Daftar Bagian
1. Bagian 1
Adegan dibuka dengan Close up: Burung merpati yang beterbangan dari atap gedung penjara.
2. Bagian 2
2.EXT. LAPANGAN TUGU BATU - PAGI SEKITAR PUKUL 8 Seorang wanita berpakaian reporter terdiam saat jur
3. Bagian 3
3. INT. DI DALAM MOBIL TAHANAN- PAGI Semua orang di dalam mobil tahanan itu terdiam. Sang narapidana
4. Bagian 4
4. INT. DI DALAM RUMAH- MALAM Flashback Di dalam rumah yang serupa gubuk, dengan dinding bambu yang
5. Bagian 5
5.INT. DI DALAM RUMAH-SORE Flashback Di dalam dapur yang sebenarnya hanyalah salah satu bagian rumah
6. Bagian 6
6.EXT. DI HALAMAN SEKOLAH-PAGI Flashback Pagi dengan cuaca yang cerah, di halaman sebuah SD yang di
7. Bagian 7
7.INT. DI RUANG PERAWATAN RUMAH SAKIT-SORE Flashback Hujan rintik-rintik. Mendung bergelayut dan ang
8. Bagian 8
8.INT. DI RUANG ADMINISTRASI RUMAH SAKIT-SORE Flashback Di sebuah lorong rumah sakit yang panjang ya
9. Bagian 9
9. INT. DI DALAM MOBIL TAHANAN- PAGI Semua orang yang di dalam mobil itu terdiam, mereka semua menat
10. Bagian 10
10. INT. DI DALAM SEBUAH RUANGAN MIRIP GARASI- PAGI Mobil yang dikawal oleh polisi itu akhirnya berh
11. Bagian 11
11.EXT. DI LUAR GEDUNG-PAGI Yudha perlahan berjalan keluar dari gedung, melewati kerumunan wartawan
12. Bagian 12
12.INT.EXT. DI DEPAN TOKO SEPATU-PAGI Entah sejak kapan Yudha berhenti di depan sebuah toko sepatu.
13. Bagian 13
13. INT. RUANG RAWAT RUMAH SAKIT-SIANG BEBERAPA MINGGU SEBELUM EKSEKUSI BAMBANG WINARNO Flashback Se
14. Bagian 14
14.EXT. DI TOKO SEPATU-PAGI Yudha memperlihatkan senyuman lebar di wajahnya, namun tanpa sadar sete
15. Bagian 15
15.INT. DI SEBUAH GANG - TENGAH MALAM BEBERAPA TAHUN SEBELUM EKSEKUSI MATI BAMBANG WINARNO Flashbac
16. Bagian 16
16.EXT. DI DEPAN TOKO SEPATU-PAGI Perlahan Yudha membuka matanya. Yudha terbangun dari lamunannya ka
17. Bagian 17
17.INT. DI SEBUAH PENJARA-PAGI SEKITAR PUKUL 8 Sekelompok nara pidana berkumpul di salah satu sisi s
18. Bagian 18
18.INT. DI RUANG KETUA KPK-PAGI SEKITAR PUKUL 9 Di sebuah ruangan itu, seorang pria muda dengan umur
19. Bagian 19
19.INT. DI RUANG INTEROGASI-SEHARI SEBELUM EKSEKUSI-MALAM SEKITAR PUKUL 9 Flashback Di dalam ruangan
20. Bagian 20
20.INT. DI RUANG KETUA KPK-PAGI SEKITAR PUKUL 9 Wijaya yang masih melihat ke jendela sambil melamun
21. Bagian 21
21.EXT. DI LAPANGAN TUGU BATU-SEKITAR PUKUL 10 Wartawan dan masyarakat berkerumun disekitar lapangan
22. Bagian 22
22.EXT. DI SEKITAR LAPANGAN TUGU BATU-SEKITAR PUKUL 10 Sarah yang telah memperbaiki rambut dan bajun
23. Bagian 23
23.INT. DI SEBUAH LORONG RUMAH SAKIT-SEKITAR PUKUL 10 Di sebuah lorong rumah sakit seorang pria dan
24. Bagian 24
24.INT. DI SEBUAH KOST TEMPAT TINGGAL SULIS- BEBERAPA HARI SEBELUM BAMBANG WINARNO MENYERAHKAN DIRI
25. Bagian 25
25.INT. DI SEBUAH LORONG RUMAH SAKIT-SEKITAR PUKUL 10 Ganesa: "Mbak, tolong tenang dulu."
26. Bagian 26
26.INT. DI SEBUAH RUANG RAWAT RUMAH SAKIT-SEKITAR PUKUL 10 Di ruangan itu seorang remaja terbaring d
27. Bagian 27
27.EXT. DI TEMPAT EKSEKUSI-SEKITAR PUKUL 10.30 Ribuan masa berbondong-bondong mendekati lokasi eksek
28. Bagian 28
28.INT. KANTOR MENTERI PENDIDIKAN-SEKITAR PUKUL 10.45 Di sebuah ruangan empat kali lima meter, seora
29. Bagian 29
29.INT.RUMAH HADI PRIYANTO-MALAM HARI Di sebuah ruang belajar, Hadi dengan seksama melihat ke arah T
5. Bagian 5

5.INT. DI DALAM RUMAH-SORE

Flashback

Di dalam dapur yang sebenarnya hanyalah salah satu bagian rumah yang hanya ditutupi oleh sepotong triplek lusuh yang berlubang di mana-mana. Seorang anak kecil sedang meniupkan angin dengan corong bambu yang berlubang. Sesekali dia akan terbatuk-batuk saat asap api yang sulit menyala itu tertiup angin ke arahnya. Meskipun dia sampai tersengal-sengal karena sesak nafas dan kondisi tubuhnya yang kurang bagus, bocah kecil itu terus berusaha menjaga api di tungku itu tetap menyala. Akhirnya kerja keras anak kecil itu terbayarkan, api yang sebelumnya hampir padam karena angin besar yang datang dari lubang di dinding. Setelah puas melihat hasil kerja kerasnya, anak kecil itu mengusap keringat di dahinya dengan lengan tangannya. Akibatnya noda hitam tungku yang melekat di lengannya berpindah ke wajahnya membuatnya terlihat seperti panda.

“Sudah matang nak?”

Terdengar suara seorang pria paruh baya dari balik dinding triplek. Suaranya memang terdengar lantang namun di dalamnya tersembunyi kesedihan yang amat sangat dalam. Rendi yang menyadari bahwa mungkin ayahnya sudah kembali dari kesehariannya untuk mencari nafkah. Rendi segera memeriksa panci yang ada di atas tungku api. Uap air terlihat mengepul keluar, perlahan kabut-kabut uap itu tertiup angin yang berhembus dari dinding triplek yang berlubang.

Sepotong tahu dengan ukuran segenggam tangan sedang direbus di dalam air mendidih. Setelah anak itu yakin bahwa tahunya sudah matang, dia mengambil erok-erok sederhana yang ada di samping tungku. Perlahan dia mencoba mengangkat potongan tahu itu dari air mendidih. Dia tak ingin tahu itu terjatuh ke tanah karena tahu ini merupakan satu-satunya lauk yang mereka miliki untuk hari ini.

Perlahan-lahan dia meletakkan sepotong tahu rebus tanpa bumbu itu di atas piring. Kemudian setelah dia yakin semuanya sudah beres dia mematikan tunggu api itu dengan mengambil semua kayu kering yang masih tersisa. Dia mengambil sebuah gayung yang terbuat dari batok kelapa yang tergantung di dinding. Dia mengambil segayung air dari gentong di luar rumah kemudian menyiramkannya ke bara api yang masih menyala. Setelah dia yakin bara apinya padam, anak kecil itu membawa sepotong tahu di atas piring itu ke meja makan.

Ayahnya yang terlihat masih berkeringat dari ujung kaki sampai ujung kepala tersenyum melihat putranya yang sangat rajin. Dia kemudian mengelap keringat yang bercucuran di wajahnya. Lalu meletakkan handuk di bahunya beserta peci merah lusuh kesayangannya ke atas meja. Dia membuka tudung saji secara perlahan. Terlihat di sana ada sebuah piring plastik kosong dan sebuah piring lain terbuat dari logam, berisi sekepal nasi. Pria tua itu mengambil piring plastik kosong didepannya kemudian mengisinya dengan sedikit nasi dari piring logam yang catnya sudah mengelupas itu. Dia meninggalkan sepertiga bagian nasi itu tetap ditempatnya dan memindahkan dua pertiga bagian di piringnya. Dia menoleh ke arah anaknya yang sudah duduk di atas kursi, memberikan sedikit senyum meskipun terdapat kesedihan yang tersembunyi di dalam senyumannya. Lalu pira tua itu meletakkan kembali piring plastik itu ke meja.

Dia mengambil handuk yang tergeletak di meja kemudian mengusap noda angus yang ada di wajah putra semata wayangnya secara perlahan. Anaknya yang melihat sang ayah yang sepertinya sedang gembira memberikan senyuman terbaiknya. Ayahnya membalas senyumannya dengan mengusap-usap wajah anaknya secara perlahan. Setelah yakin tidak ada lagi noda angus di sana, pria itu mengembalikan handuk itu kembali ke tempatnya. Kemudian dia mengambil piring plastik di atas meja. Dia menoleh ke arah piring baru yang dibawa oleh anaknya. Sepotong tahu yang masih mengeluarkan uap panas berada di sana. Sejenak dia melihat ke arah tahu itu, kemudian melihat ke arah putranya. Dia menggunakan sendoknya yang cukup besar itu memindahkan sepotong tahu itu ke piring putranya. Kemudian dia memberikan piring itu pada putranya sambil tersenyum padanya.

Putranya yang menyadari ada yang salah melihat ke arah piring itu, sepotong tahu yang masih utuh ada di sana. Dia melihat ke arah ayahnya, seolah bertanya mengapa dia tidak mau makan lauknya.

Sambil tersenyum sang ayah mengelus kepala putra semata wayangnya itu.

“Bapak sudah kenyang.”

Sang ayah menepu-nepuk perutnya seakan memberikan isyarat bahwa perutnya yang membuncit itu penuh dengan makanan.

“Bapak sudah makan di warung Mbak Marni tadi, jadi tahunya buat kamu saja.”

Putranya yang mendengar kebohongan ayahnya itu terdiam sejenak. Dia melihat ke arah tahu itu, kemudian perlahan melahapnya. Perlahan setetes air mata mengalir dari ujung mata melewati pipinya. Ayahnya menyadari apa yang terjadi dan dia terdiam. Sang ayah merenungi ketidakmampuannya untuk memberikan makanan dan rumah yang layak untuk putranya itu. Dia melamun sambil melihat putranya bergelut dengan sepotong tahu rebus yang dibumbui sejumput garam, sesekali perkelahiannya itu diiringi oleh sedikit air mata yang menetes dari pipinya. Kesedihan yang selalu berusaha ditutupi olehnya dengan menggunakan lengannya. Dia terus mengusapkan lengannya diwajahnya setiap kali air mata terasa ingin menetes dari matanya. Sang ayah terdiam melihat tingkah laku putranya yang cengeng itu sambil sesekali memasukan sesuap nasi tanpa lauk ke mulutnya.

Voice over (Pak Bambang):

“Meskipun dia menangis dia tak pernah memperlihatkan kesedihannya itu pada ayahnya. Dia akan terus berusaha menahan air matanya itu meskipun dia selalu kesulitan untuk mendapatkan makan tiga kali sehari. Dia selalu tersenyum pada ayahnya yang tak berguna ini.”

Cut to

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar