BLACK BOX
14. #14

Sc 164. INT. GARASI MOBIL. PAGI

Ben melihat pintu garasinya terbuka.

Ia berlari mendekati pintu kemudian melihat Laura, Ibu Gina dan anak perempuan berlari.

CUT TO

Sc 165. EXT. DEPAN GARASI. PAGI

Ben berdiri di depan garasi, lalu ia menembakkan pistol ke udara.

Suara tembakan itu membuat mereka menghentikan langkahnya.

BEN

Laura! Jangan ambil Ibu!

LAURA

Sadar John! Itu ibu gue! Lo yang sudah ambil ibu dari gue! (Menangis)

BEN

Lo pernah dikasih kesempatan untuk tinggal sama ibu yang baik hati. Tapi...

LAURA

Iya! Gue tau! Gue inget sekarang! Gue yang dulu gak tahu diri! Gue yang dulu belum tahu susahnya cari uang! Tapi gue malah ngerengek minta sepeda. Gue kesel! Karena ibu selalu ngomongin lo, John! Ibu bahkan ngasih perhatian lebih ke lo! Itu yang bikin gue marah!

BEN

Dan lo menyia-nyiakan Ibu yang sebaik itu hanya karena lo pengen sepeda.

LAURA

Lo kaya, John! Orang tua lo pengusaha. Lo bisa dapet semua yang lo mau. Jadi lo gak bisa tahu apa yang gue rasain.

BEN

Hahahahaha (matanya meneteskan air mata). Ibu! Apa sekarang ibu mau bersama anak ibu yang gak bisa bersyukur?! Hah?!!

LAURA

Diem lo!

Ben segera mengarahkan pistolnya ke Laura.

DOR...

Tiba-tiba Ibu Gina berlari dan melindungi Laura. Tembakan itu mengenai dada kirinya.

LAURA

Ibuuu!!! (Menjerit)

Ibu Gina jatuh di pangkuan Laura. Tangan kanannya memegang lembut pipi Laura.

CUT TO

Sc 166. EXT. DEPAN RUMAH BEN. PAGI

Polisi segera melepaskan tembakan begitu melihat Ben yang hendak menembak Laura.

DOR...

Darah keluar langsung mengenai wajah Ben. Itu adalah Anna. Anna menghadap ke arah Ben dengan luka tembak di dadanya.

ANNA

Kak...

BEN

Annaaaa!!!

Polisi langsung mengepung Ben yang terisak memangku Anna.

Ben terus menjerit dan menangis.

FADE OUT

Sc 167. INT. RUMAH SAKIT/UGD. SIANG

Laura menjerit ketika selimut rumah sakit menutup seluruh tubuh Ibu Gina.

Tio berusaha memeluk Laura yang tak bisa membendung kekalutannya itu (suara menghilang perlahan-lahan).

CUT TO

Sc 168. INT. PEMAKAMAN. SORE

Laura mengusap papan nisan Ibu Gina. Ia tersimpuh terus menangis, sedangkan Tio berdiri memegang payung di samping Laura.

VO LAURA

Bertahun tahun aku berusaha mencari..Sebuah cahaya yang mungkin dapat menyinari hidupku yang selama ini gelap. Aku terus mencari, bahkan langkah kaki tak pernah berkata lelah. Telah kubulatkan tekad ini, namun aku begitu bodoh karena tidak menyadari bahwa cahaya itu tepat berada di depan mataku. Aku tak menyadari bahwa yang kuperlukan hanyalah melangkah sedikit lagi, meski itu adalah medan yang terasa mengerikan. Mungkin karena kita lama sekali terpisah, sehingga naluri itu begitu samar. Lalu kuberanikan diri untuk memastikan resahku, aku melangkah ke medan mengerikan itu hingga akhirnya aku dapat memecah segala keraguan dari rasa takut yang selama ini mengepung. Namun ketika bibir kami mulai mengucap, fakta yang sebenarnya adalah semua yang terjadi adalah kesalahanku. Kesalahan yang begitu bodoh karena tidak bersyukur telah dihadirkan seorang ibu yang luar biasa kasihnya, aku menyianyiakannya. Jari jariku begitu perih terasa, Bu. Karena ketika jari-jari ini akhirnya menyentuh ragamu, merupakan kesempatan terakhir, raga dan jiwamu pergi jauh sekali. Rupanya aku masih dihukum, Bu. Semoga tuhan membawamu dengan kebahagiaan, meski aku harus memeluk kepedihan dengan hukuman di sepanjang hidupku ini.

CUT TO

Sc 169. INT. RUMAH SAKIT JIWA. SORE

Ben dibawa oleh perawat, lalu perawat itu menyuruhnya duduk.

DOKTER

Oke, bisakah kamu mengingat namamu?

Ben hanya tertunduk diam.

DOKTER

Kapan terakhir kali kamu melihat kedua orang tuamu?

VO BEN

Orang tua... mereka sudah berada jauh sekali.

FLASHBACK

Sc 170. TANGGA RUMAH BEN. SORE

John menyeret Ibu Rayya yang sudah berlumuran darah dari bawah tangga. Tiba-tiba Ayah Edy datang langsung ditikam oleh John.

CUT TO

Sc 171. EXT. HALAMAN BELAKANG. SENJA

John mengubur mereka di halaman belakang.

VO BEN

Kupikir saat itu, lebih baik jika ayah ikut bersama ibu. Untuk yang pertama kalinya saat itu aku menyadari bahwa aku telah membunuh Ibuku yang tak henti-hentinya memukuliku. Lalu ayah, dia yang tak pernah menoleh saat aku terus mengerang kesakitan. Tangannya yang besar itu tak digunakan untuk melindungiku. Membunuh mereka adalah peristiwa pertama yang membuat hatiku damai. Aku tak pernah menyesali karena sudah banyak memberi hukuman kepada mereka yang jahat terhadap anak-anak. Mereka yang mampu membunuh bayi-bayi. Mereka yang menyiksa, bahkan menjual anaknya untuk keegoisan diri. Maka bagiku, kematian justru lebih sepadan untuk mereka dapatkan. Yang kusesalkan adalah mengapa aku harus menyia-nyiakan waktu di dalam sini? Untuk saat ini, aku tak bisa lagi menjadi tangan yang mampu menyelamatkan anak-anak dari kejahatan malam. Mereka hanya akan ditemukan saat pagi dalam keadaan menghilang bahkan tewas.

Aku tumbuh dengan trauma dan berusaha sepanjang hidup agar mereka juga segera terbebas dari trauma yang mungkin membalut hidupnya. Meski banyak yang menghindariku, hanya karena aku mampu mendengar pikiran orang lain, orang tuaku menganggap kalau aku adalah monster yang seharusnya tak pernah dilahirkan. Meskipun pada akhirnya, mereka berhasil membuatku menjadi monster sungguhan.

Sc 172. KAMAR RUMAH SAKIT JIWA. MALAM

BIG CLOSE UP (mata kiri)

Semua ingatan mundur itu perlahan-lahan kembali ke bola mata hitam Ben.

BEN

Tunggu saja, seseorang akan datang.  

Ben tertawa kencang di atas kasurnya.

FREEZED.

END.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar