Telepon Yang Tak Pernah Berdering
2. Babak 2

22. EXT. PEKARANGAN RUMAH PAK SAMUDJI — PAGI

Pagi hari, di tepi jalanan desa menuju sebuah pekarangan rumah, ayam jago berkokok dan beberapa anak ayam sedang mencari makan bersama induknya. Tini berjalan dengan membawa sebuah tas kecil dan beralaskan sendal jepit.

Beberapa langkah di depannya terdapat sebuah pekarangan rumah yang cukup besar dan bagus, dinding rumahnya terbuat dari bata merah, jendela dan pintu kayu, serta tirai bambu yang digulung di depan teras, beberapa pot bunga menghiasi pekarangan tersebut. Suara Surti kembali terdengar mengiringi Tini yang tengah berjalan sendirian. 

SURTI (V.O.)
Kamu lahir sebagai anak perempuan yang sehat, kamu juga tumbuh menjadi anak perempuan yang cantik. Selama ini ibu selalu berusaha untuk memberikan semua yang terbaik untuk kamu walaupun ibu rasa semuanya masih jauh dari cukup. 


23. INT. TERAS RUMAH PAK SAMUDJI — CONTINUOUS

Pak Samudji yang tengah duduk santai di teras sambil minum kopi melihat Tini berjalan ke arah rumahnya. 

Ia berhenti menyeruput kopi dan meletakkan cangkirnya di meja, setelahnya ia menghela nafas panjang serta mengusap kumis tebalnya.

Tini berhenti di depan rumah tersebut, Pak Samudji kemudian berdiri dan menghampirinya.

PAK SAMUDJI
(bahasa Jawa Cilacap)
Tini? tumben pagi-pagi kamu kesini

TINI
(bahasa Jawa Cilacap)
Maaf menganggu waktu bapak pagipagi, saya kemari mau minta tolong Pak

PAK SAMUDJI
Minta tolong apa? Sini, duduk dulu, kamu mau minum apa? Teh? Kopi? Air putih?

TINI
Nggak usah pak, terima kasih. 

Pak Samudji mempersilahkan Tini untuk duduk di kursi terasnya dengan ramah. Tini duduk berhadap-hadapan dengan Pak Samudji yang melanjutkan menyeruput kopinya, kali ini Pak Samudji menyilangkan kakinya.

TINI (CONT'D)
Ehm... jadi gini pak

Tini ragu-ragu untuk berkata, ia menundukkan kepalanya. Tibatiba Pak Samudji langsung memotong pembicaraan tersebut

PAK SAMUDJI
Semalem Heri sudah cerita ke saya mengenai ibu kamu. Katanya, ibu kamu sekarang sedang di penjara dan mau dihukum mati sama pemerintah Arab, apa itu benar?

TINI
(mengangguk)
Benar pak

PAK SAMUDJI
Tuduhannya?

TINI
Ibu saya dituduh ngebunuh majikannya Pak, tapi ibu bilang dia nggak salah 

PAK SAMUDJI
Lalu?

TINI
Ibu saya meminta untuk bertelpon dengan saya dari Arab, saya dikirimi alamat saudara jauh bapak saya yang tinggal di Sidodadi, Semarang untuk meminjam telepon, katanya ibu nanti akan nelpon ke nomer itu. Makannya saya mau minta tolong bapak untuk mengantar saya ke Semarang, karena saya belum pernah ke Semarang dan gak punya... 

Pak Samudji menyela keterangan Tini

PAK SAMUDJI
Kapan ibumu mau nelpon kamu?

Pak Samudji menyeruput kopinya. Heri menguping pembicaraan bapaknya dan Tini dari belakang pintu rumah, ia sesekali mengintip ke arah Tini yang sedang duduk bersama bapaknya.

TINI
Hari ini pak

PAK SAMUDJI
(menghela nafas)
Hmm, begini

Pak Samudji membungkukkan sedikit badannya dan memajukan wajahnya ke arah Tini duduk, Tini merasa terintimidasi.

PAK SAMUDJI (CONT'D)
Saya kenal ibumu dari kecil dan lumayan akrab dulu. Tapi, hari ini banyak kerjaan penting yang harus saya selesaikan, apalagi kamu datangnya mendadak seperti ini dan kebetulan jadwal saya sedang padat. Jadi, ya mohon maaf

Tini tertegun, ia langsung menimpali omongan Pak Samudji

TINI
(memelas)
Saya mohon pak, saya akan lakukan apa saja pak! saya bersedia bekerja apa saja untuk bapak, saya rela jadi pembantu di rumah bapak walaupun nggak digaji asalkan bapak mau bantu saya kali ini, saya mohon pak!

PAK SAMUDJI
Bukannya saya nggak mau bantu Tin, tapi Cilacap ke Semarang itu jauh lho. Dan kalo tujuan kamu ke sana cuma mau telponan, apakah bisa bikin ibu kamu bebas? Kamu yakin ibumu bakalan nelpon kamu? Kalo sampe sana ternyata ibu kamu nggak nelpon gimana? Atau alamatnya salah gimana?

Argumen keduanya semakin memanas, Tini berusaha membujuk Pak Samudji hingga berlutut di sampingnya sementara Pak Samudji berusaha untuk menolak permohonan Tini.

TINI
Pak saya mohon pak! Saya bakalan bujuk mereka biar ibu bisa dibebasin, ibu saya nggak salah pak, ibu saya harusnya bebas!

PAK SAMUDJI
(menaikkan nada bicara)
Ya Gimana? Gimana caranya kamu bebasin ibu kamu? Kamu pikir kamu bisa bikin pemerintah Arab Saudi tiba-tiba luluh? Kamu tau hukuman sana itu gimana? Nyawa dibalas nyawa Tin, kalo emang bener ibu kamu... 

Seketika Heri yang tengah menguping segera keluar dari rumah dan memotong argumen bapaknya dengan nada tinggi.

HERI
(membentak ke Pak Samudji)
Bapak! Apa-apaan sih

Pak Samudji dan Tini menoleh ke arah Heri. Pak Samudji dengan raut wajah marah langsung berdiri dan menghampiri Heri. Ia meraih bajunya serta menariknya ke dalam rumah agar Tini tak dapat melihat pertengkaran mereka.

PAK SAMUDJI
(bahasa Jawa Cilacap)
Ngapain kamu ikut campur?

Pak Samudji mendorong Heri ke dinding dan mendesaknya.

HERI
(bahasa Jawa Cilacap)
Bapak kenapa sih? Bisa-bisanya bapak seorang kepala desa ngomong begitu ke Tini 

PAK SAMUDJI
(membentak)
Heh! Kamu udah bapak larang untuk deket-deket sama Tini! Masih ngeyel juga!

HERI
(menaikkan nada suara)
Pak! Tini itu butuh pertolongan, dia sama keluarganya lagi ada masalah serius Pak!

PAK SAMUDJI
Masalah keluarga mereka itu bukan urusan bapak, tugas bapak itu...

HERI
(memotong dengan nada tinggi)
Tugas bapak apa? Santai-santai? ngejilat atasan? makan gaji dari pemerintah? Bikin acara gede-gedean tiap tahun biar bisa pidato untuk sambutan? Biar apa? Biar bapak dihormatin masyarakat desa? Biar diseganin? Jangan mentang-mentang Tini itu orang gak punya, bapak berani berlaku seenaknya! 

Pak Samudji menampar Heri. Suara tamparan tersebut terdengar oleh Tini yang khawatir akan perkelahian tersebut. Tini hanya bisa duduk pasrah di teras sembari mendengarkan argumen keduanya.

PAK SAMUDJI (O.S.)
Udah gede sekarang kamu berani ngelawan bapak?

HERI (O.S.)
Masih belum puas pak? Tampar lagi kalo masih belum puas!

Suara tamparan kembali terdengar beberapa kali sampai ke ruang tamu.

HERI (O.S.) (CONT'D)
Bapak punya masalah apa sih sama keluarga Tini sampe segitunya?

Suara benturan terdengar sampai ke ruang tamu, Tini semakin prihatin mendengar perdebatan antara Pak Samudji dan Heri, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. 

HERI (CONT'D)
Buat apa bapak jadi orang yang dihormatin sama seluruh warga desa kalo kelakuan aslinya kayak gini! Mukulin anak! Mukulin istri!

Saat Pak Samudji ingin menampar Heri untuk yang kesekian kalinya, Heri menangkap pergelangan tangan bapaknya dan menahan tamparannya.

HERI (CONT'D)
Sekarang aku tau kenapa ibu lebih milih pergi ninggalin bapak daripada harus nanggung beban kayak gini setiap hari

Pak Samudji terkejut ketika Heri berkata demikian. Dirinya mematung dan tangannya bergetar, Heri melepas tangannya, ia kemudian mundur perlahan dan duduk di sofa. Heri menatapnya dengan sinis sambil berdiri.

Tini kemudian mengetuk pintu rumah, lalu keduanya menatap Tini secara bersamaan. Ekspresi kekecewaan tampak di wajah Pak Samudji ketika melihat Tini yang berdiri di depan pintu dengan raut wajah sedih. Heri segera menghampiri Tini dan pergi meninggalkan Pak Samudji sendirian di dalam rumah.


24. EXT. PEKARANGAN RUMAH PAK SAMUDJI — CONTINUOUS

Tini berjalan meninggalkan rumah Pak Samudji sambil menahan tangis, Heri menemani di sampingnya sembari merangkul pundaknya. Saat mereka sudah agak menjauh dan hampir keluar dari pekarangan rumah, Pak Samudji keluar dari rumah dan berteriak ke arah mereka.

PAK SAMUDJI
Tunggu!

Tini dan Heri menoleh ke belakang. Pak Samudji membenarkan posisi kopiah hitamnya dan berjalan ke arah motor yang diparkir di depan rumah lalu memanaskannya.

PAK SAMUDJI (CONT'D)
Kalau emang hari ini, berarti waktu kamu nggak banyak. Ayo! biar saya anter sampai ketemu rumahnya

Tini dan Heri tersenyum, Tini mengusap kedua air mata di pipinya. Pak Samudji dengan raut wajah malu dan bersalah menatap keduanya. Pak Samudji kemudian menjalankan motornya menghampiri mereka.

TINI
Her, makasih ya kamu udah mau nolongin aku

Tini menggenggam tangan Heri dengan erat, Heri terkejut dan menatap wajah Tini dengan tatapan kosong. Tini lalu naik ke motor dan diboncengi oleh Pak Samudji.

PAK SAMUDJI
Her, nanti siang ambil motornya di toko Pak Udin, besok jemput bapak di terminal sore

Heri mengangguk mengiyakan perintah Pak Samudji, mereka berdua meninggalkan Heri sendirian di depan pekarangan rumah. Heri menatapi Tini pergi bersama bapaknya dengan sepeda motor dengan tatapan kosong, ia lantas tersenyum dan berteriak

HERI
Hati-hati Tin! 


25. EXT. (FLASHBACK) JALANAN PEDESAAN — PAGI

6 tahun lalu. Tini kecil terjatuh di jalanan desa, mobil pick up ibunya meninggalkan Tini seorang diri yang menangis dengan lutut berdarah.

Sebuah sepeda ontel dikayuh oleh seorang anak laki-laki tampan melintasi jalanan desa, sepeda itu berpapasan dengan mobil pick up dan anak laki-laki itu melihat Surti pergi meninggalkan desa. Ia adalah HERI KECIL (11).

Heri kecil terus mengayuh sepedanya, ia melihat Tini sedang menangis sendirian di tengah jalan, Heri segera memarkirkan sepedanya dan menghampirinya.

HERI
(bahasa Jawa Cilacap)
Kamu nggak apa-apa Tin? Kamu kenapa kok bisa jatuh?

Tini hanya menangis sesengukan, Heri berusaha memenangkan Tini dengan meniup lukanya.


26. EXT. (FLASHBACK) JALANAN PEDESAAN — MOMENTS LATER

Heri mengayuh sepeda sementara Tini diboncengi di belakang dan memeluk Heri dengan erat. Air mata Tini masih berlinang, namun ia sudah tidak menangis sesengukan. 


27. EXT. (FLASHBACK) DEPAN RUMAH TINI — MOMENTS LATER

Tini turun dari sepeda dan mengusap air matanya.

TINI
Her, makasih ya kamu udah mau nolongin aku

Heri tersenyum, Tini lalu berjalan ke dalam rumah. Heri memandangi Tini sampai ia masuk ke dalam rumah.


28. INT. RUANG TAHANAN — MALAM

Saudi Arabia. Cahaya lampu kuning yang remang-remang menerangi ruangan. Hembusan angin masuk melalui salah satu ventilasi kecil di dinding ruangan bercat putih. Jeruji besi membatasi ruangan satu dengan lainnya. Di dalam ruangan ini terdapat beberapa orang perempuan dengan niqab hitam yang menutupi seluruh badannya. Sebagian berkumpul dan duduk lesehan di atas tikar ruangan dan satu di antaranya duduk di ranjang seorang diri.

Perbincangan perempuan-perempuan itu terdengar secara bisikbisik dengan bahasa Arab, begitu pula dari ruangan lainnya yang dihubungkan dengan lorong panjang dengan pintu besi di bagian ujung.

Seorang perempuan yang duduk di ranjang itu tidak mengenakan niqab, hanya bercadar. Ia tertunduk lesu, pandangannya kosong, ia adalah SURTI (35), wajahnya masih tetap cantik, namun dibawah matanya terdapat kantung mata yang hitam dan beberapa kerutan telah tampak di wajahnya yang terlihat pesimis.


29. EXT. JALANAN PEDESAAN — PAGI

Pak Samudji mengendarai motor memboncengi Tini melewati gapura besar dari bambu berwarna merah putih dengan dekorasi burung garuda dan lambang lima sila di kanan dan kirinya. Di tengahnya terdapat tulisan HUT RI ke-47 MERDEKA!.

Jalanan yang dilalui motor sangat berbatu dan berlubang, Pak Samudji dengan perlahan dan berhati-hati menghindari lubang satu persatu.

Motor melaju melintasi jalanan di antara areal persawahan yang kering kerontang. Mereka berdua berpapasan dengan beberapa orang yang tengah mengayuh sepeda sambil membawa karung berisi kayu bakar, mereka menyapa Pak Samudji dengan senyuman ataupun lambaian tangan, dan Pak Samudji membalasnya dengan senyuman.

Tini yang duduk sembari mengamati pemandangan sepanjang jalan kembali terbayang akan suara ibunya yang kembali melanjutkan membaca isi surat tersebut.

SURTI (V.O.)
Setelah kepergian Bapak, ibu tidak tahu harus berbuat apa demi masa depan kamu. Ibu selalu merasa iba ketika anak sekecil kamu harus menanggung beban saat ibu harus pergi jauh meninggalkan kamu dan Mbah di sana. 

30. EXT. DEPAN TOKO PAK UDIN — MOMENTS LATER

Tini tengah berdiri membelakangi sebuah toko kelontong di dekat pasar, ia menghadap ke arah jalan, sementara Pak Samudji sedang memarkirkan motornya di depan toko. Pak Samudji kemudian menghampiri Tini dan berbicara dengan nada cuek.

PAK SAMUDJI
Tunggu sebentar

Tini mengangguk dengan canggung. Pak Samudji lalu pergi membelakanginya menuju toko kelontong tersebut dan bercakapcakap dengan pemilik toko yang memiliki perawakan kurus tapi perutnya buncit, ia hanya memakai kaos singlet dan sarung ketika menjaga tokonya, pria itu bernama PAK UDIN (40).

Tini yang tadinya menoleh ke belakang dan melihat Pak Samudji, lalu mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Tini termenung melihat suasana warga desa yang mondar mandir menuju dan meninggalkan pasar dari kiri dan kanannya. Ia kembali membayangkan suara ibunya membaca isi surat secara berangsur-angsur dengan nada lirih

SURTI (V.O.)
Setiap malam ibu hanya bisa berdoa saat solat dan memandangi fotomu yang ibu bawa dari Indonesia sebagai pengobat rindu

Beberapa orang lalu-lalang di depan Tini. Ada yang membawa keranjang anyaman bambu berisi barang belanjaan, ada tukang jamu gendong, dan seorang pria yang menaiki sepeda motor dengan memboncengi anak laki-lakinya yang memeluk pinggangnya dari kursi belakang.

SURTI (V.O.) (CONT'D)
Ingin sekali ibu melihat wajah Tini setelah 6 tahun lamanya tidak pulang. Mungkin sekarang kamu sudah tumbuh dewasa, tapi ibu pasti akan tetap mengenali wajahmu nak.

Tini melihat anak itu dengan tatapan cemburu, dan anak itu menatap Tini dengan heran, sementara motor terus melaju menjauhi tempat Tini berdiri.

Pak Samudji berdiri di depan Toko, tangannya disandarkan di atas etalase yang berisi barang dagangan.

PAK UDIN
(bahasa Jawa Cilacap)
Pak Kades mau ke Semarang mananya toh?

PAK SAMUDJI
(bahasa Jawa Cilacap)
Nggak tau, saya cuma nganter aja

PAK UDIN
Oh nganter aja. Ngomong-ngomong pak, tau nggak sih kalo beberapa desa sebelah udah pada dapet bantuan pemasangan listrik dari pemerintah?

PAK SAMUDJI
(melihat jam tangan)
Saya udah denger infonya dari beberapa warga yang lain

PAK UDIN
Iya pak, di sebelah juga katanya minggu depan jalanannya mau diperbaiki biar akses warga yang lewat lebih gampang

Pak Samudji mengalihkan pandangan matanya ke arah Tini

PAK UDIN (CONT'D)
Kira-kira desa kita kapan ya Pak Kades dapet bantuan dari pemerintah juga?

PAK SAMUDJI
(menghela nafas)
Gini Pak Udin, keadaan sekarang emang agak sulit, dan pemerintah juga ngasih bantuannya bertahap ke desa-desa yang udah ditentuin. Jadi saya cuma bisa bilang ya mohon bersabar, karena saya juga nggak tau ke depannya gimana, belum ada kabar lebih lanjutnya ke saya

PAK UDIN
(menyindir)
Oh begitu pak, kirain saya karena hasil pemilu kemarin

Pak Samudji hanya diam dan ragu-ragu untuk menjawab, Pak Udin melihat Tini yang tengah berdiri di pinggir jalan di depan tokonya.

PAK UDIN (CONT'D)
Eh itu Tini anaknya Surti yang jadi TKI kan?

Pak Samudji mengangguk.


PAK SAMUDJI
Dia ada urusan mendadak di rumah sodaranya di Semarang hari ini, kebetulan dia minta tolong saya untuk diantarkan karena keterbatasan biaya keluarganya di sini.

PAK UDIN
Wah, baik bener ya Pak Kades mau nganter jauh-jauh.

PAK SAMUDJI
(tersenyum)
Biasa aja pak, emang tugas saya sebagai kepala desa buat ngebantu masyarakat

Pak Udin tersenyum kagum. Seorang pembeli datang ke toko untuk berbelanja.

PEMBELI
(bahasa Jawa Cilacap)
Pak mau belanja

PAK UDIN
Sebentar ya Pak Kades

PAK SAMUDJI
Iya iya silahkan pak.

Pak Udin melayani pembeli, ia mengambil barang yang ditunjuk oleh pembeli dan membungkusnya dengan kantong plastik. Pembeli itu membayar dan pergi. 

PAK SAMUDJI (CONT'D)
Jam berapa ya busnya dateng?

PAK UDIN
Sebentar lagi Pak, agak jarang sih sekarang, paling sehari cuma 3 bus aja yang lewat. Ngambil penumpangnya juga udah nggak dari terminal, dari pasar sekarang mah. Kalo nuruninnya baru di terminal, soalnya nggak lewat jalur sini lagi baliknya

PAK SAMUDJI
Oh begitu, ini yang pertama? PAK UDIN Iya pak, kalo pagi-pagi yang pertama ini.

PAK SAMUDJI
Oke Pak Udin, saya nitip motor di sini dulu ya, kuncinya juga saya titip di sini, nanti siang si Heri ambil.

PAK UDIN
Baik Pak Kades.

Pak Samudji meninggalkan Pak Udin dan berjalan ke arah Tini.

PAK SAMUDJI
Busnya bentar lagi dateng, sabar sebentar

Pak Samudji kemudian melirik jam tangannya. Mereka berdua menunggu bus. Dari kejauhan bus tua yang tidak terlalu besar datang mendekat ke arah tempat mereka berdua berdiri. Pak Samudji mengulurkan tangannya untuk memberhentikan bus, bus berhenti di depan Tini dan Pak Samudji. KENEK BUS segera berdiri di depan pintu.

KENEK BUS
Semarang pak, Semarang

Pak Samudji mengangguk, ia lalu menoleh ke belakang.

PAK SAMUDJI
(berteriak kepada Pak Udin)
Nitip motornya ya Pak Udin!

PAK UDIN
Oke Pak Kades! 

Pak Samudji naik lebih dulu, ia langsung masuk tanpa membantu Tini, Kenek yang berjaga di dekat pintu mengulurkan tangan dan membantu Tini yang agak kesulitan untuk naik ke dalam bus.

Setelah keduanya masuk, bus perlahan kembali berjalan, knalpotnya mengeluarkan kepulan asap hitam dan bunyi mesinnya berisik saat mulai berjalan agak kencang. 


31. INT. RUANG TAHANAN — MALAM

Suara pintu dibuka menggema di lorong. Sebagian besar tahanan perempuan yang sedang berbincang-bincang seketika terdiam, sementara dari ruangan-ruangan lain beberapa tahanan perempuan bangkit dan menghampiri jeruji-jeruji ruangan mereka, mereka menggenggamnya dengan erat, beberapa mengulurkan tangan ke luar sambil menangis histeris dan memohon ampun dengan bahasa Arab kepada seseorang yang masuk dari pintu tersebut.

Sebuah sepatu boot melangkah maju menyusuri lorong. Bunyi langkahnya cepat dan keras. Seorang pria berperawakan Timur Tengah dengan brewok dan berbadan besar mengenakan seragam dan topi melintasi satu persatu kamar tahanan, ia adalah salah seorang SIPIR (35). Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, acuh terhadap tangisan wanita-wanita dari balik jeruji.

Surti masih diam dan tak menggubris suasana ruang tahanan yang riuh, tatapan matanya tetap kosong dan posisinya tetap duduk di pinggir ranjang seorang diri. Langkah kaki Sipir itu berhenti di depan kamar Surti. 

SIPIR (O.S.)
Surti

Surti menoleh ke arah suara panggilan tersebut. Sipir itu memanggil nama Surti untuk kedua kalinya. Surti bangkit dan menghampiri Sipir yang berdiri di depan kamarnya, tahanan lain menatapinya.

SIPIR (CONT'D)
(bahasa Arab)
Kamu Surti?

Surti mengangguk. Sipir tersebut segera membuka pintu jeruji dengan kunci yang dibawanya. Surti kemudian diborgol dengan posisi tangan di belakang punggung dan dibawa meninggalkan ruang tahanan. Saat melintasi lorong, tahanan lain terdiam dan menatap Surti dengan tatapan prihatin. 


32. INT. (FLASHBACK) RUMAH TINI — SIANG

6 tahun lalu. Di rumah yang ruang keluarga dan ruang makannya menyatu, Surti tengah duduk di dekat meja makan yang terbuat dari kayu yang sudah sedikit lapuk, ia memegang sebuah foto pernikahan dirinya dan suaminya. Surti menghela nafas panjang dan berkaca-kaca sambil mengusap-usap foto tersebut.

TINI (O.S.)
Assalamualaikum

Pintu diketuk oleh Tini dari luar, Surti segera menyembunyikan foto itu ke dalam saku celananya dan membukakan pintu. Tini mengenakan seragam sekolah yang sudah lusuh dan tas selempang yang terbuat dari karung goni, ia berdiri di depan pintu. Surti menyambut Tini dengan tersenyum.

SURTI
(bahasa Jawa Cilacap)
Waalaikumsalam, eh anak ibu udah pulang

Tini menyalimi tangan ibunya lalu masuk ke dalam rumah.

SURTI (CONT'D)
Belajar apa tadi di sekolah?

Tini meletakkan tasnya di kursi dekat meja makan, ia lalu membuka seragamnya dan berganti pakaian sambil menjawab pertanyaan dari Surti

TINI
(bahasa Jawa Cilacap)
Banyak bu. Bu Pak Ikhsan tadi ngasih tugas di kelas, buku tulisku udah penuh jadi aku nggak bisa ngerjain, pensilku juga udah pendek banget nih sampe susah aku nulisnya

Tini menunjukkan sebuah pensil yang sudah sangat pendek seukuran kelingking kepada Surti, raut wajah Surti yang tadinya ceria ketika menyambut Tini berubah menjadi khawatir

TINI (CONT'D)
Trus Pak Ikhsan marah-marah sambil ngasih aku kertas sama pensil baru buat ngerjain tugasnya.

Tini menggantung seragamnya di belakang pintu kamar. Ia kemudian melanjutkan ceritanya sambil menirukan mimik dan gaya bicara gurunya. 

TINI (CONT'D)
Katanya besok aku harus udah punya buku sendiri buat nyatet sama ngerjain tugas, gak ada alesan lagi buat nggak ngerjain tugas.

Tini menguncir rambutnya, Surti duduk di kursi di samping meja makan dan menyimak.

TINI (CONT'D)
Si Wiwin juga ngeledekin aku habis itu, dia bilang "Eh Tin, kamu pake pensil sampe pendek begitu? gak boleh tau nyimpen pensil sampe sekelingking, nanti orang tuanya bisa meninggal", aku bales aja "emang bapak aku udah meninggal!"

Tini bercerita dengan cengengesan.

SURTI
Hus, gak boleh ngomong gitu Tin

Mbah Putri datang dari arah dapur menuju meja makan sambil membawa sebakul nasi yang baru saja matang dan masih mengeluarkan uap. Tini yang melihat Mbah Putri segera menghampirinya dan mengambil bakul tersebut untuk dibawa ke meja makan.

TINI
Pak Maulana juga ngasih tau pas aku mau pulang, katanya suruh ingetin ibu uang spp bulan ini sama dua bulan sebelumnya harus dibayar secepatnya

Setelah bakul diletakkan di meja. Surti, Tini, dan Mbah Putri duduk di kursi masing-masing dan bersiap untuk makan siang. Surti membuka tudung saji, di dalamnya terdapat dua jenis lauk, satu piring berisi tempe goreng dan satunya berisi sayur genjer.

MBAH PUTRI
(bahasa Jawa Cilacap)
Tin nanti bantuin ibumu masak gula ya, sekarang makan dulu mumpung nasinya masih anget

Tini mengangguk. Surti mengambilkan nasi ke piring untuk Mbah Putri dan Tini dengan centong kayu.

SURTI
Besok ibu janji bakal beli buku sama pensil di pasar buat kamu biar kamu nggak dimarahin sama Pak Ikhsan lagi, buat spp nya senin depan ibu usahain bisa bayar

MBAH PUTRI
Habis dibeliin buku, sekolahnya harus yang rajin ya nduk biar jadi orang sukses. Nanti kalo udah jadi orang sukses tiap hari bisa makan enak lho

TINI
Tapi sayur genjer masakan ibu juga enak kok mbah

Semua tertawa dan tersenyum bahagia sambil menyantap makan siang dengan lauk seadanya yang disajikan di meja makan. 


Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Kok cuma babak dua doang bang?
1 tahun 5 bulan lalu