ARUNIKA HOSPICE
7. Scene 58 - 63
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

58. INT/EXT. SELASAR ARUNIKA HOSPICE – DEPAN KAMAR TERTUTUP – SIANG

Hasbi dan Alin duduk di bangku depan kamar arunika dengan pintu tertutup rapat. Hanya ada mereka berdua di area itu. Di antara mereka ada sekotak pizza. Alin sedang serius menggambar di kertas menggunakan pensil.

HASBI

(menyerahkan es krim di tangan kanan)

Ini buat kamu.

ALIN

(meletakkan gambar dan pensilnya di pangkuan, lalu menerima es krim)

Kamu nggak bagi-bagi sama yang lain?

HASBI

Udah, kok. Saya udah bagiin juga ke yang lain tadi.

ALIN

Emang kamu punya uang?

HASBI

Dibayarin Pak Anggoro.

ALIN

Pak Anggoro? Serius?

HASBI

Iya. Kenapa heran?

ALIN

Setahu saya, beliau memang donatur tetap di sini. Tapi ... kalau bagi-bagi makanan secara khusus, ini pertama kalinya.

HASBI

Oh, ya? Berarti saya spesial, dong.

ALIN

Mungkin yang kamu lakukan kemarin itu, berkesan untuk beliau.

HASBI

(tertawa bangga)

Itu ... memang kelebihan saya. Membuat orang lain terkesan.

(mengamati gambar Alin)

Kalau diperhatikan, gambar-gambar yang kamu buat bukan fokus ke potret, tapi lebih ke detail pakaian mereka.

ALIN

(mengangguk)

Dibanding potret, saya lebih suka membayangkan saat objek gambar saya memakai pakaian-pakaian yang indah. Makanya, fokus gambar saya ada di pakaian mereka.

HASBI

Kalau gitu, daripada menggambar potret, kayaknya kamu lebih cocok buat desain pakaian.

ALIN

(menggeleng)

Kalau soal itu, saya nggak yakin.

HASBI

Oh ya, ngomong-ngomong itu ruangan apa? Kayaknya pintunya selalu tertutup. (menunjuk ruangan di hadapan mereka)

ALIN

Itu ... kamar salah satu arunika.

HASBI

Kayaknya saya nggak pernah lihat dia keluar kamar.

ALIN

Iya. Dia nggak mau orang-orang tahu kalau dia sakit.

HASBI

Kenapa gitu?

ALIN

Karena dia nggak mau dikasihani.

HASBI

(melihat ke lengan Alin yang tampak memar-memar)

Tangan kamu kenapa?

ALIN

(buru-buru menutupi dengan lengan bajunya yang tergulung)

Kepentok.

(mengalihkan pembicaraan)

Oh ya, kamu nggak berniat kabur lagi, kan?

HASBI

Kan udah saya bilang, saya bukan mau kabur. Lagian, waktu saya mau jelasin, kamu malah tiba-tiba ngilang.

ALIN

Ya, udah nggak usah dibahas! Lagian, mau kabur pun itu bukan urusan saya.

HASBI

Lah ... kamu yang bahas duluan.

CUT TO:

59. EXT. HALAMAN HOSPICE – SIANG

Hasbi sedang melintas di halaman hospice. Lalu, dari kejauhan ia melihat Alin sedang berbincang dengan Emir. Tampak oleh Hasbi, Alin begitu senang berinteraksi dengan Emir. Alin berbicara panjang lebar sembari tertawa dan bercanda dengan Emir.

HASBI

(tersenyum)

Ternyata dia bisa tertawa juga. Dan tawanya semanis itu.

(ekspresi masam)

Tapi ... kenapa dia nggak pernah begitu di depan gue? Mengecewakan.

CUT TO:

60. INT. RUMAH NICO – KAMAR – SIANG

Nico sedang main game di pc yang ada di meja belajarnya.

NICO

(melepaskan tangan dari atas keyboard, lalu menghela napas panjang)

Boring, nih. Ajakin Hasbi main kali, ya, biar seru.

Nico mengambil ponsel di samping keyboard dan menelepon.

CUT TO:

61. EXT. TAMAN BELAKANG HOSPICE – SIANG

Hasbi sedang menyirami bunga. Ia mendengar suara dering ponsel yang disimpan di saku celana. Hasbi mengangkat telepon dari Nico.

HASBI

Kenapa?

INTERCUT – PERCAKAPAN TELEPON

NICO

Lu lagi ngapain?

HASBI

Nyiram bunga.

NICO

(terbahak-bahak)

Serius lu? Gue aja seumur-umur nggak pernah nyiram bunga.

HASBI

Ketawa aja lu! Bantuin sini!

(jeda)

Lu ngapain telepon?

NICO

Mau ngajakin mabar.

HASBI

Oh ...

NICO

Oh ... doang?

HASBI

Ya, lu tahu sendiri jawabannya.

NICO

Iya tahu, lu sibuk.

HASBI

Kalau udah tahu, tutup teleponnya.

NICO

Ok.

Keduanya menutup telepon.

Nico meletakkan ponselnya di meja, lalu beranjak menuju tempat tidur dan melemparkan tubuh di atasnya.

Sementara itu, Hasbi lanjut menyiram bunga. Nadia (25), seorang arunika menghampiri.

NADIA

(memandang bunga-bunga dengan kagum)

Mereka mekar dengan baik.

(melihat ke Hasbi)

Kamu relawan baru, ya?

HASBI

Iya, Kak.

NADIA

Kamu hebat. Masih sangat muda, tapi sudah punya jiwa sosial yang tinggi.

HASBI

(menggaruk belakang kepalanya)

Ah ... nggak juga kok, Kak.

NADIA

Setiap orang punya tugas masing-masing di dunia. Dan yang terbaik adalah mereka yang bermanfaat untuk banyak orang. Contohnya seperti kamu.

(jeda)

Oh ya, saya Nadia. Kamu?

HASBI

Saya Hasbi, Kak.

NADIA

Hasbi ... kamu masih sekolah atau kuliah?

HASBI

Sekolah, Kak. Cuma sekarang lagi libur. Ya ... diliburkan lebih tepatnya.

NADIA

(tersenyum)

Ah ... nggak apa-apa, itu proses jadi dewasa. Di masa depan, kamu pasti jadi orang hebat.

HASBI

(tertawa canggung)

Kayaknya itu nggak mungkin, Kak.

NADIA

Jangan bilang nggak mungkin. Kamu cuma belum mengenal diri kamu sendiri, makanya kamu belum punya tujuan hidup.

HASBI

(meletakkan selang air di tangannya)

Saya nggak pernah berpikir bisa jadi sesuatu yang berguna buat orang lain. Bahkan berguna untuk diri sendiri pun enggak.

NADIA

Dulu ... sebelum saya sakit, saya hampir jadi wakil Indonesia untuk kompetisi menari Internasional. Sekalipun saya tidak juara, setidaknya saya akan bangga karena berhasil memperkenalkan budaya Indonesia melalui tari jaipong yang rencananya akan saya tampilkan di depan juri dan penonton dari seluruh dunia. Dengan menari dan mengharumkan nama Indonesia ke seluruh dunia, membuat saya merasa telah menjadi seseorang yang bermanfaat.

HASBI

Kak Nadia penari jaipong?

NADIA

(mengangguk)

Tapi sayangnya, Tuhan berkehendak lain dengan memberikan saya penyakit ini sebelum bisa tampil di sana. Awalnya, saya merasa dunia saya telah hancur. Seketika, saya menjadi orang yang tidak berguna, bahkan untuk diri saya sendiri.

(jeda)

Tapi ... seiring berkembangnya tumor di kepala saya ini, saya justru semakin ikhlas menerima keadaan. Bahkan, saya menemukan tujuan hidup saya yang baru. Sesuatu yang bahkan tidak terlintas sebelumnya dalam pikiran saya. Yaitu menyelamatkan orang lain.

HASBI

Menyelamatkan orang lain?

NADIA

(mengangguk)

Dengan mendonorkan organ tubuh saya jika meninggal nanti.

(jeda)

Satu hal lain yang saya syukuri adalah, penyakit ini hanya tumbuh di kepala saya, dan membuat organ lainnya sangat sehat dan berpotensi untuk bisa didonorkan. Dengan begitu, bagian dari diri saya juga bisa tetap hidup.

Hasbi terdiam dengan mata berkaca-kaca.

NADIA

Kamu ... nggak lagi nangis, kan?

HASBI

(mengucek-ucek mata)

Ah ... ada serangga masuk mata, Kak.

NADIA

Oh, kirain.

(jeda)

Aduh, maaf ya! Saya jadi curcol. Padahal baru aja kenalan.

HASBI

Nggak apa-apa kok, Kak. Kita yang tinggal di Arunika Hospice kan keluarga.

NADIA

(tertawa)

Kalau gitu, anggap saya kakak kamu, ya!

HASBI

Iya, Kak. Saya bangga bisa bertemu dengan seseorang berhati malaikat seperti Kak Nadia.

NADIA

(tersenyum)

Semua orang di Arunika Hospice seperti itu, kan? Termasuk kamu.

Lalu, Alin terlihat melintas agak jauh dari mereka. Nadia mengamati wajah Hasbi dan mendapati Hasbi sedang menatap Alin sampai sosoknya tidak tampak.

NADIA

(tersenyum)

Cantik, ya?

HASBI

(kikuk)

Hah? Siapa? Oh, bunga? Iya, cantik.

NADIA

Bukan bunga, tapi cewek yang kamu tatap sampai menghilang ke balik tembok.

HASBI

Oh, Alin.

NADIA

Iya. Kalau dilihat-lihat kalian cocok, loh. Sama-sama baik hati, cantik dan ganteng.

HASBI

Ah, apaan sih Kak. Dia emang cantik tapi ketus.

NADIA

Itu karena kamu belum kenal deket. Dia itu anak baik dan manis.

HASBI

Masa, sih?

NADIA

Beneran. Nanti juga kamu tahu.

CUT TO:

62. INT. KAMAR RELAWAN – MALAM

Hasbi memainkan game di ponsel, sembari merebahkan tubuh di atas kasur. Tak lama kemudian, ia berhenti bermain dan meletakkan ponselnya di meja.

HASBI

Kenapa jadi nggak seru, ya?

Hasbi lalu kembali merebahkan tubuh di kasur, dan tak lama kemudian, ia sudah tertidur pulas.

CUT TO:

63. EXT. HALAMAN DEPAN HOSPICE – SIANG

Sebuah mobil box berisi beberapa karung kentang terparkir. Hasbi yang sedang melintas di dekatnya, dihampiri oleh Rani yang duduk di atas kursi roda dan didorong oleh sang putra.

RANI

Nak, minta tolong angkut kentangnya ke dapur, ya!

PUTRA RANI

(sambil mengajak Hasbi ke belakang mobil box)

Kita angkut sama-sama, ya.

HASBI

Siap, Kak!

(sambil mengangkut)

Ini kiriman dari mana, Kak?

PUTRA RANI

Saya baru panen, jadi kirim sebagian untuk di sini.

HASBI

Wah ... jadi ini dari Kakak?

PUTRA RANI

Cuma sedikit, kok.

Hasbi membantu putra Rani mengangkut sampai karung terakhir. Setelah itu, Hasbi menghampiri Rani.

RANI

Makasih, ya!

(jeda)

Ngomong-ngomong, saya baru lihat kamu.

HASBI

Saya Hasbi, Bu.

RANI

Nak Hasbi. Saya Rani, dan ini anak saya yang paling besar. Dia bagi-bagi sedikit hasil panennya.

HASBI

Makasih untuk kirimannya.

RANI

Sama-sama. Saya permisi dulu ke dalam, ya.

HASBI

Iya, Bu.

Tak lama kemudian, dr.Adyan datang menghampiri Hasbi.

DR.ADYAN

Kamu boleh istirahat dulu sekarang!

HASBI

Ah, nggak apa-apa Om. Om, kayaknya sekarang Hasbi udah mulai terbiasa kerja keras. Hasbi nggak ngerasa pegel-pegel sama sekali.

DR.ADYAN

Oh, ya? Bagus, dong!

HASBI

Dan tahu nggak Om, tadi malem Hasbi akhirnya nggak insomnia lagi.

DR.ADYAN

(tertawa)

Wah ... kayaknya kamu udah mulai betah di sini, ya.

HASBI

Apa iya, ya?

(jeda)

Ngomong-ngomong, anak Bu Rani baik banget, dia kirim kentang sebanyak itu.

DR.ADYAN

Iya. Semua anak Bu Rani, kompak merawat ibunya. Mereka seperti itu sejak Bu Rani tinggal di sini. Padahal menurut Bu Rani, dulu mereka berselisih dan lama tidak saling bertemu.

HASBI

Oh, ya?

DR.ADYAN

Suaminya bilang, meskipun sakit, Bu Rani justru jadi lebih bahagia sekarang.

HASBI

Karena anak-anak mereka akur lagi?

DR.ADYAN

(mengangguk)

Selalu ada hikmah untuk setiap kejadian dalam hidup, kan.

CUT TO:


Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar