Titik-titik
4. Serta retakan-retakan tembok yang ditumbuhi lumut
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Latar : Interior kereta.

Waktu : Siang hari.

Utama berdiri disamping pintu. Ia tahu, disana ada Sepatu, namun ia tak begitu antusias menyapanya.

Sepatu terlihat antusias untuk mendekati Utama.

Utama memandangi Sepatu dengan malas, seperti ia tak mau lagi bertemu dengan orang seperti ini lagi.

Sepatu

"Hey, bagaimana kabarmu?"

Utama

"Baik"

Utama hanya memandangi Sepatu. Sepatu terlihat mendekat.

Utama malah memutar badannya, seperti tidak ingin bertemu saja.

Sepatu memicingkan kepalanya bingung. Ada apa memangnya dengan orang ini.

Sepatu

"Kau marah denganku?"

Utama

"Tidak" (Tetap menyingkirkan wajahnya pada Sepatu)

Terlihat Sepatu bingung dengan kelakuan Utama.

Komunikasi formal-formal saja yang kelihatan terjalin diantara mereka berdua. Namun, mereka saling diam diantara itu semua. Kereta berjalan, Utama diam dan Sepatu juga terdiam.

Sepatu tiba-tiba mengeluarkan botol dan memberikannya pada Utama

Utama

"Apa ini?"

Sepatu

"Tanda terimakasih aja"

Utama hanya diam, lalu ia mengembalikan botolnya kedalam tas milik Sepatu sambil tersenyum.

Utama

"Gak usah, terimakasih"

Sepatu terlihat bingung dengan Utama. Utama terlihat melengos lagi tak peduli. Sepatu berpikir apa yang aneh denganku memangnya.

Sepatu akhirnya diam saja dan tetap berdiri disampingnya. Tapi terlihat kecewa dari wajahnya.

Sedang Utama ia memerhatikan hapenya sebentar. Lalu ia perhatikan Sepatu sebentar.

Utama

"Mau kemana emangnya lho?"

Sepatu

"Kerja"

Utama

(Sambil memicingkan mata) "Kerja dimana?"

Sepatu

"Di Mall."

Utama

"Ohh..."

Sepatu

"Iya"

Mereka berdua saling diam.

Sepatu

"Kenalin, gue sepatu." (sambil menyodorkan tangannya ke Utama)

Utama memandangi Sepatu dengan bingung. Mengernyitkan mata dan ada apa dengan orang ini, kemarin kan udah kenalan.

Utama

"Gue Utama. Gue kerja di dekat bunderan patung."

Sepatu

"Oh, lho disana?"

Utama

"Iya, begitulah"

Sepatu dan Utama terlihat tenang disana.

Utama

"Kemarin lho nggak lihat anjing?"

Sepatu

"Dimana?"

Utama

"Di dalam kereta ini."

Sepatu

"Masak?"

Utama

"Iya."

Sepatu

"Dimana tepatnya?"

Utama

"disamping pintu."

Sepatu

"Kamu?"(tanya sepatu sambil menunjuk Utama)

Utama hanya tertawa. Namun baginya, anjing itu adalah Sepatu.

Sepatu tiba-tiba bingung. Ia tiba-tiba menunjuk dirinya sendiri.

Sepatu

"Aku?"

Utama diam saja tak menjawabnya. Ia tertawa sendiri dengan hal itu.

Jalannya berjalan tenang disitu.

Utama

"Rumahmu dimana memangnya?"

Sepatu

"Di belakang rawa"

Utama

"Oh pantes, soalnya gue pernah tahu lo sebelumnya."

Sepatu

"Lho sering kesana?"

Utama

"Iyalah."

Sepatu

"Cari apa?"

Utama

"Cari yang seperti kamu" (maksudnya pekerjaan seperti sepatu, kerjaan gitulah)

Sepatu

"Maksudnya?"

Utama

"Udahlah, biarin aja"

Kereta berjalan terus ke kota, Sepatu terlihat bingung dengan dirinya sendiri saat itu. Kereta berjalan cepat dan mulai menggilis kota.

Beberapa orang naik dan beberapa lainnya turun.

Eksterior Stasiun

Stasiun menjadi sangat hiruk dan pikuk hari itu.

Utama turun dari kereta untuk tiba di stasiun tujuannya, ia pergi berjalan ke peron stasiun, mencari ojek dan mengantarkannya ke tempat tujuannya.

Melewati kota dan berhamburan keluar.

Interior Kantor kecil di ruko-ruko Jakarta

Kantor tempat Utama bekerja hanyalah kantor biasa. Ia disana kerja jadi orang-orang pada umumnya. Mengetik dan membuatkan laporan.

Perusahaan ini besar, namun kantornya kecil. Karena memang yang bermain adalah uangnya bukan produksinya. Perusahaan transport, bermain dengan para mafia.

Sebelum benar-benar datang, bos tambun menyambutnya di depan. Bosnya masihlah muda, sangat muda. Sedikit lebih tua dari Utama. Ini memang usaha warisan bapaknya.

Bos

"Utama, kau sudah dapat kantor baru?"

Utama

"Mahal-mahal bos" (Utama mengakrabi bosnya)

Bos

"Ya, cari lagi coba deh."

Utama

"Cari disekitar mana?" (Sambil sibuk menghitung arsip)

Bos

"Tau deh dimana. yang murah aja."

Utama

"Lho cari murah bos? Kuburan murah."

Bos

"Janganlah, masih kemahalan."

Utama

"Ah elah bos, jangan perhitungan ama duit" (sambil memasukkan arsipnya ke tas)

Bos

"Kagak perhitungan gue, cuman tau sendiri kita kan usaha kaya gimana?"

Utama

"Terserah deh bos. Nanti gue cariin lagi" (katanya sambil mencangklong tas dan bersiap pergi)

Bos

"Kemana lho?"

Utama

"Ngurusin klien."

Bos

"Gue ikut deh."

Utama

"Ngapain? Ntar dicariin orang bingung lho."

Bos

"Ah, ikut deh pokoknya. Nanti gue suruh jadwal ulang hari ini. Suntuk gue."

Utama

"Terserah deh."

Utama dan bosnya keluar dari kantor menuju mobil van didepannya. Utama biasa menyetir sendiri, dan pergi sendiri. Karena memang perusahaan ini dapat dikatakan perusahaan rintisan. Jadi, orangnya sedikit.

Di dalam mobil - Perjalanan mencari Klien

Bos

"Emangnya lho udah cari dimana aja?"

Utama

"Di sekitar sungai sana, ada mahal." (sambil menyetir mobil)

Bos

"Jangan disana. Emang mahal"

Utama

"Sekitar tugu juga mahal"

Bos

"Bener tuh, mahal disana"

Utama

"Tapi gue belum ngecek disekitar rawa bos."

Bos

"Emang disana murah?"

Utama

"Katanya sih bos."

Bos

"Nanti habis kita muter-muter ini, kita kesana langsung deh."

Utama tak menggubris bosnya. Ia tetap setia menyetir dengan tenang dan bersahaja.

Jalanan becek dan berlubang khas ibukota, menjadi pemandangan biasa kala senja seperti ini.

Bos

"Lu tau gak, gue kenapa ikut lho sekarang."

Utama

"Nggak"

Bos

"Nanti, calon bini gue dateng."

Utama

"Lah, seneng dong harusnya. Gimana sih?"

Bos

"Ah, itu pikiran lho seneng. Pusing nih."

Utama

"Pusing ngapain?"

Bos

"Dia itu, pilihan nyokap gue. Bukan gue sendiri yang milih."

Utama

"Malah bagus dong."

Bos

"Bagus gimana, lho ini ah.(sambil memukul lengan Utama). Dia itu lulusan australi. Sedang gue, gue sekampus ama lho. Bareng lagi lulusnya. Molor."

Utama

"Kampus kita juga bagus kali."

Bos

"Iya, tapi minder gua."

Utama

"Yaelah, nikmati aja. Sebagai seorang bos, bangga dong. Daripada kayak gue gini."

Bos

"Haishh, gue maunya yang biasa-biasa aja. Setara gitulho."

Utama

"Terserah deh, lho mau ngapain. Tapi sekarang, lho harus inget umur."

Bos

"Lho juga kali."

Utama dan Bos tertawa didalam mobil saat itu.

Jalan berjalan, mobil berjalan cukup renyah diantara panas terik hujan begini.

Bos

"Lho kalo mau bawa mobil kerumah. Bawa aja ini mobil."

Utama

"Capek bos. Mending naik kereta"

Bos

"Iyasih, gue sendiri aja pulang naik ojek. Cepet, siat siut"

Utama

"Nah, sekali-kali bawa mobil bos. Biar gak malu-malu amat."

Bos

"Malah malu gue kalau naik mobil."

Utama

"Lah kenapa?"

Bos

"Telat lah."

Utama

"Terserah lho deh bos. Mendingan kita balik dulu ke kantor, temui calon binimu."

Bos

"Nggak-nggak. Lo kira gue seneng ketemu calon bini, nggak lah."

Utama

"Emang kayak gimana sih orangnya?"

Bos

"Ah, bentar" (ia membuka hapenya dan menunjukkannya pada Utama)

Utama terperangah,

Utama

"Sikat boss... Cantik kaya gitu masak dianggurin."

Bos

"Nggak ah."

Mobil berhenti di depan sebuah gudang tepi jalan. Utama terlihat turun dan bos terlihat juga mengikuti.

Pintu kiri bos dibuka, namun ia melihat Utama sudah berlari masuk kedalam gudang. Bosnya membuka pintunya, lalu tak jadi, ia menutupnya lagi.

Utama terlihat bercengkrama dengan perempuan di halaman gudang. Dari dalam mobil, bosnya mengintip.

Terlihat seseorang menanti, seorang perempuan dengan papan dan kertas di tangannya. Lalu menukarkan kertasnya pada perempuan itu.

Bos

"Buru-buru amat."

Utama

"Namanya juga orang kerja. Harus cepat dan tepat." (Utama membanggakan dirinya)

Bos

"Benar." (sambil menghela nafasnya)

Mereka berdua masuk lagi kedalam mobil dan bersiap ke perusahaan berikutnya. Mobil berjalan dan Utama sedang mengemudikan mobilnya perlahan-lahan.

Bos

"Eh, lu kalau punya bini. Lu pingin yang bagaimana?"

Utama

"Yang mau aja."

Bos

"Kalau gue sih, gue pengin yang setara."

Utama

"Alah, kebanyakan pengin lho."

Bos

"Eh, harapan itu perlu."

Utama

"Alah sok bijak lo"

Bos

"Loh, gimana sih."

Utama

"Bos, seindah apapun lho ngomongin cinta. Kalau nggak ada aksi percuma."

Bos

"Lho sendiri juga nggak ada aksi."

Utama

"Tapi gue kan nggak... nggak... apa ya."

Bos

"Alah lho sendiri juga gagu gitu."

Utama hanya melengos dan membiarkan bosnya ngoceh begitu saja.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar