1. Pengakuan
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Latar : Ruang Interogasi

Waktu : (Tidak tahu)

Suasana : Lampu menyala dengan tersangka duduk di kursi berseberang meja.

Seorang tersangka duduk dengan tangan terborgol dibelakang punggung. Lalu seorang polisi duduk diseberangnya mengintogerasi. Sambil membawa tongkat untuk memukulnya.

Tersangka

"Aku membunuhnya,"

Polisi

"Kenapa?" (sambil menggebrak meja)

Tersangka

"Kenapa? Karena aku peduli." (Dengan tenang ia menjawabnya)

Polisi

"Jangan main-main kau dengan polisi!" (Polisi itu berdiri dan menodongkan pistol)

Tersangka itu tetap diam, tenang, sangat tenang.

Tersangka

"Kau berani membunuhku?"

Polisi itu bergetar ketika ditanya begitu. Tapi ia menegas lagi.

Polisi

"Berani."

Tersangka

"Dengan senang hati jika kau ingin membunuhku." (dengan wajah memelas pada polisi)

Polisi itu diam, ia menyimpan lagi pistolnya agar tak mengarah pada tersangka ini.

Polisi interogator itu berjalan ke polisi notulen, mereka berdua terlihat berbicang. Mereka berdua terlihat pergi keluar ruangan meninggalkan laki-laki itu sendirian.

Brak, pintu besi itu ditutup.

Tersangka terlihat menunduk di dalam ruang interogasi, ia terlihat biasa saja. Tak ada wajah menyesal ataupun takut. Ia biasa saja dan seakan bersiap menghadapi semuanya.

Pintu interogasi terbuka dan tiga orang masuk kedalam. Satu seorang polisi interogator, satu seorang polisi notulensi, dan satu seorang psikolog.

Polisi interogator berdiri disamping tersangka, sedang polisi notulen duduk lumayan jauh di sebuah kursi yang disiapkan.

Psikolog duduk didepan tersangka.

Psikolog itu diam, ia menghela nafas sebelum benar-benar bertanya.

Tersangka

"Kau ingin bertanya apakah aku membunuhnya?. Iya, aku membunuhnya" (dengan wajah sumringah)

Psikolog itu dengan tenang tersenyum.

Psikolog

"Terimakasih sudah menjawabnya. Saya akan menanyakan hal lain."

Tersangka

"Silahkan."

Psikolog ini memandangi laki-laki ini dari atas, ke bawah, dari atas, ke bawah. Terlihat tak ada tanda-tanda yang aneh dari dirinya.

Psikolog lalu membuka-buka kertas untuk melihat berkasnya.

Psikolog

"Bagaimana kabarmu?"

Tersangka

"Baik. Bagaimana kabarmu?"

Psikolog

"Baik juga. Terimakasih sudah bertanya."

Psikolog ini melihat polisi dan meminta persetujuan. Polisi yang berdiri disamping tersangka itu mengangguk dan pergi berjalan keluar ruangan.

Ngikk, (pintu terbuka) brakk, (pintu tertutup)

Psikolog

"Kemarin lusa, kau membunuh seseorang. Ada apa?"

Tersangka

"Tidak mengapa."

Psikolog

"Pasti ada hal yang membuatmu berani bertindak seperti itu."

Tersangka

"Tidak ada, itu hal yang biasa saja. Tidak perlu dilebih-lebihkan."

Psikolog

"Maksudnya?"

Tersangka

"Bukankah itu hal yang biasa."

Psikolog

"Apa?"

Tersangka

"Kematian."

Psikolog

"Bagaimana bisa?" (psikolog sangat terkejut dengan hal ini)

Tersangka

"Bukankah setiap hari kau mendengar kabar orang mati?" (katanya sambil mendongak tertawa didepan psikolog perempuan itu)

Psikolog itu diam. Ia tak ingin beranjak kedalam sana.

Psikolog

"Baik." (dengan nada gemetar) "Apa memang pandanganmu tentang kematian?"

Tersangka

"Itu hal lumrah."

Psikolog

"Kau tidak menyesalinya?"

Tersangka

"Menyesali apa?"

Psikolog

"Pembunuhan yang kau lakukan."

Tersangka

"Tidak. Semua sudah lewat."

Psikolog perempuan itu berulang kali membenarkan kacamatanya. Ia gugup, pertama kali ia menghadapi orang seperti ini. Ia bingung.

Wajah tersangka itu senang, dan terbebas dari apapun.

Psikolog itu mengangkat tangannya. Memberi tahu polisi interogator tadi untuk masuk.

Pintu terbuka, ngikk.. polisi itu menutup pintunya.

Polisi itu berjalan dan berdiri disamping tersangka.

Psikolog itu berdiri dan meminta polisi itu mengajaknya sebentar pergi ke meja notulensi. Mereka berbincang.

Psikolog

"Memang berapa orang yang dibunuhnya?"

Polisi Interogator

"Bukti sementara masih satu."

Psikolog

"Ini gila. Aku percaya dia membunuh lebih dari satu orang."

Polisi Interogator

"Iya. Itu perlu untuk digali lagi."

Psikolog itu kembali berjalan dan duduk di kursi. Sedang polisi melangkah berjalan disamping tersangka.

Psikolog itu menghirup nafas panjang, menghilangkan kegugupannya.

Tersangka itu tenang, sangat tenang. Tersenyum simpul seperti menyapa seorang lain. Tanpa ada raut meremehkan sedikitpun. Seperti seorang tak berdosa.

Psikolog itu membuka-buka kertas dan gugup.

Psikolog

"Bagaimana anda menjalani hari-hari?"

Tersangka

"Saya bekerja di kantor. Seperti biasa. Seperti ini." (sambil memandangi ruangan interogasi)

Psikolog

"Bidang apa anda bekerja"

Tersangka

"Saya seorang akuntan. Di salah satu kantor asuransi"

Psikolog

"Bagaimana anda menilai pekerjaan anda?"

Tersangka

"Biasa saja."

Psikolog

"Apa itu membuat anda stres?, merasa frustasi?"

Tersangka

"Tidak. Disana orangnya baik-baik. Apalagi bosku, dia orang baik. Dia sering membawakan kami makanan ketika di kantor."

Psikolog mencatat percakapannya dalam satu garis.

Psikolog

"Lalu bagaimana keluargamu?"

Tersangka

"Aku?"

Psikolog

"Iya."

Tersangka

"Biasa saja. Aku lahir dari anak seorang pegawai kereta api. Biasa saja. Tak ada yang aneh."

Psikolog

"Apakah ayah anda seorang yang buruk. Menurut anda?"

Tersangka

"Ayah saya?"

Psikolog

"Iya"

Tersangka

(menjawab dengan sangat tenang tanpa gerak gerik aneh sedikitpun) "Dia orang baik. Saat kecil, dia sering mengajakku lihat bola."

Psikolog

"Apakah ada pengalaman yang masih mengesankan sampai sekarang?"

Tersangka

"Ketika nonton bola. Tim yang kami dukung juara. Sudah."

Psikolog

"Apa yang terjadi setelah itu."

Tersangka

"Tidak ada apa-apa. Orang merayakannya. Biasa."

Psikolog ini menggaruk-garuk kepalanya.

Polisi interogator memandangi keduanya bingung. Polisi itu dengan tenang berjalan sendiri keluar, membuka pintunya dan menutupnya dari luar.

Psikolog

"Bagimana dengan ibumu?"

Tersangka

"Maksudnya?"

Psikolog

"Bagaimana orangnya?"

Tersangka

"Dia orang baik. Sama seperti ayahku. Dia juga orang baik."

Psikolog

"Kejadian apa yang masih membekas tentang ibu?"

Tersangka

"Dia sering membawakanku makanan ketika berangkat sekolah."

Psikolog

"Itu saja?"

Tersangka

"Iya."

Psikolog ini terlihat bingung. Wajahnya terlihat sangat-sangat bingung dan cemas. Ini bukan hal yang biasa.

Psikolog

"Kau benar membunuh orang kemarin?" (matanya menyorot wajah tenang tersangka)

Tersangka

"Iya" (dengan tetap tenang tanpa ada rasa gusar sedikitpun)

Psikolog

"Kenapa?"

Tersangka

"Tidak apa-apa."

Psikolog

"Pasti ada alasan kenapa"

Tersangka

"Tidak ada. Bukankah aku tadi sudah bilang. Itu hal biasa."

Psikolog

"Apakah pembunuhan hal biasa?"

Tersangka

"Jika kau bertanya begitu. Maka iya."

Psikolog

"Kenapa begitu?"

Tersangka

"Karena kembali. Itu hal yang lumrah."

Psikolog ini makin bingung dan rancu. Ia mencatat setiap jawaban yang ada tadi. Tangannya mengetuk-ngetuk pensil yang dipegangnya dan menggaruk-garuk kepalanya.

Psikolog

"Jadi begitukah pandanganmu terhadap kematian?"

Tersangka

"Iya. Bukankah begitu?"

Psikolog

"Tidak. Aku tidak percaya."

Tersangka

"Percaya atau tidak. Kau dan aku, pasti akan mengalaminya."

Psikolog itu diam. Ia memandangi wajah tenang tersangka tadi. Psikolog itu berdiri didepan tersangka. Membereskan catatannya sebentar, lalu duduk lagi.

Psikolog

"Ada satu lagi yang perlu kutanyakan padamu."

Tersangka

"Silahkan" (jawabnya tenang)

Psikolog

"Apa kau tidak kasihan?"

Tersangka

"Kasihan? Kepada siapa?"

Psikolog

"Kepada orang yang kau bunuh."

Tersangka

"Iya, kasihan." (jawabnya tenang sambil mengangguk-angguk)

Psikolog

"Kenapa kau kasihan?"

Tersangka

"Karena ia tak bisa menikmati dunia lagi."

Psikolog

"Tapi kenapa kau membunuhnya?"

Tersangka

"Karena ia pasti tidak perlu menderita lagi di dunia ini" (jawabnya tenang)

Psikolog itu melemas, ia gemetar didepan tersangka ini. Jawaban yang tak pernah ia duga keluar dari mulut pembunuh seperti ini.

Psikolog berdiri, lalu ia berjalan mendekati kaca yang dibaliknya polisi interogator tadi duduk.

Polisi interogator itu berdiri, membuka pintu dan memunculkan kepalanya di antara pintu.

Psikolog

"Tolong kalau bisa panggilkan kesini, professor saya."

Polisi

"Proffesor anda?"

Psikolog

"Iya." (sambil memberikan secarik kertas)

Polisi

"Iya" (menutup pintu dan berjalan keluar)

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar