10. Skena 9 Bertemu Kawan yang Terlupakan
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Kernet

               Nenek asli Batu Besar? Kok saya baru lihat nenek. Sudah lama merantau nek?

               Nenek

               Bukan, suami saya yang rumahnya batu besar. Bapak rumahnya Batu Besar?

               Kernet

               Iya nek, rumah saya Batu Besar. Nenek merantau?

Nenek itu mengangguk dan diam. Bus bergoncang-goncang.

               Kernet

               Kemana nek?

               Nenek

               Saya di Sungai Panjang.

               Kernet

               Oh disana.

               Nenek

               Iya pak.

Mereka saling diam, kernet itu duduk di kursi samping nenek itu. Menghitungi karcis dan uang.

               Kernet

               Batu besarnya yang mana nek?

               Nenek

               Di Samping Stasiun Kereta yang mati ituloh.

               Kernet

               Oh rumah besar itu

               Nenek

               Iya

               Kernet

Nenek dulu disitu?

               Nenek

               Memang bapak tahu?

               Kernet

Disitu rumahnya orang terkenal nek. Orang kaya. Dulu saya masih kecil, orang itu jadi orang terkaya.

Nenek itu melongo dan bingung. Ia memandangi senja dari di atas bus yang terlihat merekah dibarat sana.

               Kernet

               (Sayup-sayup terhalau suara bus) Kalau tidak salah namanya (wawawa)

Nenek itu diam mengangguk.

               Nenek

               Betul pak, itu namanya (Nenek mengusap matanya yang berair)

Kernet itu dengan tenang menghitungi uangnya.

               Kernet

               Kalau tidak salah, dia itu preman nek. Dia juga dibunuh preman dijalan.

               Nenek

               Masak sih pak?

               Kernet

               Iya, masak nenek nggaktahu?

               Nenek

               Nggak.

Kernet itu membenarkan posisi duduknya.

               Kernet

Lihatlah nek, hartanya banyak darimana. Memang orang itu dulu anaknya siapa? Sawah saja nggakpunya, sapi juga nggakpunya. Dapat uang darimana nek?

               Nenek

               Masak sih pak? Saya masih tidak percaya. Dia orang baik pak.

               Kernet

Iya nek, orang Batu Besar juga tahu dia orang baik. Tapi caranya mencari kekayaan itulho. (wajahnya meyakinkan dan sinis)

               Nenek

               Masak sih pak? Kok saya baru dengar hari ini.

               Kernet

Nek, sekarang coba deh dipikirkan lagi. Orang desa itu dapat uang darimana sih nek?. Kalau nggak tani ya dagang. Paling-paling ya kayak saya ini narik bus. Kalau orang itu nek, dapat uang darimana? Preman dia nek.

Nenek itu diam, jalanan yang menjelang magrib diisi dengan suara-suara sayup-sayup suara shollu-shollu masjid ketika hendak maghrib.

Bus berjalan berasap, berhenti kadang berjalan.

Bus berhenti disebuah warung kecil ditepi jalan. Dengan Masjid diseberangnya.

               Nenek

               Kenapa berhenti pak?

               Kernet

Ini busnya mau masuk hutan nek. Ini masih maghrib juga, jangan masuk maghrib-maghrib. Nggak boleh.

Nenek

Oh, memangnya kenapa pak?

Kernet

Kalau nekat masuk, nanti bisa hilang nek. Nunggu barang setengah jam, nanti boleh berangkat lagi.

Supir bus turun beberapa orang turun, nenek itu diam di kursinya memegangi wajahnya sedih.

Seorang laki-laki tua yang juga penumpang mendekatinya. Dari depan tadi tempat duduknya, lalu berjalan ketempatnya.

               Kakek

               Kak (Mbak), mari ikut saya.

               Nenek

               Kemana pak?

               Kakek

Kita berdoa dulu disana (katanya menunjuk tempat ibadah lusuh dengan lampu pijar yang redup)

               Nenek

               Baik. (sambil melihati kakek itu, sepertinya kenal, sepertinya)

Nenek dan Kakek itu turun dari bus. Berjalan sama-sama membungkuk ke arah Tempat ibadah di seberang jalan.

Kakek itu menyebrang bersama nenek, kakek itu menyebrangi jalan sepi dan temaram dengan membungkuk-bungkuk.

Mereka berdua berjalan, tenang dan terlihat sopan. Saling menyebrangkan jalan.

Mereka berwudhu. Berjalan pelan-pelan dan masuk kedalam masjid yang temaram lampunya.

Int. Masjid/Tempat ibadah sepi nan temaram

Sholat berjamaah dilakukan, sepertinya ini memang masjid untuk musafir. Jadi jarang orang datang dan membersihkan.

Hanya terlihat dua orang perempuan yang masih muda, sepertinya juga dari warung depan yang sedang sibuk akan sholat disana.

Nenek itu sholat sendiri dibagian perempuan, sedang kakek itu juga sholat sendiri dibagian laki-laki.

Dalam sujudnya yang dalam, ia berdoa, lumayan lama sujudnya.

Kakek itu sudah menyelesaikan sholatnya, dan menunggu dari luar.

Nenek itu berdoa, seperti yang dilakukannya tadi siang di seberang pos polisi.

Terlihat kernet dari seberang jalan, melambai-lambaikan tangannya pada kakek di masjid. Kakek juga melambaikan tangan sambil berkata, “Sebentar”

Nenek masih berdoa.

Kakek itu medekat dan berbicara dibelakangnya, (kalau gereja, mungkin disamping kursinya. Mungkin, cmiiw)

Kakek

               Bus sudah hendak berangkat, mari

               Nenek

               Iya, mari

Mereka berdua berdiri dan sama-sama berjalan.

Mereka masuk kedalam bus dan duduk bersama. Di sebelah kiri kursi belakang.

               Kakek

               Mau kemana kakak memangnya?

               Nenek

               Batu Besar. Kalau bapak?

               Kakek

               Sama, saja juga mau ke Batu Besar.

Nenek tertarik dengan obrolan itu.          

Nenek

               Dimana pak rumahnya?

               Kakek

               Saya dibelakang balai. Kalau kakak ingin mengunjungi siapa?

               Nenek

               Saya ingin mengunjungi masa lalu.

               Kakek

               Masa lalu-nya memang ada disana?

               Nenek

               Iya

Bus berjalan, malam-malam, temaram lampu bus menggilas jalan yang sepi di tengah-tengah hutan dan ilalang begini.

               Kakek

               Kalau saya tidak salah dengar, apakah rumah kakak yang dibelakang stasiun?

               Nenek

               Iya.

Kakek itu tersenyum.

               Kakek

               Nanti turun bersama saya saja.

               Nenek

               Memang Bapak rumahnya dekat dengan situ?

               Kakek

               Sudahlah, ikut saya saja. Nanti saya cerita.

Nenek itu diam dan bus berjalan menggerus jalan sepi malam.

Terlihat, hutan sudahlah usai, berganti lampu-lampu yang terlihat lumayan temaram. Tanda masuk ke Batu Besar.

Jalan berkelok dengan berbagai macam gundukan dan pepohonan, namun terlihat malam.

Kakek itu terdiam, ia melihati Nenek itu diam. Bus berjalan dan kernet-pun berteriak.

               Kernet

               Tugu, tugu, tugu, tugu

Nenek itu hendak berdiri, namun kakek itu mencegahnya. Tangannya memberi petunjuk.

               Kakek

               Tenanglah kak, sebentar lagi.

Nenek itu diam dan mengangguk.

Orang-orang turun, diperempatan tugu dengan lampu merah hijau yang tidak berfungsi dan temaram.

Mereka semua diam dan memerhatikan.

Setelah semua turun, kernet naik lagi dan bus berjalan.

               Kernet

               Lapangan-lapangan

               Kakek

               Lapangan pak.

Kernet itu mengangguk, bus tetap berjalan dan kakek dan nenek itu bersiap turun.

Bus berhenti di depan sebuah lapangan dengan sebuah balai terlihat diujungnya.

Kakek itu turun dulu, dan nenek menyusul dibelakangnya. Sembari bilang terimakasih, nenek itu mengangguk pada Kernet itu.

Kakek itu berjalan, dengan tenang ia tetap berjalan didekat nenek.

               Kakek

               Masa lalu apa yang ingin kakak kunjungi?

               Nenek

               Saya tidak tahu pak.

Kakek itu diam dan tetap berjalan. Diantara temaram lampu kota disekitar balai, sepi.

               Kakek

               Suami dimana memangnya kak?

               Nenek

               Sudah meninggal, berpuluh-puluh tahun lalu.

               Kakek

               Iya nek, saya tahu.

               Nenek

               Bapak tahu?

               Kakek

               Iya, saya tahu siapa kakak dan siapa suami kakak.

Nenek itu diam. Ia diam. Sambil menahan air matanya, ia malu jika menangis.

               Nenek

               Saya tidak tahu lagi.

               Kakek

               Kenapa?

               Nenek

               Saya tidak tahu. Setiap hari saya hanya terbayang, saya akan bertemu dengannya.

Kakek itu tetap berjalan didepannya.

               Nenek

               Saya tahu dia meninggal, tapi saya tahu saya akan bertemu.

Nenek itu berjalan dibelakang kakek. Entah apa yang terjadi.

Mereka berdua berjalan, ke sebuah rumah kecil dibelakang balai. Rumahnya lumayan terang, ada seorang muda dengan anak-anak kecil disana.

Nenek itu diam, ia menyapa semuanya dengan anggukan.

               Kakek

               Ini nenek, dia teman kakek dulu.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar