Hujan Paling Jujur di Matamu - Skrip Film
1. Pertemuan di Kafe

1. INT. KAFE — SORE

YUDIS (27) duduk di sudut. Matanya menatap rintik hujan dari kaca jendela yang mulai berembun. Ia menuliskan nama ‘Dewanti’ di kaca, lalu menghela napas dalam dengan berat.

Tampak di luar, DEWANTI (25) menyeberang jalan setengah berlari memasuki kafe. Yudis segera menyambut di pintu dengan senyum dan tatapan penuh cinta, lalu menggiringnya ke meja sudut. Mereka duduk berhadapan dan bertatapan.

Di luar, hujan mereda. Langit gelap. Lampu-lampu menyala hampir bersamaan. Mata Yudis menerawang ke luar jendela.

YUDIS

(Menggumam) Sebanyak apa pun lampu, tak pernah bisa menandingi terangnya matahari. Seperti kamu di hatiku. Tak pernah terganti, Sayang.

Dewanti ikut menatap ke luar jendela dan mengangguk. Air mata Yudis mengembun di sudut mata kiri. Dewanti heran dan menatap Yudis sungguh-sungguh penuh simpati dan tanya.

DEWANTI

(Lembut) ada apa, Sayang? Kok, nangis?

Yudis jadi serba salah dengan kelembutan Dewanti.

DEWANTI (CONT’D)

Yang aku tahu, jika seseorang mengeluarkan air mata hanya di mata sebelah kiri, artinya tengah menyimpan beban berat.

Dewanti menggeser kursi mendekati Yudis.

DEWANTI (CONT’D)

(Semakin pelan) Ibu baik-baik aja, kan?

Yudis menarik napas panjang kemudian mengembuskan lambat.

YUDIS

(Sedih dan cemas) Saat ini, ya. Tapi, sewaktu-waktu penyakit jantungnya bisa kambuh. Aku takut ... kalau-kalau …

Dewanti menghela napas dalam dan menepuk lengan atas Yudis.

DEWANTI

Sabar ya, semua penyakit pasti ada obatnya, kan? Kita doakan aja agar Ibu ....

YUDIS

(Memotong) Sebagai mahasiswa kedokteran, kamu tentu tahu selemah apa jantung Ibu.

Yudis berusaha tenang lalu menatap Dewanti dalam-dalam.

YUDIS (CONT’D)

Ibu ... memintaku segera menikah. (Jeda) Menikahlah denganku, Sayang.

Tatapan Yudis begitu mengiba. Dewanti tersenyum maklum.

DEWANTI

Kamu kan tahu kalau orang tuaku juga ingin aku menikah setelah lulus kuliah. Cuma satu semester lagi, kok. Enggak lama, kan?

YUDIS

Aku paham, Sayang. Tapi, Ibu maunya disegerakan. Beliau malah akan menjodohkanku dengan anak pemilik pesantren sahabat Ayah. Ibu cuma memberiku waktu satu minggu untuk berpikir, Sayang.

DEWANTI

Dan kamu masih bingung? (Kecewa) ternyata, empat tahun tak cukup berarti bagimu, ya?

YUDIS

Justru karena aku sangat mencintaimu, Sayang, aku lebih dulu mengajakmu menikah sebelum dipaksa menikah dengan yang lain.

DEWANTI

(Nada penuh tekanan) Bohong! Kau tidak mencintaiku. Cinta tak akan pernah terkalahkan oleh apa pun. Siapa pun!

Dewanti terisak agak hingga akhirnya kembali hening. Dia menyeka tangis dan menghela napas dalam menghimpun tenaga.

DEWANTI

Baik, aku akan berusaha memberi pengertian orang tuaku. (Jeda) Tolong, jangan tinggalkan aku. Aku hanya ingin bersamamu.

Air mata Dewanti mengalir kembali dan sulit dibendung.

CUT TO


2. INT. GALERI — SIANG

Tiba-tiba, ponsel Yudis berdering menampilkan nama “Ibu”. Yudis segera menjawab telepon dari IBU FARIDA (50) itu dengan ragu.

IBU FARIDA (V.O)

Asalamualaikum, Yudis. Apa kabar, Nak?

YUDIS

Wa alaikumusalam warahmatullah. Baik, Bu.

IBU FARIDA (V.O)

Bagaimana keputusanmu, Dis? Sudah ada?

Yudis menghela napas panjang berusaha menata kata segera.

YUDIS

Sabar ya, Bu. Ini masih kupikirkan. Aku punya waktu tiga hari lagi, kan?

IBU FARIDA (V.O)

Hh ... Kamu ke Bandung aja deh, sekarang.

YUDIS

Enggak bisa, Bu. Aku kan, harus menjaga galeri. Enggak ada penggantinya di sini.

BU FARIDA (V.O)

Ya, sudahlah. Ibu tetap menunggu jawabanmu. (Terbata-bata) Tapi, jangan terlalu lama ya, Dis. Toh, belum tentu umur Ibu masih ada tiga hari lagi ....

YUDIS

(Agak panik) Bu ... Bu ... Ibu enggak apa-apa?

IBU FARIDA (V.O)

(Meracau) Enggak ... Asalamualaikum ....

YUDIS

(Lemah) wa alaikumusalam warrahmatullah.

Yudis menutup ponsel dengan gamang dan Yudis terus menatap layar ponsel dengan resah menunggu pesan Dewanti. Suasana galeri sepi. Hanya BEBERAPA ORANG yang datang melihat-lihat. YUDIS tetap bersikap ramah kepada setiap tamu yang datang. BAGAS (27) menghampiri Yudis dan menyalaminya.

BAGAS

Akhirnya ketemu juga, Bung Yudis. Saya kagum sekali dengan karya Anda.

YUDIS

(Tersenyum malu) terima kasih, Bung ... eh, maaf. Boleh saya tahu nama Anda?

BAGAS

Oh, ya. Panggil saya Pati. Sayang sekali beberapa incaran saya sudah laku di luar negeri, ya?

YUDIS

Hehe ... Iya nih.

BAGAS

Bagaimana dengan lukisan mata itu?

Bagas menunjuk lukisan di belakang Yudis.

BAGAS (CONT’D)

(Menggumam) Cantik. Sangat eksotis. Sepasang mata itu seolah menggambarkan seluruh anatomi tubuhnya.

Yudis merasa dadanya tiba-tiba sesak tapi segera tersenyum.

YUDIS

Mari kita bicarakan di meja saya.

CUT TO

3. INT. GALERI — SIANG

DUA PEGAWAI menggotong keluar lukisan yang telah terbungkus. ARYA (27), teman sekampus Dewanti, masuk dengan cemas. Yudis menyambutnya senang dengan tatap penuh harap.

YUDIS

Arya! Asalamualaikum. Kamu bawa pesan apa dari Dewanti? Kenapa lama sekali?

ARYA

(Terburu-buru) Wa alaikumusalam. Dewanti kecelakaan, Dis! Dia di RSCM sekarang.

YUDIS

(Kaget) Apa? Ayo, kita ke sana, Ar!

Arya menggeleng sambil mengatur napas dan memegangi perut.

ARYA

Enggak bisa, Dis. Aku harus mengabari kampus dulu. Soalnya, hari ini mestinya Dewanti jadi moderator acara di sana.

YUDIS

Oh, oke oke. Aku akan ke sana sendiri.

ARYA

Oke. Aku pamit dulu, ya. Asalamualaikum.

YUDIS

Ya, wa alaikumusalam warahmatullah.

Arya bergegas pergi dan Yudis segera memberesi galeri.

CUT TO


4. EXT. HALAMAN GALERI — SIANG

Yudis menutup galeri dan menuju mobil. Saat membuka pintu mobil, ponselnya berdering. YUDIS melihat layar ponsel dengan malas. Tampak nama TANTE DIANA (48) di sana. Yudis terpaksa menjawab dengan wajah penat dan tak tenang.

YUDIS

Asalamualaikum. Tante, nanti telepon lagi aja, ya. Aku soalnya lagi buru-buru, nih.

TANTE DIANA (V.O)

(Terisak) Enggak bisa, Dis. Kamu harus pulang sekarang. Jantung ibumu kumat. Sekarang kita lagi di ICU. Segera ke sini!

YUDIS

Ha? Oh, iya, Tante! Pasti! Aku segera ke sana. Titip Ibu, ya. Eh, Asalamualaikum.

Yudis menutup ponsel dengan cemas. Dia sempat melirik daftar panggilan terbarunya yang menampilkan nama Dewanti. Yudis berpaling dan memacu mobil.

CUT TO


5. INT. RUANG INAP – RS BANDUNG — SORE

Tampak langit merah dari jendela kaca. Yudis masuk menemui Ibu Farida yang terbaring tak sadar ditemani Tante Diana. Yudis berjam-jam mondar-mandir gelisah menunggu ibunya sadar.

6. INT. RUANG INAP – RS BANDUNG — MALAM

Usai Yudis salat Isya, Ibu Farida perlahan menggerakkan tangan. Tante Diana yang duduk di samping ranjang mendekat.

TANTE DIANA

Alhamdulillah ... Teh? Sudah sadar?

Yudis menoleh dan bangkit menghampiri ibunya dengan senang.

YUDIS

(Lirih penuh haru) Alhamdulillah ... Bu, ini Yudis, Bu. Anakmu. Aku sudah di sini, Bu.

Yudis memandang ibunya yang mulai membuka mata dan menatap lekat penuh rindu kepadanya. DOKTER HAURA (50) masuk ditemani PERAWAT1. Dokter memeriksa Ibu Farida sementara Yudis dan Tante Diana saling pandang harap-harap cemas. Usai memeriksa, Dokter Haura memandang Yudis sambil tersenyum.

DOKTER HAURA

Ibu Farida besok sudah boleh pulang, kok. Tolong, hindarkan Beliau dari sesuatu yang bisa membuatnya kaget, apa lagi sedih, ya.

YUDIS

(Lega) Baik … Baik. Terima kasih, Dok.


CUT TO


7. INT. RUANG INAP – RS BANDUNG — PAGI

Yudis mencoba menghubungi nomor Dewanti. Namun, tak tersambung. Yudis kecewa dan beralih menatap ibunya. Yudis lalu menyeka wajah Ibu Farida dengan air hangat hingga lebih segar. Senyum Ibu Farida terus mengembang menatap putranya.

IBU FARIDA

Kapan kamu akan kembali ke Jakarta, Nak?

Yudis menggeleng dan menggenggam telapak tangan ibunya.

YUDIS

Aku akan tetap di sini aja, Bu. Dekat Ibu.

IBU FARIDA

(Lebih bersemangat) di Bandung terus? Apa itu artinya kamu mau menikah dengan Ratri?

Yudis diam sejenak tampak ragu dan berpikir keras.

YUDIS

Apa aku pantas mendapat wanita secantik dan sebaik Ratri? (Lirih) Aku kan, masih harus banyak belajar memahami agama, Bu.

IBU FARIDA

Justru Ratri sendiri yang bilang kalau dia mencintaimu sejak SMA, lo. Apa lagi, coba?

YUDIS

Ha? (Bingung) Tapi ... tapi ... aku kan, dulu sering cerita ke dia soal cewek-cewek yang kutaksir, Bu. (Lemah) Berarti ... selama ini aku sering bikin dia sakit hati, dong?

Ibu Farida tersenyum dan mengelus punggung tangan Yudis.

IBU FARIDA

Buktinya, dia tetap menunggumu sampai sekarang. (Jeda) jadi, apa keputusanmu?

Yudis menatap Ibu Farida lalu mengangguk sambil tersenyum. Ibu Farida sangat lega tanpa sadar Yudis menyembunyikan hatinya yang hancur mematikan layar ponsel yang sedari tadi menampilkan nama DEWANTI. Hampir saja ponsel itu jatuh.

CUT TO


8. INT. RUANG INAP – RS JAKARTA — PAGI

Dewanti yang tengah koma membuka mata seketika. Matanya masih sayu. Dia mengerang lirih karena rasa sakit di kaki dan kepala. Pandangannya beredar ke setiap sudut ruangan seperti mencari seseorang. Dia kembali memejamkan mata seraya menikmati sakit di kaki dan kepala. Namun, kali ini ditambah rasa sakit di hatinya yang sepi tanpa Yudis.

Dokter Bagas dan seorang PERAWAT2 masuk. Dokter Bagas memeriksa Dewanti lalu menarik napas dalam. Diamatinya wajah cantik Dewanti yang kuyu itu dengan penuh arti.

BAGAS

Untunglah, benturan di kepalamu tidak terlalu keras. Tak ada luka dalam, kok. Sedangkan kakimu, masih butuh waktu cukup lama untuk kembali ke kondisi normal.

Dewanti tak menjawab karena masih diliputi kesedihan. Arya masuk disambut Dewanti dengan pandangan penuh tanda tanya dan harap. Arya tak berani mendekat karena ada Dokter Bagas.

BAGAS (CONT’D)

Kalau ada apa-apa, jangan sungkan bicara ke saya, ya. Sekarang, saya tinggal dulu.

Bagas berbalik dan melihat Arya yang mengangguk hormat.

ARYA

Terima kasih, Dok.

Bagas mengangguk dan keluar diiringi PERAWAT2. Arya segera menghampiri Dewanti dan meletakkan buah tangan di nakas.

DEWANTI

(Lemah) Arya, Yudis sudah tahu belum, sih?

ARYA

Sudah kok, sejak kemarin. Belum ke mari?

Dewanti menggeleng dan memejam mata menahan air mata yang menetes. Arya menatap sedih penuh kasih. Tangannya bergetar akan mengusap air mata itu, tapi urung karena ragu.

CUT TO


9. INT. MASJID - PESANTREN — MALAM

Yudis dan USTAZ SYUHADA (50), ayah RATRI (25), berhadapan sambil berjabat tangan di depan PARA TAMU dan DUA SAKSI.

USTAZ SYUHADA

Ya Yudistira, ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti Syiwaratri alal mahri khomsah goromaat minadzahab hallan!

YUDIS

Qiiiltu! nikahaha wa tazwijaha bi mahri madzkur haalan.

USTAZ SYUHADA

(Menoleh ke para saksi) Bagaimana, Saksi?

PARA SAKSI

Sah!

Semua yang hadir mengumandangkan tahmid dan tasbih. Wajah Ratri terlihat berbunga-bunga. Ada air mata haru di sudut mata. Namun, ada juga aura kesedihan di wajahnya.

CUT TO


10. INT. KAMAR – RUMAH — MALAM

Di atas ranjang, Yudis dan Ratri duduk berdampingan. Mata bertemu tatap dan saling senyum. Yudis mencium pipi Ratri. Ratri menyembunyikan rasa cemas yang tiba-tiba muncul tapi terus berusaha menenangkan diri. Setiap kali Yudis memandang, Ratei memaksakan senyum termanisnya. Yudis membaringkan Ratri perlahan. Ratri memejamkan matanya seperti ketakutan. Bantal dan guling berjatuhan.

CUT TO


11. INT. KAMAR – RUMAH — SUBUH

Yudis keluar dari kamar mandi sambil mengucek rambut basahnya dengan handuk saat Ratri bergegas mengganti sprei.

YUDIS

(Heran) Ada apa, Neng? Kayak liat hantu?

RATRI

(Gugup) eh, ini, A’ .... Khawatir ada yang kotor. Jadi, Neng ganti aja, ya?

Yudis berpikir sejenak lalu tersenyum dan sedikit geli.

YUDIS

Oh, yang itu ... Santai aja, Pengantin Baru!

Yudis mengecup kening Ratri yang menunduk tersipu.

YUDIS (CONT’D)

Sini, aku yang pasang spreinya, deh.

RATRI

Eh, iya. Boleh, deh. Neng taruh yang kotor dulu, ya, ke mesin cuci. Makasih, A’ ....

Yudis mengangguk sambil merapikan sprei. Sesaat dia berhenti dan tersenyum memandang sosok Ratri yang berjalan keluar kamar.

CUT TO


12. EXT. PARKIRAN – RS BANDUNG — SIANG

Sebulan kemudian, Yudis tampak cemas dibantu TIM MEDIS mengeluarkan dari mobil dan menaruh Ratri dan Ibu Farida ke atas ranjang dorong untuk segera dilarikan ke ruang IGD.

CUT TO


13. INT. RUANG POLI KANDUNGAN – RS BANDUNG — SIANG

DOKTER ARINI (35) menyodorkan selembar foto USG sambil tersenyum lebar. Yudis menerima dan memandanginya dengan bingung. Yudis menatap Dokter Arini dengan alis bertaut.

DOKTER ARINI

Selamat! Anda akan menjadi seorang ayah.

YUDIS kaget dan segera berubah gembira seolah tak percaya.

YUDIS

Yang benar, Dok? Sungguh? Jadi ... jadi ....

Dokter Arini mengangguk mantap dan makin melebarkan senyum.

YUDIS (CONT’D)

(Mengusap wajah) Alhamdulillah .... (Jeda) Tapi, kandungan istri saya sehat kan, Dok?

DOKTER ARINI

Sangat sehat. Muntah-muntah dan pingsan tadi itu hanya reaksi sesaat. Sebentar lagi juga berlalu, karena usia kandungannya sudah tiga bulan dua minggu.

YUDIS

(Kaget) Tiga bulan? Apa enggak salah, Dok?

Yudis berubah gelisah dan bertanya-tanya. Dia menarik napas berat, kemudian mengembuskannya pelan sambil kebingungan.

DOKTER ARINI

Kenapa, Pak Yudis? Sepertinya Anda meragukan keotentikan pemeriksaan saya. Mari, saya jelaskan saja foto tadi, ya.

Yudis menyerahkan foto USG dengan ragu. Dokter Arini mengajak Yudis ikut memperhatikan foto tersebut bersama.

DOKTER ARINI

Ini. Janin Ibu Ratri mulai tidak berbentuk C, artinya sudah lebih dari 13 minggu. Dari panjang, lingkar kepala, dan lingkar perut yang tertera angkanya di sini, kita bisa memperkirakan usianya.

Dokter Arini menyodorkan kembali foto USG ke Yudis.

DOKTER ARINI (CONT’D)

Jika belum percaya, Anda bisa meminta pendapat dokter lain.

Yudis menarik napas berat. Dadanya sesak.

YUDIS

(Bergetar penuh tekanan) saya percaya, Dok.

Yudis menunduk dan mengepalkan tinju di bawah meja. Dia kesulitan mengatur napas. Matanya merah nyalang dan sebutir air mata terbit di sudut matanya.

CUT TO

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
suka
1 tahun 4 bulan lalu
Cantik alurnya.
1 tahun 5 bulan lalu
@janeeta terima kasih sudah mampir kak
1 tahun 8 bulan lalu
Keren kak. Gercep nulis skripnya
1 tahun 8 bulan lalu