Playing God

Maire mengerutkan tubuh kurusnya. Pipi menempel di lantai. Punggung melengkung, bibir bertemu lutut. Tak dihiraukannya debu yang begitu dekat dengan hidung. Seluruh tubuhnya gemetar. Bahkan giginya bergemerutuk. Di kejauhan, teriakan ganas semakin dekat.

Tiba-tiba seseorang melongok ke kolong tempatnya bersembunyi. Kerut di keningnya tampak jelas. Cemas.

“Tunggu di sini, Nak. Ibu ke bawah dulu, menghalang pintu rumah.” Suara Ibu bergetar.

Perempuan itu bergegas menuju pintu kayu bercat kusam yang membatasi kamar tidur mereka dengan bordes tangga. Dari kolong tempat tidur yang gelap, Maire hanya bisa melihat sepasang kaki ibunya. Putih dan cantik. Kaki yang biasa dipuja para lelaki pacar Ibu saat dia dikira sudah lelap.

Gadis enam tahun itu mulai menghitung.

---

Sejak belajar angka bersama Romi, salah satu pacar ibunya, Maire suka menghitung apa saja. Dia tahu berapa hitungan yang diperlukan Ibu untuk turun ke lantai satu: delapan. Begitu juga dengan naik. Tapi Maire butuh dua puluh hitungan. Itu karena Ibu tidak mengizinkannya jalan cepat-cepat atau melompati dua anak tangga sekaligus.

Maire juga tahu berapa hitungan yang diperlukan Ibu untuk membeli roti murah di warung seberang jalan: dua puluh tiga. Ibu tidak pernah berlama-lama. Para tetangga tidak menyukai mereka dan beberapa perempuan lain di lingkungan ini. Pernah dia mendengar salah satu perempuan yang wanginya seperti kembang kuburan memaki, “Pelacur!”

Maire tidak tahu artinya. Ibu juga tidak mau memberi tahu. Katanya, nanti dia akan tahu sendiri.

Kembali ke hitungan. Ada satu yang Maire tidak pernah tahu pasti: berapa lama seorang laki-laki menemani ibunya tidur? Dia belum bisa menghitung lebih dari dua puluh, jadi selalu mengulang dari angka satu. Kemudian dia lupa, sudah berapa kali dua puluh yang dihitungnya. Tapi lebih sering dia jatuh tertidur sebelum laki-laki itu selesai menemani Ibu.

Kali ini juga Ibu pergi terlalu lama. Sudah lewat dari dua puluh hitungan dan belum juga muncul. Maire menimbang-nimbang. Badannya pegal. Pelan-pelan, dia beringsut.

---

“DI MANA ANAKNYA? BUKANNYA DIA PUNYA ANAK KECIL?”

Pintu menjeblak terbuka, membuat Maire mengurungkan niat keluar.

Anak kecil? Apakah dia yang dicari? Mana Ibu? Biasanya kalau laki-laki masuk ke sini, selalu sambil mencium Ibu. Tapi yang ini tidak. Dan mereka ada tiga orang – Maire menghitung dari berapa pasang kaki yang dilihatnya. Kaki laki-laki. Ada yang dipenuhi bulu, ada yang sandalnya butut, ada juga yang bersepatu bagus.

“Mungkin sudah disuruhnya kabur. Perempuan macam Carmeline ini gesit, tahu.”

Itu suara Romi. Maire membekap mulut. Sepatu bagus itu – kenapa dia tidak mengenalinya tadi?

“Kita harus cari anak itu!” Si Sandal Butut bergerak ke dinding, membuka lemari pakaian dengan kasar dan menghamburkan isinya.

Maire gemetar. Sebentar lagi pasti ada yang melongokkan kepala ke kolong.

“Hei! Sudah! Masih ada perempuan lain yang harus kita bereskan! Anak itu cukup dikasih peringatan.” Romi mendekati tempat tidur. Maire memejam mata. Kali ini dia pasti ketahuan.

Tiba-tiba sesuatu jatuh dari tangan Romi. Bulat, keras, menggelundung sedikit ke kolong. Benda itu punya mata yang terbuka menatapnya. Mata tanpa kehidupan.

Maire membelalak ngeri.

Itu kepala Ibu...

... dengan darah menetes dari pangkal lehernya.

16 disukai 12 komentar 6.6K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tegang alurnya, great...
seperti novel terjemahan, mantap
@deniknuramal : trimakasih kakak
🖤🖤🖤
@whiteclouddott
iya, pov3 terbatas. hehe. Makasih maaak
Keren bangeeet. Diceritakan dari POV anak-anak.
@c2tupang : 😁😁
@fadhillahh : Maaciii
@nurulnh07 : ❤️❤️❤️
ending nya bikin kaget ...
Saran Flash Fiction