His Gaze

Saima menyerah.

Tidak bisa, Saima benar-benar tidak bisa.

Bagaimana bisa ... Ćafe seluas dan selenggang ini bisa terasa semenyesakkan ini?

Tidak bisa, Saima benar-benar tidak bisa. 

Bagaimana bisa ... hanya karena tatapan satu orang yang jelas menatapnya sekaligus meneliti setiap gerak-geriknya itu membuat Saima merasa terusik, tidak lagi bisa fokus pada buku yang tengah gadis itu baca. 

Saima bangkit, tanpa ragu berjalan ke arah tepatnya di sebuah meja di pojok sana. Gadis itu biarkan saja April memanggil namanya. Mungkin sahabatnya itu heran, dengan kepergiannya yang tiba-tiba.

"Kamu siapa?" Tanya Saima to the point.

Pemuda tampan yang ternyata memiliki lesung di kedua pipinya tersebut tersenyum sebentar sebelum menjawab, "Saya? Jaendra Eka Maharga."

Saima tak kuasa mendengus. "Saya gak lagi nanya nama kamu."

"Terus?"

"Kamu siapa? Kenapa kamu natap saya kaya gitu?"

"Saya gak natap kamu."

"Bohong."

Pemuda itu mengangguk-anggukan kepala. "Kalo iya, memangnya kenapa?"

"Akan saya ulangi pertanyaan saya sebelumnya. Kenapa kamu natap saya kaya gitu?"

"Kamu cantik."

"Dasar buaya." Dan, mulut Saima sungguh tak kuasa mengeluarkan makiannya.

"What? Kok, gitu? Ini gak adil," protes pemuda itu. "Masa saya disebut buaya? Padahal saya gak godain sembarang cewek, lho. Saya godain kamu, cewek saya sendiri---"

"Stop it." Saima menatap datar.

Pemuda itu tertawa. "Kamu yang mulai duluan, lho, ya. Aku cuma ikut-ikutan aja."

Saima diam, tidak menolak meski pemuda itu yang sebelumnya duduk kini beranjak lalu merangkul pundaknya. "I miss you, babe."

"..."

"Ngambeknya, udahan, ya?" Pinta pemuda itu seraya cemberut. Menatap Saima dengan jenis tatapan yang jelas, tanpa pemuda itu berusaha lebih keras lagi pun, sebenarnya Saima sudah luluh. "Sumpah, aku gak bohong. Sakit banget tahu rasanya sama sikapmu tadi yang seolah beneran gak kenal aku."

2 disukai 4.7K dilihat
Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Saran Flash Fiction