Lorong demi lorong aku lewati, nafas ini terasa berat. Mengapa lorong ini rasanya tak berujung? Aku harus segera sampai sebelum semuanya terlambat. Aku harus bertemu dengannya. Semua rasa berkecamuk di dada ini. Setelah aku berbelok ke kanan, aku tiba-tiba menghentikan langkahku. Tiba-tiba aku tidak siap menyaksikan kenyataan. Rasanya aku ingin membalikkan badanku, ingin rasanya mengurungkan niatku melihatnya. Tapi, kalau aku berbalik arah, berarti aku akan melewati lorong-lorong itu lagi, apakah aku sanggup membawa kembali beban berat ini?
Aku mencoba mengatur nafas baik-baik. Aku selalu ingat ajaran sahabatku yang seorang psikolog untuk menghirup nafas dalam-dalam dari hidung, tahan tiga detik, kemudian hembuskan kembali lewat mulut. Aku coba beberapa kali tapi, di tarikan nafas yang kesekian rasanya ingin ku tahan lebih dari tiga detik.
Aku rapikan kembali rambutku yang sudah awut-awutan, ku kuncir ekor kuda lagi. Aku tarik nafas dalam-dalam, hembuskan. Aku siap! Lalu aku langkahkan kakiku menuju kamarnya, tempat dimana seorang wanita lanjut usia terbaring lemah. Haruskah aku menemuinya di saat seperti ini? Saat keadaannya tak lagi muda dan sehat, suaranya yang mulai melemah. Haruskah aku memaafkannya?
Segudang tanya berkelebatan di kepala ini. Langkahku semakin mendekati kamar itu. Setibanya langsung aku buka pintu kamarnya. Inikah sosok wanita yang sudah melahirkan aku? Inikah sosok wanita yang selama ini menelantarkan aku? Bisakah aku memaafkannya? Sambil terus pikiranku berkecamuk, kakiku sudah tiba di ujung ranjangnya. Matanya terpejam, nafasnya masih ada tapi lemah. Aku sama sekali nggak tahu harus apa. Mematung. Perlahan aku maju, tanganku seperti didorong bergerak untuk menyentuh tangannya. Aku menyentuh kulitnya yang sudah keriput. Sentuhanku semacam aliran listrik baginya. Perlahan matanya terbuka. Aku nggak tahu apakah aku terlihat jelas di matanya atau samar saja. Dia menyebut namaku, aku menarik kursi yang ada dekat meja di samping tempat tidurnya.
Tangan yang semula enggan ku genggam, saat ini aku merasakan hangatnya mengalir menelusup ke dalam pori-pori kulitku. “Maafkan saya…”, kalimat pendek itu terdengar begitu lemah tapi, cukup jelas di telingaku. Setelah itu aku melihat matanya kembali merapat, nafasnya berhembus pelan dan panjang. Genggamannya melemah. Aku tertunduk dan tetes-tetes air yang turun dari kedua mataku menderas. Aku menenggelamkan wajahku di tangannya. Rasa yang semula hangat perlahan berganti dingin. “Maafkan saya juga, bu…” kata-kata itu yang aku ucapkan dalam hati dan aku yakin dia pun mendengarnya.
Ku lihat jam di dinding. Jam sepuluh lewat sepuluh pagi. Aku mengambil kalung jam yang sedari tadi ada di dalam tasku. Jam itu selalu ada bersamaku semenjak aku bayi dan ibuku bilang kalung jam ini dibawakan ibu panti sebagai peninggalan satu-satunya dari wanita yang sudah menitipkanku. Aku membuka jam itu dan kulihat jarum pendek terhenti di angka sepuluh dan jarum panjang di angka dua. Waktu yang sama di saat kepergiannya. Aku tak bisa menghentikan aliran air mata ini.