Lurah 200 Juta
18. Permainan yang Lebih Tinggi
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

Penulis : Rana Kurniawan


Episode 18 – Permainan yang Lebih Tinggi


Genre: Drama – Politik – Intrik

Durasi: ±45 menit

Tema: Kekuasaan bukan lagi soal siapa yang benar, tapi siapa yang mampu mengendalikan narasi.


FADE IN:


INT. RUANG RAPAT KANTOR CAMAT – PAGI


Camat HERMAN (50) duduk bersama Lurah Sugeng dan kontraktor Bagus.

Di atas meja terbentang proposal proyek besar:


“Revitalisasi Desa Kadubana – Anggaran 2,5 Miliar.”


CAMAT HERMAN (membolak proposal)

Bagus sekali ini, Sugeng. Tapi saya dengar ada mantan lurah yang bikin proyek rakyat sendiri?


SUGENG (dingin)

Ya, namanya Kardi. Mantan lurah. Sekarang jadi “pahlawan rakyat.”

Dia bisa jadi batu sandungan untuk proyek kita.


BAGUS (menyeringai)

Makanya saya pikir... gimana kalau kita ajak dia kerja sama?

Kita kasih nama dia di proyek ini, tapi arah uang tetap ke kita.


CAMAT (tertawa pelan)

Hah! Jadi dia dikira diangkat lagi jadi tokoh masyarakat, padahal cuma alat politik?

Pintar kalian.


(Ketiganya tertawa. Kamera menyorot wajah Sugeng yang penuh ambisi.)



EXT. DESA KADUBANA – SIANG


Kardi sedang menanam pohon di halaman perpustakaan.

Rana datang membawa surat dari kantor camat.


RANA

Pak Kardi, ini undangan rapat dari Camat Herman.

Katanya Bapak akan dilibatkan dalam program revitalisasi desa.


KARDI (heran)

Revitalisasi? Saya bukan pejabat lagi.

Kenapa mereka undang saya?


RANA (menduga)

Mungkin... mereka butuh nama Bapak untuk legitimasi publik.


KARDI (tersenyum tipis)

Kalau benar begitu, mereka salah orang. Saya udah cukup jadi wajah palsu waktu jadi lurah dulu.


INT. RUMAH KARDI – MALAM


Saripah menatap surat undangan itu.

SARIPAH

Kalau kamu tolak, mereka bisa bikin gosip lagi.

Kalau kamu terima, mereka bisa manfaatin nama kamu.


KARDI (diam sejenak)

Berarti aku harus datang, Pipah.

Bukan buat mereka... tapi buat tahu permainan apa lagi yang mereka siapkan.


(Saripah hanya mengangguk pelan.)



INT. KANTOR CAMAT – HARI BERIKUTNYA


Kardi datang dengan pakaian sederhana.

Ruangan penuh dengan pejabat kabupaten, Lurah Sugeng, dan Bagus.


CAMAT HERMAN (ramah palsu)

Ah, ini dia mantan lurah kita yang legendaris!

Pak Kardi, kami ingin Bapak jadi “Koordinator Masyarakat” untuk proyek desa.


KARDI (berusaha sopan)

Kalau proyeknya untuk rakyat, saya siap bantu. Tapi saya ingin tahu:

berapa anggaran yang dipakai, dan bagaimana pembagiannya?


(Ruangan hening. Sugeng dan Bagus saling pandang.)


SUGENG (dingin)

Itu urusan teknis, Kardi. Kamu gak perlu tahu sejauh itu.


KARDI (menatap tajam)

Kalau rakyat dilibatkan tapi gak tahu uangnya ke mana, itu bukan proyek — itu jebakan.


(Suasana tegang. Camat Herman tersenyum kaku.)


CAMAT HERMAN

Heh... Bapak masih seperti dulu ya. Jujur tapi keras kepala.

Ya sudah, nanti kami pertimbangkan lagi.


(Kardi meninggalkan ruangan, langkahnya tegas.)



INT. RUANG RAPAT (SETELAH KARDI PERGI)


SUGENG (marah)

Lihat? Dia selalu bikin masalah!


BAGUS (menenangkan)

Tenang. Kalau dia gak mau diajak, kita bikin dia tampak menolak pembangunan.

Bilang aja: “Kardi anti kemajuan.”


CAMAT HERMAN (mengetuk meja)

Bagus. Besok kita gelar konferensi pers.

Kita balikkan narasi sebelum media lain sempat bela dia.


INT. REDAKSI MEDIA RANA – MALAM


Rana mengetik berita di laptopnya.

Judul di layar:


“Kardi Tolak Proyek Pembangunan: Benarkah Mantan Lurah Anti Kemajuan?”



Ia memandangi layar lama.

Rekannya lewat dan membaca sekilas.


REKAN WARTAWAN

Kamu yakin mau publish itu, Na?

Kalau gak nurut sama redaktur, kamu bisa kehilangan kerjaan.


RANA (ragu, menatap layar)

Aku tahu... tapi aku juga tahu berita ini salah arah.

Kardi gak nolak pembangunan, dia cuma pengen transparansi.


(Ia menutup laptop, wajahnya tegas.)


RANA (pelan)

Kalau jujur bikin aku kehilangan pekerjaan, berarti aku di tempat yang salah.



EXT. DESA – MALAM


Rana datang ke rumah Kardi.

Ia membawa perekam suara dan kamera kecil.


RANA (serius)

Pak Kardi, saya ingin wawancara khusus.

Kali ini bukan untuk media, tapi untuk kebenaran.

Saya mau warga tahu cerita dari sisi Bapak.


KARDI (tersenyum tenang)

Silakan, Na. Tapi jangan bikin saya kelihatan suci.

Saya bukan pahlawan — saya cuma orang yang belajar dari dosa.


(Rana menatapnya kagum, mulai merekam.)



INT. RUANG EDITING – MALAM SELANJUTNYA


Rana mengedit video wawancara itu.

Suara Kardi terdengar di latar:


“Kalau pembangunan datang tanpa kejujuran,

hasilnya bukan kemajuan — tapi keserakahan yang dilapisi semen.”



(Video memperlihatkan wajah Kardi dan anak-anak membaca di perpustakaan.)



EXT. INTERNET – PAGI BERIKUTNYA


Video Rana viral.

Komentar membanjir:


“Kardi bukan anti kemajuan, dia cuma pengen jujur.”

“Sistemnya yang salah, bukan rakyatnya.”

“Salut buat Rana, wartawan berani!”




Camat Herman dan Sugeng menonton berita di ruangannya dengan wajah tegang.


CAMAT HERMAN (pelan, kesal)

Anak itu (Rana)... mulai ganggu permainan kita.


SUGENG (dingin)

Kalau begitu, saatnya kita main lebih tinggi lagi.

Kita naikkan ini... ke tingkat kabupaten.



EXT. DESA – SORE


Kardi berjalan di sawah, memandangi matahari terbenam.

Rana datang menghampiri.


RANA (tersenyum)

Pak, video Bapak trending.

Banyak yang mulai buka mata.


KARDI (tenang)

Kalau mata ra

kyat mulai terbuka...

biasanya kekuasaan mulai ketakutan.


(Kamera naik pelan memperlihatkan langit jingga, tanda badai baru akan datang.)



FADE OUT.


TULISAN DI LAYAR:

BERSAMBUNG – EPISODE 19: “Suara dari Atas.”

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)