ARUNIKA HOSPICE
11. Scene 93 - 107
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

93. EXT. RUMAH HASBI – TERAS – SIANG

Andini mengantar Hasbi yang hendak kembali ke hospice.

HASBI

Hasbi pergi dulu, Bu!

ANDINI

Iya, hati-hati di jalan!

Hasbi hendak melangkah keluar gerbang, tapi ia kembali lagi mendekati Andini.

HASBI

Bu ... Hasbi minta maaf untuk ucapan Hasbi tadi malam. Hasbi udah bikin Ibu nangis.

ANDINI

Nggak apa-apa. Ibu justru lega karena akhirnya kamu mengungkapkan isi hati kamu.

(jeda)

Ibu nangis karena ibu juga memikirkan perkataan kamu. Ibu juga sering bertanya pada diri sendiri, kenapa ibu masih bertahan meskipun bapak sudah tidak mencintai ibu.

HASBI

(menggenggam erat tangan Andini)

Apa pun keputusan Ibu, Hasbi akan dukung. Hasbi cuma ingin Ibu bahagia. Dan Hasbi akan selalu ada di sisi Ibu.

Andini mengangguk dengan mata berkaca-kaca.

CUT TO:

94. EXT. HALAMAN DEPAN HOSPICE – SIANG

Hasbi baru saja tiba di Arunika Hospice. Dari gerbang masuk, Hasbi melihat dr.Adyan sedang berbincang dengan Nassar.

Setelah Nassar pergi, Hasbi menghampiri dr.Adyan. Raut wajah dr.Adyan tampak cemas.

HASBI

Tadi itu siapa, Om?

DR.ADYAN

Dia Nassar, anaknya mendiang Pak Faisal, pemilik hospice.

HASBI

Oh. Ada urusan apa dia ke sini, Om? Kok wajah Om kayak nggak seneng gitu?

DR.ADYAN

(menghela napas panjang)

Dia mau menutup hospice.

HASBI

(terkejut)

Apa? Ditutup? Kenapa ditutup, Om?

DR.ADYAN

Dia sedang diambang kebangkrutan. Katanya dia butuh modal tambahan untuk usahanya. Jadi, dia mau jual semua lahan hospice ini.

HASBI

Terus ... gimana dengan para arunika, Om? Mereka sudah menganggap tempat ini seperti rumah mereka.

DR.ADYAN

Om juga nggak tahu. Om kan cuma pengelola. Om juga nggak punya uang sebanyak itu untuk membeli lahan ini. Om nggak punya hak apa pun untuk mempertahankan tempat ini.

CUT TO:

95. INT. KAMAR RELAWAN – MALAM

Hasbi merenung sendirian di kamar relawan.

HASBI

(menghela napas panjang)

Kenapa berita buruk datang bertubi-tubi?

Hasbi lalu merebahkan diri di ranjang dan menutup matanya.

CUT TO:

FADE IN:

96. INT. KAMAR PERAWATAN ALIN – SIANG

Alin tampak sudah duduk di ranjangnya, dan sedang menatap keluar jendela.

Hasbi masuk ke kamar Alin dan duduk di sampingnya.

ALIN

Jadi kamu udah tahu?

HASBI

(mengangguk)

Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu sakit?

ALIN

Kamu udah tahu alasannya, kan.

HASBI

Kamu nggak mau dikasihani.

(jeda)

Kamu kadang menghilang tiba-tiba, apa saat itu kamu lagi merasakan sakit?

START OF MONTAGE:

97. FLASHBACK 48: Saat mendengar penjelasan Hasbi, Alin tiba-tiba merasakan sakit perut. Ia buru-buru meninggalkan ruang cuci, dan meringis kesakitan di luar ruang cuci.

98. FLASHBACK 52: Saat sedang menggambar sembari mendengarkan Hasbi berbicara, Alin meringis menahan sakit. Saat Hasbi pergi, Alin tampak menutupi mulutnya, karena menahan muntah.

99. FLASHBACK 68: Saat mendengarkan Hasbi berbicara tentang Emir, Alin merasakan sakit perut dan segera meninggalkan Hasbi tanpa sepengetahuannya.

END OF MONTAGE.

BACK TO 96:

HASBI

Tapi kamu masih punya harapan untuk hidup, kenapa kamu menolak harapan itu?

BEGIN FLASHBACK:

TH.2002

100. INT. RUMAH ALIN – MALAM

Alin yang berusia 6 tahun, tampak terbangun dari tidurnya dan mengucek-ngucek mata. Alin tidur di kasur tipis di atas lantai sebuah rumah sempit yang tidak punya kamar tidur.

Setelah matanya terbuka lebar, ia mendapati sang ibu (24) yang baru saja pulang bekerja.

CU: Jam dinding menunjukkan pukul 04.15 malam.

Sang ibu tampak mengenakan sepatu hak tinggi berwarna merah dan pakaian yang agak minim di balik jaketnya.

ALIN (O.S.)

Waktu kecil, saya dan ibu tinggal di kontrakan sempit yang hanya punya satu ruangan dan kamar mandi. Setiap hari, ibu bekerja dari malam sampai subuh.

ALIN

Ibu baru pulang?

IBU ALIN

Udah, tidur lagi aja sana!

ALIN (O.S.)

Waktu itu, saya nggak tahu apa pekerjaan ibu. Dan sekarang pun, saya cuma bisa menebak-nebak apa pekerjaan ibu dulu.

Alin kembali tidur.

CUT TO:

101. INT. RUMAH ALIN – SIANG

Alin dan sang ibu tampak sedang makan di meja lesehan dengan menu sangat sederhana. Alin tampak malas menyentuh makanannya.

IBU ALIN

Kenapa nggak makan?

ALIN

Alin nggak pengen makan.

IBU ALIN

Kita ini orang miskin, jadi kamu jangan pilih-pilih makanan!

ALIN (O.S.)

Selain sikap ibu yang acuh, hidup kami berdua baik-baik aja. Sampai suatu hari, saya mulai merasakan gejala dari penyakit ini.

Alin tampak memaksakan diri untuk memasukkan sesuap nasi ke mulutnya. Namun, belum sempat Alin menelan makanannya, ia berlari ke kamar mandi dan muntah. Sang ibu mengikutinya, lalu berdiri di dekat pintu.

IBU ALIN

Kamu kenapa, sih?

ALIN

Alin mau muntah, Bu.

IBU ALIN

(ketus)

Ah, ada-ada aja.

CUT TO:

102. INT. RUMAH ALIN – MALAM

Alin tampak gelisah, tak bisa tidur. Ia lalu memegangi perutnya dan tampak kesakitan.

ALIN (O.S.)

Semakin hari, gejalanya semakin terasa. Saya mulai susah tidur dan merasakan sakit di perut.

CUT TO:

103. INT. RUMAH SAKIT – RUANG DOKTER – SIANG

Alin dan sang ibu sedang duduk berhadapan dengan dokter.

ALIN (O.S.)

Dan hari itu, adalah hari di mana ibu mulai merasa bahwa saya adalah beban yang tidak bisa lagi ditanggungnya.

DOKTER

Anak ibu mengidap sirosis hati.

IBU ALIN

Sirosis hati, Dok? Apa itu? Apa bahaya?

DOKTER

(menunjukkan gambar organ hati)

Nah, Ibu bisa lihat di sini, gambar hati yang sehat itu seperti ini. Dan kalau hati yang mengalami sirosis, penampakannya akan seperti di gambar ini.

(jeda)

Kondisi hati atau liver anak Ibu tidak bisa disembuhkan, tapi kerusakannya masih bisa dihentikan agar tidak semakin parah. Saya akan resepkan obatnya.

CUT TO:

104. INT. RUMAH ALIN – MALAM

Ibu Alin tampak duduk termenung di ambang pintu, sembari memijit-mijit kepala. Sementara itu, Alin tampak sedang memandangi beberapa butir obat di telapak tangannya.

CUT TO:

105. EXT. GANG PERUMAHAN WARGA – SIANG

Ibu Alin tampak menghindari kejaran para penangih hutang. Lalu, ia bersembunyi di salah satu gang sempit.

ALIN (O.S.)

Ibu mulai terlilit hutang karena harus membiayai pengobatan, yang bagi orang miskin seperti kami sangatlah berat. Ditambah lagi, saat itu, saya sudah harus masuk sekolah dasar.

CUT TO:

106. EXT. PANTI ASUHAN – GERBANG – SIANG

Alin tampak menggenggam erat tangan sang ibu.

ALIN (O.S.)

Ibu yang melahirkan tanpa suami di usianya yang baru 18 tahun itu, merasa sudah tidak sanggup jika harus menanggung biaya pendidikan sekaligus pengobatan. Meskipun sebenarnya dia masih bisa berusaha mencari jalan lain, agar kami tetap bisa hidup bersama, tapi ibu memilih jalan yang mudah dengan membuang saya ke panti asuhan.

ALIN

Bu, kita mau ke mana?

IBU ALIN

Untuk sementara, kamu tinggal dulu di sini, ya.

ALIN

Ibu nggak ikut? Memangnya Ibu mau pergi ke mana?

IBU ALIN

Ibu harus cari uang untuk beli obat dan juga untuk biaya sekolah kamu. Ibu bakal sibuk dan nggak bisa urus kamu. Jadi ... kamu tinggal di sini dulu, ya. Nanti ibu bakal jemput kamu.

ALIN

Ibu nggak anter Alin ke dalam?

IBU ALIN

(menggeleng)

Ibu buru-buru. Nanti kamu bilang sama orang di dalam, kalau kamu mau tinggal di sini, karena ayah sama ibu nggak ada.

Ibu Alin mendorong Alin untuk masuk ke panti asuhan. Lalu, ia melambaikan tangan pada Alin dan pergi menjauh. Dengan langkah ragu, Alin tampak berjalan masuk ke gedung panti.

ALIN (O.S.)

Ibu janji akan kembali untuk menjemput. Tapi sampai detik ini, janji itu nggak pernah ditepati. Karena sejak awal, ibu memang berniat untuk membuang saya di tempat itu.

FLASHBACK CUT TO:

107. INT. KAMAR PERAWATAN ALIN – SIANG

Alin tampak mengusap pipinya yang basah dengan air mata. Sementara itu, raut wajah Hasbi tampak muram dan sedih.

ALIN

Orang-orang di panti asuhan sangat baik, hingga saya bisa sekolah seperti anak-anak lain. Setelah mereka tahu kondisi saya pun, mereka melakukan yang terbaik untuk menolong saya. Tapi sayangnya, penyakit ini terus memburuk. Hingga akhirnya, saya memilih untuk menghabiskan sisa waktu saya di sini. Karena setidaknya, di sini saya masih bisa berguna.

(jeda)

Saya nggak punya ayah. Ibu memberi saya nama hanya dengan satu kata, Alin. Dia bahkan semalas itu untuk memberi nama. Mungkin karena saya adalah anak yang tidak diharapkan keberadaannya. Sekarang, saya bahkan nggak ingat nama ibu saya. Sepanjang hidup, saya hanya menyusahkan dan bergantung pada orang lain. Apa orang seperti saya pantas untuk melanjutkan hidup dari pengorbanan orang lain? Di saat ada orang lain yang lebih pantas untuk menerimanya. Lagipula, biaya operasinya sangat mahal. Apa orang seperti saya sepadan untuk uang sebanyak itu?

HASBI

Hidup setiap manusia sama berharganya, begitu pun kamu. Itu sama sekali bukan alasan untuk kamu menyerah.

Alin hanya diam dan menatap lekat wajah Hasbi.

CUT TO:

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar