Selamat Tidur Pagi
8. Epilog

TEKS : EPILOG

FADE IN:

 

42. INT - LOKALISASI - PAGI

 

Sodik duduk di ranjang hanya memakai celana dalam. Ia tampak asyik membaca tajuk rencana di koran pagi. Pada meja di sebelah ranjangnya telah tersaji segelas teh manis dan sepiring singkong goreng.

Sodik mengambil satu singkong sembari kedua matanya masih serius menelaah setiap baris paragraf dan kalimat.

Sari, seorang Pekerja Seks Komersial yang disewannya sedang bercermin pada kaca di lemari. Ia pun masih mengenakan bra dan celana dalam hitam. Rambutnya tampak basah.

Sodik beberapa kali melirik perempuan itu.

Lelaki itu kemudian beringsut sebentar dari duduknya, mengambil sesuatu di tas yang ada di sisi meja.

 

SODIK

Sar. Sari, ini.

Sari meliriknya.

 

SARI

Apa itu?

 

SODIK

Gajiku bulan kemarin. Nanti, kalau Janus sudah mencairkan uang dari klien baruku, kita akan dapat duit lagi... Ini sekalian bayar sewa malam ini.

 

Sari menatap Sodik serius. Matanya sedikit memerah setelah mendengar kata-katanya. Sari lalu mengenakan kemeja dan rok mini hitam. Sembari itu ia mengebas-ngebaskan rambut basahnya.

Sementara Sodik kembali mengambil singkong gorengnya.

Sari duduk di ranjang, di dekat Sodik. Ia meraih uang dalam amplop itu. Perempuan itu menggeser duduknya semakin dekat dengan Sodik, membuat Sodik salah tingkah.

 

SODIK

(terkekeh-kekeh) Apa kurang?

Tarifmu naik?

 

Mata Sari semakin merah. Sodik tak memerhatikannya.

Perempuan itu terus menatap lelaki itu serius. Sekejap, satu tamparan yang cukup keras mendarat di pipi kiri Sodik--membuat singkong goreng yang sedang dikunyahnya meloncat keluar.

Sodik terbatuk-batuk.

 

SODIK

Sakit atuh, Yang... Kamu kenapa,

sih?!

 Sari menangis tersedu-sedu.

 

CUT TO:

 

43. INT - RUANG RAWAT - SELANJUTNYA

 

Sarah tampak terkulai lemas di ranjang. Saat seorang perawat membuka jendela, pandangan Sarah lantas melihat langit di balik jendela itu. Ia sedikit memicingkan matanya saat beberapa saat sinar matahari menyilaukannya.

 

SARAH

Terima kasih.

 

PERAWAT

Ya. Sama-sama.

 

SARAH

Sus, saya mau lihat anak saya. Dan, boleh saya pinjam lagi hapenya, Sus?

 

PERAWAT

Boleh, boleh, Bu.

 

CUT TO:

 

44. INT - INDEKOS NATASHA - SELANJUTNYA

 

Natasha tampak tertidur di bawah sofa. Sesaat, Siti lantas terbangun, melihat kawannya tertidur di bawah. Siti menjawil Natasha atau Rita itu.

 

SITI

Mbak. Mbak? Mas Janus ke mana,

Mbak?

 

Natasha tampak melap air liurnya.

 

NATASHA

Ah, jam berapa ini Ti?

 

Siti mencari-cari gawainya. Ia lalu beranjak dari sofa mencari-cari jam dinding. Tak lama, Siti menemukannya di ruang tidur Natasha.

 

SITI

Jam setengah tujuh. Mbak mau kerja?

 

NATASHA

Ya.

 

Suara alarm jam weker dari ruang tidur Natasha pun berdering. Perempuan itu segera meregangkan tubuhnya, lalu duduk di sofa bekas tidur Siti. Ia menguap berkali-kali.

 

NATASHA

Duduklah.

 

Siti duduk di sofa. Wajahnya murung.

 

SITI

Sebenarnya, tadi malam itu aku

kenapa, ya Mbak?

 

NATASHA

(tertawa) Enggak, tenang. Kamu

enggak apa-apa kok... Kalau kamu

tanya Janus ke mana, mungkin dia

sekarang sedang di rumah sakit atau

di rusun.

 

SITI

(mengangguk)

 

NATASHA

Aku lapar Ti. Kamu enggak kerja, kan?

 

SITI

Entah. Aku harus kerja di mana lagi... Apa orang-orang itu masih mengikuti?

 

NATASHA

Kalau Janus bisa pergi, berarti

mereka tidak mengikuti lagi.

Sudahlah. Kamu aman di sini.

 

SITI

Ya. Tapi aku masih takut.

 

NATASHA

Ya, wajar, sih... Sekarang kamu

tenang. Mereka bukan mengejarmu

karena kamu mencuri dompet Ali.

Mereka mengejar Janus.

 

SITI

Kenapa?

 

NATASHA

Pokoknya karena pekerjaannya.

 

SITI

Apa Mas Janus buat berita enggak bener tentangnya.

 

NATASHA

Ya. (tersenyum) Tapi tenanglah. Masmu itu akan baik-baik saja. Aku percaya.

 

SITI

Ya.

 

NATASHA

Ti. Kamu bisa masak?

 

SITI

Bisa.

 

NATASHA

Di kulkas ada telur dua. Ada nasi bekas kemarin. Bisa kamu goreng nasi dan telurnya? Aku tahu kamupun lapar.

 

Siti segera berjalan ke lemari pendingin, membuka pintunya, lalu mengambil apa yang diminta Natasha. Siti lantas menunjukkan makanan yang sedang dipegangnya.

 

NATASHA

Ya. Itu. Dapurnya di sebelah kanan ruang tidurku.

 

Natasha kemudian merebahkan dirinya di sofa. Ia melamun menatap karpet. Ia mendengar Siti mulai memasak nasi gorengnya. Perlahan-lahan, matanya pun melelap.

Kilatan cahaya matahari dan terangnya langit tampak membayang di gorden jendela kamar indekosnya yang masih tertutup.

 

CUT TO:

 

45. INT - RUMAH SANTI/ALI - SELANJUTNYA

 

Santi telah berblazer rapi. Ia tampak bercermin, merias dirinya. Sedangkan suara dengkur Ali masih nyaring terdengar.

Selesai merias diri, Santi keluar kamar. Ia menutup pintunya pelan.

Di tangannya ada gawai yang terus ditentengnya. Tas bahu yang ia kenakan kemarin pun tampak menghiasi tangan lainnya.

Santi berjalan menuju ruang makannya. Para pembantunya telah menyiapkan sarapan. Perempuan itu duduk. Meminta dibuatkan kopi hitam kepada salah satu pembantunya, sembari itu Santi mengirim pesan kepada Janus, kalau pukul sepuluh ia harus melaporkan secara langsung kegiatan semalam kepadanya.

 

SANTI (SUARA)

Janus, saya ingin kamu datang jam sepuluh di sebuah kafe. Nanti aku kabari lagi di mana alamatnya... Aku enggak sabar menunggu kedatanganmu.

 

Setelah kopi mendarat di meja makan. Santi menyambutnya dengan cerah.

 

CUT TO:

 

46. INT - RUANG PEMRED - SELANJUTNYA

 

Zaenal tampak tertidur di atas meja kerjanya. Bersama tumpukan artikel dan laporan wartawan lainnya. Laptopnya pun masih menyala.

Suara dengkurnya menguasai ruangan tersebut.

Tak lama, Bagyo yang sedang bersih-bersih terkejut melihat atasannya masih molor di dalam ruang kerjanya. Ia menggeleng-geleng.

Bagyo kemudian mengetuk pintu ruangan Zaenal.

 

BAGYO

Pak. Pagi Pak! Pagi Pak! Horas!

 

Zaenal terkejut-kejut. Beberapa kertas dan buku jatuh karena keterkejutannya. Ia segera berdiri menatap garang Bagyo. Office Boy itu lantas lari terbirit-birit. Namun, setelah batang hidung bawahannya itu menjauh, Zaenal dapat mendengar gelak tawanya.

 

BAGYO

Pagi Pak!

 

ZAENAL

Sialan, kau!

 

Zaenal terduduk lagi. Ia mengembuskan napasnya.

Mengucek-ngucek matanya. Menguap.

 

ZAENAL

Weey, Bagyo! Buatkan aku kopi! Ambilkan juga pasta gigi. Ah, jangan lupa belikan sikatnya, nanti kuganti. Setelah itu belikan gorengan, yang manis-manis tapi, seperti pisang goreng, ubi goreng. Jangan lupa, pokoknya harus ada ketannya! Belikan juga sebungkus rokok...

 

Sebentar, raut Bagyo muncul di balik pintu ruangan Zaenal.

 

BAGYO

Waduh, Pak. Saya sedikit lupa. Tadi

Bapak minta beli apa?

 

Zaenal segera beringsut dari duduknya, menatap garang Bagyo yang kembali lari terbirit-birit.

Zaenal menyobek kertas dan lantas mencatat apa yang dia mau.

Lagi-lagi, Zaenal mendengar gelak tawanya di kejauhan.

 

ZAENAL

Hey! Cepat laksanakan! Ini aku

catat. Semuanya lengkap!

 

BAGYO

Duitnya dulu dong, saya kan kismin. Masak pinjam duit sama orang kismin.

 

ZAENAL

Alamak! Sial kali aku pagi ini!

Kemarilah!

 

Zaenal segera mengambil dompet di saku belakangnya. Saat bersamaan pula wajah Bagyo kembali muncul di hadapannya.

 

ZAENAL

Nih.

 

BAGYO

Mana cukup! Permintaan Bapak

banyak!

 

ZAENAL

Ngutang dulu.

 

Zaenal lantas menutup pintu ruang pemrednya. Bagyo pergi dengan menggerutu.

Zaenal terlihat kembali duduk di kursi kerjanya. Sebentar, ia menguap, lalu melanjutkan mimpinya kembali.

 

CUT TO:

 

47. INT - LOKALISASI - SELANJUTNYA

 

Sodik sibuk berpakaian. Ia masih melihat Sari murung. Matanya sembab. Perempuan itu duduk di ujung ranjang, melihat-lihat kuku-kukunya.

 

SODIK

Kamu ini sebenarnya kenapa sih?

 

SARI

Kamu yang tega. Sama aku masih juga membahas tarif. Membahas sewa. Selain aku kamu menyewa siapa, sampai kamu terbiasa dengan kata-kata itu.

 

Sodik termangu. Ia duduk di tepi ranjang menatap singkong goreng yang tersisa satu buah di piring.

 

SODIK

Maaf.

 

SARI

Kamu lupa siapa aku?!

 

SODIK

Maaf, Yang. Bukan maksudku begitu. Kan supaya enggak ketahuan mami kalau kita ...

 

SARI

Kamu harus selalu mengingatku, kalau aku ini istrimu. Apa sekarang kamu jijik denganku?

 

SODIK

Jangan salah paham begitu, ah! Aku tidak akan lupa. Aku tahu, kita harus bekerja apapun supaya bisa bertahan... Sudah, ah. Aku harus ke rumah si Janus. Helmnya ada sama aku... Kamu juga harus ke restoran, kan?

 

SARI

Ya.

 

Sodik beringsut dari duduknya. Memakai jaket. Memakai tas. Lalu menenteng helm milik Janus.

 

SODIK

Aku beragkat.

 

Sodik meraih Sari. Diciumnya kening perempuan itu. Diciumnya pipinya yang memerah.

 

SARI

Hati-hati... Malam ini kamu ke sini

lagi?

 

SODIK

Nggak kayaknya. Aku nggak ada duit buat bohongin germo kamu lagi.

 

SARI

Kita ketemuan di tempat lain.

 

SODIK

Jangan malam ini. Gimana kalau

lusa?

 

SARI

Ya udah.

 

SODIK

Aku berangkat.

 

Sodik membuka pintu. Ia tersenyum sekilas kepada istrinya sebelum pintunya ditutup.

 

47A. EXT - LOKALISASI - SELANJUTNYA

 

Sodik telah mengenakan helm Janus. Istrinya pun ikut keluar dari rumah. Sodik menyalakan mesin motornya. Sebentar, Sodik meniupkan hati kepada Sari, membuat Sari terkikik dan pipinya bersemu merah.

Usai itu, Sodik telah berlalu dari rumah di lokalisasi tersebut.

 

CUT TO:

 

48. EXT - JALAN - SELANJUTNYA

 

Sodik berpacu di jalanan yang mulai meramai.

Klakson bertaburan di udara.

Saat ia menemukan jalan yang agak lengang, motornya lantas mencepat.

 

CUT TO:

 

49. INT - RUMAH SANTI - SELANJUTNYA

 

Santi mengikuti sopirnya menuju serambi depan. Sopirnya tampak membukakan pintu ruang tamu untuknya. Beberapa pembantu mengintili di belakangnya.

Santi masih berwajah cerah.

 

SANTI

Mobil sudah siap, kan?

 

SOPIR

Ya, Bu. Kita ke mana hari ini?

 

SANTI

Ke kafe...

 

Santi lalu melihat dua pembantu di belakangnya.

 

SANTI

Kalian enggak usah bangunin bapak.

 

Mereka mengangguk.

Santi lalu berjalan cukup cepat menuju mobil yang telah terparkir di depan. Sang sopir dengan sigap membukakan pintu mobilnya. Perempuan itu segera masuk, dan sopirnya dengan sigap menutupkan pintu mobilnya.

Setelah sopir masuk ke kemudinya. Para pembantu menutup pintu rumah Santi. Mereka kemudian segera pergi dari depan pintu, dan suara mobil Santi telah terdengar melaju.

Klaksonnya berbunyi nyaring.

 

FADE OUT

FADE IN:

 

50. INT - RUMAH JANUS - SELANJUTNYA

 

Janus keluar dari dapur sambil siap memukul orang yang menggedor-gedor rumahnya. Ia ambil ancang-ancang. Posisinya seperti seorang atlet bulu tangkis di tengah lomba.

Janus berjalan hati-hati ke pintu.

Ia siap membuka kunci. 

Tubuhnya semakin menggigil. Peluh dingin menguasai sekujur tubuhnya. Napasnya terdengar terengah-engah.

Sebentar, cahaya dari luar pintu perlahan-lahan menerobos ke ruang tamu Janus. Janus bersembunyi di balik pintu.

Sementara pintu kian membuka.

Satu kaki seseorang telah menapak masuk ke rumahnya. Janus menyiapkan diri untuk memukul seseorang itu.

Janus masih berada di balik pintu. Menunggu waktu yang tepat untuk menyerang lelaki itu. Ia melihat orang yang memakai helmnya telah memasuki rumah. Saat orang itu membuka helmnya, Janus dengan cepat memukul belakang kepala orang itu dengan botol kecap. Dua kali ia pukul dengan keras. Orang itu lantas terduduk, lalu menoleh, menatap Janus yang jadi pucat.

 

SODIK

Nus... Anus...

 

Sekejap, kawannya tergeletak di lantai ruang tamunya. Botol kecapnya terjatuh ke lantai. Janus segera menutup pintu keras.

Ia tampak panik mengelilingi tubuh kawannya. Janus berusaha membangunkan Sodik dengan menggoyang-goyangkan tubuhnya.

 

JANUS

Sialan kau! Sod! Sod! Sodik! Sial!

Bangun! Sodik!

 

Saat melihat darah mengalir dari kepala Sodik, wajah Janus tampak semakin pucat.

Dalam keadaan panik begitu, tiba-tiba ia mendengar suara ponsel, tapi bukan miliknya. Janus mencari sumber suara. Ketika ia masuk ke kamarnya, ia menemukan ponsel Sarah masih tergeletak di atas ranjang. Ponselnya terdengar berdering tetapi sebentar mati. Janus segera mengambilnya, dan melihat banyak panggilan dari nomor tak dikenal.

Ia kemudian keluar kamar, kembali melihat tubuh Sodik terbujur di ruang tamunya. Darahnya mulai banyak mengalir, mengotori lantai.

Sebentar, ponsel istrinya berdering lagi. Janus melihat nomor tak dikenal itu lagi. Janus mengangkatnya. Ia segera mendengar suara seorang perempuan.

Janus segera duduk di kursi ruang tamu.

 

JANUS

Halo ... Siapa ini.

 

SARAH (SUARA)

Mas. Mas. Ini aku pakai hape

suster. Aku lupa hapeku tertinggal

di kamar. Aku pikir kalau aku

menelepon ke hapeku akan ada yang

mengangkat. Aku lupa soalnya

nomormu.

 

JANUS

Sayang... (sambil melihat tubuh

Sodik) Sayang. (terkekeh)

 

Air mata Janus berlinang.

 

SARAH (SUARA)

Aku lahiran jam empat tadi. Bayinya baru bisa keluar (terkekeh-menangis). Mas mau denger suara dedek bayinya... Bayinya laki-laki, Mas.

 

Sesaat, Janus mendengar suara tangisan bayi. Air mata Janus makin berlinang. Di sisi lain, matanya tak lepas dari tubuh Sodik yang terkapar di ruang tamunya. Ia melihat darah menggenang di dekat kepala Sodik. Air mata Janus semakin berlinang.

 

JANUS

Ah ... Kamu enggak apa-apa?

 

SARAH (SUARA)

Ya. Aku enggak apa-apa. Nanti jam sepuluhan kamu bisa ke sini, kan? Pasti kamu belum tidur. Tidur dulu gih.

 

JANUS

Iya.

 

SARAH (SUARA)

Udah, ah. Jangan nangis! Aku jadi kepingin nangis juga nantinya...

 

JANUS

Ya. Maaf. Maaf, aku nggak bisa

menahan air mataku, Yang.

 

SARAH (SUARA)

Dasar... Eh, Siti gimana? Aku lihat tadi Siti sudah enggak ada.

 

JANUS

Dia, aku suruh pulang... Kasihan dia.

 

SARAH (SUARA)

Begitu? Makasih, Yang. Nanti aku

kepingin ketemu dia.

 

JANUS

Iya.

 

SARAH (SUARA)

Kamu enggak mau beri nama anak

kita?

JANUS

Heh? Iya, ya ... Siapa, ya... (menahan tangisnya) Gimana kalau Fajar?

 

SARAH (SUARA)

Bagus (terkekeh). Dek, namamu Fajar.

Fajar, ini ayahnya belum ketemu,

nih. Ayah, ayah, ayah... Mana

suaranya untuk ayah. Fajar...

 

JANUS

(menangis)

 

SARAH (SUARA)

Sudah, ah. Kamu malah mewek begitu. Ya, sudah. Kamu tidur dulu... Nanti jemput aku.

 

JANUS

Ya.

 

Janus meninggalkan ponsel istrinya di kursi. Ia sebentar menuju mesin pemutar musiknya di ruang tengah. Sambil menangis, Janus memasukkan piringan lagu ke mesin DVD-nya. Lalu, terdengarlah lagu "Rindu Lukisan" Ismail Marzuki, yang dinyanyikan oleh Pranadjaja dan Nina Kirana.

Setelah itu, ia menyeret tubuh Sodik ke dapur. Air matanya masih mengalir deras. Janus mengambil kain di lemari istrinya, lalu melap darah yang mengotori lantai ruang tamu.

Janus kemudian membuang kain tersebut, lalu kembali ke ruang tamu. Duduk di kursi. Tubuhnya menggigil, sembari memandang botol kecap dan helmnya di lantai.

Ia meringkuk di kursi. Lama memandang dua benda itu hingga air matanya mereda. Hingga lagunya pun mereda. Tak lama, kedua matanya pun mulai terlelap.

 

FADE TO BLACK

 

TAMAT

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar