3. Pukulan
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Psikolog itu berjalan keluar dengan wajah sinis.

Diluar jendela, terlihat polisi interogator menungguinya.

Psikolog itu berjalan pergi ke ruangan kecil disamping ruang interogasi. Dibawah lampu terang selasar.

Latar : Selasar

Psikolog bercengkrama dengan polisi. Selain polisi interogator, ada juga polisi intel berdiri disana.

Psikolog

"Apakah benar jika ia membunuh satu orang?"

Polisi Interogator

"Kita tidak ingin bergerak tanpa bukti. Hanya satu saja."

Polisi Intel

"Tapi dari saksi, rata-rata mereka berkata kalau di pelacuran sering terjadi pembunuhan."

Polisi Interogator

"Apa iya?"

Polisi Intel

"Iya."

Polisi Interogator menggaruk-garuk kepalanya.

Psikolog itu mencatat perkataan polisi intel tadi sambil berdiri.

Psikolog

"Tapi memang ia dari keluarga yang baik-baik?"

Polisi Intel

"Kata tetangganya, iya, ia orang baik."

Psikolog

(Ngedumel) "Baik darimana kalau setiap hari ke pelacuran"

Psikolog itu mencatat perkataan itu dalam satu rangkaian.

Psikolog

"Sudah terlihat cukup bukti yang dimiliki. Ia pasti terlibat dalam pembunuhan-pembunuhan sebelumnya."

Polisi Intel

"Tapi tak ada bukti. Visum-pun tak ada."

Polisi Interogator

"Ada. Kita buat dia membuktikannya."

Psikolog

"Apakah anda ingin melanjutkan interogasi?" (tanya kepada polisi interogator)

Polisi Interogator

"Iya."

Polisi Intel

"Ayo."

Mereka bertiga berjalan kedalam ruangan. Polisi intel menyalakan rokok dan mengebul-ngebulkan ruangan interogasi.

Pintu besi itu dibukanya dan mereka bertiga masuk kedalam ruangan.

Latar : Ruang interogasi

Psikolog itu duduk di depan tersangka dibawah lentera lampu yang redup.

Psikolog

"Ada yang ingin kau katakan?"

Tersangka

"Apakah aku boleh meminta minum?"

Psikolog

"Silahkan"

Polisi interogator itu mengguyurkan air botol ke mulut tersangka pelan-pelan. Setelah puas minum, polisi itu menaruh botolnya dimeja.

Psikolog

"Ada bukti banyak pembunuhan di pelacuran.

Psikolog membuka berkas-berkas yang dibawakan oleh Polisi Intel tadi.

"Disini tertulis, ada tiga kasus lain yang belum terungkap siapa pelakunya."

Tersangka menghembuskan nafasnya.

Psikolog

"Apakah ada keterlibatannya dengan anda?"

Tersangka

"Saya?"

Psikolog

"Iya"

Tersangka

"Berapa tadi?"

Psikolog

"Tiga"

Tersangka

"Saya yakin lebih."

Polisi intel dan Polisi interogator saling pandang. Namun psikolog itu meminta mereka untuk tetap tenang dengan tangannya.

Tersangka

"Karena aku tahu kejadiannya dengan mata dan kepalaku sendiri"

Psikolog itu terkejut dan marah.

Psikolog

"Bagaimana ceritanya?"

Tersangka

"Aku hanya bermain-main disana. Seseorang tiba-tiba menghabisi nyawa perempuan-perempuan itu dengan pisau di tangannya."

Psikolog

"Kau menceritakan dirimu sendiri?"

Tersangka

"Iya, aku menyaksikan itu."

Polisi Intel itu tanpa banyak bicara menonjok tersangka.

Brakk... Tersangka sempat tersungkur, tapi masih dapat duduk dikursi.

Polisi Intel

"Mengakulah. Berapa yang kau bunuh."

Tersangka

"Bukankah aku sudah mengaku?." (dengan wajah tenang dan senyum. Tapi nafasnya tersengal-sengal. Ia lumayan terkejut dengan pukulan tadi)

Polisi Intel

"Omong kosong!" (polisi intel menonjoknya lagi)

Psikolog

"Cukup. Kita lanjutkan."

Psikolog itu membuka-buka lagi kertasnya. Sedangkan tersangka sudah membercak darah di pipinya.

Polisi Interogator tiba-tiba mengeluarkan pistolnya. Hanya dikeluarkan saja.

Psikolog

"Kenapa anda tidak mengaku saja dari tadi?"

Tersangka

"Bukankah aku sudah banyak mengaku sedari tadi."

Psikolog

"Tidak. Kau hanya berkelit dan tidak berterus terang"

Tersangka

"Engkaulah yang berkelit dengan dirimu sendiri dan tidak menerima perkataanku."

Psikolog itu tertawa.

Tersangka

"Aku akan menjawab apapun yang kau tanyakan, sebisaku." (tersangka mulai frustasi dan berteriak. Tapi dengan itu ia mencoba untuk menenangkan diri lagi)

Psikolog

"Begitu?"

Tersangka mulai paham psikolog ini meremehkannya.

Tersangka itu tak menjawabnya.

Psikolog

"Bagaimana?"

Tersangka

"Kuyakin dikepalamu ada gambaran tentangku. Tulis saja daripada kau memaksaku"

Psikolog itu sedikit terkejut.

Psikolog

"Apa yang kau bicarakan?"

Tersangka

"Apapun yang kukatakan. Akan tidak berguna."

Psikolog

"Tidak, itu tidak benar."

Tersangka

"Tidak perlu berbohong." (tersangka mulai frustasi)

Psikolog itu senang mendengarnya. Ia tertawa bahagia karena tersangka frustasi.

Psikolog

"Tidak mengapa. Mengakulah."

Tersangka

"Apa yang ingin kuakui?"

Psikolog

"Akuilah. Kau membunuh banyak orang"

Tersangka

"Apakah dikepalamu aku seorang pembunuh berantai?"

Psikolog

"Iya. Aku sudah paham permainan seperti ini."

Tersangka

"Bodoh."

Tersangka mulai berang. Tapi polisi interogator itu tiba-tiba menempelkan ujung pistolnya di pelipis tersangka.

Polisi interogator

"Tenanglah. Jawab pertanyaan itu."

Tersangka itu tersenyum.

Tersangka

"Kau ingin membunuhku?" (tanya tersangka pada polisi)

Polisi Interogator

"Tidak. Ini hanya hiasan."

Tersangka

"Bunuhlah aku polisi. Agar kau tahu rasanya duduk disini." (jawabnya sangat tenang)

Psikolog

"Tidak perlu berlama-lama. Sebutkan siapa saja yang kau bunuh. Bagaimana ceritanya."

Tersangka

"Lebih baik kau tulis sendiri dari apa yang ada dikepalamu" (tersangka tenang, tetap dengan tempelan pistol di pelipisnya)

Psikolog tersenyum

Psikolog

"Itu tidak jujur. Berterus teranglah."

Tersangka

"Silahkan. Aku dengan senang hati jika kau ceritakan tentangku. Aku yakin dikepalamu benar."

Psikolog

"Tidak. Aku bukan pengarang yang baik."

Tersangka

"Lalu kenapa kau tidak tulis pengakuanku sedari tadi?"

Psikolog

"Karena aku tahu dirimu membunuh lebih dari satu."

Tersangka

"Tulislah!" (teriaknya. Tersangka mulai frustasi)

Polisi interogator itu melepaskan pukulan dengan pistolnya kewajah tersangka.

Polisi interogator

"Tenanglah"

Tersangka

"Pikiranmulah yang tidak tenang" (katanya pada polisi)

Polisi Interogator

"Apa katamu?"

Tersangka

"Kaupikir aku akan patuh kepadamu hanya dengan pukulan-pukulan ini?"

Polisi Interogator dan Polisi intel hanya diam.

Tersangka

"Yang ada aku malah melihat ketakutan dimata kalian semua"

Polisi intel melemparkan lagi pukulannya di wajah tersangka.

Psikolog

"Cukup. Ini malah akan menambah masalah."

Tersangka bernafas berat dan cukup sengal.

Tersangka

"Aku tahu, kepalaku akan kalian jadikan pijakan. Berbahagialah. Langkah haru diatas kepala orang lain."

Psikolog itu tak menggubrisnya.

Tersangka

"Ingatlah. Reputasi kalian, tak lebih dari sekedar asap. Palsu, semu, dan

menghilang."

Psikolog itu diam dan tertawa.

Psikolog

"Kami tidak ingin berlama-lama disini. Mengakulah."

Tersangka

"Mengakui demi reputasimu?"

Psikolog

"Mengakulah."

Tersangka

"Baik. Catat ini baik-baik. Dikertas dan dikepalamu. Kepala kalian semua."

Psikolog

"Iya."

Tersangka

"Aku membunuh banyak orang." (ejanya pelan)

Polisi intel tak banyak bicara, ia menyulut rokoknya dan menempelkannya di lengan tersangka.

Tersangka

"Kau pikir aku takut" (sambil menahan perih disulut rokok)

Polisi intel itu terus menancapkannya hingga rokok itu mati apinya.

Tersangka

"Aku tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi kalian."

Psikolog

"Tidak perlu. Yang kau perlukan hanya mengaku."

Tersangka

"Apa?"

Psikolog

"Tidak perlu mengelak. Semua bukti sudah mengarah padamu."

Tersangka dengan tenang menghela nafasnya. Ia seketika berubah menjadi orang tenang, seperti meditasi.

Tersangka

"Ibu Psikolog."

Psikolog

"Iya."

Tersangka

"Apa kau pernah membaca filsafat orang-orang semenanjung?."

Psikolog

"Tidak pernah."

Tersangka

"Ada dua orang bertemu. Namun mereka tidak bertemu."

Psikolog

"Kenapa?"

Tersangka

"Karena mereka tidak bertemu."

Psikolog itu gusar mendengarnya.

Tersangka

"Seperti kita, kita tidak sedang bertemu sekarang."

Psikolog itu diam.

Tersangka

"Pukulilah aku hingga aku tak bisa bicara lagi. Kau hanya akan melempar papan namaku esok hari."

Polisi interogator itu saling pandang dengan polisi intel.

Tersangka

"Karena sekarang. Kau hanya menemui dirimu sendiri."

Psikolog

"Anda terlalu berbelit-belit menjelaskannya."

Tersangka itu tetap tenang melihati psikolog ini.

Psikolog itu mengeja dariapa yang ditulisnya di catatan kecilnya.

Psikolog

"Anda sudah melakukan pembunuhan. Anda sangat narsis dan menyukai pembunuhan. Anda tidak melihat adanya tragedi dalam kematian. Anda juga memiliki delusi, beberapa kali bertemu orang lain dan bercakap-cakap sendiri. Anda memiliki persona orang ketiga. Dan anda pintar."

Psikolog itu membolak-balik kertas.

Psikolog

"Karena anda pintar. Anda pasti tahu machiavelis. Apa anda memiliki sifat itu?"

Tersangka hanya tertawa.

Tersangka

"Berprasangka terhadap orang atas sesuatu. Adalah tanda bahwa anda juga memilikinya. Itu ada dalam dirimu. Jauh didalam dirimu."

Psikolog tertegun.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar