2. Sekedar Bercerita
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Psikolog itu berdiri, membereskan berkas lalu duduk lagi memerbaiki posisi duduknya.

Psikolog itu menatap wajah tersangka cukup tajam.

Psikolog

"Kau tidak merasa bersalah?"

Tersangka

(Menjawab dengan tenang) "Iya"

Psikolog dibuat bingung dengan itu.

Psikolog

"Mengapa kau merasa bersalah?"

Tersangka

"Karena kita manusia. Terkadang benar terkadang salah."

Psikolog

"Bagaimana maksudmu? Jadi saat membunuh kau merasa salah?"

Tersangka

"Tidak juga. Tepatnya, aku merasa senang."

Psikolog

"Kenapa? karena kau bisa bebas dari tanggung jawabmu?"

Tersangka sedikit memicingkan matanya. Bingung

Tersangka

"Tanggung jawab?"

Psikolog

"Iya"

Tersangka

"Tanggung jawabku adalah membuatnya bahagia."

Psikolog

"Mengapa kau tidak membuatnya bahagia?"

Tersangka hanya diam.

Psikolog

"Kenapa?"

Tersangka

"Kau tahu apa bahagia itu?"

Psikolog

"Apa maksudmu?"

Tersangka

"Tidak, aku hanya ingin menanyaimu"

Psikolog

"Tahu. Apa memangnya?"

Tersangka

"Bahagia adalah tipuan. Kau tahu. Kita hidup dalam lingkungan statis."

Psikolog

"Apa maksudmu?"

Tersangka

"Tidak. Aku tidak ingin melanjutkannya." (jawabnya sambil menunduk)

Psikolog

"Kau merasa bersalah?"

Tersangka

"Jika kau membandingkan dunia hanya dari benar dan salah. Maka kau tidak lebih buruk dari seekor binatang."

Psikolog

"Jangan bermain-main denganku."

Tersangka

"Tidak ada yang bermain sekarang. Kau hanya bermain-main dengan dirimu sendiri."

Psikolog

"Cukup."

Psikolog itu berdiri, mendekati polisi notulensi. Ingin bicara, namun tidak jadi. Ia mondar-mandir bingung sambil membenarkan posisi rambutnya.

Psikolog itu duduk lagi dengan tenang. Tapi nafasnya masih tersengal.

Psikolog

"Kenapa kau tega melakukan pembunuhan?"

Tersangka

"Kenapa kau tanyakan ini padaku?"

Psikolog

"Karena kau tersangkanya."

Tersangka

"Ini tidak masuk akal." (Ia menunduk)

Psikolog

"Tidak mengapa. Mengakulah. Tak perlu takut"

Tersangka

"Bu, kenapa kau tidak tanya jenazahnya saja."

Psikolog

"Kau ingin melempar tanggung jawab"

Tersangka itu tersenyum.

Tersangka

"Kenapa kau sinis memandangiku."

Psikolog

"Karena kau itu orang buruk. Setan."

Tersangka hanya tertawa.

Psikolog

"Membunuh orang, apapun dasarmu, itu tidak dapat diterima."

Tersangka menggeleng-gelengkan kepalanya.

Psikolog itu berdiri lagi. Ia berjalan pergi ke meja polisi notulensi

Psikolog itu mengajak bicara polisi notula.

Psikolog

"Bagaimana catatan kriminal orang ini?"

Polisi Notula

"Baru kali ini, ia melakukan itu."

Psikolog

"Pembunuhan?"

Polisi

"Iya." (sambil membuka-buka catatan kriminalnya)

Psikolog

"Berarti yang tercatat baru satu?"

Polisi

"Iya"

Psikolog

"Ini orang psikopat. Ia dari tadi belak-belok ketika ditanya."

Polisi hanya mengangguk. Lalu Psikolog itu berjalan lagi ke meja interogasi.

Psikolog itu duduk, lalu menerapkan lagi pola drama baru.

Psikolog

"Bagaimana kabarmu?" (Ia menyodorkan tangannya)

Tersangka itu hanya tertawa

Tersangka

"Iya, aku sudah mengenalmu. Lagipula, tanganku diborgol sekarang. Maaf, aku tidak bisa menjabat tanganmu."

Psikolog itu menyimpan lagi tangannya. Lalu mendehem.

Psikolog

"Perkenalkan, saya psikolog kamu hari ini."

Tersangka tertawa.

Psikolog

"Anda kemarin mengakui melakukan pembunuhan. Apa itu benar?"

Tersangka itu tertawa.

Tersangka

"Saya masih yakin, dikepalamu masih terngiang apa tadi jawabanku."

Psikolog itu diam. Ia tetap mencoba untuk tenang.

Psikolog

"Anda tadi menjawab iya. Bisa diceritakan bagaimana?"

Tersangka itu menahan tawanya.

Tersangka

"Kau sudah membacanya di berita acara. Untuk apa kuceritakan lagi?."

Psikolog

"Tidak mengapa. Lebih baik anda bercerita."

Tersangka

"Daripada saya bercerita. Bolehkan saya bertanya pada anda?"

Psikolog itu gusar. Namun ia memerbolehkannya.

Psikolog

"Silahkan"

Tersangka

"Apakah anda menganggap saya sebagai setan?"

Psikolog

"Iya."

Tersangka

"Apakah saya boleh tahu mengapa?"

Psikolog

"Karena anda membunuh orang. Orang tak bersalah."

Tersangka

"Baiklah. Terimakasih jawabannya."

Psikolog itu bingung. Lalu ia melanjutkan lagi pertanyaannya.

Psikolog

"Apa perasaan yang anda rasakan ketika anda melakukan pembunuhan?"

Tersangka

"Sama sepertimu sekarang. Ada perasaan bersalah, ada perasaan senang, ada emosi nelangsa, ada emosi bahagia."

Psikolog

"Bagaimana itu?"

Tersangka

"Biasa saja. Cenderung senang."

Psikolog

"Apakah anda sebelumnya mengenal korban?"

Tersangka

"Tentu."

Psikolog

"Anda mengenalnya darimana?"

Tersangka

"Aku mengenalnya di pelacuran."

Psikolog

"Bagaimana ceritanya?."

Tersangka

"Aku hanya berkeliaran disana. Orang itu muncul."

Psikolog

"Apa yang membuatmu tertarik terhadapnya?"

Tersangka

"Karena dia kosong."

Psikolog

"Maksudnya?."

Tersangka

"Seperti anda sekarang. Kosong."

Psikolog itu lumayan kaget ketika mendengarnya.

Psikolog

"Apakah anda benar-benar mendengarkan saya sekarang."

Tersangka

"Iya."

Psikolog

"Apakah anda tahu latar belakang korban?"

Tersangka

"Tentu."

Psikolog

"Berapa lama anda mengenalnya memangnya?"

Tersangka

"Mungkin satu dua hari"

Psikolog itu terdiam.

Psikolog

"Lalu anda membunuhnya?"

Tersangka

"Iya. Aku tidak ada pilihan lain."

Psikolog

"Sudah berapa kali anda melakukan pembunuhan?"

Tersangka

"Baru kemarin saja."

Psikolog

"Tidak mungkin. Anda mungkin sudah membunuh puluhan orang."

Tersangka itu tersenyum.

Tersangka

"Apakah menurutmu aku begitu?"

Psikolog

"Iya."

Tersangka hanya tertawa.

Psikolog

"Apa kau membenarkannya?."

Tersangka

"Tidak tahu."

Psikolog

"Berarti?"

Tersangka

"Aku tidak tahu."

Psikolog

"Tidak mungkin. Anda mendapat kesenangan ketika membunuh."

Tersangka

"Iya."

Psikolog

"Lalu. Anda benar-benar membunuh hanya satu orang?"

Tersangka

"Jika engkau lebih memilih untuk memercayai dirimu sendiri daripada orang yang kau ajak bicara. Percakapan ini tidak ada gunanya."

Psikolog

"Tidak. Aku percaya bahwa dirimu telah membunuh banyak orang."

Tersangka

"Silahkan.

Psikolog

"Berarti kau sudah melakukan ratusan pembunuhan?

Tersangka

"Kalau anda mampu membuktikannya. Saya dengan senang hati menerimanya."

Psikolog

"Anda tidak mengelak?"

Tersangka

"Untuk apa?"

Psikolog

"Karena tidak mengelak. Itu salah satu tanda konfirmasi"

Tersangka itu tertawa.

Tersangka

"Silahkan." (dengan wajah santai dan tenang)

Psikolog itu sedikit senang diwajahnya. Ia menuliskan semua ucapan yang diucapkan tersangka dalam satu garis.

Psikolog

"Anda tidak menyesalinya?"

Tersangka

"Saya lebih menyesal jika saya tidak membunuhnya"

Psikolog

"Kenapa?"

Tersangka

"Karena itu hanya akan membuatnya menderita."

Psikolog

"Bagaimana maksudmu?"

Tersangka

"Ia sendiri yang meminta untuk dibunuh."

Psikolog itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

Psikolog

"Apakah anda sering berimajinasi?"

Tersangka

"Tidak juga. Mungkin sama seperti anda. Biasa saja."

Psikolog

"Apakah anda sering berimajinasi. Berfantasi sedang bercengkrama dengan orang lain?"

Tersangka

"Terkadang. Tapi itu sangat jarang. Normalnya manusia."

Psikolog

"Pernah?"

Tersangka

"Iya"

Psikolog mencatat itu dengan tegas. "Ia delusi bercengkrama dengan orang lain"

Psikolog itu membanding-bandingkan dengan jubelan kertas-kertas berita acara. Ia membandingkan dengan itu.

Psikolog menatap korban tajam. Korban menunduk karena kelelahan.

Psikolog

"Kau merasa bahwa perempuan itu meminta untuk kau bunuh?"

Tersangka

"Iya"

Psikolog

"Apakah saat itu sedang dalam keadaan sadar?"

Tersangka

"Iya, saya sadar"

Psikolog

"Anda pernah mabuk?"

Tersangka

"Tidak pernah."

Psikolog

"Narkoba?"

Tersangka

"Anda sudah tahu hasil urin saya."

Psikolog itu membuka hasil lembaran berita acara. Tertulis negatif.

Psikolog

"Sebelum itu, apa emosi yang anda rasakan?"

Tersangka

"Kasihan."

Psikolog

"Kalau kasihan, kenapa dibunuh?"

Tersangka

"Karena saya diminta."

Psikolog

"Saya yakin, itu hanya pikiran anda yang berkata ia minta untuk dibunuh."

Tersangka hanya diam.

Psikolog

"Karena dari apa yang anda katakan tadi, anda mengatakan bahwa anda merasa ada kesenangan ketika membunuh orang. Betul?"

Tersangka

"Betul."

Psikolog

"Bagaimana sensasinya?"

Tersangka

"Senang,"

Psikolog

"Puas?"

Tersangka

"Bisa juga."

Psikolog

"Anda benar-benar seorang psikopat."

Tersangka hanya diam.

Tersangka

"Silahkan buktikan saja. Saya dengan senang hati menerimanya."

Psikolog itu tersenyum. Ia seakan-akan tahu apa yang terjadi dengan ini.

Psikolog

"Tidak mengapa mengaku. Ini ajang untuk memerbaiki diri. Memerbaiki dirimu."

Tersangka itu tertawa namun tenang.

Psikolog itu terheran-heran. Namun ia sibuk menulis.

Tersangka

"Kau sedang terjebak dalam pusaran labirinmu sendiri"

Psikolog

(tidak mendengar suara tersangka karena menulis) "Bagaimana? Pengakuanmu, tak akan kutulis diberita acara."

Tersangka

"Apa yang kau perlukan dariku?"

Psikolog

"Hanya mengaku"

Tersangka

"Bukankah sudah?"

Psikolog

"Aku sudah berulang kali menangani orang sepertimu. Jangan main-main."

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar