Rumah Kardus
Daftar Bagian
1. Damar & Nirmala
"Ayo kita bikin janji buat bangun rumah impian kita. Dimulai dari rumah kardus ini," ajak
2. Nenek & Paman
"Aku harap Pamanku mati aja, biar ngga ada lagi yang bisa gangguin Nenek," kata Damar yang
3. Tragis...
"Mala... Kamu di mana sih?" bisik Damar pada dirinya sendiri.
4. Damar & Mara
"Kok kamu nangis? Kamu cowo bukan?" tanya Mara kepada Damar yang sedang menangis karena me
5. Mempertanyakan Pribadi Nenek & Paman
"Mungkin Nenekmu itu ga sebaik yang kamu bayangin. Dan Pamanmu juga mungkin ga seburuk yang kam
6. Mengungkap Kebenaran tentang Ibunda Damar
"Kamu tau dulu Ibumu cita-citanya jadi apa? Jadi pe-na-ri... Dan dia emang punya bakat juga di
7. 9 Tahun Kemudian...
Aku bangga banget sama kamu, Mar, karena kamu udah nepatin janji kamu sejauh ini: kamu lagi ngejalan
8. Kembali ke Kampung Halaman...
"Oh, Damar cucuku... Nenek kira kamu udah lupa sama Nenek... Kamu ke mana aja? Kenapa ga perna
9. Pergulatan Batin Damar
"Aku udah ga bisa lagi ngedikte kamu, Mar. Tapi kalo kamu sampe lakuin ini... Kamu bakal kehila
10. Kegelapan Hati Damar
"Inget Mar... Kita lakuin ini buat kebaikan Nenek sendiri, bukan buat kita. Jangan sampe ada pe
11. Hilangkah Kekosongan Itu?
"Ini kan Mal, yang kamu pengen aku lakuin?" tanya Damar pada Nirmala kecil dengan mata ber
12. Fakta Mengejutkan
Damar tampak terkejut, tetapi pada waktu yang sama ia seperti mendapatkan kesadaran. Ia menutupi mul
13. Damar Menetapkan Pilihannya...
"Kalau Bapak ngehukum saya, Bapak ngehukum Mara juga, dan dia ga bersalah sedikitpun," uja
7. 9 Tahun Kemudian...

TITLE CARD: 9 tahun kemudian...

FADE IN

INT. STUDIO ARSITEKTUR - SIANG HARI

Damar (21) sedang dalam proses finishing maketnya yang merupakan model tiga dimensi dari sebuah bangunan rumah yang ia rancang. Maket tersebut memiliki bentuk dominan kotak dan mengikuti estetika pos-modernisme.

Dalam satu ruangan dengannya, adalah sejumlah mahasiswa dan mahasiswi arsitektur lainnya yang juga sibuk dengan maket mereka masing-masing. Seorang DOSEN (49) berjalan keliling-keliling untuk melihat progress yang dibuat tiap mahasiswanya.

DOSEN

(mengomel pada mahasiswa laki-laki di belakang Damar; memperhatikan maketnya)

Gusti, modelmu ini ngeplagiat dari Taj Mahal apa gimana?

Seisi kelas menjadi memperhatikan GUSTI (21), yang tampak malu.

GUSTI

Ng--ngga, Pak. Saya ngga ngambil referensi dari Taj Mahal sedikitpun kok Pak.

DOSEN

(bertanya kepada seluruh mahasiswa)

Teman-teman... Coba lihat modelnya si Gusti ini. Apa cuma saya, atau emangnya 11 12 banget sama Taj Mahal ya?

Hampir semua mahasiswa lain yang ditanya mengangguk-angguk, kecuali Damar, yang justru tampak bersimpati dengan Gusti, yang tampak amat malu dan egonya hancur.

DOSEN

Gusti... Saya lihat semakin hari orisinalitasmu semakin menurun. Sebaiknya kamu cepat introspeksi diri kalau kamu ingin lulus kelas saya.

Dosen itu pun hanya menggeleng-gelengkan kepala lalu berjalan untuk berkeliling lagi ke modelnya anak-anak lain. Gusti hanya memandangi maketnya dengan penuh kekecewaan.

Dosen itu berjalan melewati maketnya Damar dan model tersebut berhasil menangkap perhatian Dosen. Ia melihat maket Damar dengan lebih dekat dan penuh rasa penasaran, lalu wajahnya terlihat kagum dan terkesan.

Dosen itu membalikkan badannya menghadap Gusti kembali.

DOSEN

Gusti.

Gusti membalikkan badannya dan menghadap Dosen.

DOSEN

(menunjuk maket Damar)

Nah ini barulah yang namanya orisinalitas.

Dosen itu memandang Damar dengan penuh rasa bangga dan puas, tersenyum lebar dan menepuk bahunya. Damar pun ikut puas dan tersenyum sopan kepada Dosen, sementara Gusti menjadi semakin down. Gusti tertunduk malu.

DOSEN

(kepada Damar)

Kamu hebat, Damar. Kamu mungkin masih jadi mahasiswa tingkat akhir, tapi kemampuan kamu udah melebihi mayoritas arsitek yang udah sarjana.

DAMAR

Terima kasih, Pak.

Tanpa Damar sadari, dari tadi Gusti menyaksikannya dengan pandangan yang menunjukkan sedikit rasa iri.

DOSEN

Saya mau merekomendasikan kamu kepada salah seorang teman saya yang adalah seorang pemilik firma arsitektur tidak jauh dari sini, namanya Pak Ridwan. Siapa tau dia bersedia melibatkan kamu buat magang dalam salah satu projectnya. Buat pengalaman...

Damar mengangguk kepada Dosen dengan senyuman yang lebar, tetapi begitu Dosen berjalan menjauh, pandangan Damar langsung tertuju pada Gusti yang langsung membuang pandangannya setelah mendapati Damar melihat balik ke arahnya. Jelas Gusti masih sedih akibat kritik pedas dari Dosen tadi.

CUT TO:

INT. KORIDOR KAMPUS - SORE HARI

Damar berjalan sendirian di tengah kerumunan yang sedang berlalu lalang atau berbincang-bincang. Ia juga memegang maketnya yang sudah selesai itu.

Tanpa Damar sadari, Gusti mencoba mengejarnya dari belakang.

GUSTI

(mencoba melewati kerumunan untuk dapat mengejar Damar)

Damar!

Damar melihat ke belakang tetapi tidak menghentikan langkahnya. Pada saat yang sama Gusti pun akhirnya dapat sampai kepada Damar, dan kini berjalan di sebelahnya.

GUSTI

(dengan nada main-main)

Maruk banget sih lu. Semua pujian Dosen ambil aja sendiri.

DAMAR

(tersenyum tetapi menggeleng-gelengkan kepala)

Gua cuma jadi diri sendiri kok Gus. Gua ga cuma sok baik di depan dia.

GUSTI

(memandang Damar dari atas ke bawah)

Ya... Itulah keuntungannya terlahir sempurna dan berbakat, ya kan?

DAMAR

Itu ga bener. Ga ada yang sempurna Gus, lu tau itu.

GUSTI

Ga ada yang sempurna, tapi ada yang mendekati. Kebetulan lu salah satunya, Mar. Gitu kan maksud lu?

Damar tidak menjawab lagi, ia hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.

GUSTI

Abis ini gua mau ke McD nih nongkrong sama yang lain. Ikut ga Mar? Mungkin abis itu lu bisa ngajarin gua juga cara bikin maket yang "orisinil". Sesama anak rantau saling bantu lah bro.

Gusti tertawa tidak enak.

DAMAR

Sorry, Gus. Abis ini gua ada anak les nih sampe malem. Lain kali aja ya.

Gusti menghentikan langkahnya, tampak agak kecewa, sementara Damar terus berjalan menjauhi Gusti, melambaikan tangannya ke belakang.

CUT TO BLACK

FADE IN

INT. KAMAR KOS GUSTI - MALAM HARI

Gusti telah kembali ke kosannya dalam keadaan lelah. Ia mengembuskan napas setelah menutup pintu kamarnya dan berjalan menuju meja belajar. Terdapat ransel di punggungnya dan maket di tangannya. Meja belajarnya terlihat rapi. Ia menatap maket itu sekali lagi dengan pandangan kecewa sebelum meletakannya di atas meja belajar. Tas ranselnya pun ia taruh di atas kursinya, dan ia duduk di atas ranjang. Ia menunduk karena mengingat-ngingat kejadian buruk hari ini di studio aristektur.

Ia kepikiran sesuatu. Ia mengeluarkan handphonenya dan menghubungi seseorang. Nada panggil berbunyi. Teleponnya pun diangkat dan Gusti tersenyum.

IBU GUSTI (V.O.)

Halo. Gusti?

GUSTI

Halo Bu... Ibu sama Ade gimana di sana?

IBU GUSTI (V.O.)

Alhamdulillah sehat Gus. Kamu gimana kuliahnya?

GUSTI

(tampak sedih)

Lagi susah di kuliah, Bu. Aku ngerasa udah berusaha yang terbaik, tapi kaya belum ngebuahin hasil. Kerjaan aku terus-terusan dikritik sama Dosen...

(tertunduk lesu)

Aku ngga tau harus gimana lagi biar bisa ngejar temen-temen yang lain.

IBU GUSTI (V.O.)

Ndak apa-apa, Gus. Yang penting kamu lakuin yang terbaik... Ibu ga ngarepin yang macem-macem kok, kamu bisa lulus aja itu udah cukup. Ibu ngga mau kamu terlalu stres soal prestasi, karena inget, itu bukan segala-galanya Gus. Biarin aja teman-temanmu kejar hal yang begituan, tapi kamu ga perlu jadi sama seperti mereka, Gus.

GUSTI

(merasa terhibur, beban terangkat)

Iya... Ibu bener. Makasih ya Bu udah ngingetin lagi.

IBU GUSTI (V.O.)

Iya.

GUSTI

(mengganti topik)

Nanti hari Minggu aku pulang ya Bu... Mau dibawain apa?

Gusti pun terus melanjutkan obrolannya dengan Ibunya.

FADE TO

INT. KAMAR KOS DAMAR - SIANG HARI

TOK TOK TOK.

Suara ketukan pintu dari luar membangunkan Damar. Ia terbangun di kamar kosnya yang tampak menengah ke atas. Ia mengambil posisi duduk, menurunkan kedua kakinya sambil mengucek-ngucek mata. Dalam keadaan yang masih sangat ngantuk, Damar berdiri dan berjalan menuju pintu kamar kosnya sambil senam sedikit, dan sambil berjalan menuju pintu, ia melewati meja belajarnya yang amat berantakan karena dipenuhi oleh sketsa-sketsa gambar bangunan dan buku-buku kuliah arsitektur yang ada di mana-mana. Di atas meja belajarnya juga Damar masih menyimpan miniatur rumah yang terbuat dari kardus yang Nirmala siapkan untuk ulang tahunnya bertahun-tahun silam.

Damar membuka pintunya, dan MARA (21) ada di sana, mengenakan baju santai dan celana pendek.

MARA

(memperhatikan muka bantal Damar)

Oh maap... Gue ngebangunin lu ya?

Damar tidak menjawab karena ia tahu itu hanyalah pertanyaan main-main. Mara juga tidak mengharapkan jawaban, ia hanya berjalan masuk saja ke kamar Damar melewatinya. Damar menutup pintunya dan berjalan menyusul Mara.

Mara berjalan menuju ranjang sambil memperhatikan meja belajar Damar yang berantakan itu sembari berjalan melewatinya.

MARA

(duduk di atas ranjang Damar)

Begadang lagi?

DAMAR

(memutar kursi meja belajarnya menghadap Mara dan duduk di sana)

Emang lu ngga Mar?

MARA

(tertawa kecil)

Gua juga begadang tapi seengganya gua ngga kebablasan kaya lu.

DAMAR

(berdiri dan berjalan menuju dapur kecil di pojok ruangan)

Dan... Gua salut banget sama lu. Tapi sesama anak arsitek pasti ngerti lah. Itu sama sekali ga gampang.

Damar mengeluarkan cangkir dan satu saset kopi.

DAMAR

(membalikkan badan)

Kopi?

Mara mengangguk-angguk. Ia mengambil guling Damar di belakangnya dan duduk sambil memeluk guling itu, sementara Damar mengambil sepasang cangkir dan saset kopi lagi. Ia juga mulai memanaskan air.

MARA

Mar... Kapan terakhir kali kamu ngunjungin Nenek?

Raut wajah Damar langsung berubah seketika, menjadi moody, tetapi Mara tidak dapat melihatnya mengingat Damar sedang membelakanginya, menghadap counter dapur.

DAMAR

Cukup lama...

MARA

Kapan rencananya kamu bakal ngunjungin dia lagi?

DAMAR

(mengembuskan napas)

Aku ngga tau. Mungkin ga dalam waktu dekat ini.

MARA

(mememblekan bibir bawahnya)

Kenapa ngga?

Damar membalikkan badannya seketika dan terlihat sedikit kesal.

DAMAR

(membuka kedua tangannya)

Kenapa ngga..? Mar, bertahun-tahun dia nyembunyiin alesan sebenarnya di balik kematian ibu aku. Kenapa? Karena egonya terlalu tinggi buat ngaku dia juga ikut bertanggung jawab.

Mara bungkam, memeluk guling Damar semakin erat.

DAMAR

Jadi sekarang kalo aku bisa milih, ya aku lebih prefer ga usah ketemu sama dia, karena tiap-tiap bawaannya itu batinku terasa sakit.

Suara air mendidih terdengar, dan Damar membalikkan badannya untuk mematikan kompor. Mara tampak kecewa berat mendengarkan apa yang Damar katakan barusan.

MARA

(berdiri)

Apa kamu udah lupa tentang semua hal baik yang Nenek udah lakuin buat kamu?

Damar tidak bereaksi. Ia hanya lanjut membuat kopinya: menuangkan air panas ke dalam dua cangkir yang ada di depannya.

MARA

(berjalan mendekati Damar)

Aku bangga banget sama kamu, Mar, karena kamu udah nepatin janji kamu sejauh ini: kamu lagi ngejalanin mimpinya Nirmala...

Raut wajah Damar berubah seketika, dari yang tadinya kesal kini menjadi rapuh. Ia mengaduk-ngaduk cangkir kopi yang pertama dengan pelan.

MARA

Tapi aku ga suka kalo kamu jadi kacang yang lupa kulitnya. Memang bener, ngga sepantesnya Nenek nyembunyiin itu dari kamu... Tapi udah gitu berkat Nenek juga kamu bisa kuliah sekarang...

Mara kini telah berdiri tepat di samping Damar, menghadap samping wajahnya Damar yang masih menatap ke arah cangkir kopi yang ia aduk.

MARA

Coba kamu inget-inget... Apa yang harus Nenek kamu korbanin buat ngebiayain kuliahmu yang mahal ini?

DAMAR

(mengaduk cangkir yang kedua; mengembuskan napasnya)

Tanahnya... Dia ngejual tanahnya.

MARA

(mengangguk-angguk)

Dan sekarang... Apa yang masih dia punya?

DAMAR

Ga ada.

Mara meraih bahu Damar, mencondongkan badannya semakin dekat kepada Damar.

MARA

Itu caranya Nenek kamu minta maaf sama kamu, Mar. Dia udah ngasih segalanya buat kamu, masa sih kamu ga bisa ampunin dia?

Damar menarik napas dalam-dalam dan membuangnya. Beres mengaduk cangkir yang kedua, ia meletakkan sendoknya di tempat pencucian piring.

MARA

Belum lagi kamu pernah bilang kondisinya terus menurun... Dan dia sebatang kara di sana. Gimana kalo dia kenapa-kenapa dan ga ada ada yang nolongin?

Perkataan itu membuat Damar menatap langsung ke arah Mara.

MARA

Emangnya kamu bakal bisa maafin diri sendiri kalo yang terburuk itu sampe terjadi?

Damar merenung sejenak, sementara Mara terus melihat Damar, menunggu responsnya.

DAMAR

Oke Mar... Aku bakal kunjungin Nenek lusa, berangkat subuh-subuh. Soalnya besok ada interview magang dulu di firma temennya dosen aku. Nanti kunci kosan aku titip ke kamu aja ya.

Mara tersenyum kepada Damar, mengangguk-angguk dan menepuk-nepuk bahunya.

MARA

Nah gitu dong. Itu Damar yang aku kenal.

Damar menggeser secangkir kopi yang lebih dekat dengan Mara ke arahnya.

DAMAR

Minum dulu nih... Keburu dingin. Ga enak.

Damar pun mengangkat cangkirnya sendiri dan meminum seteguk kopinya.

MARA

Ihh. Justru aku ga suka panas-panas tau. Ada es batu ga sih di sekitar sini?

Mara melihat-lihat sekitar, lalu pandangan keduanya kembali terkunci, dan tertawa kecil bersama.

CUT TO:

INT. KAMAR KOS MARA - SORE HARI

Habis dari kamar Damar, Mara pun kembali ke kamar kosnya sendiri. Berjalan ke meja belajarnya, ia menarik napas dalam-dalam dan membuangnya, sambil memijat-mijat kepalanya sendiri.

Mara duduk di balik meja belajarnya, lalu merenung. Mara masih terheran-heran dengan perasaan dan pemikiran Damar. Menurutnya apa yang dihadapi Damar tidak mudah, sesuatu yang sulit dan juga berat. Tetapi tetap saja Mara tidak bisa membenarkan sikap Damar. Mara memikirkan dengan keras bagaimana cara yang nyaman untuk menasihati Damar. Alih-alih memunculkan solusi, Mara malah mengambil secarik kertas, dan mulai menuliskan beberapa kata disitu.

MARA (V.O.)

(sambil menuliskannya dalam bentuk puisi)

Apakah itu perasaan, rasa sayang dan kekeceawan? Setiap kita manusia sangatlah rapuh--

CUT TO:

INT. KAMAR KOS MARA - LATER

Mara telah selesai menuliskan sebuah puisi yang utuh. Setelah menuliskan semua itu Mara membaca puisi karangannya itu sekali lagi dengan gerakan bibir yang penuh penghayatan, sambil mengingat dan memahami perasaan Damar tentang masa lalunya. Setelah cukup puas dengan semuanya itu, ia mengangguk-angguk dan menyelipkan selembar kertas itu di buku agenda kerjanya.

FADE TO:

INT. FIRMA ARSITEKTUR - SIANG HARI

Mengenakan kemeja anak muda yang rapi dan sebuah tas selempang serta map amplop coklat besar untuk dokumen di tangannya, Damar mengikuti seorang resepsionis menuju kantor orang yang akan mewawancaranya.

Dalam perjalanannya, Damar melihat-lihat sekelilingnya: ada orang-orang yang sedang berbincang-bincang sambil minum kopi, keryawan yang sedang membuat model bangunan 3D dengan software komputer, ada yang sedang merancang blueprint, dan ada juga yang sedang membangun maket

Damar telah sampai pada ruangan kaca tempat ia akan diwawancara.

CUT TO:

INT. RUANGAN PAK RIDWAN - KONTINU

PAK RIDWAN (48) sedang duduk di balik mejanya, mengetik di laptop ketika resepsionisnya mengetuk pintu.

RESEPSIONIS

Permisi Pak... Ini yang wawancara sudah datang.

PAK RIDWAN

(berdiri dan mendekati Damar)

Oh iya iya... Terima kasih ya Sharon.

Resepsionis itu menganggukan kepala dan meninggalkan Damar bersama Pak Ridwan. Pak Ridwan yang tampak ramah menyalami Damar duluan.

PAK RIDWAN

Saya Ridwan. Pak Angga cerita banyak soal kamu.

DAMAR

(menyalami Pak Ridwan dengan sopan)

Damar, Pak.

PAK RIDWAN

(mempersilakan Damar duduk, berjalan kembali menuju kursinya)

Silakan duduk, Mar.

Keduanya pun kini duduk berhadap-hadapan. Posisi duduk Damar sedikit lebih kaku.

PAK RIDWAN

Damar, mungkin kamu kira hari ini saya akan wawancara kamu buat nentuin kamu layak dapet kerjaannya atau ngga... Tapi kamu salah.

Damar tampak tidak mengerti.

PAK RIDWAN

Karena kalau kamu memang mau Mar, pekerjaannya sudah jadi milikmu.

DAMAR

(dengan terkejut)

A--apa? Apa Bapak ga mau lihat resume atau portofolio saya dahulu? Saya sebetulnya bawa sih.

PAK RIDWAN

Silakan saja kalau kamu mau menunjukkan, tetapi untuk mendapatkan posisi magangnya, saya tidak perlu tahu lebih lagi. Rekomendasi dari Pak Angga saja sudah lebih dari cukup bukti buat saya bahwa kamu orangnya mampu, karena saya tau benar standarnya Pak Angga itu tinggi sekali dan dia ngga akan sembarangan merekomendasikan mahasiswanya kecuali mahasiswa itu memang luar biasa hebat.

DAMAR

(dengan amat senang)

Terima kasih, Pak. Saya merasa terhormat sekali boleh bekerja di tempatnya Bapak.

PAK RIDWAN

Bagus, bagus kalau kamu mau... Jadi kamu akan mulai magang dua minggu dari sekarang, dan pertama-tama kamu akan pegang proyek perumahan baru yang rencananya akan dibangun di daerah Bandarkalong. Kamu tau di mana itu?

DAMAR

Tau, Pak. Sebetulnya, tempat asal saya tidak jauh dari sana.

PAK RIDWAN

(mengangguk-angguk)

Cuma sekarang kita lagi proses perizinan dulu dengan beberapa pihak setempat, karena tanah yang kita akan pakai itu untuk sekarang ini masih dihuni pasar-pasar tradisional. Semoga perizinannya bisa cepat.

Damar mengangguk-angguk. Ia merasa puas dan senang bisa langsung dengan mudah dan cepat mendapatkan pekerjaannya.

CUT TO:

INT. FIRMA ARSITEKTUR - LATER

Damar meninggalkan kantor Pak Ridwan dan berjalan menuju pintu keluar, tetapi di depan kantor Pak Ridwan, Ridwan bertemu dengan Gusti yang sedang duduk di kursi tunggu, sama dengan mengenakan pakaian yang rapi, memakai tas selempang dan membawa map amplop coklat.

GUSTI

(berdiri dan berjalan mendekati Damar)

Damar? Lu ngapain di sini bro?

DAMAR

Abis wawancara, dari rekomendasinya Pak Angga itu. Lu juga mau wawancara?

GUSTI

Oh... Lu mah udah pasti auto langsung dapet kerjaannya sih ya. Gua mah ga wawancara, Mar.

(garuk-garuk kepala)

Kan bukan gua yang dapet rekomendasinya Pak Angga.

Gusti hanya bisa tertawa canggung.

GUSTI

Gua mah ke sini mau nawarin proposal proyek kecil-kecilan aja, siapa tau gua hoki dan bisa dapet duit. Lu tau sendiri lah... Ibu gua mau umroh, dan ade gue juga sekolahnya masih harus dibiayain. Ya gua mungkin ngga ga sejago lu Mar, tapi kalo bukan gua yang berjuang buat keluarga gua, siapa lagi?

Damar mengangguk dan tersenyum sopan kepada Gusti, menyatakan rasa setujunya.

DAMAR

(menepuk pundak Gusti sambil pergi)

Good luck ya. Semoga berhasil.

Damar pun pergi meninggalkan Gusti, sementara Gusti membalikkan badannya dan menyaksikan kepergian Damar.

CUT TO BLACK.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar