Khayal
3. ACT 1

1 INT. RUANG WAWANCARA - DALAM - PAGI

Film dibuka dengan seorang wanita (Navelyn, 33) duduk di atas sofa, menghadap langsung ke kamera. Sang wanita mengenakan blus semi-formal dengan kalung raksasa dan rok pensil-- agak terlalu formal untuk wawancara pada pagi hari ini. Make-up pada wajahnya tampak lebih natural dengan pengecualian pensil pada alis dan tepian mata yang tampak terlalu tebal. Kelihatannya sang wanita baru selesai menata ulang dandanannya di kamar mandi sebelum masuk ke dalam ruang wawancara.

 

Jurnalis mulai mempersiapkan dirinya. Baik wajah maupun penampilannya berada di balik kamera dan tidak untuk dipertontonkan. Jurnalis adalah seorang pria berusia akhir tiga puluhan. Suaranya berat namun tetap terdengar santun. Terdapat secercah keparauan dari balik pita suaranya.

 

JURNALIS

(Berdeham) Anda sudah siap, Mba?

 

NAVELYN

(Sibuk meluruskan garis pada blusnya) Menurut lo? Sori, gue agak nervous. Fine, gue nervous parah. Pertama kali gue diundang wawancara di depan kamera kayak gini. Ngomong-ngomong, boleh kan gue ngomong “gue-lo-gue-lo”? Ini bukan job interview, kan? (Navelyn tertawa terbahak-bahak) Sori, gue juga suka ngejayus pas gue nervous. Anjir, salah banget gue pilih ini blus. Kenapa enggak gue setrika dulu, dasar brengsek. Gue kelihatan keren atau gue kelihatan kayak baru dapet surat cerai?

 

JURNALIS

Mba kelihatan keren, kok. Mba balik ke kantor setelah ini?

 

NAVELYN

Tetep perlu cari duit, bro. Female empowerment. Oh, iya: gue boleh ngucapin sumpah serapah enggak di depan kamera? Atau terserah mulut gue terus lo bakal nge-bleep-in?

 

JURNALIS

Mba bicara kayak biasa aja dan kita pasti bakal sensor apapun yang sekiranya kurang pantas buat didengar.

 

NAVELYN

(Meniru nada bicara Jurnalis) “Yang sekiranya kurang pantas buat didengar”? EYD banget, bro. Kuliah apa dulu?

 

JURNALIS

Jurnalisme. Makanya saya jadi jurnalis.

 

NAVELYN

Aaah, I see... Gue pernah punya cowok anak jurnalisme.

 

JURNALIS

Oh, ya?

 

NAVELYN

Dia kena kanker.

 

JURNALIS

Bisa kita mulai wawancaranya?

 

NAVELYN

Jangan lupa pasang bleep-nya. Gue kumpulin chi gue dulu sebentar. (Memejamkan mata, kemudian bernapas tidak beraturan) Bullshit banget gue ikut kelas yoga. (Membuka mata, tampak kegerahan) Lo nge-bleep “bullshit” tadi kan?

 

JURNALIS

Boleh Mba perkenalkan diri dulu sebentar? Dimulai dengan nama.

 

NAVELYN

(Berdeham, kemudian menegakkan punggung) Selamat pagi, semuanya. Nama gue Navelyn Prima, usia gue 30 untuk ketiga kalinya, dan gue sekarang kerja jadi investment specialist di salah satu bank swasta. Gila, gue pasti kedengeran kayak karakter dari novel Ika Natassa, ya? Gue boleh kasih rahasia buat lo para penonton: hidup gue enggak se-berwarna itu. Enggak ada cinta segi empat menunggu gue di rumah kosan gue. Lo denger gue, Internet? (Membungkuk ke arah kamera) KOSAN!

 

JURNALIS

Jadi kapan Mba pertama kali berkenalan sama seorang Danila Dago?

 

NAVELYN

(Bersandar ke sofa) Si Dani, ya? Asli, jarang-jarang gue ketemu sama orang dengan nama se-catchy itu. Bener-bener layak itu anak jadi filmmaker. Tapi sebentar! (Menyipitkan mata sambil mengerucutkan bibir, seolah sedang menggali isi kepala) Jadi gue pertama kali kenal sama Danila pas kelas 2 SMA. Waktu itu hari pertama masuk sekolah dan wali kelas kita naro kita satu bangku bareng.

 

JURNALIS

 Dan bagaimana kesan Mba pada kala itu?

 

NAVELYN

(Masih menggali isi kepala) Gimana, ya... Anaknya, yah, begitulah!

 

CUT TO:

 

2 INT. RUANG KELAS - DALAM - SIANG

Kembali ke lima belas tahun silam. Dua remaja perempuan berbagi satu meja belajar yang terbuat dari kayu. Navelyn remaja membaca komik dengan punggungnya nyaris tersungkur dari kursi. Rambutnya diikat ekor kuda dan wajahnya polos dari dandanan. Danila remaja duduk di sebelahnya dan menjulurkan lehernya ke arah Navelyn sambil bertopang dagu, seolah berharap teman sebangkunya memperhatikan betul apa yang dia bicarakan. Wajah Danila remaja agak berjerawat dan rambut pendeknya agak urakan. Poninya cukup panjang hingga nyaris menutupi kedua matanya.

 

DANILA

Gue merasa hidup gue enggak bermakna.

 

NAVELYN

(Mengacuhkan Danila) Gue pengen kerja di bank.

 

CUT TO:

 

3 INT. RUANG WAWANCARA - DALAM - PAGI

Kembali ke masa kini. Wawancara berlanjut.  

 

NAVELYN

Cuma gue temen dia waktu itu. Kasihan juga sih, melihat ke belakang. Gue udah pernah bilangin dia buat lebih membuka diri. Mungkin ikutan ekskul gitu. Minimal Pramuka. Minimal mading gitu. Kerjaannya cuma nempelin kertas di atas papan tulis, kan? Gue bingung lo-lo kaum jurnalis bisa dapet duit dari mana? No offense.

 

JURNALIS

Danila Dago mengatakan bahwa pementasan drama panggungnya yang bertajuk Khayal terinspirasi dari masa remajanya, terutama ketika dia masih di bangku SMA. Apakah Mba punya komentar?

 

NAVELYN

(Terdiam sejenak, kemudian memasang muka penuh curiga. Kedua lengannya terlipat di depan dadanya) Oh-ho-ho... Jadi ini maksud dari dokumenter ini? Lo pengen ngungkit-ngungkit pementasan itu lagi? Sebegitu tipisnya, ya, dompet lo sekarang? Emang lo dulu enggak punya Emak yang maksa lo kuliah akuntansi?

 

JURNALIS

Apa Mba ikut menonton pementasan Khayal?

 

NAVELYN

No comment.

 

JURNALIS

Mengasumsikan Mba hadir ketika opening night, bagaimana kesan Mba akan malam tersebut?

 

NAVELYN

Gue bisa melihat kalo si Dani udah mencurahkan keringat dan kerja keras luar biasa buat nyutradarain, nulis, sekaligus ngebiayain itu drama-- apalagi mengingat itu anak enggak pernah bikin pementasan sebelumnya. Gue sih salut-salut aja.

 

JURNALIS

Jadi Mba secara sadar memutuskan untuk mengabaikan apa yang terjadi ketika opening night?

 

NAVELYN

(Matanya semakin mengernyit) Itu pertanyaan yang aneh.

 

JURNALIS

Tanpa mengumbar terlalu banyak, sebagian besar massa berpendapat bahwa Khayal adalah drama panggung yang... kontroversial. (Navelyn terkekeh sinis namun Jurnalis tidak menghiraukan) Bahkan ada yang berpendapat bahwa pementasan tersebut tidak semestinya diselenggarakan.

 

NAVELYN

Kontroversial? Gue enggak lihat ada penari bugil atau propaganda komunisme di atas panggung. Bentar, boleh enggak sih gue ngucapin kata “komunisme” di depan kamera? Dan gue sekarang udah ngucapin kata “komunisme” dua kali. Fuck, udah tiga kali sekarang. Fuck, gue sekarang malah ngucapin kata “fuck”. Kuota bleep-nya masih ada kan, bro?

 

JURNALIS

Jadi Mba sungguh-sungguh berpendapat bahwa sama sekali tidak ada yang janggal dari pementasan drama panggung Khayal?

 

NAVELYN

No comment.

 

JURNALIS

Kalo boleh saya ganti pertanyaan saya: apakah karakter Dilla, yang dilansir adalah cerminan Danila Dago muda, mengingatkan Mba sama Danila Dago yang dulu Mba kenal?

 

NAVELYN

(Kembali terkekeh sinis) Gue bingung kenapa lo ngasih pertanyaan kayak gitu ke gue. Bukan gue yang hidupnya direka ulang di atas panggung, mas bro.

 

JURNALIS

Seberapa baik Mba mengenal Danila?

 

NAVELYN

Susah buat gue nyari kata sifat yang pas. Dani itu Dani. Enggak ada yang kayak dia.

 

CUT TO:

 

4 INT. GEDUNG APARTEMEN - LORONG LANTAI 17 - MALAM

Cerita berpindah ke waktu sebelum Khayal dipentaskan dan dokumenter tersebut dibuat. Seorang pria (Driando, 25) berjalan lesu sepanjang lorong menuju pintu apartemen miliknya. Melihat kemejanya yang lusuh dan agak urakan, tampaknya Driando baru saja melalui hari yang melelahkan dalam pekerjaannya. Matanya terpaku pada lantai dan konsentrasinya mulai buyar. Jari-jari tangan kanannya meraih kunci di dalam saku celana bahan yang dikenakannya. Dia nyaris menjatuhkan kuncinya. Mulutnya komat-kamit sendiri.

 

CUT TO:

 

5 INT. UNIT APARTEMEN DRIANDO - DALAM - MALAM

Driando lanjut terhuyung-huyung memasuki unit apartemen dan membanting tubuhnya sendiri ke atas sofa. Apartemen Driando adalah apartemen studio yang hanya memiliki satu partisi yang memisahkan tempat tidur dari area lain seperti dapur, meja makan, sofa, dan televisi. Wajah dan mulut Driando tersumpal ke dalam bantal sofa. Air liur mulai menetes. Driando belum sempat menyalakan lampu.

 

DRIANDO

(Bicara ke diri sendiri dengan mulut masih tersumpal bantal) Enggak nge-gym lagi selama lima hari berturut-turut. Bukan salah gue. Sama sekali bukan salah gue. Yang salah adalah bos gue. Yang salah adalah dunia.

 

Ketukan pintu tertangkap oleh telinga Driando. Awalnya Driando mengacuhkannya namun ketukan pintu tersebut semakin kencang, semakin keras, dan semakin menggelisahkan di hati Driando. Dia pun kemudian menggunakan tenaganya yang tersisa untuk bangkit dari sofa dan kembali ke pintu.

 

DRIANDO

(Bicara ke diri sendiri lagi) Siapa lagi yang mau nyusahin hidup gue?

 

Driando mengintip dari lubang pintu. Berdirilah Danila Dago (33), tetangga yang menghuni unit apartemen persis di sebelah kiri unit apartemen miliknya. Dari lubang intip tersebut tampak Danila mengenakan sweter rajutan yang kebesaran, celana piyama yang lusuh, dan sandal jepit. Rambutnya yang agak panjang dijepit oleh semacam scrunchie. Wajahnya tampak lelah sekaligus histeris. Driando mengelap kedua matanya dengan lengan kemeja, tidak mempercayai apa yang terlihat dari lubang pintunya.

 

DRIANDO

(Memejamkan mata sambil lanjut bicara ke diri sendiri) Kenapa gue enggak ngekos aja, dasar anak trainee bego. (Membuka pintu sambil memaksakan senyuman lebar) Selamat malam, Mba Danila. Ada yang bisa saya bantu?

 

DANILA

(Memaksakan diri masuk ke dalam. Langkah kakinya cepat) Hai, hai! Hai! Mudah-mudahan gue enggak ngeganggu, ya! Kok lo bisa tahu nama gue ya? (Memperhatikan seisi apartemen Driando) Oooh, jadi ini isi apartemen lo? Kecil sekali, ya! Benar-benar kecil. Kok bisa kecil begini, ya? Lo yakin lo enggak ditipu sama developer? Sori, tadi gue mau bilang apa? Ah, sori, sori... Kok tadi lo bisa tahu nama gue?

 

DRIANDO

(Mengamati Danila yang hilir mudik di dalam apartemennya. Kaget namun konsentrasinya belum sepenuhnya pulih) ...Bukannya Mba terkenal ya?

 

DANILA

(Sambil mengelilingi seantero apartemen tanpa memperhatikan Driando) Terkenal dari mana?

 

DRIANDO

Mba bikin film, kan?

 

DANILA

(Matanya masih fokus ke perabotan Driando) Astaga, gue udah enggak bikin film sejak... sejak... sejak kapan ya? Sori, otak gue lagi-- Gue udah enggak tidur tiga hari. Boleh lo ingetin gue?

 

DRIANDO

(Menggaruk belakang lehernya) Kalo enggak salah sejak Putih dan Salju. Dua tahun yang lalu mungkin--

 

DANILA

(Menyela sambil menggacungkan jari telunjuk ke udara. Matanya masih terpaku pada perabotan) Jangan ingetin gue sama mimpi buruk itu! Apa yang gue pikirkan? Sayangnya gue tahu persis apa yang gue pikirkan. Cuma bikin itu sampah biar gue bisa jalan-jalan ke Jepang gratis.

 

DRIANDO

Filmnya lumayan laris, kok.

 

DANILA

(Berpaling kepada Driando) Lo suka sama filmnya?

 

DRIANDO

(Mengangkat bahu) Lumayan--

 

DANILA

(Menyela lagi) Itu maksud gue! “Lumayan”. Gue benci banget itu kata. “Lumayan”. Enggak ada yang pake kata “lumayan” sama Teguh Karya atau Djarot atau-- Usmar Ismail! Ya! Menurut lo kalo beliau masih hidup sekarang, Maharaja Ismail bakalan bikin film “lumayan” dengan durasi 121 menit tentang cinta segitiga konyol yang setting-nya di resort bintang lima di Hokkaido? Terus judul macam apa itu, Putih dan Salju? Gue kayak lagi bikin iklan pembalut.

 

DRIANDO

Tapi romantis, kok. Saya nembak cewek saya abis nonton film itu.

 

DANILA

Lo masih jadian sama cewek lo?

 

DRIANDO

Enggak, tapi--

 

DANILA

(Mengangkat kedua tangan) Gue enggak peduli sama jumlah penonton. Gue baru bisa bilang kalo film gue bagus kalo film gue berhasil mendorong lo buat ngelamar cewek lo sekalian bikin anak. Gue kedengeran kayak pengen bikin film porno, ya? Whatever. Semua itu bakalan gue ubah. Gue ulang lagi semua dari awal! (Setengah berlari mendekati Driando) Gue bikin naskah baru kali ini! Drama!

 

DRIANDO

(Mengambil satu langkah ke belakang. Konsentrasinya kembali pulih dan dia mulai sepenuhnya merasakan kehadiran tamu tak diundang tersebut) Maksud Mba film drama? Omong-omong, nama saya Driando. Kita udah tetanggaan hampir satu tahun. Mba sadar kalo ini pertama kalinya kita ngobrol bareng? Wah, Mba ternyata agresif ya orangnya?

 

DANILA

Lo enggak menyimak, ya? Bukan film drama-- maksud gue drama sandiwara, dipentaskan, di atas panggung, terbuat dari kayu! Gue memutuskan buat back to basic! Persetan dengan uang dan pamor dan luar negeri-- gue bakal menunjukkan ke satu negeri ini kalo gue juga adalah seorang seniman!

 

DRIANDO

Oh, saya percaya Mba itu seniman. Sama berbakatnya dan sama gilanya. Maaf banget nih, Mba Danila, tapi besok saya harus bangun pagi-pagi banget--

 

DANILA

(Menyela) Gue mau nanya, kapan terakhir kali lo nonton drama panggung?

 

DRIANDO

(Meracau sedikit) Ehm, eh... Pas ujian praktek SMA, mungkin?

 

DANILA

Nah, drama gue bakal ber-be-da! Jangan ngebayangin bakalan ada model cowok bertelanjang dada dan audiens dipaksa buat percaya kalo dia adalah Pati Gadjah Mada dan tiba-tiba ada dance break gaje di tengah-tengah. Bikinan gue ini legit! Gue ambil inspirasi langsung dari sumber paling terpercaya which is hidup gue sendiri. Jadi gimana menurut lo?

 

DRIANDO

Menurut saya mengenai apa?

 

 

DANILA

Mengenai naskah gue, dongo! Gue perlu pendapat objektif! Lo suka sama naskah gue, enggak?

 

DRIANDO

(Berkedip sambil membisu sejenak) Saya belum baca naskah Mba.

 

DANILA

Bukannya gue udah tunjukkin naskah gue ke lo?

 

DRIANDO

(Menggelengkan kepala) Belum.

 

DANILA

Gue ke sini enggak ngebawa naskah gue?

 

DRIANDO

(Menggeleng lagi) Kayaknya enggak.

 

DANILA

Oke. Boleh lo ambilin naskah gue? Pintu apartemen gue kebuka, kok. Ada di atas meja ruang tamu kalo enggak salah. Hati-hati ya, by the way, soalnya udah lama gue enggak buang sampah. Dan cuci baju. Kapan terakhir kali gue cuci baju?

 

Perlahan-lahan Danila tersungkur di atas sofa Driando. Kelihatannya Danila masih tidak menyadari ketidaknyamanan yang sedang ia sebabkan.

 

DANILA

(Lanjut meracau) Terus gue boleh rebahan sebentar di sofa lo? Tuhanku, udah lama sejak gue memeluk katun. Kok gue jadi capek banget ya sekarang? Kenapa gue jadi penulis? Harusnya gue jadi anak trainee aja. Anyway--

 

Seketika itu juga Danila tertidur di atas sofa. Driando mengamatinya dengan ekspresi tidak percaya.

 

CUT TO:

 

6 INT. RUANG WAWANCARA - DALAM - PAGI

Kali ini Jurnalis mewawancarai Driando. Tampak bahwa Driando agak gugup berada di depan kamera. Driando tidak henti-hentinya memainkan jari-jari tangannya. Wajahnya lebih segar dan dia mengenakan cardigan di atas kaus berkerah sederhana.

 

JURNALIS

Saya membayangkan Mas pasti merasa kaget sekali, ya?

 

DRIANDO

(Bicara terpatah-patah) Y-Yah, saya akui dulu saya senang sekali pas saya tahu kalo tetangga saya a-adalah a-a-artis tapi kemudian s-saya perhatiin k-kalo Danila Dago agak sedikit... uhm, eksentrik mungkin? Sori, apa AC-nya bisa dikecilin?

 

JURNALIS

Eksentrik bagaimana?

 

DRIANDO

(Bicara terpatah-patah) Y-Yah, dia jarang keluar dari apartemen. Kadang-kadang suka setel musik kencang-kencang. Saya suka perhatiin kayaknya makanan dia delivery semua. Apalagi kalo boleh saya bilang, gedung apartemen kita bukan kondominium mewah juga. Sori, apa AC-nya bisa dikecilin?

 

JURNALIS

Mas Driando adalah orang pertama yang membaca naskah bertajuk Khayal. Bagaimana kesan Mas pada saat itu?

 

DRIANDO

Ehm, apa saya harus menyatakan kesan saya?

 

JURNALIS

Ya.

 

DRIANDO

Ehm, awalnya saya kira ini mengenai romance. Maklum, soalnya Danila Dago kan bikin film romance melulu. Putih dan Salju, Kembang Amelia, Surat Cinta di Kolong Meja, Satu Lagi Surat Cinta di Kolong Meja... Tapi Khayal ini memang beda banget.

 

JURNALIS

Bisa dielaborasikan seperti apa perbedaannya di mata Mas?

 

DRIANDO

Mmmmm, Khayal ini mengenai drama keluarga dan kerasa banget sih kalo ini kayak semi-autobiografikal. Terus pembawaannya unik juga. Saya enggak ngerti sastra atau seni drama yang gitu-gituan, tapi kesannya ini lebih serius gimana gitu. Enggak kayak Danila Dago yang masyarakat kenal deh, pokoknya. Habis selesai ngebaca naskahnya, saya berpikir “Kalo dibikin bener-bener, ini bisa keren banget, sih.”

 

JURNALIS

Saya ulangi kata-kata Mas tadi: “kalo dibikin bener-bener”.

 

DRIANDO

(Mengangguk pelan) Ya. Kalo dibikin bener-bener.

 

JURNALIS

Menurut Mas bagaimana keseriusan Danila Dago dalam menggarap naskah tersebut hingga menjadi pementasan yang kita kenal sekarang?

 

DRIANDO

Oh, waktu itu dia sangat serius. (Berpikir sejenak, seolah sedang merekap sesuatu di dalam benaknya) Mungkin terlalu serius?

 

CUT TO:

 

7 INT. UNIT APARTEMEN DRIANDO - DALAM - PAGI

Danila terbangun dari tidurnya, mendapati dirinya di atas sofa yang bukan miliknya. Perlahan-lahan Danila menegakkan punggungnya sambil mengusap kotoran dari dua kelopak matanya. Sinar matahari yang menembus pintu kaca balkon membuat Danila tidak bisa membuka mata kanannya. Rambutnya urakan dan Danila bisa merasakan bahwa dia pasti tertidur dengan mulut terbuka lebar. Danila kemudian mencoba merasakan lidahnya.

 

Danila menengok ke kiri dan ke kanan.

 

DANILA

Di mana gue? Jam berapa sekarang?

 

Driando menghampiri Danila dengan nampan. Terdapat dua gelas mug hangat di atas nampan yang dibawanya. Kali ini Driando tampak segar. Dia mengenakan kaos lengan panjang, celana training, dan fluffy sandal. Dari aromanya, Danila dalam hati menebak kalau Driando baru selesai mandi pagi.

 

Driando pun memasang senyum yang dipaksakan sambil meletakkan nampan di atas meja kopi di dekat sofa. Ekspresi wajah Driando masih diwarnai dengan ketidaknyamanan.

 

DRIANDO

(Menjawab racauan Danila) Mba masih di apartemen saya. Sekarang jam sepuluh pagi. Hari Sabtu.

 

DANILA

(Terperanjat dari sofa, nyaris terpeleset oleh karpet di bawah kakinya) Sabtu?

 

DRIANDO

(Meraih satu gelas mug dari atas nampan. Wajahnya dipalingkan ke mug yang ada di tangannya) Yap, (Menghela napas panjang) Sabtu. Syukurlah bos saya ngasih saya ijin bolos hari Jumat kemarin dengan syarat saya nge-InstaStory penampakan sutradara kenamaan terkulai pingsan di atas sofa. Jadi mohon maklum kalo sudah bermunculan berbagai macam meme yang tidak pantas.

 

DANILA

Maksudnya gue tidur selama empat puluh delapan jam nonstop?

 

DRIANDO

(Matanya kembali ke Danila lalu merekahkan senyuman pendek) Mba bisa kasih saya uang cuci sofanya nanti.

 

DANILA

(Menutup kedua mata dengan telapak tangan kanan) Gue minta maaf banget. Gue bener-bener minta maaf banget. (Melepaskan telapak tangan kanannya dengan mata terbelalak lebar) Gue sempet kayak orang gila ya tadi?

 

DRIANDO

Yah... yang lalu biarlah berlalu, Mba. Silahkan diminum kopinya.

 

Driando menyeruput mug hangat miliknya sambil lanjut memperhatikan Danila, yang sedang komat-kamit sendirian. Danila mengacuhkan gelas mug yang ditawarkan oleh Driando.

 

DRIANDO

(Sambil menyeruput mug) Saya sudah baca naskah Mba, by the way.

 

DANILA

(Komat-kamitnya berhenti. Alisnya mengernyit kepada Driando) Naskah?

 

DRIANDO

Yang judulnya Khayal? (Mulai salah tingkah sedikit) A-Apa saya salah ambil naskah?

 

DANILA

Betul! Betul! Itulah kenapa gue ada di sini! Sori, percaya sama gue kalo gue enggak selalu seaneh ini. Itulah kenapa gue jadi penulis, gue rasa, karena gue enggak kompeten buat jadi pekerja kantoran kayak lo (Tertawa canggung, namun kemudian berhenti). Itu enggak lucu. Kadang gue ragu apa gue kompeten buat mengerjakan apapun. Khayal! Ya! Gimana menurut lo? Lo suka atau mending gue buang ingus pake kertas naskah gue?

 

DRIANDO

(Terdiam sejenak. Tampak sekali sedang berpikir untuk memilih kata-katanya) Saya menilai--

 

DANILA

(Menyela) Lo berpikir.

 

DRIANDO

(Terperangah) Sori?

 

DANILA

Lo berpikir. Lo berusaha memilih kata yang tepat. Lo enggak mau kedengeran kayak total asshole. Lo kayak juri di The Voice. Lo enggak suka sama naskah gue.

 

DRIANDO

O-O-Oh, I-Itu enggak benar, Mba!

 

DANILA

(Meluruskan baju dan rambutnya. Menghindari kontak mata dengan Driando karena matanya sendiri sudah mulai berkaca-kaca) Enggak apa-apa, bro. Enggak apa-apa. Enggak apa-apa. Sori udah menyita waktu lo. Sumpah, gue bakal bayar buat cuci sofa lo. Lo terima cash doang atau gue bisa pake-- You know what? Gue kasih lo cash aja. Dompet gue ada di kamar gue. Gue enggak mau nomor rekening gue menghantui mobile banking app lo. Sekali lagi, sori gue udah mempermalukan diri gue sendiri di depan orang asing buat sesuatu yang hanya membuang waktu kita berdua. Selamat pagi dan selamat tinggal (Membelakangi Driando dan mulai bergegas menuju pintu depan. Langkah kakinya tidak karuan. Hidungnya sudah tidak bisa lagi menahan ingus).

 

DRIANDO

(Setengah menyahut, berusaha menghentikan Danila yang salah paham) Saya suka!

 

DANILA

(Menghentikan langkahnya. Tubuhnya mematung. Matanya yang berkaca-kaca masih terpaku pada pintu) Lo suka? Lo suka sama gue atau lo suka sama naskah gue? Karena gue enggak worth it buat mencintai dan dicintai dan naskah gue adalah yang menyiapkan beras di dalam rice cooker gue--

 

DRIANDO

(Menyela) S-Saya enggak nyangka aja kalo Khayal itu adalah drama keluarga. Biasanya Mba Danila kan bikin film cinta-cintaan. Karena ini adalah sesuatu yang baru--

 

DANILA

(Langsung meluncur ke Driando) Itu dia tujuan gue sejak awal! (Menggenggam lengan kedua Driando. Gelas mug di tangan kanan Driando nyaris tumpah) Baru! Dan sesuatu yang baru selalu membutuhkan temen! Gue perlu temen, bro! Mulai sekarang lo panggil gue Dani aja. Semua temen gue panggil gue Dani-- itupun kalo gue masih punya temen. Gue enggak inget lagi. Terus, terus? Apa lagi yang bikin lo suka?

 

DRIANDO

(Kaget, namun berusaha menenangkan diri. Lehernya ditarik agak ke belakang) Ehm... eh... Jadi, Dani, saya bilang sih karakternya cukup unik. Jarang ada karakter kayak begini.

 

DANILA

(Masih mencengkeram dua lengan Driando) Karakter mana yang paling lo suka?

 

DRIANDO

Kalo harus milih, mungkin karakter Dilla?

 

DANILA

(Menyengir kegirangan) Kenapa lo baru muncul di hidup gue sekarang? My man, my bro, my male bitch! Menurut lo apa naskah gue terlalu dramatik atau kacang goreng parah? Kalo misalkan lo mati besok, lo pengen enggak Khayal jadi tontonan terakhir lo?

 

DRIANDO

(Meringis membayangkannya) Mungkin?

 

DANILA

(Menjetikkan jari) Gue terima jawaban “mungkin”. (Melepaskan cengkeramannya dan merentangkan dua tangan lebar-lebar. Tubuhnya berputar menyerupai balet) Aaaaah... Udah lama gue enggak merasa sedamai ini sejak... sejak... (Menghentikan tubuhnya dan berpaling kepada Driando) Gue masih enggak tahu siapa nama lo.

 

DRIANDO

(Meletakkan gelas mug di atas meja kopi dekat sofa lalu mengelap kedua telapak tangan pada pahanya) Sebenernya saya udah memperkenalkan diri kemarin-kemarin tapi-- Lupain aja. Nama saya Driando (menjulurkan tangan untuk berjabat tangan).

 

DANILA

Driando... Nama yang menarik. (Membalas jabat tangan Driando dengan mantap. Driando tidak menduga betapa kuat dan mantap jabatan tangan lawan bicaranya) Gue suka lo, Driando. Kayaknya lo enggak kayak orang-orang yang biasa gue kenal.

 

DRIANDO

(Tersenyum malu) Oh, ya?

 

DANILA

Semua orang yang gue kenal pada bahagia semua tapi lo... Gue bisa melihat ada kesedihan di mata lo-- and that’s a good thing! Cerita terbaik di dunia selalu terinspirasi oleh kesedihan. Itulah kenapa gue lebih suka mengelilingi diri gue dengan orang-orang menyedihkan.

 

DRIANDO

Mmmm (Melepaskan jabatan tangan).

 

DANILA

Maksud gue, ngelihat lo aja udah bikin gue terinspirasi.

 

DRIANDO

Iya, saya paham.

 

DANILA

(Menyela) Character study, durasi seratus sepuluh menit, genre tragicomedy. Lelaki usia dua puluhan yang gagal menemukan kebahagiaan dalam karier, cinta, dan keluarga.

 

DRIANDO

Iya, iya, saya paham.

 

DANILA

(Menyela) Meratap sendirian di dalam apartemen empat kali empat ketika matahari pagi begitu indah di hari Sabtu-- karena sang lelaki sudah tidak lagi sanggup mempercayai dunia.

 

DRIANDO

Dani?

 

 

DANILA

(Menyela) Judul sementara: Hampa. Bayangkan komedi Raditya Dika dengan elemen film Ateis.

 

DRIANDO

(Tersenyum lebar namun tidak sanggup lagi menyembunyikan rasa kesalnya) Gimana kalo kita sarapan dulu, Dani?

 

DANILA

(Bertepuk tangan) Ide yang bagus! Gue mandi dulu terus-- gimana kalo gue yang masakin sarapan? Buat kita berdua! Sebagai ucapan terima kasih gue buat temen baru gue ini (Mencengir lebar). Begini-begini gue jago masak, loh!

 

DRIANDO

(Merengut curiga) Oh, ya?

 

DANILA

Sumpah! Gue bisa masak sereal, mie gelas, terus gue juga jago ngiris apel--

 

DRIANDO

(Menyela) Ada kedai kopi di deket gedung. Di sana aja, ya.

 

CUT TO:

 

8 INT. KEDAI KOPI - DALAM - PAGI

Kedai kopi yang berlokasi tidak jauh dari gedung apartemen Driando dan Danila baru saja dibuka. Oleh karenanya, baru ada Driando, Danila, dan dua orang lainnya yang sedang menyantap sarapan. Seorang pelayan terlihat masih mengepel lantai sedangkan pelayan lainnya masih menurunkan beberapa kursi dari meja makan pelanggan. Melodi saksofon melantun dan mengisi seantero kedai.

 

Terdapat sepiring telur dadar dan kentang goreng di hadapan Driando dan semangkuk sup krim jagung dan roti bakar di hadapan Danila. Terdapat pula ceret plastik berisi air mineral lengkap dengan es batu di dalamnya, beserta dua gelas bening yang setengah penuh oleh air mineral.

 

Driando memperhatikan Danila yang, kini sudah bersih dan segar, melahap sup krim jagung dengan begitu laparnya. Danila mengenakan kaus putih dengan rompi kulit, rok kotak-kotak, kaus kaki hitam dari paha hingga ujung kaki, dan sneakers yang dihiasi manik-manik custom. Driando termenung, dia tidak pernah menyangka orang seperti ini sungguh ada dan bernapas di kehidupan nyata.

 

DRIANDO

Dani juga enggak makan selama tiga hari kemarin?

 

DANILA

(Beralih dari sup ke roti bakar) Gue takut karbo nge-distract kreativitas gue. Kalo gue ngerasa mau pingsan, biasanya gue tinggal nelen satu sendok mentega. (Mengacungkan garpu ke hidung Driando) Laura Andini! Menurut lo cocok enggak kalo Laura Andini yang jadi Dilla?

 

DRIANDO

(Mengentikkan kunyahan di dalam mulut sambil memelototi Danila) Laura Andini?

 

DANILA

Gue pernah nge-casting dia di film gue. Kembang Amelia kalo enggak salah. Waktu itu dia masih newbie dan... (mengecap jempol dan jari telunjuknya) itu anak punya bakat beneran. Maksud gue, enggak cuma modal mewek doang. Dan cantik. Yah, berhubung karakter Dilla itu terinspirasi dari gue, boleh lah kalo gue bikin cantik sedikit (Terkekeh geli).

 

DRIANDO

Tapi (menelan kunyahan di dalam mulut) bukannya Laura Andini udah... tua? (Cepat-cepat menambahkan) M-Maksud saya, buat memerankan remaja usia 17 tahun.

 

DANILA

I know, I know. Tapi gue rasa dia masih cocok. Kulitnya awet tanpa perlu face peeling. Lagipula, sangat penting buat gue selaku penulis dan sutradara bahwa karakter Dilla diperankan oleh seseorang yang setidaknya pernah punya akun Friendster. Dulu banget gue pernah casting aktor remaja milenial buat mainin karakter remaja milenial dan bukannya bikin film, yang kita bikin malah InstaStory. Bangke, bangke...

 

DRIANDO

Laura Andini kayaknya bakal keren. Sori, tapi Dani yakin dia bakalan mau? Ini bukan film layar lebar, kan?

 

DANILA

Bro, kalo bukan karena gue, bisa-bisa dari dulu dia udah give up dan malah jadi bini sambil ngegendong anak. Gue tahu dia bakalan mau. Meski gue vakum lumayan lama, begini-begini gue masih Danila Dago.

 

DRIANDO

(Matanya setengah terpaku pada garpu di tangannya) Ehm, Dani, kalo boleh saya nanya nih...

 

DANILA

Silahkan! Lo temen gue sekarang! A-M-A. Ask Me Anything.

 

DRIANDO

Kenapa harus drama panggung? Kenapa enggak sekalian bikin film layar lebar aja? Serius hanya karena Dani pengen “back to basic”?

 

DANILA

Oke (Mengelap bibir dengan tisu) Gue bakalan jujur-terus-terang-mentah-mentah sama lo. (Membetulkan posisi duduknya) Gue punya ambisi, bro. Gue pengen mencoba sesuatu yang belum pernah dicoba oleh filmmaker Indonesia sebelumnya, baik yang masih hidup atau udah bye-bye. Kalo gue enggak salah inget, gue pernah ngeracau kan ke lo kalo gue pengen membuktikan diri gue?

 

DRIANDO

Iya.

 

DANILA

Ini yang ada di kepala gue: dua ratus kursi, pementasan dua kali seminggu, selama empat minggu ke depan, dan selesai. Enggak ada kamera dan enggak ada tambahan kursi. Itu artinya, semua orang di luar sana --pers, jurnalis, kritikus film, peers gue, haters, kembaran yang hilang-- mereka semua enggak akan punya pilihan selain literally rebutan kursi buat bisa nonton Khayal. Laura Andini yang bakal jadi aktris utamanya, hello! Aktris perempuan termuda yang menang Piala Citra buat Aktris Utama Terbaik-- dua kali! Bisa aja tiga kali andai aja dia enggak sibuk pacaran sama si You-Know-What. Pada akhirnya, gue pengen Khayal menjadi pengalaman seni yang eksklusif. Saking eksklusifnya, lo enggak akan bisa nge-livestream mengenai apa yang terjadi sepanjang pementasan sakral ini. Gue bakal minta logistik buat ngecabut Wi-Fi.

 

DRIANDO

 Tapi bukannya delapan kali pementasan itu sebentar banget, ya? Lalu apa selanjutnya?

 

DANILA

Setelahnya adalah, the bigger picture! Masyarakat di luar sana bakal meminta gue buat bikin versi layar lebarnya. Rasa penasaran mereka gara-gara enggak dapet kursi bakalan mendorong mereka buat bikin petisi, bikin hashtag, mogok makan tiga hari tiga malam di depan Bundaran HI-- lo bisa ngebayangin, lah, ya. Gue sendiri bisa ngebayangin. #WujudkanKhayal atau #KhayalMenjadiNyata atau--

 

DRIANDO

#KhayalYangMenggila

 

DANILA

Itu juga boleh. Kemudian gue bakalan, “Oke, oke... semua demi negeri yang tercinta. Gue bikin versi layar lebarnya bukan demi gue, tapi demi fans gue” lalu boom! Film Indonesia pertama yang menang Golden Lion.

 

DRIANDO

Golden Lion? Dani bahkan sudah ngebayangin sampe ke Venice?

 

DANILA

Dream on, bro. Gue belajar itu dari Aerosmith. Dan kali ini gue ke luar negeri bukan buat nge-bule-in film gue tapi karena orang bule pengen di-indo-in sama film gue. Menjadi wanita kelima dalam sejarah! (Menjulurkan lima jari tangan kanannya ke hidung Driando) Bukan istri kelima! Tapi sutradara wanita kelima dalam sejarah, yang pernah memenangkan Golden Lion! Dan kalo gue bisa mainin kartu gue dengan bener selama lima tahun setelahnya--

 

DRIANDO

 Lima tahun setelahnya?

 

DANILA

(Tidak menghiraukan) Dan kalo gue bisa mainin kartu gue dengan bener selama lima tahun setelah gue menjadi sutradara wanita kelima yang memenangkan Golden Lion, Marvel Cinematic Universe tinggal lima sentimeter di atas kening gue.

 

DRIANDO

Wow, itu semua sangat... ambisius (Menegak gelas air dengan ekspresi yang bercampur lalu meletakkannya di sebelah piring sarapannya).

 

DANILA

Dan ketika gue menulis memoir gue suatu hari nanti, judulnya adalah Lima Babak Danila. Kenapa demikian judul memoarnya? Karena (Mengangkat gelas air miliknya) lima adalah angka keberuntungan gue. It’s so meant to be! (Meneguk gelas air dengan mantap)

 

DRIANDO

 Kalo boleh kita ganti topik sedikit, jadi Dani udah punya dana buat ngebiayain drama panggung lokal yang selanjutnya bakal jadi film pemenang Golden Lion yang selanjutnya jadi tiket buat nyutradarain film Marvel ini? (Lanjut mengunyah sarapan)

 

DANILA

Gampang itu. Gue tinggal minta sama Teteh Teresa. Lo tahu Darwis Group kan? Teteh Teresa itu CEO mereka sekarang. Gue udah kenal doi sejak jaman doi masih jadi budak Opa-nya.

 

DRIANDO

Darwis Group?

 

DANILA

Yap.

 

DRIANDO

Yang suka bikin powder drink itu?

 

DANILA

Yap.

 

DRIANDO

Bukannya mereka lagi down, ya, net profit-nya? Soalnya aku kerja di bagian finance dan aku pernah disuruh nge-research--

 

DANILA

Mereka selalu nyiapin dana khusus buat keperluan endorsement dan sebagainya. Tenang aje. Lagipula,

Teteh Teresa selalu langganan nge-backing film-film gue dan gue tahu betul dia bakalan kepengen ambil bagian di dalam magnum opus gue. Siapa sih yang enggak mau ke Venice?

 

DRIANDO

(Meneguk gelasnya lagi cepat-cepat) Boleh saya tanya satu hal lagi, Dani? Kalo enggak mau, ya, enggak apa-apa.

 

DANILA

Apa itu?

 

DRIANDO

Kenapa Dani ngediskusiin mengenai project ini bareng saya? Kita baru kenal satu sama lain kurang dari satu hari, kan? Bukannya biasanya hal seperti ini didiskusikan bareng manajer atau--

 

DANILA

Gue udah enggak punya manajer lagi.

 

DRIANDO

Sori?

 

DANILA

Gue pecat manajer gue. Gue juga udah mecat temen-temen sutradara gue, temen-temen penulis gue, satu grup WhatsApp gue, satu grup LINE gue, semua follower gue, dan guru Bahasa Indonesia jaman SD gue. Gue berpikir, saatnya move on.

 

 

DRIANDO

Kok gitu? Kenapa?

 

DANILA

Mereka enggak ngerti gue semua (Matanya beralih ke mangkuk sup yang masih tersisa sedikit lagi. Sendok dimainkannya ke ujung dasar mangkuk. Matanya kemudian kembali kepada Driando). Tapi gue punya feeling: lo ngerti gue.

 

CUT TO:

 

9 INT. RUANG WAWANCARA - DALAM - PAGI

Jurnalis lanjut mewawancarai Driando di masa kini.

 

JURNALIS

Dan pada saat itu...

 

DRIANDO

Iya?

 

JURNALIS

Mas tidak melihat tanda-tandanya?

 

DRIANDO

Maksudnya tanda-tanda?

 

JURNALIS

Saya ganti pertanyaan saya: apakah secara pribadi Mas mendukung ambisi Danila Dago tersebut?

 

DRIANDO

Yah, ehm, enggak ada yang bisa menyalahkan dia buat menjadi ambisius. Iya, kan?

 

JURNALIS

Tapi Mas sendiri tidak merasakan bahwa ambisi beliau agak sedikit aneh? Mungkin tidak realistis?

 

DRIANDO

Iya. Agak sedikit. Tapi so what? Banyak orang melakukan kebodohan lebih parah untuk ambisi yang jauh lebih enggak masuk di akal.

 

JURNALIS

Lalu selanjutnya? Danila Dago langsung menghadap CEO Darwis Group?

 

DRIANDO

Untuk itu saya akui, awalnya saya berpikir itu too good to be true. Tapi saya merasa tidak ada alasan untuk meragukan beliau. Dani adalah orang yang sangat percaya diri.

 

CUT TO:

 

10 INT. DARWIS TOWER - DALAM LANTAI 34 - SIANG

Pintu elevator terbuka dan menampilkan Danila mengenakan kacamata hitam lengkap dengan jaket bermerek, turtleneck sweater, tas laptop, skinny jeans, dan mountain boots. Penampilannya sangat kontras ketika bersanding dengan para penumpang elevator lainnya yang mengenakan kemeja berkancing, dasi, kalung name tag, dan celana bahan.

 

Danila meninggalkan elevator dengan langkah yang panjang dan mantap. Dia sama sekali tidak berusaha untuk menurunkan volume suara langkah kakinya. Semua karyawan yang berpapasan dengannya tidak bisa menahan rasa penasaran dan mulai memelototinya. Danila bagaikan banteng di tengah kawanan manusia dan dia tidak keberatan. Dia menyukai perhatian. Memang sejak awal itulah yang menjadi alasan di balik penampilan Danila: seorang seniwati modern yang sukses. Selain itu, Danila tahu betul bahwa penampilan akan menjadi kunci untuk mendapatkan apa yang dia inginkan pada siang hari ini.

 

Setelah menyusuri lorong pualam yang cukup panjang, Danila membuka paksa pintu kaca yang tampak bersih, mengkilap, dan sangat mahal. Dia segera menghampiri apa yang tampak seperti meja resepsi. Terdapat Sekretaris Resepsi (wanita, usia akhir 20-an) yang tampak sedang menjawab panggilan telepon.

 

DANILA

(Sengaja membanting tas laptop di atas meja resepsi) Selamat siang!

 

 

SEKRETARIS RESEPSI

(Terperanjat gara-gara suara hantaman kemudian melongo ke arah Danila. Sekretaris Resepsi kembali berbicara ke teleponnya) Telat banget lo. Orangnya udah di sini. (Menutup telepon, berdiri, lalu merekahkan senyum sopan untuk menutupi keengganannya) Selamat siang, Mba. Apa ada yang bisa saya bantu?

 

DANILA

(Melepaskan kacamata hitam) Boleh Anda panggil yang namanya Yang Mulia Teresa D.H. Darwis? Saya sudah bikin appointment.

 

SEKRETARIS RESEPSI

(Menghela napas) Dan seperti yang sudah saya informasikan tadi pagi, Mba Danila, bahwa Bu Teresa lagi sibuk rapat satu hari ini.

 

DANILA

Wow, itulah kenapa Anda bekerja sebagai resepsionis bukannya aktris. Ada yang namanya menghayati karakter seorang sekretaris, dan ada yang namanya hanya menyampaikan dialog yang dituliskan oleh sang bos. Anda masih perlu kuliah di IKJ tiga SKS lagi. Gue enggak percaya sama lo. Mana si Teresa?

 

Teresa D.H. Darwis (46) melangkah masuk dari pintu kaca yang dilalui oleh Danila. Teresa mengenakan setelan hijab berwarna merah muda menyala namun tetap mememancarkan aura sophistication. Sepatu hak tingginya di atas rata-rata dan tas jinjing yang ditentengnya terkesan lebih mahal dibandingkan gaji bulanan Sekretaris Resepsi. Aroma parfumnya cukup menusuk hidung mereka berdua. Teresa segera menghampiri meja resepsi dan menyapa Danila dengan senyum terbuka.

 

TERESA

Halo, Danila (Menawarkan jabatan tangan). Lama tidak berjumpa. Kapan terakhir kali?

 

DANILA

(Membalas jabatan tangan Teresa dengan keras dan mantap, membuat Teresa nyaris meringis) Kalo aku enggak salah dua tahun yang lalu. Gimana kabar Teteh?

 

TERESA

(Mengusap punggung tangan kanannya) Biasa lah, kerja-ngurus laki-kerja-ngurus laki. Jadi selama ini kamu di Jakarta?

 

DANILA

Di mana lagi memangnya?

 

TERESA

(Mengalihkan pandangan) Yah, banyak yang bicara kalo kamu minggat ke luar negeri. Kamu benar-benar lenyap dari peredaran.

 

DANILA

So? Teteh kira aku udah jadi gembel? Kalo aku berpikir parno, aku bakal ngira gara-gara itu Teteh segan ketemu sama aku (Memberikan cengiran sarkastik).

 

TERESA

(Masih mengalihkan pandangannya) No, no... Masalahnya aku memang kebetulan lagi sibuk hari ini. Banyak meeting dan harus ke sana dan ke sini--

 

DANILA

(Menyengir lebar) Tapi akhirnya Teteh di sini dan surprise! Aku juga di sini. Karena kita berdua sudah ada di sini, boleh kita berdua masuk ke dalam sini? (Menunjuk ke arah ruang kantor pribadi Teresa. Ketika Teresa hendak melontarkan alasan lagi, Danila cepat-cepat membuka mulutnya) Aku cuma minta lima menit. Atau satu jam. Aku cuma minta satu setengah jam dari waktu Teteh. Dan mengingat aku udah berbaik hati banget selama ini ngasih slot product placement buat barang dagangannya Teteh di literally setiap film aku, kayaknya permintaan aku ini enggak akan bikin hidup Teteh susah. What do you say? (Menyeringai, kesannya setengah mengolok Teresa)

 

Teresa hanya merespon dengan helaan napas, nyaris identik dengan helaan napas sekretarisnya.

 

 

CUT TO:

 

11 INT. RUANG WAWANCARA - DALAM - MALAM

Kali ini yang menjadi narasumber Jurnalis adalah Teresa. Beliau mengenakan jubah hijab yang cukup mewah dan bermotif polkadot. Tangan kanannya terbaring di atas lututnya, dengan smartphone di genggaman.

 

JURNALIS

Jadi apa yang membuat Bu Teresa awalnya segan bertemu dengan Danila Dago?

 

TERESA

Sebelumnya, saya mau kasih tahu terlebih dahulu bahwa iya, saya dan perusahaan saya sudah banyak berhutang budi kepada Danila. Karakter utamanya cuma minum jus jambu instan bikinan kita selama lima detik aja, langsung sehari setelah filmnya tayang sales kita naik. Itu satu. Yang kedua adalah, yang Mas Jurnalis harus pahami adalah, di kala itu reputasi Danila lagi... uhm, (Memberikan penekanan) enggak kayak dulu.

 

JURNALIS

Maksudnya pamor Danila meredup di kala itu?

 

TERESA

Dia sendiri yang meredupkan pamor dia. Dua tahun sebelum Khayal, dia termasuk sutradara film yang paling lucrative. Memang, film-filmnya enggak pernah dapat penghargaan tapi dia selalu berhasil menjual karcis. Tapi kelihatannya sesuatu terjadi sama dia setelah premiere Putih dan Salju lalu tahu-tahu dia langsung putus kontak sama semua orang. Dia juga putus kontak sama produser langganannya dan denger-denger dia pecat manajernya via tweet. Dia bahkan sempet viral juga. Saya enggak tahu apa Mas pernah nonton atau enggak di Internet. Dia ngamuk sendiri di trotoar, menjerit kalo dia menyesal bikin film Putih dan Salju.

 

JURNALIS

Banyak yang berpendapat video tersebut adalah rekayasa.

 

TERESA

Saya juga (Memberikan penekanan) amat, sangat berharap itu memang rekayasa. Kalo enggak, itu artinya saya ngasih duit ke orang yang udah... (Mengangkat kedua bahunya) you know, lah.

 

JURNALIS

Dugaan Ibu apa yang menyebabkan momen viral tersebut?

 

TERESA

Saya enggak berani bikin dugaan. (Terdiam sejenak) Dugaan saya adalah Danila kepingin banget buat minimal dapet nominasi Piala Citra dari Putih dan Salju. Saya juga pernah denger kalo ada beberapa veteran film yang ngekritik kalo karya dia bukan (Membentuk air quotes dengan jari tangannya) “film sungguhan” karena dia basically a sellout. Hanya bikin film romance yang menyenangkan selera penonton. Tapi saya rasa sineas kayak mereka pasti sejak awal punya insecurity mereka sendiri. Untung saya larang anak sulung saya buat sekolah film.

 

JURNALIS

Bagaimana Danila Dago mempresentasikan Khayal kepada Bu Teresa pada hari itu?

 

TERESA

Itu adalah pertanyaan yang sangat... (Sambil berpikir) sangat... (Jelas sekali berusaha mengulur ucapannya) bagus. Boleh saya W-A tim Legal saya dulu sebelum saya menjawab pertanyaan Mas?

 

CUT TO:

 

12 INT. RUANG KANTOR PRIBADI TERESA - DALAM - SIANG

Kembali ketika Danila hendak mempresentasikan Khayal kepada Teresa.

 

Ruang kantor pribadi Teresa cukup luas. Terdapat meja kerja dengan personal computer paling mutakhir, lengkap dengan dua layar berukuran nyaris dua puluh inchi. Di belakang meja kerja beliau adalah tembok kaca dari barat ke timur yang menampilkan pemandangan Jakarta di siang hari. Desain interior ruangan dibuat modern dengan sentuhan feminin. Terdapat beberapa pot bunga plastik di setiap pojok ruangan dan terdapat pula meja pantry pribadi, lengkap dengan mesin kopi instan dan beberapa gelas cangkir porselen.

 

Teresa duduk di meja kerjanya sementara Danila, menolak duduk di sofa tamu, berjalan hilir mudik di hadapan Teresa.

 

TERESA

(Menyipitkan mata sambil melipat bibirnya. Nada bicaranya skeptik) Drama panggung?

 

DANILA

Berita bagusnya adalah, aku enggak minta duit banyak-banyak dari Teteh. Cukup buat ngegaji aku dan cast dan tim set dan lain sebagainya.

 

TERESA

Tapi... (Nadanya semakin skeptik) Drama panggung?

 

DANILA

Apa ada masalah?

 

TERESA

Masalah saya, kamu itu kan enggak pernah mementaskan drama panggung sebelumnya.

 

DANILA

Teteh, anak kelas 6 SD yang mau Ujian Praktek Bahasa Indonesia bisa mementaskan drama panggung-- apalagi sineas veteran kayak aku.

 

TERESA

Tapi bukannya fundamentalnya berbeda, ya? Enggak ada yang namanya editing di drama panggung. Kalo ada satu aja kesalahan, semuanya langsung kacau.

 

CUT TO:

 

13 RUANG WAWANCARA - DALAM - MALAM

Kembali ke masa kini. Jurnalis masih mewawancarai Teresa.

 

JURNALIS

Jadi Bu Teresa turut mengeluhkan format drama panggung tersebut?

 

TERESA

Mas, semua orang mengeluhkan format drama panggung tersebut. Nanti coba Mas wawancarain para aktornya.

 

CUT TO:

 

14 RUANG KANTOR PRIBADI TERESA - DALAM - SIANG

Kembali ke masa lalu, ketika Danila lanjut memperkenalkan gagasan drama panggungnya kepada Teresa. Di sini tampak bahwa Danila telah menyerahkan salinan naskah Khayal untuk dibaca oleh Teresa. Tampak pula bahwa Teresa, sambil mengenakan kacamata baca, mencapai halaman terakhir dari naskah.

 

DANILA

(Kini duduk manis di kursi seberang meja kerja Teresa. Kedua lututnya tidak bisa diam. Punggungnya membungkuk) Keren, kan? Keren, kan? Keren, kan?

 

Teresa masih terpaku pada naskah di tangannya.

 

DANILA

Kalo Teteh bisa ngebayangin, bikin low budget aja udah lebih dari cukup. Enggak usah ada expense yang terpisah. Masukin aja ke dalam anggaran CSR Teteh.

 

Teresa masih membaca naskah. Danila semakin kehilangan kesabaran. Lututnya semakin meliar.

 

DANILA

Aku punya temen baru sekarang. Namanya Driando, dia tetangga aku, dan dia bilang dia bakal jadiin ini tontonan terakhir dia kalo misalnya besok dia drop dead--

 

Teresa akhirnya selesai membaca seluruh naskah. Ia melepaskan kacamata bacanya dan memelototi Danila.

 

DANILA

(Menyengir lebar, bersemangat) Jadi...

 

TERESA

(Menghela napas) Ini enggak kayak kamu yang biasanya.

 

DANILA

(Masih mencengir) Itu juga yang Driando bilang. Dan itu maksudnya pujian, kan, Teh?

 

TERESA

Dan harus saya akui... (Memejamkan mata sambil memijat pangkal batang hidungnya) ini memang bagus.

 

DANILA

Bagus banget atau bagus legendaris?

 

TERESA

Maksudku, yah... ini bagus tapi enggak mainstream juga. Aku rasa akhirnya memang masuk akal kalo kamu ngebikin versi drama panggungnya dulu. Penonton Indo jaman sekarang masih belum se-ngebet itu keluar duit buat nonton film drama jadi aku rasa format drama panggung ini masuk akal buat uji coba.

 

DANILA

Dan sekarang, pertanyaan dengan nilai lima ratus juta Rupiah: aku boleh minta funding lima ratus juta Rupiah?

 

TERESA

Lima ratus juta buat delapan kali pementasan doang?

 

DANILA

Soalnya aku berencana buat nge-casting yang terbaik dari yang terbaik. Crème de la crème! Bahkan... jeng-jing-jeng... rencananya aku pengen karakter Dilla diperankan oleh Laura Andini!

 

TERESA

(Mengernyit tidak percaya) Laura Andini?

 

DANILA

Dia pasti pengen bayaran mahal buat main di sesuatu yang bukan film dan bukan sinetron juga. Tapi, Teteh, kita enggak bisa kasih label harga buat yang namanya kualitas. Iya, kan?

 

TERESA

Laura Andini?

 

DANILA

Betul sekali.

 

 

TERESA

Laura Andini?

 

DANILA

Sori, apa Teteh lagi kena stroke?

 

TERESA

Kamu enggak tahu udah gimana kabar si Laura Andini?

 

DANILA

Emang kenapa dia? Sori, aku enggak nonton tivi gosip selama dua tahun terakhir.

 

TERESA

Kamu udah sempet nge-reach out Laura Andini belum?

 

DANILA

Belum. Kenapa emangnya?

 

TERESA

Yang pasti kamu harus janji, jangan pasang muka apa-apa. Tetep cool dan tenang. Janji?

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar