Berbagi Ranjang
8. Perjanjian Kita
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

31.INT. KANTOR - RUANGAN PUTRA. DAY

Esok harinya. Afsari berdiri di depan meja kerja Putra. Sedangkan Putra duduk di kursinya.

PUTRA

Perjanjian pranikah ini disusun Ayahku. Dia memang membuatku tidak bisa berpura-pura menikah.

Afsari memandang sehelai kertas yang disodorkan Putra. Dia ragu untuk meraihnya.

PUTRA

Kamu harus tahu, kalau kita memang benar-benar menikah. Kita tidak kawin kontrak dan jangan sampai ada perceraian. Kamu pasti sudah tahu, kan?

Afsari mengangguk.

PUTRA

(memegang kertas)

Kamu juga bisa lihat, kan. Perjanjian itu banyak menguntungkan pihak wanita.

Putra menghela napasnya.

PUTRA

(membaca)

Lihat. Poin 4. Bila ada pihak ketiga dalam pernikahan, maka harus bayar 1 juta dollar bagi pengkhianat. Gila, kan?

Putra menggeleng-gelengkan kepala.

AFSA

Iya. Saya sudah membacanya. Apa ini benar-benar serius?

PUTRA

(tersenyum pahit)

Seperti inilah ayahku. Mereka tidak pernah mempercayaiku. Mereka selalu ingin menjatuhkanku.

Afsari menatap Putra. Putra pun menyimpan kertas itu dan menyodorkan kertas lainnya.

PUTRA

Dan ini untuk kesepakatan kita.

Mata Afsa beralih ke kertas yang disodorkan Putra.

PUTRA (CONT'D)

Hanya boleh kita yang tahu.

Afsa meraih kertas itu.

AFSA

(membaca)

Tidak berbagi... ranjang?

Afsa memandangi Putra dan Putra mengangguk.

AFSA (CONT'D)

Maksudnya?

PUTRA

Ya... aku tidak bisa tidur bersamamu... (berdeham) I mean... bersama oranglain, aku cuma ingin tidur sendirian.

Putra menatap Afsa yang terlihat mengerutkan keningnya.

PUTRA

Kamu ngerti, kan?

AFSA

(menghela napas)

Saya nggak ngerti. Tapi... persyaratan dari saya pun memang tidak mau ada kontak fisik di antara kita.

PUTRA

Oke.

Afsari terkejut dengan cepatnya Putra menyetujui persyaratan yang diajukannya.

PUTRA (CONT'D)

Kamu pelajari saja pelan-pelan.

Putra kembali sibuk pekerjaannya.

PUTRA (CONT'D)

Oia, kamu bisa berhenti bekerja. Rasanya aneh kalau kamu masih bekerja di sini. Bagaimana?

Afsa terlihat kebingungan, hanya terdiam. Dia termenung dan banyak menghela napas. Putra pun berdiri dari duduknya dan menghampiri Afsa.

PUTRA (CONT'D)

(berdiri di hadapan Afsa)

Kenapa?

AFSA

(menggeleng)

Aku hanya...

PUTRA

Aku tahu ini tidak mudah... tapi...meskipun kita menikah, kamu tetap bebas pergi kapan saja.

Afsari menatap Putra heran.

PUTRA (CONT'D)

Aku tidak akan mengikatmu. Kamu tetap menjadi pribadi yang bebas. Jika kamu akhirnya menemukan seseorang yang ingin sungguh kau nikahi... silahkan...

AFSA

Tapi... perjanjiannya?

PUTRA

Tidak penting. Setidaknya perjanjian ini hanya bukti bahwa aku menerima permainan dari Ayahku... Aku akan bertanggungjawab penuh atas semuanya jika terjadi sesuatu.

Mata Afsari berkaca-kaca.

PUTRA (CONT'D)

Kamu nggak usah kuatir.

Afsa pun mengangguk sambil menangis.

CUT TO

32.INT. RUMAH AFSA. DAY

Ayah dan Ibu Afsa terlihat sibuk merapikan dandanan mereka.

AFSA

Ayo, Mah, Yah. Udah beres belum?

AYAH AFSA

Sabar. Ayah masih pilih dasi ini.

AFSA

Padahal nggak usah pake dasi, Yah. Emangnya mau ngelamar kerja?

AYAH AFSA

Tapi kan, kita mau ketemu sama calon mertuamu. Ya, harus rapi dong. Apalagi dia bukan orang biasa.

IBU AFSA

Iya. Duh, Mamah jadi deg-degan.

Afsa hanya menghela napasnya. Terdengar suara klakson mobil.

AFSA

Tuh, mobil jemputan udah dateng. Ayo.

Afsa melangkah keluar rumah. Dia mengintip di balik jendela. Terlihat mobil hitam dengan supir yang menunggu. Ibu dan ayah Afsa pun menghampiri Afsa.

IBU AFSA

Yuk.

Mereka melangkah keluar rumah.

CUT TO

33.EXT. HALAMAN RUMAH PAK NANDA. DAY

Supir membukakan pintu Afsa, ayah, dan ibunya. Terlihat rumah besar. Mereka disambut oleh pelayan.

PELAYAN

Silahkan masuk, Nona. Tuan Nanda menunggu di dalam.

Afsa tersenyum dan mengangguk. Dia pun melangkah masuk ke dalam rumah besar itu.

CUT TO

34.INT. RUMAH PAK NANDA. DAY

Terlihat Pak Nanda dengan baju casual menyambut Afsa dan keluarga.

PAK NANDA

Wah, akhirnya datang juga. Selamat datang.

Pak Nanda menghampiri dengan tersenyum lebar. Terlihat Ayah Afsa kikuk dan membenarkan dasinya.

PAK NANDA

Wah, sampai rapi begini.

Pak Nanda merangkul ayah Afsa.

PAK NANDA (CONT'D)

Ayo, ayo. Masuk.

Pak Nanda pun melangkah menuju ruang tamu.

PAK NANDA (CONT'D)

Silahkan duduk.

Mereka pun duduk di kursi yang tersedia.

PAK NANDA (CONT'D)

Jadi ini calon mantu saya, ya?

Pak Nanda mengawasi Afsa.

PAK NANDA (CONT'D)

Anak saya memang hebat ya. Nggak hanya sukses bangun perusahaan, tapi juga hebat cari calon istri.

Pak Nanda tertawa.

AYAH AFSA

Nak Putranya mana, Pak?

PAK NANDA

Oh, dia tidak bisa datang. Biasalah, sibuk dia.

AYAH AFSA

Oh, begitu.

PAK NANDA

(sedih)

Padahal saya juga udah lama nggak makan sama dia. (menghela napas)

Afsa dan keluarganya ikut bersedih.

AYAH AFSA

Jadi, Nak Putra tidak tinggal bersama Bapak?

Pak Nanda menggeleng.

PAK NANDA

Sejak kematian ibunya. Dia meninggalkan saya dan tinggal sendiri di apartemen. Sepertinya dia tida bisa tinggal di rumah yang penuh kenangan dengan ibunya.

AYAH AFSA

Ya. Pasti berat.

PAK NANDA

Putra adalah anakku satu-satunya. Tapi kami tidak dekat. Hal itu membuat saya kadang kesepian. Di usia yang sudah tua ini, rasanya ingin ada yang menemani.

Afsa dan keluarga memperhatikan Pak Nanda.

PAK NANDA (CONT'D)

Makanya, aku ingin dia menikah agar memberiku mantu dan cucu.

Pak Nanda tertawa kaku. Diikuti oleh ayah dan ibu Afsa.

AYAH AFSA

Pak Putra begitu hebat. Anda pasti bangga sebagai ayahnya.

PAK NANDA

(mengangguk)

Benar. Saya sangat bangga dengannya. Dia harapan saya.

AYAH AFSA

Saya juga bangga dengan anakku.

AFSA

Ah, Ayah... apa yang dibanggain? Emangnya aku bangun perusahaan juga? (tertawa kaku)

AYAH AFSA

Ya... meski kamu nggak bangun perusahaan, tapi Ayah tetap bersyukur memiliki anak seperti kamu.

Ayah tersenyum dan dibalas Afsa. Pak Nanda memperhatikan mereka.

PAK NANDA

Saya iri kepada kedekatan kalian. Saya dan Putra tidak sedekat itu atau bahkan... dia membenci saya.

Pak Nanda tertawa kaku, tapi Afsa dan keluarga diam saja.

PAK NANDA (CONT'D)

Ayo. Ayo. Bagaimana kalau kita lanjut ke acara makan saja.

Afsa dan keluarga mengangguk dan melangkah mengikuti Pak Nanda ke ruang makan. Langkah Afsa berhenti melihat foto besar di tengah ruangan. Putra kecil, ibunya, dan Pak Nanda yang tersenyum bahagia.

AFSA(V.O)

Aku kira menjadi anak tunggal itu enak. Tapi... ternyata berat ya, Pak? Seakan beban berat ada dipundak kita.

Afsa pun kembali melangkah.

AFSA (V.O)

Setelah kematian Kakak, kini aku menjadi satu-satunya harapan orangtuaku.

Telrihat Afsa melihat orang tuanya yang tertawa bahagia.

AFSA (V.O)

Semoga, aku pun bisa membuat bangga orang tuaku, seperti Pak Putra.

CUT TO

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar