Home Run
6. Belajar Softball Bareng Ravi
Skrip ini masih diperiksa oleh kurator

1. EXT. LAPANGAN LUAS – SORE

Semua pemain meninggalkan lapangan bersamaan, langit sudah sangat jingga, tapi, masih terang. Amel berdiri. Ravi memanggilnya dari dalam lapangan.

Ravi:

Amel! sini!!

Amel turun dari tribun.

Amel:

Enggak pulang???

Ravi:

Sini, gue ajarin main softball!

Amel:

Beneran????

Ravi:

Makanya cepetan sebelum gelap! Ayo, sini!

Amel melepas tas selempangnya dan masuk ke dalam lapangan. Dia langsung merasa kecil karena lapangan yang sangat luas. Ravi menarik tangan Amel, mengajaknya ke tengah lapangan.

Ravi:

Selamat datang di tempat kesukaan gue…

Amel bertepuk tangan, dia merasa senang melihat Ravi dengan seragamnya sedang menggenggam pemukul dan sebuah bola kecil, serta ada pelindung kepala yang dia pakai.

Ravi:

Hari ini, anda akan dilatih dasar-dasar softball oleh Ravi, pitcher sekaligus batter handal di tim Softball Putra Garda! Yuuhuuuu!

Amel:

Pitcher? Batter?

Ravi mengangkat tangan kanannya yang menggunakan sarung penangkap bola.

Ravi:

Pitcher itu penangkap.

Ravi mengangkat tangan kirinya yang menggenggam pemukul bola.

Ravi:

Batter itu pemukul. Sampai di sini paham?

Amel:

Paham, Coach!

Ravi:

Penangkap di sana, pemukul di sana. Penangkap sama pemukul ada cabang lainnya lagi. Ada outfielder, infielder… ya gitu, lah. Ada yang mau ditanyakan?

Amel:

Praktek, dong… jangan teori terus. Ajarin gue pukul bolanya.

Ravi memberikan tongkat pemukul bola kepada Amel.

Ravi:

Postur tubuh, posisi kaki dan tangan seorang pemukul harus benar, supaya bisa memukul dengan baik dan enggak cedera. Kaki lo buka lagi. Stop, oke. Badannya posisi siaga.

Amel:

Megangnya udah bener, enggak?

Ravi memperbaiki cara Amel menggenggam pemukul bola. Dia memiringkan badan Amel ke kiri, dan sedikit memperbaikinya. Ravi berlari beberapa langkah ke depan, siap melemparkan bola kepada Amel.

Ravi:

Siap? Satu, dua, tangkap!!

Ravi melempar bolanya ke arah Amel. Amel memukul bola dari Ravi. Bola tersebut melaju rendah dan cepat, memantul ke sebuah tempat sampah sehingga menghasilkan bunyi yang ribut. Ravi menghampiri Amel.

Ravi:

Terlalu rendah. Enggak apa-apa.

Amel memamerkan deretan giginya kepada Ravi, tertawa malu. Ravi hanya tersenyum, kemudian merebut pemukul bola dan melemparnya ke tanah. Dia memakaikan sarung tangan kepada Amel.

Ravi:

Sekarang, latihan tangkap bola. Lo berdiri di posisi yang sana. Tangkap bola yang gue lempar, oke?

Amel:

Capek…

Ravi:

Ini tuh, penting banget buat lo yang suka kurang fokus! Lo kan, jarang olahraga! ayo, ke sana! Lari! Cepat!

Amel berlari sekuat tenaga agak jauh lagi dari pusat lapangan. Dia menunggu lemparan bola Ravi. Ravi melempar bolanya tinggi-tinggi, Amel mendongak ke atas langit dengan tangan menengadah, namun tidak bisa menangkapnya. Ravi melemparkan bola selanjutnya dan tidak ada satu pun yang berhasil ditangkap. Amel kelelahan. Dia duduk pasrah di atas tanah.

Amel:

Capek!

Ravi menghampiri Amel dan langsung menarik Amel untuk bangun. Amel mengikutinya dengan pasrah. Ravi mengambil satu wadah besar berisi banyak bola dan meletakkannya di samping Amel.

Ravi:

Nih, sekarang lo yang lempar, gue yang tangkap. Lemparnya lurus dan kencang, fokusnya ke tangan kanan gue.

Amel:

Cara lemparnya?

Ravi mengajari Amel posisi badan dan cara melempar kepada Amel. Amel mengangguk mengerti setelah mencoba beberapa kali. Ravi mundur beberapa langkah, dia berjongkok dengan tangan kanan yang siap menangkap bola.

Ravi:

Satu, dua, lempar!

TUNG!! Bola memantul ke pembatas lapangan.

Ravi:

Lanjut! Lempar ke lurus ke tengah! Ke tangan kanan gue! Ayo!

Amel berancang-ancang melempar. WUUUSH. Bola terbang melambung ke luar lapangan. Amel kelihatan semakin semangat untuk melempar bola. Dia menatap agak lama ke arah tangan kanan Ravi. Kemudian, dia melempar sekuat tenaga.

Ravi menangkapnya, namun dengan posisi berdiri dan miring ke kanan. Bola lemparan Amel sudah mulai menyempit.

Ravi:

Good job!! Tadi udah bagus, tapi, masih miring!

Amel mengambil bola lagi. Melempar lagi. Hasilnya selalu sama, miring ke kanan dan ke kiri, selalu ditangkap oleh Ravi. Ravi menyemangatinya terus menerus, Amel juga sepertinya merasa termotivasi.

Amel:

Susah bangeeeet! Tangan kanan gue udah sakit!!

Ravi:

Semua selalu sulit saat baru mulai! Lo harus terbiasa sama rasa sakit!

Amel mengelap keringatnya dengan lengan bajunya. Dia mengambil bola lagi.

Amel:

Gimana caranya supaya bolanya lurus dan pas ke tengah??

Ravi berdiri. Dia mengangkat tangan kanannya ke depan, menunjukkan sarung tangannya.

Ravi:

Bayangin, sarung tangan ini adalah tujuan lo. Menang olimpiade tahun ini. Tangan kanan yang capek, perasaan ingin berhenti, rasa pesimis, angin, adalah hambatan lo. Lo harus bisa lempar bola ke tujuan lo, di sini. (menunjuk sarung tangan) gue enggak tahu kenapa tahun lalu lo mengundurkan diri… tapi, gue yakin ada hambatan yang enggak bisa lo atasi. Dan gue mau tahun ini lo fokus dan ngalahin hambatan-hambatan itu.

Ravi kembali berjongkok. Dia bersiap menangkap bola.

Amel mendengarkan kalimat Ravi baik-baik. Dia merasa tidak berdaya. Dia kembali mengambil bola dan melemparnya. Lemparannya berkali-kali semakin melantur kacau kemana-mana. Ravi tetap sabar menangkap semuanya. Amel sudah lelah, namun anehnya tidak mau berhenti.

Amel:

Kalau gue enggak bisa?

Ravi:

Pasti bisa.

Amel:

Kalau gue enggak bisa ngalahin hambatannya.

Ravi berdiri. Dia menatap Amel agak lama.

Ravi:

Nyerah aja. Lo enggak akan mati kalau nyerah. Masih ada besok, besok, dan besoknya.

Amel:

Oke.

INSERT: Memori-memori berdatangan. Saat Amel ditampar. Saat Roy melecehkannya. Saat dia kesusahan mengerjakan tugas-tugas mereka dan harus bolak-balik perpustakaan. Tamparan, pukulan dia terima. Mereka menjambak rambutnya, menyingkap roknya, menendangnya, mendorongnya ke dinding sampai terjatuh.

Memikirkan semua itu membuat sekujur tubuhnya selalu merinding dan takut.

Ravi:

Udah? pulang?

Amel:

Bisa ditukar, enggak? Sarung tangan lo itu emang tujuan gue, tapi, bukan soal olimpiade. Tujuan gue adalah buat ngalahin semua hambatannya.

Ravi:

Terserah, terserah, bisa, kok!

Amel mengambil bola. Ravi berjongkok kembali. Amel menarik nafas dalam-dalam, melempar bolanya dengan yakin. HAP!! Ravi sumringah.

Ravi:

Kemajuan besaaaar! Bola lo udah di kepala gue, hampir ke tengah!

Amel kembali melempar. Bolanya kadang masih ke kanan-kiri, namun kebanyakan sudah lebih dekat dan mudah ditangkap oleh Ravi. Dia semakin percaya diri.

Amel:

(v.o) ini pukulan terakhir, gue mau pulang ke rumah.

Amel melemparnya. Ravi menangkapnya. Pas di tengah. Tangan Ravi tidak berpindah. Ravi langsung melepas sarung tangannya, mengambil sebotol air dan berlari memeluk Amel.

Ravi:

Horeee! Besok lo gabung softball putri aja!!

Amel:

Gila, lo!!

Ravi menyiram kepala Amel.

Amel:

Ngapain!?

Ravi:

Supaya kayak atlet ala-ala gitu, Mel! Siram kepala… hahaha! Siram! Siram!

Amel:

Stop!!

Amel berlari menghindari Ravi, Ravi mengejarnya sambil masih menyiram air kepada Amel. Amel mengitari lapangan sampai kelelahan bersama Ravi. Ravi menyiram sisa air ke kepala Amel. Amel hanya pasrah dan tertawa. Mereka duduk beristirahat di pinggir lapangan.

Ravi:

Seru, kan?

Amel:

Seru.

Ravi:

Capek juga.

Amel memandangi wajah Ravi. Ravi menjadi salah tingkah.

Ravi:

Kenapa? Gue kegantengan buat lo yang jelek?

Amel tertawa kecil.

Amel:

Maaf.

Ravi kaget mendengar permintaan maaf Amel yang mendadak.

Ravi:

Bukannya lo udah bayar utang, ya…? Atau waktu itu baru setengah?

Amel:

Waktu kelas sepuluh… gue ngejauhin lo.

Ravi:

Feeling gue memang enggak salah! Lo ngejauhin gue!

Amel:

Padahal gue yang nyuruh lo main softball, tapi, baru bisa lihat lo main hari ini.

Ravi:

Enggak apa-apa… mendingan lo nonton gue yang sekarang. Gue yang dulu masih belum mantap mainnya.

Amel:

Beneran?

Ravi:

Ya, namanya juga baru masuk, Mel. Baru pertama kali pegang pemukul bola, pakai sarung tangan… masih noob. Hampir dua bulan gue dimarahin terus sama pelatih. Senior-senior juga ikutan marahin gue. Katanya, gue ngabisin waktu aja. Lari gue doang yang cepet, otak gue lambat.

Amel:

Senior ikutan marahin? Jahat banget.

Ravi:

Enggak cuman marahin! Dipukul beberapa kali. Biasa aja, sih. Cuman sekadar peringatan. Biasa, lah, sesama cowok. Enggak afdol kalau enggak pakai kekerasan.

Amel:

Lo enggak marah?

Ravi:

Marah? Hm… enggak juga, sih? Gue orangnya cuek, lagian habis itu gue mulai meningkat, kok. Sekarang semuanya akrab.

Amel:

Hm…

Ravi:

Ada yang lebih parah, sih. Dipukulin supaya keluar dari tim. Karena emang enggak fokus dan serius anaknya. Enggak sopan juga. Wajar sih, dia. Besoknya keluar, deh.

Amel:

Terus?

Ravi:

Terus… banyak sih, kejadian kayak gitu. Biasanya buat ngeluarin anggota baru supaya mereka lolos kemana gitu… atau karena suatu kelompok, porsi kekompakan atau kepintarannya udah pas, tapi, ada anggota baru yang bikin hancur. Nah. Enggak ngerti dah gue begituan. Untung gue pekerja keras. Di ekskul olim gimana?

Amel:

Hm? Apanya?

Ravi:

Masalah aneh-aneh gitu… ah, pasti enggak ada. Anak-anaknya aja kutu buku. Aman-aman aja pasti.

Amel:

Iya… biasa aja.

Ravi:

Olim kapan? Jadi ikut, kan?

Amel:

Jadi… ikut, kok.

Ravi:

Lo kayak ragu gitu mau ikut. Kalau ragu enggak perlu dipaksain. Lagian, kenapa ikut kalau ragu?

Amel terdiam sejenak sebelum menjawab.

Amel:

Gue udah siapin semuanya dari dulu. Mau kuliah kemana, mau ambil jurusan apa, gimana cara gue wujudin semuanya. Gue belajar baik-baik supaya nilai gue stabil, supaya dapat jatah seleksi nilai rapor. Gue sebisa mungkin ikutan banyak lomba, buat nilai tambah untuk seleksi tadi. soalnya kalau ikutan tes… bayarnya mahal… Kalau dapat medali emas olimpiade, kemungkinan gue lolos bebas tes mungkin 90% kali, ya?

Ravi bertepuk tangan mendengar rencana Amel.

Ravi:

Lo jadi anak bokap gue aja, pasti lo disayang banget.

Amel:

Hm… tapi, ternyata untuk tiba di tempat tujuan, selalu ada hambatan tak terduga yang bikin gue harus turun dari kendaraan. Entah itu paku, batu besar…

Ravi:

Hah? Gimana-gimana?

Amel:

Dan gue enggak tahu apakah harus diam aja atau tetap jalan…

Ravi kelihatan sedang mencerna apa yang dimaksud Amel, beberapa saat kemudian dia sudah mengerti.

Ravi:

Jadi, kalau kita lempar bola tapi, tertangkap catcher 4 kali, alias udah gagal dipukul, itu namanya strike out dan bakalan dikasih free walk. Terus, kalau pemukul berhasil lari mengitari base sebelum bolanya tertangkap, itu namanya home run.

Artinya, kesalahan atau hambatan dalam kehidupan itu selalu terjadi, entah itu sekali, empat kali, atau bahkan berkali-kali… enggak apa-apa. Bahkan ketika ada seratus kesalahan, permainan akan tetap berlanjut, hidup lo akan tetap berjalan. Enggak apa-apa lo ngalamin strike out, bola yang lo lempar enggak berhasil dipukul, lo bisa coba lagi, ada banyak kesempatan di depan.

Dan… home run itu hadiah atau bonus. Faktanya, enggak selamanya kita bisa dapat home run alias enggak selamanya kita bisa lari mengitari lapangan tanpa hambatan dari lawan.

Amel tersenyum lebar, berusaha menahan tawanya. Dia kemudian berdiri dan bertepuk tangan untuk Ravi.

Amel:

Lo jadi makin cerdas! Makasih, ya.

Ravi mengacak rambut Amel dengan gemas.

Ravi:

Lo sih, kebanyakan baca buku! Buku memang jendela dunia, tapi, enggak selamanya lo harus lihat lewat jendela terus! Lo bukan Rapunzel!

Amel menendang kaki Ravi dan berlari kabur keluar lapangan.

Ravi:

SAKIT, WOI! LO JANGAN PULANG BARENG GUE!!

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar