SEBELUM SENJA BERAKHIR (SCRIPT FILM)
4. Bagian 4

35. INT. GERBONG KERETA API- MALAM

Kereta malam melaju cepat menggilas rel. Sendja terus menangis dalam kereta api yang dtumpanginya. Sendja menyusut air mata di pipinya. Ia meremas kain roknya. Sendja memandang keluar jendela, ia menatap bulan sabit di langit gelap.


CUT TO

36. INT. RUMAH KONTRAKAN SUNDARI-MALAM

FX: jam dinding berdetak.

Sundari dan Beno duduk berhadapan di meja makan. Mata Sundari sembab dan wajahnya tampak tegang. Dihadapannya Beno duduk frustasi meremas rambutnya sendiri. Beno bergumam kebingungan.

BENO
(gelisah dan bingung)
Pak Darman tidak akan memaafkanku karena kejadian ini. Apa yang harus kukatakan padanya? Juga orang-orang di Tambakraras, mereka pasti mencemoohku.

Sundari menatap Beno. Wajahnya kecewa. 

SUNDARI
Bukankah lebih baik begini? Cepat atau lambat Sendja harus tahu yang sebenarnya. 
BENO
(menggeleng frustasi)
Tapi tidak dengan cara begini, Sun. Tidak sekarang. Kondisi Pak Darman, ayah Sendja sedang tidak sehat. Aku tidak ingin masalah ini memperburuk kesehatannya.
SUNDARI
(menatap kecewa)
Dari caramu bicara seolah kamu sedang menyalahkanku. 

Beno menggeleng bingung.

BENO
Aku tidak menyalahkanmu, Sun. Mengertilah posisiku sekarang.  
SUNDARI
(mencebik sinis)
Sudahlah. Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang? 
BENO
Entahlah. Otakku benar-benar buntu.

Sundari memalingkan wajah diam-diam mengusap air matanya. Lalu menatap Beno yang masih menunduk dengan tatapan tajam. Sundari memandang langit-langit lalu menghela napas panjang. Ia mencoba bicara dengan tegar.

SUNDARI
Beno, katakan padaku jujur sekarang. Bisakah kamu memilihku? Apakah hubungan ini masih layak diteruskan? Aku tidak ingin terus menjalani hubungan sembunyi-sembunyi begini. Seperti maling saja.

Beno mengangkat wajah menatap Sundari dengan pandangan memelas tanpa bicara. Sundari memandangnya dengan marah.

SUNDARI (CONT'D)
Aku capek, Beno. Capek. Kamu tidak tahu gimana rasanya harus terus bersandiwara di depan Sendja. Dia temanku, Aku merasa bersalah terus membohonginya.

Beno menatap Sundari sedih.

BENO
Aku sangat mencintaimu, Sun. Tidak perlu kamu ragukan lagi. Tapi, aku juga tidak bisa menyakiti Sendja, juga orangtuanya. Terlalu banyak kebaikan yang diberikan Pak Darman padaku dan mendiang ibuku. Aku yakin, mendiang Ibuku pasti akan sangat sedih kalau aku menyakiti hati Pak Darman. 

Sundari menghapus air mata di pipinya. Ia lalu menatap Beno tajam dan bicara sinis.

SUNDARI
Kusimpulkan artinya adalah tidak. 

Beno tidak berkomentar.

SUNDARI (CONT’D)
Kalau begitu, cepat temui Sendja dan minta maaf padanya. Katakan kamu khilaf, dan jangan temui aku lagi.

Beno memandang Sundari dengan pandangan bingung dan tidak percaya. 

BENO
Tapi… 
SUNDARI
(memotong cepat)
Tidak ada tapi. bagaimanapun juga hubungan kita ini tidak mungkin diteruskan.
BENO
Sun…

Sundari menangis. Dengan kasar ia mengusap air matanya dan tertawa sumbang. 

SUNDARI
Ini semua salahku. Aku saja yang bodoh mengira hubungan ini bisa bertahan lama. Aku lupa, aku hanya persinggahan sementara sampai kamu bersanding dengan Sendja.

Beno berdiri hendak merangkul Sundari

BENO
Sun, jangan bicara begitu. Kamu tahu aku sangat membutuhkanmu. Aku sayang kamu, Sun. 

Sundari menepis tangan Beno kasar. Matanya memandang tajam pada Beno. 

SUNDARI
Sudah Beno. Jangan membantah dan jangan serakah! Kamu harus memilih satu di antara kami berdua. Kamu sendiri yang bilang, tidak mungkin memilihku! Kamu tidak sanggup meninggalkan Sendja, tidak sanggup melupakan hutang budi pada kedua orangtuanya.
(beat)
Kamu juga tidak mampu bersikap tidak peduli pada pandangan orang-orang desa Tambakraras.
BENO
(mengangguk lemah)
Iya, kamu benar. Maafkan aku, Sun.  

Sundari tampak sangat kecewa dengan jawaban Beno. Ia menggigit bibirnya hingga terluka dan mencengkeram punggung tangannya dengan kuku. Sundari melirik Beno sengit.

SUNDARI
Nah! Jadi tunggu apa lagi? Susul Sendja secepatnya sebelum semua terlambat. Pulanglah dan nikahi Sendja. Hubungan kita, pertemuan kita, dan perasaan ini adalah sebuah kesalahan. Jadi sudahi saja sampai di sini. Jangan mencariku lagi, aku akan berhenti bekerja dan meninggalkan Jakarta! 

Beno terkejut mendengar kata-kata Sundari.

BENO
Berhenti bekerja? Kamu mau ke mana? 
SUNDARI
Aku bisa pergi ke mana saja. Kamu tidak perlu khawatir. 
BENO
Tidak. Kamu tidak perlu melakukannya kalau hanya ingin menghindariku, Sun. (beat). Baiklah bila itu keinginanmu. Aku akan mengajukan pengunduran diri dan kembali ke Tambakraras.

CUT TO

37. INT. RUANG TAMU RUMAH SENDJA-SIANG

Desa Tambakraras, satu bulan kemudian

Kita melihat jalanan desa yang asri, orang-orang yang mengayuh sepeda, hamparan sawah, banyak pepohonan rindang, rumah-rumah joglo penduduk. Di sebuah rumah besar berwarna putih, tampak Pak Darman (60) ayah Sendja, sedang duduk di kursi sedangkan di depannya tampak Beno berlutut dan menunduk tidak berani memandang wajah Pak Darman.

DARMAN
(menghela napas dan terbatuk)
Mengapa kamu baru datang, Le? 
BENO
(menunduk)
Kulo nyuwun pangapunten, Pak. Minta maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan yang telah saya buat. Saya tahu, saya tidak pantas mendapatkan maaf dari Bapak, Ibu, juga Sendja. Saya bersalah.

Darman menghela napas dalam. Ia tidak tega melihat Beno berlutut. Tangan Darman meraih Beno memintanya untuk duduk. Beno bangun dan duduk di kursi sebelah Darman. Darman kembali terbatuk-batuk.

DARMAN
Kamu duduklah dulu, Le.
Hari itu Sendja datang dengan mata sembab. Adikmu itu terus menangis. Ia hanya mengatakan pertunangan kalian sudah berakhir.
(beat)
Bapak dan Ibu sampai bingung dibuatnya. Terakhir kali Sendja mengirim surat, ia tampak senang dengan kehidupan barunya di Jakarta. Sampai sekarang Sendja tetap ndak mau cerita. Ada masalah besar apa? Apa yang sesungguhnya telah terjadi?

Beno menatap wajah Darman ragu-ragu.

BENO
Ini semua salah saya, Pak. Saya yang sudah menghianati kepercayaan Sendja.
Untuk itulah saya datang, memohon Sendja bersedia memberi saya kesempatan sekali lagi, walau saya sadar, perbuatan saya sangat memalukan dan sulit dimaafkan.

Darman memandang Beno sungguh-sungguh.

DARMAN
Kesalahan apa yang sudah kamu lakukan?

Beno menunduk makin dalam dan tidak menjawab pertanyaan Darman. Wajahnya tampak tertekan. Darman menatap Beno, wajahnya berubah murung.

DARMAN (CONT’D)
Apa berkaitan dengan perempuan? Ada orang lain selain Sendja? 

Beno terisak. Ia kembali berlutut di pangkuan Darman.

BENO
Maafkan saya, Pak.

Darman diam. Ia sangat kecewa. Darman kembali terbatuk, kali ini agak keras.

DARMAN
(menghela napas)
Sejujurnya Bapak berharap besar padamu, Le. Kamu tahu bagaimana Sendja itu. Meski dia tampak penurut, tapi Bapak juga tahu, anak itu sebenarnya sangat keras hati.
(beat)
Bapak dan Ibu sudah tua. Seperti yang kamu lihat, belakangan Bapak juga sering sakit. Bapak hanya ingin melihat Sendja menikah dengan orang yang tepat, orang yang bisa ngatasi keras kepalanya itu, sekaligus juga mau menganggap kami sebagai orangtua kandungnya.
Terutama, bisa menjaga Sendja dan ibunya jika ternyata umur Bapak sudah ndak lama lagi.

Beno menunduk mengusap air matanya.

DARMAN (CONT'D)
(terbatuk)
Bukan Bapak mengharapmu membalas jasa, sama sekali tidak. Bapak ikhlas membesarkanmu. Sendja mungkin ndak sebaik gadis-gadis yang kamu kenal di Jakarta, tapi dia satu-satunya anak Bapak. Hanya kamu orang yang Bapak percaya untuk menjaganya. Apa permintaan Bapak terlalu berat untukmu?
BENO
(menggeleng)
Tidak, Pak. Berilah saya kesempatan sekali lagi, dan saya berjanji, tidak akan mengecewakan Bapak dan Ibu.

CUT TO

38. INT. KAMAR SENDJA-SIANG

Sendja sedang duduk di tepi ranjang dan melipat tangan di depan dada. Wajahnya tampak kesal. Di sebelahnya, Sri (55) Ibu Sendja duduk dan berusaha membujuk putrinya.

SRI
(bicara lembut)
Kalau Masmu Beno telah melakukan kesalahan yang fatal dan kamu ndak bisa memaafkannya, Ibu ndak akan memaksamu, Nduk.
Tapi, sebagai orang yang sudah dewasa, kamu juga ndak boleh bersikap seperti anak kecil begini. Ibu sangat kenal karaktermu, kamu bukan orang yang lari dari masalah. Nah, temuilah dia.

Sendja berpaling menatap ibunya.

SENDJA
Tapi saya benar-benar tidak mau ketemu Mas Beno lagi, Bu. Rasanya kemarahan ini langsung naik ke ubun-ubun kalau berhadapan langsung dengannya.
Saya takut tidak bisa mengontrol diri. Lebih baik Ibu suruh dia kembali ke Jakarta saja. 
SRI
(mengelus bahu Sendja)
Nduk,sejak kepulanganmu hari itu, Ibu dan Bapak masih ndak ngerti ada persoalan apa antara kamu dan Beno.
Kamu juga ndak pernah cerita pada kami masalahnya. Jadi, sebenarnya ada apa?

Sendja memandang ibunya ragu. Ia berkata sedih.

SENDJA
Bu, Mas Beno sudah berkhianat. Saya memergokinya dengan mata kepala sendiri Mas Beno sedang bermesraan dengan Sundari, sahabat saya.
(beat).
Bagaimana mungkin saya bisa menerima kembali orang yang telah membohongi saya, Bu? Memaafkan seorang pembohong sama saja memberi kesempatan padanya untuk terus-menerus membohongi saya seumur hidup. 

Sri mengelus lembut kepala Sendja.

SRI
Nduk, Ibu paham perasaanmu. Kamu tentu sangat terluka mengetahui kenyataan orang yang sangat kamu cintai dan percaya ternyata sanggup mengkhianati cinta dan kepercayaan itu. Ibu ngerti.
(beat)
Tapi, bukankah kita harus menilai seseorang secara adil? Beno memang telah bersalah karena menyeleweng. Tapi ingat, hidup ini isinya kan ndak hanya cinta-cintaan, thok.
SENDJA
(mengernyitkan kening)
Maksud Ibu? 
SRI
Kamu juga harus ingat, apa pernah Beno bersikap kasar padamu? Beno juga sangat berbakti pada Bapak dan Ibu. Terlepas dari penyelewengan itu, bukankah Beno selalu berusaha menjaga dan melindungimu?

Sendja tampak diam. Sri tersenyum mengusap kepala anaknya.

SRI (CONT'D)
Beno mungkin bersalah. Tapi, ndak ada salahnya memberi Beno kesempatan untuk menjelaskan yang sesungguhnya terjadi padamu. Jangan main kabur-kaburan dan ngambek begini.
(beat)
Sejujurnya, Ibu melihat sifat-sifat Bapakmu itu ada miripnya dengan Beno sehingga Ibu merasa lebih tenang bila kamu bersamanya.
SENDJA
(kesal)
Bagaimana mungkin Ibu paham perasaan saya? Menyamakan Bapak dengan Beno jelas tidak adil karena mereka orang yang berbeda.
(beat)
Bapak kan bukan lelaki yang mudah tergoda? Seumur hidupnya Bapak hanya mencintai Ibu saja. Bapak adalah laki-laki langka yang sulit ditemukan di jaman sekarang.

Sri mengangguk paham dengan mata menatap Sendja serius.

SRI
Sebenarnya, ada satu rahasia yang selalu Ibu simpan rapat-rapat. Karena bagi Ibu, urusan rumah tangga adalah urusan pribadi yang ndak perlu diumbar ke mana-mana. Tidak ada manfaat yang didapatkan dari mengumbar aib sendiri.
(beat)
Bapakmu itu, bukanlah lelaki setia seperti yang kamu bayangkan. Dia juga pernah tergelincir dan mengkhianati janji pernikahan kami.

Sendja terkejut. Ia memandang ibunya tak percaya.

SENDJA
Benarkah? Bapak menyeleweng? Bagaimana Ibu tahu?

Sri mengusap lembut kedua pipi Sendja dan menatap matanya.

SRI
Nduk, hati seorang istri selalu tahu ketika suaminya berpaling. Orang yang sedang berdusta mungkin bisa mengatur kata-kata yang keluar dari bibirnya. Tapi dia ndak bisa menutupi kejujuran dalam sorot matanya,helaan napasnya, dan ndak bisa terus menerus mengatur bahasa tubuhnya.

Sendja masih memandang Sri. Sri memaksakan senyum sedih.

SRI (CONT'D)
Seorang istri juga memiliki pilihan dalam menghadapi penyelewengan. Meninggalkannya, atau diam bertahan.

Sri menghela napas dalam. Matanya menerawang, senyumnya tampak sedih.

SRI (CONT’D)
Ibu sadar, keduanya adalah pilihan yang sama-sama menyakitkan, tapi dampaknya berbeda.
Jadi, Ibu memilih diam dan bertahan.
(beat)
Nduk, kelak kalau kamu jadi seorang ibu kamu pasti paham. Seorang ibu bahkan tidak bisa meratap terlalu lama. Sehancur apapun hati seorang ibu, ia harus bangkit demi anaknya.

Sri diam sejenak. Sendja juga memandang ibunya dan menunggu tanpa berkomentar. Dua perempuan itu saling pandang berbagi kekuatan. Sri kemudian tersenyum sedih.

SRI (CONT’D)
Ibu mengabaikan rasa sakit itu, dan berusaha bangkit menyusun kekuatan. Salah satunya menjadikan eyang-eyangmu sebagai sekutu terkuat Ibu.
(beat)
Nduk, ndak ada orang waras yang mau meninggalkan kenyamanan keluarganya untuk sebuah kenikmatan yang kelak akan terasa hambar juga. Sabarlah. Waktu pada akhirnya akan menunjuk orang yang sabar sebagai pemenangnya. Perempuan itu mundur karena kecewa Bapakmu ndak kunjung menikahinya.

Sendja memandang ibunya serius sambil memiringkan kepalanya. 

SENDJA
Jadi, Ibu ingin saya juga melakukan hal yang sama? Ibu ingin saya memaafkan Beno dan melupakan penyelewengannya begitu saja seolah tidak pernah terjadi apa-apa?

Sri tersenyum lembut. Ia meralat perkataan Sendja.

SRI
Bukan Ibu yang ingin, tapi tanyalah dirimu jujur. Kamu masih mencintainya, kan? Meski kamu mengatakan ndak ingin bertemu Beno, tapi kenyataannya kamu ndak benar-benar bisa membencinya, tho?
SENDJA
(menunduk)
Ibu benar. 
SRI
Ikutilah kata hatimu, Nduk. Memaafkan bukan berarti dirimu kalah. Justru kamu adalah orang yang berhati luas karena mampu menaklukkan egomu.
Lelaki ibarat petualang yang kadang tersesat, tergelincir, atau salah jalan.

Sendja mengangguk dan memeluk Sri erat. Setelah melepaskan pelukan Sendja bicara dengan suara yang tegas.

SENDJA
Terima kasih, Bu. Saya paham sekarang. Meski saya tetap akan mengambil pilihan yang berbeda bila jadi Ibu.
(beat)
Mungkin pada akhirnya waktu akan memilih yang sabar bertahan sebagai pemenangnya. Tapi kebahagiaan akan berpihak pada orang-orang yang sadar dirinya berharga.

 Sendja menatap ibunya.

SENDJA (CONT'D)
Saya lebih memilih meninggalkan orang yang tidak menghargai saya.

Sri tampak terkejut mendengar perkataan anaknya. Sendja tersenyum dan kembali menegaskan.

SENDJA
Saya ingin bahagia dalam pernikahan. Bukan sekedar jadi pemenang saja.

CUT TO

39. INT. RUANG TAMU RUMAH SENDJA-SIANG

Sendja masuk dibimbing oleh ibunya. Pak Darman dan Beno menoleh. Beno menatap mata Sendja. Melihat kedatangan Sendja Pak Darman berdehem dan berdiri. Beno terlihat salah tingkah.

DARMAN
Nah, kebetulan itu adikmu Sendja sudah datang. Kalian berdua bicaralah di sini. Bicara dengan hati tenang dan kepala dingin. Bapak dan Ibu percaya, kalian sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalah ini.

Pak Darman menoleh pada istrinya dan lekas-lekas menariknya.

DARMAN
Ayo to, Bu. 

Pak Darman dan Sri menyingkir ke dalam. Setelah kedua orangtuanya masuk, Sendja masih berdiri canggung. Beno mendekati Sendja. 

BENO
Apa kabar Sendja? 
SENDJA
Seperti yang Mas Beno lihat, baik-baik saja. Mas Beno kapan datang? 
BENO
Baru saja. Mas naik kereta malam dan langsung kemari. Mas ingin segera menemuimu.
SENDJA
(tersenyum sinis)
Segera? Sudah satu bulan, Mas. Kalau Mas memang ingin permasalahan ini cepat selesai, harusnya Mas datang lebih cepat, bukan menunggu satu bulan lamanya. 

Beno tampak gugup. Ia buru-buru menjawab.

BENO
Maafkan Mas karena tidak segera datang menyusulmu, Sendja. Banyak pekerjaan kantor yang harus Mas tuntaskan dulu sebelum mengajukan pengunduran diri.
SENDJA
(terkejut)
Mengundurkan diri? Mas berhenti bekerja? 
BENO
Iya
SENDJA
Mengapa Mas berhenti? Bukankah menjadi wartawan adalah impian Mas sejak dulu?
BENO
Mas ingin tinggal di kampung saja.

Nada bicara Beno berubah lembut dan serius.

BENO (CONT’D)
Sendja, Mas tahu perbuatan Mas sangat memalukan, sehingga tidak pantas mendapat maaf darimu. Mungkin terdengar memalukan dan sangat pongah kalau Mas meminta satu kesempatan lagi.
(beat)
Mas sangat menyesal. Mas mengaku salah. Sendja, maafkanlah Mas.

Sendja tampak marah, tapi ia berusaha menahannya.

SENDJA
(sinis)
Sudah berapa lama Mas dan Sundari menjalin hubungan? Bodohnya aku mengira kita bertiga memiliki hubungan yang manis. Aku memiliki seorang sahabat dan seorang kekasih yang menyayangiku.
Ternyata, dibelakangku kalian main gila. 

Beno diam, ia tampak ragu untuk menjawab. Matanya bergerak gelisah.

BENO
(bicara pelan)
Kami tidak berniat menipumu. Itu…itu hubungan yang spontan dan terjadi begitu saja. Mas sangat menyesal. Mas tidak bisa menahan diri.

Sendja melengos.Matanya menatap Beno sinis,nada bicaranay mengejek.

SENDJA
Enak betul jadi laki-laki. Tidak bisa menahan diri, lalu kalau ketahuan tinggal bilang maaf, habis perkara!

Beno menunduk. Melihat Beno sedih Sendja jadi kasihan. Nada suaranya yang sinis berubah jadi lebih lembut. Sendja mengibaskan tangan.

SENDJA (CONT’D)
Sudahlah. Tidak usah dibahas lagi. (beat). Ada perlu apa Mas mencariku?
BENO
Kalau kamu bersedia, Mas ingin rencana pernikahan kita dilanjutkan. 
SENDJA
(terkejut)
Dilanjutkan? Setelah Mas mengkhianatiku? 
BENO
Tentu saja itu kalau kamu mau memberi kesempatan pada Mas. Mas berjanji, ke depan hal itu tidak akan terulang. Mas tidak akan menyakiti hatimu lagi. Sendja, maukah kamu menerima Mas kembali? 
SENDJA
Lalu Sundari?
BENO
Kami sudah berpisah
SENDJA
Sejujurnya, sulit untukku menerima Mas kembali. Aku tidak ingin menjadi manusia munafik, Mas. Aku sakit hati dan kecewa.

Beno menunduk mendengar kata-kata Sendja. Sendja kembali melanjutkan bicaranya.

SENDJA (CONT’D)
Tapi dalam hal ini aku tidak mau egois mengutamakan perasaanku saja. Pernikahan bagiku tidak hanya perkara jodoh dan cinta semata. Tapi juga pertimbangan Bapak dan Ibu cocok atau tidak. Karena itu aku memaafkan Mas, tapi ada syaratnya.

 Beno memandang Sendja penuh harap.

BENO
Katakan syaratnya Sendja. Mas akan berusaha untuk memenuhi syarat itu. 
SENDJA
Berjanjilah Mas tidak akan berhubungan lagi dengan Sundari. Putuskan segala kontak dengannya dan hapus nama Sundari dari ingatanmu. Mulai hari ini, Mas tidak pernah kenal yang namanya Sundari.
(beat)
Kalau Mas tidak mampu memenuhi syarat itu, maka rencana pernikahan ini tidak perlu diteruskan.
BENO
Mas bersumpah akan memenuhi semua permintaanmu. 

Sendja tersenyum simpul. Beno menatapnya dan menggenggam tangan Sendja lembut.

CUT TO


Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar