapkan terima kasih kepadaku. Walaupun aku tahu Mbok tidak mendapat banyak uang saat berjualan bunga, tetapi Mbok sartiem selalu bersemangat menjajakan dagangannya.
Sama-sama, Mbok. Saya pamit dulu ya, mau ke tempat istri saya.” Aku pun berpamitan kepada Mbok Sartiem untuk melanjutkan perjalanan ke tempat istriku sedang tidur
“Iya, Mas Rama... Pesan Mbok, kamu yang sabar ya. Mungkin ini ujian dari Gusti Allah, jadi kamu yang sabar, banyak-banyak doa.”
Nasihat Mbok Sartiem membuat hatiku sangat luluh, walaupun di dalam lubuk hatiku yang terdalam, aku masih belum ikhlas. Hatiku masih menangis menjerit; rasa sakit dari kesepian yang aku alami terasa begitu dalam.
“Iya, Mbok, saya juga sudah ikhlas...” Aku pun menjawab seadanya supaya Mbok Sartiem tidak terlalu khawatir dengan keadaan yang aku alami, walaupun hatiku terasa sangat sesak, seperti sebuah penyakit yang tak bisa disembuhkan
Lalu kemudian, aku pun pergi dengan membawa dua ikat bunga kesukaan istriku menuju tempat di mana dia saat ini sedang tidur dengan tenang.
Hatiku serasa sangat kesepian. Walaupun banyak orang menguatkan diriku tentang kesabaran serta keikhlasan, tetapi hal itu hanya membuat hatiku terasa semakin tenggelam dalam renungan kesepian yang panjang.
Hari di mana aku harus menjalani 365 hari tanpa kehadiran dirimu, membuat hatiku terasa pilu. Hari di mana aku tak bisa melihat senyummu, hari di mana aku tak bisa melihat tawamu, hari di mana aku tak bisa menemanimu ke tempat yang dirimu suka.
Kata-katamu saat meninggalkanku terlalu kejam. Kata-kata yang kau berikan padaku terlalu dalam. Kata-kata yang kau ucapkan padaku hanya berupa “pamit”, sebelum kau pergi meninggalkan diriku.
Beritahu aku bagaimana cara melupakan dirimu, di mana kutemukan diriku yang dulu, dan bagaimana aku bisa kembali menjadi diriku lagi. Kau sungguh jahat, Rani.
Hari ini begitu cerah dengan matahari yang mulai menyinari. Aku menunggu di terminal, tempat biasa di mana bus lalu lalang menunggu seorang penumpang. Lalu aku mulai melihat langit yang begitu biru; diriku mulai mengingat di mana istriku sangat menyukai saat aku membawanya ke tempat ini. Senyumnya begitu indah, senyum yang selalu aku rindukan selama ini.
Bus pun datang seperti biasa, menjemput para penumpang yang sedang menunggu di terminal. Aku pun naik dan duduk di belakang sambil memandang gunung-gunung yang tersusun indah dari balik jendela bus.
Walaupun pemandangan di mata begitu indah, tetapi hatiku berkata pada diriku, “Aku punya masa lalu yang kini kulihat ia terlahir dari kepergianmu.”
Hatiku begitu hancur. Air mataku menetes dari sela-sela kelopak mata, membasahi pipiku... sampai seorang pria yang berada di sampingku berkata padaku.
“Tunggu sampai tiba di terminal, lalu menangislah sendiri sepuasnya.”
Aku mengusap air mataku dan meminta maaf kepadanya karena aku menangis. Lalu, pria itu bertanya kepadaku tentang alasan mengapa aku menangis.
“Kenapa engkau menangis seperti anak kecil, sedangkan kau adalah seorang yang sudah dewasa?”
Lalu, aku pun menjawab;
“Aku kehilangan sosok yang paling aku cintai, dan aku sungguh mencintainya. Dialah jiwa pertamaku, dan dialah yang terakhir."
Lalu, sopir itu kembali bertanya,
"Kenapa engkau tidak mencari penggantinya? Seseorang yang sepertinya."
Aku pun menjawab;
"Anda tidak akan menemukan orang yang sama dua kali, bahkan pada orang yang sama."
Sopir itu lalu terdiam.
Beberapa saat, bus yang aku naiki mencapai tujuan. Aku pun berkata kepada sopir bus itu untuk menurunkanku di terminal ini.
"Turunkan aku di terminal ini, Pak."
Sebelum melangkah pergi, aku membayar ongkos bus yang aku naiki, lalu melanjutkan langkah ke tempat di mana istriku beristirahat. Langkah kakiku selalu terasa berat setiap kali aku mulai mendekati tempat istriku berada.
“Wahai Tuhan, aku tak punya tujuan lain selain menerima takdir-Mu. Saat itu tiba, jalan yang panjang telah menguras habis perasaan dan harapanku. Kini, aku tidak merasakan apa pun dan tidak mengharapkan apa pun dari-Mu, wahai Tuhanku. Tetapi Tuhanku, tolong lupakan kepergiannya dalam diriku”
Langkahku terhenti saat aku menatap makam istriku. Sudah 365 hari sejak terakhir kali aku melihat senyum indahnya—senyum yang selalu menemaniku di setiap pagi, senyum yang selalu mewarnai hari-hari senduku, dan senyum yang selalu menghangatkan jiwaku.
Tetapi senyum itu telah lama sirna dalam hidupku. Sudah 365 hari berlalu sejak senyum itu hilang dari ingatanku yang kini telah sirna. Aku pun mulai membersihkan rumput ilalang yang menutupi setiap sela-sela makam istriku, mengambil setiap daun kering yang telah jatuh di atas tempat tidurnya.
“Sungguh aku sangat mencintaimu, Rani. Kaulah orang yang selalu menyapaku di pagi hari, lalu aku membalasmu dengan berkata padamu bahwa aku sangat mencintaimu."
"Sungguh, kau adalah matahariku dan tempatku untuk pulang."
Aku pun menaruh bunga yang sangat ia sukai di atas tempat ia tertidur. Hatiku begitu hampa, hatiku begitu sepi. Aku tak tahu lagi sampai kapan kehampaan ini akan berakhir.
“Aku sangat mencintaimu, mencintai segala kekuranganmu kecuali kepergianmu”
“Kepergianmu membuat hatiku begitu hampa sampai aku tak tahu lagi harus bagaimana cara melupakanmu.”
Perasaan ini begitu nyata sampai aku berpikir ini hanya sebuah ilusi yang hanya menggantung di dalam sebuah mimpi. Tanpa aku sadari, ini hanya sebuah ilusi.
— End —
********
Aku tidak meminta cintamu sebagai balasannya. Mencintaimu sudah cukup. Telah mengenalmu, telah merasa hidup di hadapanmu—itulah sukacita terbesarku, dan aku akan selalu membawanya bersamaku. Kamu tidak bisa membayangkan betapa besar kebahagiaan yang telah kamu bawa ke dalam hidupku. Kamu datang seperti cahaya dalam kegelapanku, kehangatan dalam kesendirianku yang dingin, dan untuk itu, aku akan selalu bersyukur. Bahkan jika itu hanya untuk sesaat, aku telah tahu apa artinya mencintai dan dicintai, dan momen itu akan menjadi milikku selamanya, tak tersentuh oleh waktu atau kesedihan.
Fyodor Mikhailovich Dostoevsky.
“Jika kau pernah mencintai seseorang, kau juga harus mencintai kepergiannya”