Malam masih sunyi, hanya diterangi bulan separuh yang mengintip dari balik awan tipis. Ardi duduk di teras rumah, secangkir kopi hitam sudah dingin di tangan. Umurnya sudah menginjak kepala tiga, namun masih sendiri. Bukan karena tak mau, hanya terlalu banyak memikirkan: "Apakah dia yang tepat? Apakah ini akan bertahan? Bagaimana kalau gagal lagi?"
Tiba-tiba, dari atap tetangga, terdengar suara itu. Awalnya seperti tangisan bayi, lalu berubah menjadi raungan panjang yang memecah kesunyian. Kucing kawin. Dua ekor kucing tetangga—satu jantan hitam legam, satu betina berwarna oren—sedang bertarung sekaligus bercinta di atas genteng. Suaranya kasar, liar, tanpa malu. Mereka berguling, mencakar, menggigit, tapi tak pernah berhenti mendekat satu sama lain.
Ardi menggelengkan kepala, tersenyum kecil. “Berisik sekali kalian,” gumamnya. Tapi ia tak beranjak. Malah ia mendengarkan lebih seksama. Di antara raungan itu, ada ritme—naluri murni yang tak perlu kata-kata, tak perlu janji, tak perlu takut ditolak.
Ia teringat mantan kekasihnya yang pergi dua tahun lalu. Mereka selalu berdebat soal masa depan: “Kapan nikah? Kapan punya anak? Kamu terlalu santai, Ardi!” Akhirnya, hubungan itu mati pelan-pelan karena terlalu banyak pertanyaan, tanpa kepastian.
Sementara kucing-kucing itu… mereka tak bertanya. Mereka hanya mengikuti apa yang alam bisikkan: birahi, tarikan tak terlihat yang membuat mereka nekat melompat dari atap ke atap, bertarung dengan rival, hanya untuk satu momen penyatuan. Sakit? Pasti. Cakar berdarah, bulu rontok. Tapi besok malam, jika birahi datang lagi, mereka akan ulangi semuanya. Tanpa penyesalan.
Ardi menatap langit. “Mungkin manusia terlalu rumit,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Kita takut gagal, takut terluka, takut sendirian. Padahal hidup ini seperti kucing kawin: penuh suara berisik, penuh luka kecil, tapi itu bukti kita masih hidup, masih menginginkan sesuatu.”
Pagi harinya, saat matahari baru muncul, Ardi membuka ponsel. Ia menghubungi nomor lama—teman perempuan yang dulu pernah dekat dengannya, tapi tak pernah berani didekati lebih jauh. “Hai, lama tak jumpa. Mau kopi bareng sometime?”
Tak ada overthinking lagi. Hanya langkah sederhana, seperti kucing yang melompat ke atap tetangga tanpa tahu apakah akan diterima atau dicakar.
Dan di suatu malam nanti, mungkin suara kucing kawin itu akan terdengar lagi—sebagai pengingat bahwa cinta, pada hakikatnya, adalah keberanian untuk mengikuti naluri, meski berisik, meski menyakitkan, meski tak ada jaminan.
Karena hidup tak butuh filsafat rumit. Kadang cukup mendengar suara malam, dan berani melompat.
Selamat menikmati secangkir kopi, dan kucing kawin yang menjadi filosofi.