Penulis : Rana Kurniawan
Episode 5: Baliho dan Bayaran Suara
Genre: Drama Politik – Satire
Durasi: ±25 menit
Tema: Saat mimpi berubah jadi bisnis
FADE IN:
EXT. DESA SUKAMAJU – PAGI
Kabut pagi menyelimuti desa.
Suara tukang pasang baliho terdengar di kejauhan.
Kamera bergerak pelan melewati deretan baliho calon lurah — wajah-wajah tersenyum lebar dengan janji muluk.
Satu baliho paling besar kini berdiri:
KARDI UNTUK DESA MAJU – KERJA, BUKAN JANJI!
Kardi berdiri di bawahnya, mengenakan kemeja putih dan kopiah hitam.
Ia menatap wajahnya sendiri di spanduk itu, seolah melihat orang asing.
DUL (O.S.)
Bagus, Kar! Liat tuh, kaya calon bupati beneran!
Kardi tersenyum tipis.
KARDI
Tapi duitnya abis lagi, Dul.
Cetak spanduk aja udah lima juta.
DUL
Santai, nanti balik modal waktu udah duduk.
(Kardi terdiam. Kamera close-up — wajahnya mulai menunjukkan keraguan yang disembunyikan di balik senyum.)
INT. RUMAH WARGA – SIANG
Warga berkumpul. Di tengah meja, ada tumpukan amplop cokelat kecil.
Suasana setengah rahasia tapi biasa saja, seolah hal itu sudah lumrah.
BU MINAH
(berbisik ke tetangga)
Katanya amplopnya dari Kardi. Lima puluh ribu satu.
PAK RASIM
Ya, asal gak dari calon sebelah, ambil aja.
Yang penting besok nyoblos dia.
(Kamera bergerak memperlihatkan wajah-wajah warga yang tertawa kecil, malu tapi gembira.)
EXT. LAPANGAN DESA – SORE
Acara kampanye Kardi dimulai. Musik dangdut menggema.
Anak-anak menari, ibu-ibu teriak riang.
Kardi naik panggung, mencoba terlihat percaya diri.
KARDI (di atas panggung)
Warga Desa Sukamaju!
Kalau saya terpilih, saya janji...
Tidak ada lagi jalan berlubang, tidak ada lagi sawah kering, tidak ada lagi orang susah!
Kerumunan bersorak.
Dul di bawah panggung membagi-bagikan nasi kotak dan amplop secara diam-diam.
(Kamera mengikuti satu amplop yang berpindah tangan — dari Dul, ke warga, ke tas plastik — simbol uang yang jadi alat suara.)
INT. REDAKSI MEDIA DESA – MALAM
Rana mengetik cepat di depan laptop.
Layar menampilkan artikel dengan judul besar:
“Janji dan Amplop: Potret Kampanye di Sukamaju”
Rekan wartawan, DITA, melihat tulisan itu.
DITA
Rana, kamu yakin mau muat berita ini?
Kardi itu temen kamu dulu, kan?
RANA
(dingin)
Justru karena temen, aku harus nulis yang benar.
(Ia menatap foto Kardi di layar — sedang senyum sambil berjabat tangan dengan warga.)
RANA (lanjut)
Dia lupa gimana rasanya dulu jadi rakyat.
EXT. WARUNG KOPI – MALAM
Kardi duduk sendirian.
Di meja ada koran yang menampilkan artikel tulisan Rana.
Judulnya tebal: “Janji dan Amplop.”
DUL (datang tergesa)
Kar, liat nih berita!
Si Rana nulis soal kamu!
KARDI
(tenang tapi getir)
Aku udah baca.
DUL
Kita laporin aja, Kar. Dia udah nyebar fitnah!
KARDI
(tenang)
Biarin, Dul. Orang kayak dia cuma ngerti tulisan, gak ngerti perjuangan.
(Namun dari raut wajahnya, terlihat jelas Kardi terguncang.)
INT. RUMAH KARDI – MALAM
Saripah membaca berita itu sambil menatap suaminya.
SARIPAH
Rana bener, Pak...
Kamu sekarang bukan Kardi yang dulu.
KARDI
(keras kepala)
Aku cuma main sesuai aturan mereka, Bu.
Kalau gak ikut arus, kita tenggelam.
SARIPAH
Tapi kamu lupa: arus yang kamu ikutin itu kotor.
(Kardi menatap istrinya lama, tapi tak menjawab.)
EXT. DESA – PAGI BERIKUTNYA
Kamera menunjukkan beberapa warga sedang menurunkan baliho Kardi karena kalah bayar sewa tempat.
Dul datang panik.
DUL
Kar, uang sponsor udah habis!
Kita gak bisa pasang baliho lagi!
KARDI
(kecewa)
Padahal baru seminggu...
AMAT (muncul dari belakang)
Ada cara lain, Kar.
Malam nanti, ada orang partai kota yang mau ketemu.
Katanya siap bantu... asal kamu mau “berkoalisi.”
Kardi menatap jauh.
Suara musik kampanye lawan terdengar dari kejauhan — keras, sombong, dan penuh uang.
(Kamera naik ke langit — suara Kardi me
nggema pelan.)
KARDI (V.O.)
Kalau semua orang main kotor, apa aku harus tetap bersih sendirian?
FADE OUT.
TULISAN DI LAYAR:
BERSAMBUNG – EPISODE 6: “UTANG POLITIK”