Titik-titik
3. Serta hujan yang meruntuhkan angin
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Latar : Interior Rumah Utama

Waktu : Malam

Utama berjalan pulang ke rumah, rumah di gang perumahan biasa di tepi tiang listrik perumahan.

Ia hidup sebagai orang biasa-biasa saja.

Ia juga ingin hidup sebagai orang yang biasa-biasa saja.

Utama masuk rumah, melepas sepatu dan mencopoti semua pakaiannya. Masuk ke kamar mandi dan suara jebur-jebur terdengar.

Terlihat bapaknya manggut-manggut dibawah sambil membaca koran.

Ibunya terlihat diam saja termangu didepan televisi.

Mereka semua terdiam.

Utama menyelesaikan mandinya dan keluar menuju ke kamar mandi. Ia mengusap-usap tubuhnya dengan handuk dan bersiap masuk kedalam kamar.

Sebelum benar-benar masuk. Ibunya tiba-tiba menghadangnya.

Ibu

"Hey, bagaimana?"

Utama

"Apa?"

Ibu

"Kau kan janji mau membawakan calonmu."

Utama

"Calon?"

Ibu

"Calon istri"

Utama mengusap keningnya dan tertawa bingung.

Utama

"Nanti deh, kalau udah cocok."

Ibu

"Cocok gimana?"

Utama

"Ya cocok."

Ibu

"Kamu ini yang cocok-yang cocok. Lihat dirimu sudah 33 tahun begini, belum menikah. Apa sih sebenarnya maumu?"

Utama

"Nikah kok bingung, biasa aja kali."

Ibu

"Terserahlah. Kemarin dikenalin gakmau, katanya gak cocok."

Utama

"Emang gak cocok kok."

Ibu

"Kau ini, cari yang cocok-cocok aja. Gausah gitu kalau mau berumah tangga"

Utama

"Nanti aja deh kalau udah cocok."

Ibu

"Cocok apanya?"

Utama

"Cocok tanggalnya"

Utama masuk kedalam kamar dan menutup pintunya.

Latar : Interior Kamar Utama

Utama berberes sebentar, ia melihati HPnya siapa tahu ada informasi penting. Namun ternyata, mungkin tak ada. Ia lempar hapenya diatas kasurnya.

Dengan tenang, ia melihati jendela dan melihat remang-remang perumahan dengan bocah-bocah yang bermain-main didepan. Palingan mereka mau balapan motor.

Utama duduk ditengah dipan sambil menenteng buku yang diambilnya dari lemari. Buku yang cukup lama menghenyaknya. Buku milik George Orwell.

Utama membolak-balik buku sebentar, lalu menutupnya lagi. Ia kebingungan sepertinya.

Ia berdiri, keluar kamar dan berjalan keluar rumah.

Interior Rumah

Bapak

"Kemana?"

Utama

"Cari angin sebentar"

Bapaknya hanya diam memandanginya. Tiba-tiba ibunya mendatangi bapaknya, sedikit bercengkarama, namun entah apa yang dibicarakan.

Utama keluar rumah, memerbaiki sandal, dan berjalan keluar rumah.

Ekterior perumahan.

Malam dengan bintang redup, Utama melangkahkan kaki lumayan cepat. Apalagi gerimis, bintang yang ada diatas mulai tertutupi.

Ia berjalan ke depan, sebuah warung indomie di pojokan jalan. Dimana ia biasa bertemu kawan baiknya, Sukoco. Anak pedagang cina yang dikenalnya saat SMA. Kawan satu perumahan.

Interior Warung

Utama duduk-duduk sambil memainkan hape, menunggu sebentar dan berdiam diri.

Hingga ia lihat, seorang cina berjalan didepan warung sambil cengar-cengir.

Utama

"Ngapain lho cengar-cengir?"

Sukoco

"Kagak, gue tadi ninggalin anak gue soalnya."

Utama

"Udah tidur sekarang?"

Sukoco

"Udahlah, tadi dia lagi asyik main Hape. Taudeh."

Utama

"Lu bener-bener lu."

Sukoco

"Lha, nanti kita gak ketemu kalo gini"

Utama

"Bapak macam apa lu."

Sukoco

(sambil menepuk angin) "Ahh,, buruan deh, lho mau apa disini."

Utama

(setelah menyeruput tehnya) "Kemarin, bos gue ngomong. Intinya, bahwa kantor harus dipindah. Sewanya makin mahal."

Sukoco

"Terus, mau pindah dimana lho?"

Utama

"Nah tu dia masalahnya, gue sendiri sih seneng aja pindah. Siapa tahu mau dipindah kemari, sekitar sini. Tapi bos minta di timur aja. Cari ruko-ruko disekitar sana."

Sukoco

"Bagus deh."

Utama

"Kok bagus?"

Sukoco

"Ya nggapapa, berarti properti berkembang bro. yoi gak?"

Utama sinis melihat kegembiraan Sukoco.

Utama

"Gimana di timur?

Sukoco

"Nah, itu, kalau di timur gue gak ada channel sama sekali bro."

Utama

"Ah masak sih, lho kan orang properti"

Sukoco

"Orang properti ada pasarnya sendiri bro. Banyak orang cari makan, gaenak saling sikut"

Sukoco diam sambil melihat mas-mas yang mengantarkan air teh pesanannya.

"Lu, ngapain cari di timur? disana ngeri. Mending lho bilang bosmu deh, disana ngeri."

Utama

"Ah masak?"

Sukoco

"Iya, lho nggak percaya?. Kemarin ada kasus penggelapan dana sewa bro disana. Jadinya ke pengadilan."

Utama

"Ah itumah emang bego aja orangnya." (Sambil menyeruput tehnya)

Sukoco

"Lho dibilangin gak percaya."

Utama

"Lha terus saran lho apa?"

Sukoco

"Mendingan, lho tetep aja disana. Karena emang dimana-mana harganya naik."

Utama terlihat memandangi langit dengan gemerlap bintang. Sambil menghela nafas cukup panjang.

Utama

"Kalo semua naik, besok kita bisa beli tanah apa kagak yaa?"

Sukoco

"Tenang aja. Tenang."

Utama

"Gue sih tenang-tenang aja. Kalau lho? Lho punya anak"

Sukoco

"Lah, tenang, chill."

Utama

"Iyelah, lho kan yang megang properti. Lho bisa tenang. Nah gue."

Sukoco

"Lho bisa bilang gue orang properti bro. Tapi nyatanya gue juga bisa apa? Permintaan tinggi itu karena orangnya banyak bro. Bukan karena gue mainin properti. Orang gue mah, chill."

Utama diam memandangi sekitar sambil merebahkan tubuhnya di sandaran kursi. Dengan itu ia melemaskan tubuhnya.

Utama

"Emang kita juga harus menyadari hidup."

Sukoco

"Hidup cuma sekali bro. Nikmati aja."

Utama

"Mati juga sekali bro. Mau nikmati darimana?"

Sukoco

"Yaudah-lah yaa."

Utama memengangi hapenya lagi, juga sukoco, ia juga memegangi hapenya lagi.

Mereka berdua cukup lama memegangi hape sambil berkawan hiruk pikuk warung kopi.

Sukoco

"Eh, mending lho ikut gue deh."

Utama

"Kemana?"

Sukoco

"Alah, ikut ajalah."

Utama hanya mengangguk-angguk.

Mereka berdua membayar tagihan dan berjalan ke mobil pick-up tua milik Sukoco. Entah milik siapa ini, tapi bagi Sukoco ini cukup untuk baginya berkamuflase menjadi orang yang bersahaja. Katanya ini peninggalan bapaknya

Eksterior Jalanan

Utama

(sambil menutup pintu) "Kemana sih?"

Sukoco

(sambil mengegas mobil) "Ikut aja-lah"

Mobil pick-up milik Sukoco tak bisa digeber cepat dan sangat pelan. Suara ngak-ngik terdengar di mobil.

Utama

"Ini mobil ngapa lho pake sih? Lho kan punya banyak."

Sukoco

"Jangan banyak bacot-lah. Ini mobil rintisan bapak gue."

Utama

"Ya daripada ngak-ngik gini kan?"

Sukoco

"Malah ini yang gue cari."

Utama

"Kenapa?"

Sukoco

"Nanti lho tau."

Mobil berjalan terus diantara dinginnya malam dan menjelma haru diantara dinginnya keadaan.

Jalanan kota dilibas begitu saja, hingga mereka sampai di jalanan becek berlubang, penuh dengan cafe dan karaoke di kiri dan kanan jalan. Mereka jalan ke prostitusi. Tapi mungkin bukan malam minggu, jadi jalan ini cukup sepi. Hanya beberapa orang lalu lalang.

Utama

"Ngapain lho kesini?" (sedikit marah)

Sukoco

"Nggapapa, lemesin aja. Chill."

Utama

"Gila lho, udah berisitri juga lho."

Sukoco

"Ini bukan buat gue, tapi buat lho."

Utama

"Ah pulang aja deh. Ngapain juga kesini."

Sukoco

"Chill bro, gue kesini juga iseng aja kok. Lihat-lihat aja. Sudut gelap jalanan kota."

Dalam pandangan Utama, ia melihati perempuan-perempuan dengan pakaian seksi itu menunduk. Ini sangat memalukan baginya. Apalagi ini dilarang oleh agama.

Namun ketika ia berusaha menengadahkan wajahnya untuk melihat sekitar lagi, tiba-tiba ia melihat sepatu lagi duduk-duduk di tepi jalan. Namun tidak dengan pakaian seksi. Pakaiannya biasa saja, casual. terlihat Sukoco masih melihati perempuan-perempuan itu sambil menjalankan gasnya.

Utama

"Ada anjing disekitar sini."

Sukoco

"Namanya juga daerah sini bro, biasa."

Utama

"Ah, lho gak tau sih."

Utama masih memandangi Sepatu yang terlihat duduk-duduk bercengkrama dengan perempuan lain. Wajah manisnya seakan memberi tahu Utama kalau beginilah sejatinya kehidupannya.

Utama mengusap-usap wajahnya, ia juga mengusap keningnya.

Sukoco

"Lho lihat itu, (Sambil menunjuk mobil mewah yang dikerubuti banyak perempuan)

"Kalau gue kesini bawa mobil lain, gue pasti kaya gitu jatuhnya. Untung gue bawa mobil ini."

Utama hanya melengos saja dan diam.

Jalanan becek berlumpur gemerlap tadi-pun sudah terlewati dengan mudahnya. Namun Utama seakan-akan gak percaya. Mungkin Sepatu memang menggodanya di kereta waktu itu, bukan meminta bantuannya.

Sukoco

"Gimana? Udah lemes? kalau belum kita putar lagi. Kalau lu mau jajan boleh. Kalau gue. Gue ada kode etiknya, gue udah punya bini.

Utama

"Pulang aja-lah. Mau ngapain kita kan" (Utama mood-nya berubah setelah melihat Sepatu)

Mobil berjalan cukup jauh, dan ketika Sukoco mau memutarnya. Utama memegang setir kemudinya. Dengan wajahnya ia berkata. Plis, gausah lewat sana lagi pada Sukoco.

Sukoco akhirnya menggeber mobilnya, lewat jalanan lain dan tak berputar balik, menghormati Utama.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar