Kamu mungkin tak tahu apa kata rumpang atau sedikit mengingatnya dari buku pelajaran Bahasa Indonesiamu. Isilah titik-titik rumpang dibawah ini. Tapi ini tak ada sangkut pautnya dengan itu. Kata ini muncul begitu saja dan mengacak-acak isi kepalaku. Dan anehnya juga mendorongku untuk melakukan hal ini. Rumpang, suatu kekosongan, ketidaksempurnaan. Itulah bagaimana diriku mengartikan sebuah kata rumpang, setidaknya untuk saat ini. Kata ini seakan menuntut diriku bahwa ada lubang kosong bernama hidup dalam diriku yang harus diisi. Menyebalkan jika dipikirkan, apalagi aku cukup sadar untuk tahu bahwa memang itulah kebenaran yang selalu kutolak.
Lubang bernama hidup itu tak memiliki panduan, ketentuan, dan aturan apapun untuk mengisinya. Kau, aku, dan orang di luar sana bisa mengisinya dengan cara berbeda. Entah itu kutukan atau kebebasan, aku tak tahu bagaimana cara menyebutnya dengan benar. Yang aku tahu biasanya orang mengisi lubang itu dengan pergi keluar, bertemu orang lain, berbicara dan berbagi kisah dan saling mengisi satu sama lain. Ada pula orang yang berdiam diri, menyendiri dan berbahagia dalam dunianya bersama imajinasi, dan mengandalkan waktu untuk mengisi lubang itu. Tak berakhir disitu, ada orang yang lebih memilih untuk mendengarkan ocehan orang lain, seorang asing, seorang yang mungkin hidup di tempat yang jauh disana seakan berada di dunia yang berbeda, namun anehnya ocehan itu cukup menutup lubang bernama hidup.
Itulah skrip dengan beberapa perubahan di video youtube pertama. Video yang diunggah dengan berharap pundi uang akan datang yang tentu saja tak sesuai dengan usaha diri ini yang setengah-setengah atau rumpang seperti judulnya. Walaupun uang bukan satu-satunya alasan, menulis sedikit banyak bisa mengeluarkan kepenatan dalam kepala. Masih takut rasanya untuk menulis dan dibaca secara umum seperti ini, bahkan belakangan ini aku mulai berhenti menulis meski hanya mata kepalaku sendiri yang melihatnya. Ketakutan akan isi kepala ini akan dilihat, dinilai entah dalam hal positif apalagi negatif. Mengatakan hal seperti ini rasanya seperti menelanjangi diri di mata orang lain, meski anehnya berbicara kepada orang asing terasa lebih ringan terkadang menyenangkan daripada orang yang kukenal. Walaupun setelah aku memikirkan lebih jauh, karena saat ini aku merasa tak peduli dengan pikiran dan perasaan orang asing, sedangkan aku masih peduli dengan pikiran dan perasaan orang yang kukenal. Memiliki dan mempertahankan hubungan sosial memang menyusahkan untukku.
Sebenarnya aku tak tahu harus menulis apalagi, hahaha. 1000 kata sebagai batas minimal terlalu berlebihan untukku. Sangat jarang bagiku menulis cerita dengan jumlah kata di atas 1000 kata. Dan aku belum terpikir untuk menulis cerita disini. Hanya ingin mencoba kembali menulis dan memaksa diri ini mengetik kata demi kata yang seperti tanpa arti ini. Tapi, baiklah akan kutuliskan cerita untuk menyukupi jumlah kata minimal di cerpen dan agar ini sah untuk dikatakan cerpen.
Sungguh hebat dirimu. Berdiri disana, hanya tersenyum, wajah penuh peluh keringat bahkan dengan baju berantakan tak karuan, dan dirimu yang seperti itu mampu menarik hatiku. Degupan jantung hati selalu dalam kecepatan tak biasa. Beberapa kali aku berpikir bahwa aku memiliki sakit jantung. Menerima bahwa diriku tertarik hingga mungkin jatuh cinta bukanlah hal yang mudah. Sebelumnya, cinta dalam mataku adalah permainan orang yang membosankan, lemah, dan tak memiliki keinginan kuat untuk hidup. Mengantungkan hidupnya pada orang lain karena merasa hidupnya terlalu berat untuk ditanggung sendiri itulah orang yang bergumul dengan hal bernama cinta.
Ini pertama kalinya aku merasakan gejala yang orang-orang bilang dengan awal mula cinta. Aku merasakan ini pada dirimu, seorang teman yang tak pernah dekat, hanya beberapa kali berkomunikasi karena masalah tugas ini itu, dan sepertinya yang kutahu dari dirnya hanyalah sekedar namamu. Penolakanku atas ketertarikan padamu dimulai dengan mencari sebab degupan jantung tak normal ini. Hanya dua hal yang bisa membuatku berdegup kencang, melihat hantu dan dirimu. Terpikirkan bahwa aku bukan tertarik, melainkan takut pada dirimu tetapi apa hal yang aku takutkan darimu. Aku tak memiliki kesalahan padamu, tak pernah berhutang yang tak mampu kubayar, atau sekedar bergosip tentangmu saja tak pernah kulakukan. Aku pun menelusuri kembali kapan aku mulai mengalami reaksi ini setiap melihatmu. Aku mengingat momen itu. Kerja kelompok yang berakhir dengan kerja individu. Setiap merencanakan pertemuan, pasti berjalan lancar tetapi ketika beberapa jam sebelum pertemuan, satu persatu datang dengan alasan masing-masing, merasa bahwa mereka memiliki hal yang lebih penting. Kekesalan dan kemarahanku yang memuncak, memang hal sepele, aku yakin banyak orang pun mengalami ini tapi ini batas kesabaranku. Kemarahanku yang meluap tanpa tahu bagaimana cara mengeluarkannya. Menangis di tempat umum terlalu memalukan bagiku. Dan disitulah kau datang, berdiri di depan pintu, penuh dengan keringat, masih terengah-engah, kebingungan mencariku, dan ketika matamu bertemu mataku, kau tersenyum dan itulah awal penyakit jantung bernama cinta.
Kehadiranmu di tengah kelengahan diriku membuat diriku membuka gerbang untuk masuknya penyakit itu. Meskipun sejujurnya, kau disitu pun tak terlalu banyak membantu pekerjaanku. Aku juga tak bisa menyalahkanmu, kau menyempatkan hadir setelah kau baru saja selesai dari pekerjaanmu. Jika aku menjadi dirimu, mungkin aku tak akan repot-repot ikut kerja kelompok dan memilih meminta bagian yang bisa kukerjakan sendiri setelah aku istirahat dari kelelahanku. Ya, setidaknya itu menambah informasi hal apa yang kuketahui tentangmu selain namamu.
Mau tak mau aku menerima ini, tak ada hal lain yang dapat menjelaskan ini. Aku mengetahui apa ini tapi aku tak tahu apa yang harus kulakukan dengan ini. Mengikat hubungan romantis denganmu terlalu menyusahkan untukku. Meskipun itu tak mungkin karena bicara saja sekarang sudah tak pernah. Mungkin suatu saat perasaanku padamu ini akan hilang dengan berjalannya waktu. Tapi aku masih ingin mengabadikan perasaan ini, perasaan baru yang muncul dalam diriku. Aku pun memutuskan untuk menuliskan ini padamu. Jangan khawatir, aku tak berharap-harap apapun darimu. Tak usah repot-repot untuk menolak atau menerima cintaku. Ini hanya secuil keegoisan dariku, membuat momen ini bukan teringat sebagai khayalan bagiku sendiri melainkan kejadian nyata yang memiliki saksi. Aku yang penakut ini pun hanya bisa mengirim surat setelah berpisah darimu. Jadi biarkan aku sedikit memberikan kata-kataku padamu. Terima kasih telah datang di malam itu. Terima kasih karena telah mengenalkan perasaan ini padaku. Ya, aku cukup menderita dengan ini, aku merasa jika aku bisa mendapat serangan jantung mendadak setiap melihatmu. Namun, aku akan tetap mengharapkan kau dan kehidupanku akan baik-baik saja disana. Doakan juga aku baik-baik saja dengan kehidupanku dan mungkin menemukan kembali seseorang yang bisa membuatku menerima apa itu cinta.