1. Hi, you! #Scenes 1 - 5

PAMIT

Written by

Rolly Roudell

Draft 4

1. INT. RUMAH LIZA DAN DEV - DAPUR - PAGI 

Liza sedang menyiapkan sarapan, ia terlihat sendu. Sementara Dev menuruni tangga dari kamar menuju dapur. Mereka tak sengaja saling pandang sesaat, terlihat canggung. Kemudian Dev berjalan cuek menuju meja makan yang di atasnya sudah ada secangkir kopi panas dan koran pagi, ia menarik kursi yang merapat pada meja. 

Liza meletakkan dua piring sandwich kemudian mengambil gelas dan menuangkan air putih. Dev menyeruput pelan kopinya. Mereka duduk berhadapan di kursi masing-masing. Tak ada yang berbicara. Dev menikmati sarapan dan kopinya sambil membaca koran. Liza sesekali membuka HP-nya. Mereka terlihat sama-sama canggung dan berusaha sibuk sendiri. 

Beberapa saat kemudian Dev beranjak meninggalkan meja makan tanpa pamit. Liza melihatnya dengan mata merah berkaca-kaca sampai Dev menghilang di balik pintu. Dari jendela kaca dapur Dev terlihat menyalakan mobil, berangkat kerja.

LIZA

 …… (air matanya jatuh)

FADE IN.

2. INT. KANTOR - PAGI

Liza berjalan tegas menuju ruangan kerjanya. Menyalakan laptop setelah duduk. Beberapa saat Pintu diketuk.

LIZA

Iya, silahkan masuk!

Asistennya masuk, menutup pintu,lalu berjalan mendekati meja kerja Liza.

DORIS

Selamat pagi, Mbak. Bu Raline memesan lagi gaun yang dua bulan lalu dia pesan, tapi dia minta warna hitam untuk perilisan parfumnya nanti.

Liza melihat layar Smartphone yang disodorkan Doris.

LIZA

Oh, okay. Masih desain yang sama. Jadi nggak terlalu mengganggu pengerjaan kita yang untuk outfit film juga. Kamu selesaikan saja dulu pesanan Bu Raline ini.

DORIS

Siap, Mbak. Ini data yang kemarin Mbak minta. (menyerahkan sebuah Hard disk) Saya permisi, Mbak.

LIZA

Thanks, Doris.

 

Doris keluar ruangan. Liza melirik handphonenya di samping laptop. Wajahnya terlihat sendu kembali.

LIZA

Dev… (menghela nafas berat)

Liza meraih pigura putih kecil di meja, terlihat wajahnya bersama Dev tersenyum dalam foto itu. Ia lalu tersenyum getir. 

Liza mengembalikan pigura itu dan mulai bekerja di laptopnya.

CUT TO.

3. INT. KANTOR DEV - SIANG

Dev Keluar dari ruangan atasannya dengan raut wajah sedikit kusut. Menyusun beberapa berkas-berkas di atas mejanya, mengunci komputer. Menyandarkan punggungnya ke kursi, menutup mata beberapa saat. Seorang rekan kerja di ruangan sebelahnya menyapa (ruangan kerja mereka terbuka, hanya berdinding setengah).

FADLI

Dev, lu mau ikut makan siang keluar nggak?

DEV

Kalian aja deh kayaknya, Fad. Gue istirahat di sini aja, agak ngantukan ini.

FADLI

Jangan bilang berantem lagi sama istri. Udah gue bilangin,cepet-cepet punya anak, biar nggak berantem mulu. Itu si Tio, dia tambah anak kedua lagi tuh, habis ketahuan selingkuh! (dengan gaya ekspresif)

DEV

Ya gue bukan Tio, Fad. Lagian lu kebiasaan tahu terus ya urusan orang. (melempar pulpen ke Fadli)

Tiwi datang mendekati Dev dan Fadli.

TIWI

Lagi pada ngomongin apa sih ini? Yuk, keluar, lapar nih lapar! Eh lu kenapa Dev, kusut amat tuh muka?!

FADLI

Iya nih, si Dev, paling berantem sama istrinya lagi. Gue bilangin dia cepat-cepat punya anak biar makin harmonis nggak berantem mulu.

TIWI

Gue punya anak, malah ditinggalin laki. Belum tentu juga rumusnya harus gitu, tiap orang beda-beda masalah kali, lu ah!

FADLI

Yaelah, ni orang gue mah kasih saran doang. (manyun)

TIWI

Kalau mau kasih saran ya harus tahu dulu dong masalahnya apa. Lu sok tau sih! Fadli... Fadli... (memelototi Fadli) 

FADLI

Ini Dev, cuy!! Gue nggak nemuin masalah Dev yang lain lagi sih selain ngambekan sama istri. Tiwi... Tiwi... (mengikuti gaya Tiwi)

TIWI

Ngambek kan banyak sebabnya juga. (mencubit lengan Fadli)

DEV

Masih mau berdebat kalian? Di luar sana, noh! (menatap Fadli dan Tiwi bergantian)

TIWI

Dev, lu jangan dengerin si Fadli deh, lu tuh cuma butuh komunikasi aja sama bini lu. Dan ingat ya, apapun masalahnya, cewek tuh butuh dikejar atau dibaikin kalau lagi marahan. Udah ah, gue mau makan keluar dulu. Ayo, Fad!

FADLI

Wanita memang selalu benar ya. (melirik Tiwi yang berjalan santai)

Gue duluan ya, Bro. (tersenyum lebar ke arah Dev)

Dev mengusap wajahnya. Ia tertegun sejenak kemudian mengambil handphone. Terlihat ragu. Dia mulai mengetik pesan."Hi, Za."

Cukup lama tak ada balasan, Dev menelpon. Panggilan terhubung, namun tak ada suara.

DEV

Hai, sayang.

INTERCUT.

4. INT. KANTOR - RUANG KERJA LIZA - SIANG

Sebuah panggilan masuk. Liza tertegun sebentar, kemudian menjawab panggilan tersebut.

LIZA

…… (menggigit bibirnya, terlihat ragu)

DEV

Hai, sayang.

LIZA

Hai...

DEV

Kamu sudah makan belum? (suara lembut)

LIZA

Kamu?

DEV

Belum.

LIZA

Sama.

DEV

Mama besok mau nginap di rumah kita, tadi dia ada telpon.

LIZA

Lalu? (mendadak sinis)

DEV

Kita jangan kelihatan sedang marahan ya.

LIZA

(Liza menghela nafas, diam beberapa saat) Di depan ibu kamu doang? (dengan nada ketus)

DEV

Sayang, Please. Kita adem aja Mamah tuh pasti nanyain terus, apalagi ngeliat kita diam-diaman.

LIZA

(Mulai emosi) Iya tahu, udah biasa juga. Paling-paling aku terus yang disindir. Wanita nggak boleh sibuk terus lah, wanita harus tinggal di rumah aja lah, wanita harus- (ucapan Liza dipotong Dev)

DEV

Sayang, kamu tahu sendiri kan, gimana Mamah.

LIZA

Dev, yang ngejalanin rumah tangga kita itu kamu sama aku, bukan Mama kamu. (emosi)

DEV

Iya sayang, lagian bukan cuma Mama kok yang pengen banget nimang cucu. Aku juga pengen ada Dev kecil di rumah kita. Kamunya aja yang- (terpotong)

LIZA

Yang menunda-nunda terus? Iya? (nada suaranya meninggi) Dev, kamu selalu bilang kamu ngerti.

DEV

Iya aku ngerti. Kamunya? Ngerti aku nggak? 3 tahun ya, Za. (dengan nada suara dingin)

LIZA

Oh, kalau mau bahas soal ngerti nggak ngerti, emang selama 3 tahun ini aku ngapain aja ya? Dari awal kita nikah aku udah bilang, Dev.

DEV

Iya, iya, aku nggak ngerti dan kamu ngerti. Terusin aja karir kamu. Terusin sampai benar-benar tercapai semua yang kamu mau. I’m okay.

LIZA

Dev, kamu seharusnya- (terpotong)

DEV

Besok Mama datang, kita jangan marahan ya. I love you. Jangan lupa makan ya sayang. (telpon dimatikan)

LIZA

Dev? Dev? (menahan emosi) Argh!! Andai saja kamu tahu kenapa aku begini, Dev. Bakalan bunuh diri kamu! (melempar HP ke atas meja)

Liza melangkah mendekati jendela kaca ruangannya. Suasana kota Jakarta di bawah sana terlihat. Ia memandang kejauhan di luar sana.

FLASHBACK.

5. INT. KAFE - SIANG

(Beberapa tahun yang lalu sebelum Liza dan Dev menikah.)

Hujan sedang turun deras. Di sebuah kafe, Liza sedang asik membaca buku novel, cappuccino panas di atas meja menemaninya. 

Di sudut kedai tersebut, Dev yang sejak tadi memperhatikan Liza terlihat memberanikan diri mendekatinya.

DEV

Hai, Aku Dev. (mengulurkan tangan, tersenyum)

Liza tampak kebingungan melihat Dev. Ia lalu melihat kiri kanan, hanya mereka berdua pengunjung di kafe tersebut.

DEV

Iya, Aku Dev. Boleh duduk di sini? (tampak sedikit gugup namun percaya diri)

LIZA

Ya, Ha… hai… Bo, boleh, silahkan. (Sedikit ragu)

Dev duduk di depan Liza. Tersenyum.

DEV

Kamu namanya siapa?

LIZA

Liza... (tersenyum canggung)

DEV

Maaf, sebenarnya bukan bermaksud untuk… (terlihat salah tingkah)

LIZA

Mau kenalan? (Liza tertawa kecil)

DEV

Nah, itu dia. 

Mereka terkekeh kecil bersamaan. Diam beberapa saat, tampak malu-malu.

Liza mengambil gelas kopinya, lalu menawarkan Dev.

LIZA

Do you like Cappucino? (menyeruput pelan kemudian)

DEV

Nggak terlalu sih.

LIZA

Mau dipesan?

DEV

Oh nggak, tadi duduk di sana sudah habis satu gelas. (menunjuk ke sebuah meja di ujung ruangan)

LIZA

Jadi dari tadi di sana? (rasa canggung mulai hilang)

DEV

Kebetulan tempat favorit sih. Dulu pertama kali lihat kamu juga pas lagi duduk di sana. (tersenyum)

LIZA

Oh ya, yang mana ya, aku lumayan sering mampir ke sini sih. Jadi lupa. (mulai tertarik)

DEV

Ini yang kesekian kali aku melihat kamu. (tersenyum) Aku ingat sekali syal merah hati yang kamu pakai waktu itu. Kamu turun dari mobil lari-lari kecil, menutupi muka kamu dengan tas hitam, masuk dan duduk di kursi dan meja ini juga. Selalu di meja ini. 

LIZA

Haha… (Mengangguk-ngangguk) I see. Setiap orang selalu punya satu tempat yang membuat mereka nyaman, kan? Meja ini nyaman.

DEV

Setuju. Hal yang sama juga kulakukan di meja sana. Cuma waktu itu nggak berani nyapa sih.

LIZA

By the way, sebenarnya aku terbuka kok orangnya, untuk kenalan. Karena aku senang aja banyak teman, mengobrol dengan orang, kadang juga kita bisa belajar dari cerita orang lain, kan?

DEV

Setuju lagi. Kalau begitu mari bercerita! (tersenyum lebar)

LIZA

Ceritakan legenda namamu siapa? (tertawa kecil)

DEV

Terlahir dari keluarga sederhana, saya diberi nama Deva Adikara oleh Ayah saya yang kemudian meninggal dunia saat saya masih SMP. Kini tinggal dan bekerja di Jakarta, Ibu saya di Jogja. (menirukan suara dan pembacaan cerita di atas panggung)

LIZA

Hahaha

Dev melihat buku yang dibaca Liza, terlihat dibalik sampul bukunya sebuah tulisan. Dev membacanya.

DEV

Liza Caroline...

Liza mengikuti pandangan Dev ke tulisan yang dibacanya. Mereka lagi-lagi tertawa kecil bersamaan.

Obrolan mereka berlanjut ke berbagai hal, terlihat sangat menikmati pertemuan tersebut.

CUT TO.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar