Wisata Rasa
4. Scene 14-15

14. INT. RUMAH RASA — DAY

Abriella meletakkan paket belanjaannya di atas meja pantry. Setelah mendapat pesan singkat dari Rajuna tadi pagi, ia buru-buru ke pasar untuk membeli bahan-bahan makanan untuk menu yang akan ia buat hari ini.

Rajuna memintanya membuat mie aceh. Dan sebagai menu tambahan, Abriella dengan senang hati akan membuat pempek untuk Rajuna hari ini.

Perlahan, Abriella mengeluarkan satu demi satu bahan yang ia beli di pasar.

ABRIELLA
Bawang putih, bawang merah, cabai, tomat, udang...

Disela kegiatannya mengotak-atik bahan makanan, ponselnya yang ada di saku bergetar panjang. Ada sebuah panggilan masuk di sana.

Abriella segera menghentikan kegiatannya, lanjut meraih ponselnya yang ada di saku.

ABRIELLA
Halo, kenapa Na?
AYNA
Harus nunggu kenapa-napa banget nih baru gue bisa nelpon lo?
ABRIELLA
(Tersenyum. Berjalan menuju kulkas, memasukkan udang yang dibelinya ke dalam sana)
Ya enggak juga. Habisnya lo kan orang paling sibuk sedunia. Kalau nggak ada hal yang mendesak banget, lo mana pernah nelpon gue duluan.
AYNA
Hehehe, iya juga sih.
ABRIELLA
Tuh, kan. Dugaan gue nggak pernah salah. Jadi, ada apa nih nelpon pagi-pagi?
AYNA
Ini gue mau nanya, Rajuna udah sampai di tempat lo belum? Gue telepon dari tadi tapi nggak diangkat mulu panggilan gue. Ada yang mau gue bicarain ke dia soalnya.
ABRIELLA
Rajuna...(melihat ke sekeliling ruangan) dia belum datang sih. Tapi tadi pagi dia nelpon gue, katanya bakal ke rumah rasa kok. Mungkin lagi di jalan.
AYNA
Ohh gitu. Ya udah kalau Rajuna nya belum datang. Kalau misal dia udah ada di tempat lo, tolong kabarin gue ya. Sekalian bilang ke dia kalau gue nyariin.
ABRIELLA
Oke.
AYNA
Eh Brie, gimana nih kerja bareng Rajuna selama seminggu terakhir ini. Dia nggak bikin lo repot kan?
ABRIELLA (V.O)
(Mengerutkan alisnya)
Oh iya, udah seminggu aja gue kerja bareng Rajuna. Nggak terasa.
AYNA
Brie, lo masih di sana kan?
ABRIELLA
Ha, iya, masih. Rajuna asyik kok. Seru gitu orangnya. Paling senang kalau dia udah nyobain masakan yang gue buat. Kayak excited banget pengen cepat-cepat makan. Lo kan tahu gue paling senang ngeliatin orang ngabisin masakan yang gue masak. Dan Rajuna sama sekali nggak pernah nyisain makanan yang gue masak buat dia. Itu berkat banget sih buat gue.
AYNA
Berkat?
ABRIELLA
Ya, berkat banget buat gue yang udah hampir putus asa dengan keadaan sekarang yang benar-benar lagi parah banget. Lo kan tahu Rumah Rasa mendadak sepi pelanggan pas demam covid melanda. Pemasukan jadi stagnan dan yang lebih bikin sedih lagi, dapur gue jadi nggak ada gunanya lagi di sini. Soalnya kan nggak ada pelanggan sama sekali. Apa yang bisa gue masak kalau yang mau makan aja nggak ada.
AYNA
Iya sih.
(Berucap pelan)
ABRIELLA
Tapi sekarang udah sedikit mendingan. Walau pemasukannya nggak sebanyak sebelum covid melanda, tapi gue bisa happy tiap kali Rajuna datang dan meramaikan tempat ini. Kayak ngerasa Rumah Rasa tuh hidup kembali. Itu udah lebih dari cukup sih buat gue yang se-cinta itu dengan dunia kuliner.
AYNA
Duh jadi berat gini pembahasannya.
ABRIELLA
(Nyengir)
Habisnya lo mancing gue duluan, sih.
AYNA
Ya udah kalau gitu, gue tutup dulu ya. Mau lanjut kerja nih. Ingat ngabarin Rajuna kalau gue nyariin dia.
ABRIELLA
Oke.

Abriella kembali tersenyum setelah panggilan telepon terputus. Ia kemudian lanjut meletakkan ponselnya ke atas meja.

Saat hendak melanjutkan kegiatan masak memasaknya, pintu Rumah Rasa terbuka. Menampilkan sosok Rajuna di depan sana.

Abriella spontan melihat ke arah pintu, membuat tatap mata keduanya saling bertemu.

RAJUNA
Pagi.
ABRIELLA
Selamat pagi, juga.
RAJUNA
Apa kabar hari ini, baik-baik aja kan?
ABRIELLA (V.O)
Rajuna dan sapaannya setiap hari. Simpel tapi cukup menyentuh.
ABRIELLA
I'am fine okay.
(Melirik jam tangannya sekilas)
Kejebak macet ya. Tumben, datang terlambat banget.
RAJUNA
Tadi gue habis ada urusan dulu sebelum ke sini, makanya sedikit telat dari biasanya.

Rajuna sudah melangkah menuju kursi pelanggan. Kursi paling dekat dengan kaca jendela.

Abriella pun mendekat ke kursi tempat Rajuna hendak duduk.

RAJUNA
Hari ini jadikan masak mie aceh?
ABRIELLA
Jadi dong. Gue udah belanja bahan. Sisa dieksekusi aja.
RAJUNA
Oke.
(Menganggukkan kepala)
ABRIELLA
Sekalian gue mau buat pempek buat lo. Lo suka makan pempek kan?
RAJUNA
Ada paket bonus ya hari ini?
ABRIELLA
Tidak ada yang gratis ya, bapak penulis best seller. Silahkan ditransfer ke rekening saya untuk biaya masak dan pembelian bahan makanannya.
(Meniru gaya bicara customer service)
RAJUNA
Baiklah. Akan Bapak transfer setelah mencicip makanan dari chef profesional yang sedang melayani saya akhir-akhir ini.
(Ikut meniru gaya bicara Abriella)
ABRIELLA
(Tertawa lebar)
Ada-ada saja Bapak penulis satu ini.

Rajuna tertawa mendengar lelucon Abriella pagi ini. Setelah nyaman dengan tempat duduknya, Abriella pun ikut menemaninya duduk di meja yang sama. Keduanya duduk bersebelahan.

RAJUNA
Gue boleh nanya serius nggak?
ABRIELLA
(Mengerutkan kening, menatap Rajuna dengan heran)
Nanya serius?
(Tersenyum menahan tawa)
Boleh. Nanya apa?
RAJUNA
Kenapa lo mutusin buat jadi juru masak? Ya masak emang bukan hal yang mengandung dosa sih, tapi gue pikir masak itu bukan hal yang mudah. Harus siap ribet di dapur. Belum lagi kalau ada banyak pelanggan yang datang. Wah, pasti nggak kebayang sih bagaimana sibuknya di dapur. Dan kayaknya sedikit jarang, perempuan yang memilih profesi kayak lo ini. Lebih seringnya perempuan akan senang bekerja kantoran, mungkin.
ABRIELLA
(Tertawa, menampilkan deretan gigi putihnya)
Iya sih, kerja di dapur tuh emang ribet pake banget.
RAJUNA
Nah karena itu. Apa alasannya lo milih profesi ini?
ABRIELLA
Awal nyoba masak itu, saat kecil sih. Gara-gara nggak pernah lihat Mama masak di rumah. Soalnya dia sibuk banget kerja. Dan gue jadi mikir aja, dapur di rumah tuh kayak sayang aja gitu kalau nggak digunain dengan baik. Ya ngapain dibuat kalau nggak dipakai
(Menghela napas)
Eh tau-taunya, malah ketagihan main di dapur. Kayak seru aja gitu. Makanya pas lulus SMA gue mutusin buat ngambil kuliah yang menjurus ke dunia masak memasak.
(Mengedarkan pandang ke sudut ruang Rumah Rasa)
Dan Rumah Rasa ini berdiri setelah gue lulus kuliah. Modal nekat sih sebenarnya. Nggak pernah punya pengalaman bekerja di restoran tapi malah milih jalan buat buka usaha makanan sendiri. Meski awalnya ribet, tapi lama kelamaan jadi terbiasa juga di rumah rasa ini. Bagi gue, memasak itu kayak seni. Dimana kita bisa melahirkan dunia baru meski tanpa kata, tanpa suara, hanya lewat jalur rasa. Ya, sesimpel ketika orang senang menikmati makanan yang kita buat. Itu udah surga banget sih buat gue.
RAJUNA
Sedalam itu lo menyukai pekerjaan ini?
ABRIELLA
(Tertawa pelan)
Kalau udah suka, kadang kita nggak bisa ngukur lagi tingkat kedalaman dari rasa suka itu. Dan bukan hanya lewat rasa suka terhadap manusia, lewat makanan pun argumen tentang rasa suka itu juga bisa berlaku.
RAJUNA
Makanya lo terima tawaran Ayna buat bantuin gue. Karena lo suka menciptakan dunia baru lewat makanan?
ABRIELLA
Salah satunya. Alasan lainnya sih, karena gue nggak mau nganggur aja. Covid tuh bawa dampak banyak buat kalangan bawah kayak gue ini. Kehilangan pelanggan, rutinitas jadi terhenti, dan ya...beberapa hal juga mendadak berubah aja setelah covid melanda.
RAJUNA
Ya, covid kayaknya bawa dampak banyak sih buat lo, buat gue juga, dan bahkan buat banyak orang di luaran sana. Tapi, karena covid gue bisa ketemu orang sehebat lo. Dan itu termasuk berkat juga sih buat gue.
(Menoleh untuk melirik Abriella. Ia menatapnya selama beberapa detik sebelum lanjut berbicara)
Makasih ya udah jadi seniman dalam hari-hari gue akhir-akhir ini. Gue senang karena lo bisa mengisi kanvas kosong gue dengan beragam warna yang nggak hanya indah, tapi juga memiliki makna. Berkat lo, gue jadi tahu makanan nggak cuma tentang mengenyangkan perut semata. Tapi lebih dari itu. Makanan memilih makna tersendiri bagi setiap penikmatnya.

Suasana mendadak hening. Meski Rajuna sudah beralih tatap darinya, namun ia sama sekali tidak bisa mengendalikan jantungnya yang terus berdebar. Semacam dihinggapi banyak kupu-kupu di perutnya, Abriella merasa seakan ada yang menggelitik tubuhnya. Ia, sangat bahagia hari ini.

ABRIELLA
Oh iya, tadi Ayna nelpon. Nyariin lo. Ada hal penting yang mau dibicarain katanya.


CUT TO

15. INT. SHAENETTE PUBLISHING — NIGHT

Selang lima menit Rajuna menunggu Ayna di ruang meeting, Ayna datang dengan tangan yang penuh dengan barang bawaan. Ada tas, beberapa tumpukan kertas dan botol air minum yang sudah kosong.

AYNA
Sorry ya, nyuruh lo ke kantor. Kerjaan lagi padat banget soalnya.
RAJUNA
(Mengangguk paham)
Gapapa.
AYNA
(Menggeser kursi, duduk di samping Rajuna)
Gimana naskah lo, udah sampai mana?
RAJUNA
Masih sementara gue kerjain, Na. Lo manggil gue ke sini buat nanyain itu doang?
AYNA
Salah satunya itu.
RAJUNA
Salah satunya, terus satu yang lainnya apa?
AYNA
Kemarin gue nggak sengaja ketemu PH yang pernah garap film adaptasi dari buku lo sebelumnya. Gue cerita soal lo yang lagi buat novel baru. Dan lo tau, reaksinya kayak gimana pas tahu lo buat karya yang beda dari buku lo sebelum-sebelumnya?
(Fokus ke Rajuna, dengan wajah ceria dan mata berbinar karena senang)
Dia langsung nawarin adaptasi. Pengen dibuat dalam bentuk serial gitu, bakal tayang di platform online. Wah lo emang berbakat sih, Juna. Naskah belum kelar aja, udah ditawarin kerjasama dengan PH.
RAJUNA
(Memasang wajah datar)
Jangan bilang karena berita barusan, lo bakal buru-buru gue buat percepat nyelesaiin naskah yang lagi gue buat.
AYNA
Nah good job. Lo harus percepat penyelesaian naskah lo. Lagipula ada Brie yang bantuin lo kan. Pasti nggak bakal sesulit yang lo pikirin sebelumnya.
RAJUNA
Ayna, lo lama-lama lebih kayak manager gue nggak sih, bukannya editor. Main nyuruh cepat-cepat segala demi ngambil banyak keuntungan dari tawaran yang ada. Heran gue.
AYNA
Lah, bukannya ini buat kebaikan lo juga. Kalau buku baru lo diadaptasi dalam bentuk visual, bukannya lo juga yang bakal untung. Gue kan cuman mau bantu aja.
RAJUNA
Oke gue hargain niat baik lo. Tapi, nulis tuh bukan soal cepat-cepatan, Na. Ini bukan perlombaan. Gue nggak mau cepat sampai di garis finish cuman untuk ngejar keuntungan doang. Apa gunanya buku gue terbit cepat, tapi pesan yang pengen gue sampaiin ke pembaca nggak bisa terwakilkan dengan tepat.

Rajuna bergegas untuk berdiri dari kursinya. Hendak pamit dari tempat tersebut.

Sebelum benar-benar berlalu, ia menyodorkan bingkisan makanan ke hadapan Ayna yang masih duduk membeku di tempatnya.

RAJUNA
Abriella minta gue ngasih lo ini. Tadi dia sengaja masak banyak karena tahu kita bakal ketemu.
AYNA
Pempek?
RAJUNA
Gue balik duluan, ya. Sorry, tapi gue nggak bisa kabulin ekspektasi lo kali ini. Thanks buat niat baiknya. Selain sebagai editor, lo lebih ke teman dekat gue sih. Tapi, kali ini gue harus beda jalan dengan lo. Sekali lagi maaf ya, Na.


CUT TO

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar