Bolehkah Aku berharap untuk sekali lagi?
Rasanya terlalu sulit untuk menghapus namanya dalam ingatanku.
Di sana, tidak ada riwayat yang bisa membuat Aku untuk membenci dirinya.
Kalaupun di ingat lagi, Aku telah lupa rasanya jatuh cinta.
Karena yang Aku rasa, Aku masih menyimpannya untuknya seorang.
Anggap Aku gila tapi memang begitu adanya.
Sekian lama Aku mencoba untuk membuka hati agar yang lain bisa merajai.
Tapi apa? Nyatanya Aku hanya menemukan seseorang yang masih setia terpatri di relung hati.
Sebegitu dalam kah hati ini dicuri olehnya?
Lantas kepada siapa Aku bisa melaporkan atas kejahatan itu terhadap ku?
Bilang saja Aku terlalu lemah.
Terlalu bodoh untuk melepaskannya yang tak pernah menjadi milikku.
Kami terlalu takut untuk memulai.
Hanya keluh dalam lidah yang saling melempar duri.
Tidak, bukan penghinaan tetapi kejujuran yang kami sadari bahwa belum saatnya untuk bersama.
Aku protes. Kenapa kisah kami tak semulus kisah orang lain?
Yang dibalut akan perjuangan, manis kasih, getir yang ditanggung bersama.
Kenapa untuk kisah kami saja, seakan bersama itu suatu kemustahilan yang tak seharusnya terjadi.
Saling meragu satu sama lain padahal di hati sudah saling bertaut.
Bodohkah atau terlalu patuh?
Kami seakan takut untuk merasa bahagia.
Apa lagi bahagia itu ditujukan untuk diri sendiri.
Bisu, berbicara seakan bila perlu.
Memulai interaksi seakan harus mencari topik.
Syukurnya tidak canggung lagi, tapi apakah boleh terus seperti ini?
Rasa nyaman yang tak saling memiliki.
Tapi terjalin di hati.
Aku berfikir, siapa di antara kami yang akan melangkah lebih jauh?
Menuju proses hidup yang tiada main sabarnya diuji.
Jikalah saat itu tiba. Kisah kami yang telah lalu tinggal-lah memori.
Teringat pun menangis sesekali.