CEO Bucin (Draft 1)
2. ACT I - SETUP (Part 01)

ACT I — SETUP

 

FADE IN.


01. INT. RUANG RAPAT MEWAH – SIANG

Sebuah ruang rapat super modern: kaca bening, meja kayu mahal, layar 8K memanjang di dinding. Semuanya sempurna — terlalu sempurna.


ARKA MAHESWARA (30-an, tajam, rapi, wibawa CEO yang sudah dilatih sejak lahir) berdiri di depan layar presentasi. Slide di belakangnya menampilkan grafik pertumbuhan perusahaan yang tidak masuk akal bagusnya.


Arka menatap ruang itu lama. Diam. Seolah sedang bicara dengan udara. Tenang, bosan pada hidup, ke dirinya . . . tapi juga kayak ke penonton.

 

ARKA

(TENANG TAPI JUTEK)

Sekarang kita masuk bab satu film ini.
Bab di mana aku harus jadi CEO ideal.
Karena Tuhan, penulis, atau siapa pun itu . . . lagi naroh aku di role ini.


Slide di layar berganti sendiri. Tidak ada yang menyentuh remote.


NARATOR (V.O.)

(SINIS, USIL)

Ciee . . . ciee . . . ciee.
Belum apa-apa sudah mulai ngeluh.


Arka memejamkan mata. Pasrah.

 

ARKA

(TO NARATOR. KESAL)

Gue belum manggil elo!


NARATOR (V.O.)

Aku akan selalu muncul . . . kalau rating emosimu naik, Raka.
Film kita baru running 3 menitan, tapi emosi kamu langsung nge-gas gitu.


Arka menghela napas panjang - napas orang yang tahu hidupnya ditulis oleh orang iseng.


Pintu ruang rapat terbuka. Masuklah DANU PRADIPTA (akhir 20-an), CFO paling deadpan se-Indonesia, membawa tablet dan ekspresi “aku capek hidup”.

 

DANU

Itu slide yang barusan . . . ganti sendiri lagi?


Arka menatap layar tajam.

 

ARKA

Iya.
Dan jangan bilang ini glitch system.
Kita berdua tahu ini bukan kesalahan komputer.

 

DANU

(DEADPAN)

Iya.
Ini dunia . . . semesta film ini . . . kayaknya lagi PMS.


Arka mau bicara - tapi semua lampu di ruang rapat ngedip dua kali.

 

NARATOR (V.O.)

(JAHIL)

Ooops . . . sorry, sorry!
Itu aku.
Lagi ngetes ambience.


Arka menatap langit-langit seperti menatap CCTV metafisik.

 

ARKA

Elo kalau mau gangguin kami, minimal . . . bilang-bilang dulu kek.

 

NARATOR (V.O.)

Enggak seru kalau izin dulu, Ka.


Danu duduk, menekan pelipis.

 

DANU

Hadeeeh! Ini baru scene satu.
Tapi gue udah tau arc Arka bakal kacau.
Tolong, dunia . . . pelan-pelan dong masukin dia.


Arka menatap grafik di layar lagi - lalu tatapannya memudar sedikit, seperti fokusnya tertarik ke jauh.


ARKA

Eh, Nu. Elo pernah ngerasa nggak . . . ada sesuatu nunggu elo di tempat, yang bahkan elo sendiri nggak kenal dengan tempat itu?


Danu mendongak pelan. Dia heran karena nada Arka berubah — ini jarang.


DANU

Maksud elo, Ka?


Arka tidak menjawab. Mata CEO yang biasanya setajam laser kini tampak . . . kosong tapi terarah.


Slide di layar tiba-tiba bergeser ke foto desa pesisir plus tulisan BALIKPAPAN lumayan gede. Padahal file itu tidak ada di komputer.


Danu langsung berdiri.

 

DANU

Oke . . .
itu mah bukan glitch lagi namanya.
Itu sih . . . foreshadowing murahan.

 

NARATOR (V.O.)

Ehemm . . . Kamu salah, Danu.
Itu namanya romance setup.
Supaya penonton ngerti ke arah mana cerita kalian.


Arka menatap foto itu lama. Lalu berbisik:

 

ARKA

Kenapa tempat itu . . . kayak manggil-manggil gue?


Danu menatap layar. Menghela napas.

 

DANU

Ka . . . kayaknya . . .
ini awalannya deh.


Arka menoleh perlahan.

 

ARKA

Awalan apaan sih?


DANU

Masa lo nggak ngerti?

(BEAT)

Ini bab awal yang bakal bikin lo bucin, sesuai judul fim ini.


Lampu ngeblink.


Slide berubah jadi tulisan: CHAPTER 1: SEBELUM CINTA MASUK


Arka memijat-mijat batang hidungnya.


ARKA

Narator . . . elo emang bener-bener keterlaluan ye . . .


NARATOR (V.O.)

(RIANG)

Selamat datang di cerita elo, Ka.
Simpan baik-baik identitas CEO-mu.
Karena bentar lagi bakal hilang.


Arka terdiam.

CUT TO:


02. EXT. DESA PESISIR – PAGI

Tenang. Riil. Sunyi yang enak. Rumah panggung. Air memantulkan cahaya pagi.


LIRA WULANDARI (20-an, sederhana tapi auranya “aneh-enak”) sedang menyapu halaman papan dengan gerakan praktis - orang yang hidupnya jauh dari drama.


Tapi dunia di sekitarnya . . . nggak bisa bohong. PAPAN tempatnya berdiri getar sepersekian detik. Air di bawah rumah ngebentuk pusaran kecil tanpa angin.


Lira berhenti. Mata sempit, menyadari lagi-lagi ada “lag” kecil di realitanya.

 

LIRA

(NGOMONG KE UDARA)

Masih pagi woy?!
Awak jangan mulai aneh-aneh gitu.
Nyawa mau ngemas rumah ja . . .
bukan mo berubah jadi MCU.
(Ini masih pagi ya?!
Kamu jangan mulai yang aneh-aneh gitu.
Aku mau bersih-bersih rumah,
bukan mau jadi MCU.)


Realita diam. Seolah malu ketahuan.


IBU LIRA (50-an, lembut, tajam, intuisi tinggi) muncul sambil membawa cucian basah yang siap dijemur.


IBU LIRA

Ngan siapa kau bercarangan tu, Nak?
(Kamu ngomong sama siapa, Nak?)

 

LIRA

Sama dunia, Mèk.
Dia nge-lag lagi.


Ibu Lira hanya menghela napas - bukan kaget. Sudah sering.


Lira lanjut menyapu, tapi sekali lagi papan bergoyang halus, lalu seperti menyesuaikan ritme langkahnya. Lira mencemberut.

 

LIRA

Eh . . . eh . . . nyawa bilang,
awak jangan manja bah.
(Eh . . . eh . . . Aku bilang,
kamu jangan manja yah.)


NARATOR (V.O.)

(MUNCUL TIBA-TIBA, GELI)

Dia nggak manja, Lira.
Dia cuma excited karena bab kamu mau mulai.


Lira melotot ke udara.

 

LIRA

Bisa ndik . . . sehari ja nyawa jadi orang biasa?
(Bisa nggak . . . satu hari aja aku jadi tokoh biasa?)

 

NARATOR (V.O.)

Nggak bisa.
Rating kamu tinggi.
Kamu lagi di-setup buat peran utama wanita.


Ibu Lira menggeleng.

 

IBU LIRA

Sudah, sudah . . .
Jangan awak lawan barang halus yang inda mampu awak sapu hilang, Nak.
(Sudah, sudah.
Jangan dilawan hal-hal yang nggak bisa kamu sapu bersih.)


Lira menghela napas. Terima. Tapi jelas kesal. Ia mendongak ke langit yang terlalu cerah, terlalu sinematik.

 

LIRA

(KE DUNIA)

Apa lagi sih . . yang awak mo sodorkan hari ni bah?
(Apa lagi sih . . . yang mau kamu sodorin hari ini?)


Angin lewat — hangat. Di langit, sekejap awan menulis: “Dia lagi OTW.”


Lira mengerutkan kening.

CUT TO:


03. INT. KANTOR PUSAT – RUANG KERJA ARKA – SIANG

Ruang kerja Arka rapi seperti UI aplikasi premium - simetris, bersih, tidak ada yang keluar tempat.


Arka duduk menatap monitor. Harusnya fokus pada laporan. Tapi matanya berat—bukan ngantuk, tapi seperti ditarik keluar dari sini.


Layar monitor tiba-tiba nge-freeze. Bukan rusak, tapi seperti “mikir”.


DANU (O.S.)

Bos?! Lo bengong selama lima menitan lho.
Kalau itu meditasi, itu versinya bugged.


Danu masuk sambil membawa dua gelas kopi, wajah lelah standar CFO yang kerjaannya lebih banyak nyelametin bos sendiri daripada perusahaan.


Arka tidak menjawab. Focusnya ke layar. Di monitor, spreadsheet tiba-tiba nge-glitch . . . cell berubah sendiri jadi tulisan: KE SANA.


Danu langsung mundur satu langkah.

 

 

DANU

NOPE.
No, no, no.
Ini nggak normal lagi.


Arka menyipitkan mata.

 

ARKA

Komputer gue bisa ngetik sendiri, Nu.

 

NARATOR (V.O.)

(LENGKING KECIL, SENGAJA DRAMA)

Bisa dong.
Khan emang ceritanya . . . kamu harus cepet pergi.


Danu melempar pandangan ke langit-langit. Capek. Pasrah. Benci tapi harus nerusin hidup.

 

DANU

(TO NARATOR)

Bisa nggak, elo . . . minimal kasih jeda sehari kek?!
Ini baru scene tiga.
Boss gue nongolnya juga baru 2 scene.

 

NARATOR (V.O.)

Scene tiga ini justru penting, Nu.
Scene inilah yang narik dia ke plot utama.


Arka berdiri perlahan. Tatapannya mantap tapi kosong—seperti orang yang sudah memutuskan sesuatu sebelum kepalanya sendiri sempat mikir.


Ia menyentuh layar. Begitu jarinya menyentuh tulisan “KE SANA” - layar langsung normal lagi.

Sunyi.

 

ARKA

(LOW, SEPERTI NGOMONG KE DIRINYA)

Kenapa gue ngerasa . . . tempat itu nunggu gue?


Danu memijat pelipis.

 

DANU

Karena dunia ini punya hobi baru: nge-prank elo.


Arka mengambil jasnya. Sudah diputuskan.

 

ARKA

Kita harus ke Balikpapan.


Danu berhenti. Mati gaya.

 

DANU

Hari ini?!
Bos . . . kita punya meeting besar tiga jam lagi!


ARKA

Meeting bisa diundur.
Yang ini . . . nggak bisa.


Lampu kantor redup sepersekian detik - seolah dunia mengangguk, berkata: “Betul. Jalan.”


Danu menatap lampu itu tajam.

 

DANU

(KE LANGIT-LANGIT)

Elo jangan ikut-ikutan nyuruh ye?!


NARATOR (V.O.)

(SANTAI)

Aku cuma kasih ambience aja, Nu.


Arka sudah menuju pintu.

 

ARKA

Gue mau booking tiket.
Dan elo harus ikut.


Danu tidak punya pilihan.

 

DANU

(GAYA KORBAN SINETRON LEVEL PREMIUM)

Ya Tuhan . . . babak cinta elo dimulai.
Tapi kenapa gue ikut kena imbasnya?


Arka menoleh sebentar. Tatapannya jelas:

 

ARKA

Karena elo sahabat gue.
Dan gue butuh elo.


Danu terdiam. Menghela napas panjang. Tidak bisa menolak.

DANU

Oke. Oke.
Tapi gue sumpah - kalau dunia nge-lag pas kita take-off, gue minta ganti rugi emosional ke penulis skenarionya.


Arka tersenyum tipis.

CUT TO:


04. EXT. DESA PESISIR – BELAKANG RUMAH LIRA – SIANG

Lira mencuci peralatan makan di pinggir teras belakang rumah panggungnya.


Air di bawah rumah bergerak tenang, riak kecil memantul di tiang-tiang rumah.


Semuanya normal . . . sampai mangkuk di tangannya bergeser sendiri sedikit, seperti “diambil angin”.


Lira berhenti. Memandang mangkuk itu dengan tatapan: “serius lo?”


LIRA

(KE MANGKUK, FRUSTRASI HALUS)

Serius?!
Awak jangan ikut-ikut lah.
(Serius?!
Kamu jangan ikut-ikutan ya.)


Mangkuk diam.


Tapi air di bawah rumah berputar kecil. Seolah mau bilang: “Maaf, reflek.”


Lira menatap ke horizon laut. Mata teduh, tapi seperti mencari sesuatu yang belum kelihatan wujudnya.


LIRA

(BISIK, JUJUR)

Kenapa rasa . . . macam ada yang mo datang, bah?
(Kenapa rasanya . . . kayak ada yang mau datang?)


Tirai dapur bergerak sedikit. IBU LIRA memperhatikan.

 

IBU LIRA

Kau rasa itu datang lagi kah, Nak?
(Kamu merasakan hal yang sama lagi, Nak?)


Lira menatap air. Angin menggerakkan rambutnya pelan.

 

 

LIRA

Iya, Mèk.
Sekarang malah lebih jelas bah.
Macam ada garis dari jauh . . . narik aku pelan-pelan.
(Iya, Bu.
Dan sekarang . . . lebih jelas.
Kayak ada garis dari jauh . . . yang narik aku.)


Ibu Lira tidak kaget. Hanya mengangguk pelan.

 

IBU LIRA

Kalau benar ada yang datang tu . . . biar ja ia sampai, Nak.
Jangan kau tahan - yang halus - halusan itu kadang datang dengan maksud baik.
(Kalau benar ada yang datang . . . biarkan saja dia sampai.
Jangan kamu tahan – (makhluk) halus itu kadang datang dengan maksud baik.)


Lira menoleh. Sedikit tegang.

 

LIRA

Kalo aku inda siap?
(Kalau aku nggak siap?)


Ibu Lira tersenyum kecil. Senyum orang yang sudah tahu bab berikutnya.


 

IBU LIRA

Ndik da orang yang betul-betul siap masuk babak dua itu, Nak.
(Tidak ada tokoh yang benar-benar siap masuk babak dua, Nak.)


Lira mengerut kening.

 

LIRA

Babak dua?!
Babak dua apaan sih, Mèk?
(Babak dua?!
Babak dua apaan sih, Bu?


NARATOR (V.O.)

(RIANG, BOCOR)

Yang bentar lagi kamu masukin.


Lira memutar bola mata. Kesal ke narator yang sok tahu.

CUT TO:


Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)