Revolve
3. 3

SCENE 10

PAGI HARI

CAST; BIBI KARIN, Bu JEJE, BU JAENAB

EKS. Rumah, taman


Bibi Anum adalah bibi Karin. Kini, dirinya sedang sibuk menyirami tumbuhan bunga yang ada di depan rumahnya. Sesekali ada tetangga yang lewat dan mengatakan hal buruk padanya.

Mtahari bersinar menunjukkan keindahannya.

Bu Jeje
Kasihan, punya anak udah perawan tua tapi pengangguran!

(ucapan itu hanya untuk menyindir bibi Anum yang terlihat santai saja. Berbagai perkataan sudah pernah ia dapatkan sebelumnya. Sehingga sudah tidak perlu mengambil dengan hati)

Bu Jeje
Kalau saya sih sudah malu.

(diakhiri dengan tertawa)

Bu Jaenab
Memang anak tidak punya balas Budi! Sudah di kasih hati malah minta jantung!
Bu Jeje
Kasihan sekali Bu Anum ini. Sudah memungut seorang anak tapi tidak tau balas Budi. Mungkin jika tidak di pungut sudah menjadi gelandangan!

Kepala bibi Anum sudah memanas mendengar perkataan dari Bu Jeje dan Bu Jaenab.


Bibi Anum
Jangan mudah mengeluarkan perkataan yang tidak pantas untuk di dengar. Masih pagi kok sudah menambah beban dunia dengan dosa gibah kalian.

Bu Jeje dan Bu Jaenab menatap sinis dan tidak suka ke arah Bibi Anum.


SCENE 11

CAST; KARIN

INT. KAMAR


Mendengar perkataan dari ibu-ibu pecinta gibah itu membuat kepala Karin mendadak berdenyut sakit. Pandangannya buram dan sesekali ada sebuah bayangan yang dirinya sendiri tidak tau apa itu sebenarnya.


Bayangan seorang wanita menggunakan gaun putih panjang, mahkota di kepalanya, senyuman manis dan jangan lupakan sosok berjas hitam yang berdiri tegap dan gagah itu.


Wanita bergaun putih itu tersenyum menikmati sebuah kegiatan, hingga akhirnya berubah saat kedatangan seseorang yang menggunakan pakaian serba hitam itu menodongkan pistol ke arahnya.


Tak berselang lama ....


Dor


Dor


Dor


Ketiga peluru itu berhasil menembus tubuh seorang wanita yang menggunakan gaun putih itu. Hingga gaun yang semula berwarna putih itu berubah menjadi merah karena darah yang mengucur di setiap badannya.


Karin
Arghhhh

Karin merintih kesakitan dan memegangi kepalanya yang terasa sakit.


SCENE 12

CAST; KARIN, BIBI ANUM

RUANG TAMU


Terlihat dari wajah bibi Anum yang merasa kesal dengan kejadian barusan. Karin yang melihatnya tidak ingin menambah beban kepada bibinya itu.


Karin
Ada apa bibi?

Bibi Anum tersentak mendengar suara Karin. Wajahnya seketika berubah.


Bibi Anum
T-tidak apa-apa.
Karin
Karin mau ijin keluar dulu, bibi.
Bibi Anum
Kemana?
Karin
Karin, mau pergi nyari kerjaan. Kasihan kalau bibi harus seorang diri mencari uang. Doain semoga Karin bisa dapat pekerjaan.
Bibi Anum
Tapi, kamu mau kerja apa Karin?

Karin menggidikkan bahunya.


Karin
Yang penting Karin dapat uang. Lagian kalau nggak punya pekerjaan, Karin udah gabut banget, bi. Atau nggak Karin ngelamar jadi supir taxi aja kali, ya?

Tanyanya dengan sedikit berpikir keras. Tapi, ia tidak pernah naik mobil, terlabih mengendarainya. Tapi, kenapa lagi dan lagi ia mengatakan hal yang sama sekali tidak ia ingat sebelumnya.


Tidak mengindahkan perkataan hatinya Karin menggidikkan bahunya.


Karin
Karin mau keliling nyari kerja dulu, Bi. Semoga dapat kerja.

Bibi Anum mengangguk dan tersenyum menatap Karin yang sudah mulai melangkah menjauh keluar dari rumah.


SCENE 13

SIANG HARI

CAST; KARIN, BEBERAPA PENJUAL MAKANAN JALANAN

EKS. JALANAN, TAMAN


Karin tersenyum penuh kebahagiaan di mata orang lain. Tapi, tidak dengan dirinya sendiri. Langkahnya pasti, namun tidak tau arah mau kemana. Semua nampak abu-abu di dalam hidupnya.

Matahari semakin memencarkan sinarnya hingga menyengat kulit makhluk di bawahnya.

Seperti kertas putih yang tergores pensil, saat dihapus masih sedikit meninggalkan jejak. Ibarat itu, Karin sedang berusaha membaca kembali tulisan yang pernah tergores dengan pensil itu.


Hidupnya masih abu-abu hingga saat ini.


Karin
Pak?
Penjual Bakso
Ada apa neng? Mau beli bakso?

Karin menggeleng pelan.

Karin
Ada pekerjaan buat saya nggak, pak? Saya lagi butuh pekerjaan nih.

Karin begitu semangat dalam mencari pekerjaan ini. Tidak ingin selalu merepotkan bibinya yang sudah mau merawat dirinya selama ini.


Penjual bakso
Aduh, nggak ada neng. Mamang mah jualan kadang untung, kadang buntung. Jadi, nggak sanggup kalau harus bayar Eneng nantinya.

Karin mengangguk paham. Lalu ia berpamitan.


Karin
Kalau begitu makasih, mang. Saya mau pamit dulu. Semoga dagangannya rame terus!

Karin berjalan terus menghampiri satu persatu pedagang yang ada disana. Tak jarang juga beberapa rumah makan. Namun, tidak ada yang menerimanya.


Setelah dari beberapa penjual yang Karin datangi, tidak ada seorang penjual pun yang mau menerimanya untuk bekerja.


Hitung-hitung keluar dari ke frustasiannya tidak mendapatkan pekerjaan Karin memilih duduk di bangku kosong yang ada di taman.


Karin
Ternyata nyari kerja memang susah.

Wajahnya nampak lelah dan lesu, keringat bercucuran dari keningnya dan ia mengusapnya.


Karin
Susahnya mencari uang. Tapi, kenapa gue nggak ngerasa susah, ya? Apa gue pernah kaya sebelumnya?
Kaya monyet kali Karin!

Layaknya orang gila, Karin tertawa sendiri. Membayangkan dirinya bicara seorang diri membuat orang lain menganggapnya gila. Mungkin ini yang membuatnya tidak diterima kerja.


Karin
Apa dikehidupan sebelumnya gue jahat, ya? Sampai-sampai gue harus menerima takdir kayak gini?
Kalau pun iya, kenapa gue nggak bisa inget siapa diri gue sebenarnya? Semuanya masih abu-abu! Dan satu lagi, bayangan di ingatan gue itu siapa?
Apa mungkin itu gue yang tertembak atau siapa? Kalau gue ketembak otomatis gue mati dong?

Terlalu banyak yang membuat pikiran Karin penuh belakangan ini. Semuanya masih penuh misteri. Sifatnya yang absurd membuat semua orang terhibur tapi ada yang salah mengartikan dengan menganggap dirinya gila.


SCENE 14

CAST; KARIN, ANAK-ANAK, CACA, PENJAGA

TAMAN

SORE HARI

Tidak ada yang bisa dilakukan Caca selain duduk terdiam ditengah pantauan para bodyguard yang diperintah papanya. Meski tidak nyaman, itu semua senantiasa Caca lakukan. Walau akhirnya ia selalu mengumpat.


Para penjaga yang menggunakan pakaian biasa dengan jaket itu duduk di berbagai titik yang terlihat seperti orang biasa.


Caca berjalan seraya menggendong plastik berisi arumanis itu menuju kumpulan anak-anak. Namun, ia tidak suka dengan kehadiran seorang gadis kecil disana.


Sehingga, akhirnya ia memilih untuk duduk di bangku taman. Tidak ada seorangpun yang mendekatinya.


Terlihat Karin tengah tertawa dan bernyanyi bersama dengan anak-anak itu. Rasa iri tumbul dihati Caca.


Dilihatnya Karin beranjak dari tempatnya menghampiri Caca.


Karin
Hai?

Caca hanya diam dan tidak berniat membalasnya. Ingat akan nasihat papanya.


FB.


Axel
Kau jangan pernah berbincang dengan orang yang sama sekali tidak kau kenal. Bersikaplah seolah kau tidak tau apapun. Tanyakan satu hal kepada dirinya.
Caca
Apa?
Axel
Hanya kau yang bisa menilainya.

FB. OFF


Karin bingung sendiri dengan anak yang sama sekali tidak mau menjawab pertanyaannya.


Bukan Karin namanya kalau tidak bisa memutar otaknya untuk mendapatkan informasi.


Karin
Apakah kau tidak bisa berbicara?

Caca meliriknya dengan tajam. Karin gelagapan sendiri melihat itu.


Karin
B-bukan
Caca
Hanya malas berbicara.

Karin mengusap dadanya merasa lega mendengar jawaban Caca.


Karin
Siapa namamu?
Kenapa aku baru tau kau hari ini?
Apakah kau baru pindah?
Caca
Cerewet sekali kau.

Karin kalah telak. Memang dirinya cerewet, dan itu ia sadari.


Caca menyibukkan dirinya dengan memakan arumanis yang tadi ia beli. Pandangannya tidak lepas dari sekitarnya.


Karin
Anak ini begitu cuek. Tapi, kenapa aku merasa nyaman bersamanya?

Karin hanya bisa membatin dengan segala hal yang ia alami.


Karin
Cewek memang lebih suka berbicara, tapi tidak dengan beberapa ya yang memilih diam. Marahnya orang diam jauh lebih menakutkan!
Apa kau tau?!

Karin bertanya dengan begitu antusias.


Karin
Terkadang aku ingin menjadi diri ku sendiri untuk membalas semua orang yang sudah menjelekkan ku. Sayangnya aku tidak bisa.

Karin lesu membahas hal itu. Hal yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya dan juga kenapa tiba-tiba hatinya ingin mengungkapkan segalanya kepala gadis kecil ini?


Caca
Kenapa?
Karin
Karena aku tidak mengenal diriku sendiri. Aku lupa ingatan.

Caca ikut sedih dengan cerita Karin. Namun, berbeda dengan Karin yang kini berubah semangat 45! Matanya berbinar langsung melirik Caca.


Karin
Nggak usah sedih! Aku nggak suka kalau ada yang merasa kasihan. Siapa namamu?
Caca
Caca. Namamu?
Karin
Karin. Bersama dengan siapa dirimu?
Caca
Beberapa orang yang mungkin tidak terbayangkan.

Karin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kenapa tiba-tiba kepala berdenyut nyeri seperti ini?


Caca yang melihat hanya bingung sendiri. Beberapa bodyguard yang menjaganya hanya diam karena lirikan Caca kepada mereka.


Caca
Kau baik-baik saja?

Karin hanya mengangguk dan sedikit memegangi kepalanya.


Karin
Kau masih kecil, jangan sendirian. Bahaya sekali disini, terlebih kau anak orang berpunya.
Caca
Kenapa memangnya?

Karin melirik ke kanan dan ke kiri melihat sekitarnya dengan penuh perhitungan.


Karin
Kau melihat beberapa orang yang sedang makan siomay di pojok sana?

Karin tampak menunjuk beberapa titik orang yang ia lihat dengan matanya sendiri. Caca mengikuti arahan jari Karin dengan saksama. Lalu mengangguk. Namun, suaranya lirih agar tidak ada yang mendengar perkataannya selain dirinya sendiri dan juga Caca.


Karin
Mereka sedang membawa pistol.

Caca yang mendengarnya langsung terdiam dan jantungnya hampir berhenti berdetak. Apakah bodyguard nya akan ketahuan?


Namun, Caca tetap bersikap tenang.


Karin
Terkadang orang seperti itu kerja sebagai mafia atau lainnya! Berbahaya sekali jika berhadapan dengan mereka. Mungkin nyawa akan melayang!

Karin bergidik ngeri membayangkannya. Caca hanya mengangguk.


Caca
Bagaimana caranya kau tau mereka itu seorang mafia atau bukan? Dan bagaimana kau tau mereka membawa pistol?

Karin hanya menggidikkan bahunya tidak acuh. Perkataan itu spontan keluar dari mulutnya dan sekarang ia lupa baru saja mengatakan apa.


Caca
Aku akan pulang. Semoga bisa bertemu kembali.

Caca beranjak dari tempatnya dan meninggalkan Karin seorang diri dengan penuh kebingungan dengan dirinya sendiri.


Karin
Gue kenapa bisa ngomong masalah mafia ya?

Bersekongkol dengan lupa ingatannya, Karin jadi semakin penasaran dengan siapa dirinya ini.


SCENE 15

MALAM HARI

CAST: AXEL, DEVIN, BEBERAPA PENJAGA

INT. RUANGAN GELAP


Ruangan gelap itu menjadi saksi kemarahan seorang Axel yang kini dengan membabi buta memukul Devin yang selalu mengelak pukulan itu. Awalnya memang hanya ingin latihan saja dan melatih otot tubuhnya agar kuat, namun ternyata pikiran Devin akan hal itu salah. Axel berusaha melampiaskan amarahnya dan sulit untuk dikendalikan.


Devin
Sadar lo anjing!

Bentaknya dengan terus berusaha menghindari pukulan Axel, namun sepertinya hal itu tidak berefek apapun pada pria itu. Dengan nekat Devin memasang wajahnya sebagai bantalan sasaran Axel yang seperti orang kesetanan itu.


BUGH


Mata Axel langsung memejam. Tangannya mengepal dengan keras. Lalu sedetik kemudian ia memukul tembok yang ada didekatnya.


Axel
Kenapa lo nggak ngehindar anjir!

Nampaknya Axel mulai menyadari kesalahannya. Devin memperhatikan pria itu dengan saksama dan membiarkannya untuk tenang terlebih dahulu. Dirasa telah tenang, Devin menghampiri Axel dan memeluknya memberikan ketenangan.


Devin
Kalau gue nggak bisa nenangin lo dengan cara halus.
Gue harus gunain cara ini yang paling ampuh buat bikin lo sadar.

Melihat Axel yang begitu rapuh, Devin meminta beberapa penjaga dengan pakaiannya serba hitam itu untuk keluar dengan menggunakan gerakan tangan.


Para penjaga yang paham langsung menuruti dan keluar dari ruangan yang hanya dihiasi dengan cahaya remang-remang.


Axel
Lo sama aja udah bikin gue bersalah dengan nyakitin lo berulang kali Dev!

Devin hanya diam dan perlahan merenggangkan pelukannya. Ia masih sibuk dengan lamat memperhatikan bosnya ini.


Axel
Lo ...
Devin
Masalah lo nggak akan pernah selesai hanya dengan lo terus meluapkan semua emosi yang ada di diri lo.
Nggak semua masalah dan emosi yang selama ini lo pendam harus diluapkan dengan kayak gini. Lo juga harus paham dengan situasi yang ada. Tujuan dari hidup lo belum tercapai. Lo harus menyelesaikan semua itu.

Devin memegang pundak Axel. Sedangkan, Axel masih berusaha meredam emosinya agar tidak tumpah saat ini juga.


Axel
Lo nggak tau gimana perasaan gue.

Suara Axel begitu parah hingga membuat Devin tersenyum aneh. Senyuman yang bahkan tidak pernah terlihat di dalam diri Devin sebelumnya.


Axel mengatur dirinya kembali dan memasang wajah datar.


Devin tersenyum memikirkan hal yang sangat indah di dalam otak kecilnya itu.


Devin
Ada satu cara supaya ada yang bisa ngertiin perasaan lo.

Axel menatap Devin penuh curiga. Cowok itu tidak pernah benar jika memberikan solusi mengenai sebuah perasaan.


Axel
Apa?
Devin
Lo harus nikah.

Axel menatap Devin yang tersenyum konyol itu dengan mata melotot tidak percaya.


Suasana ruangan itu begitu gelap dan cahaya yang masuk hanya sedikit. Diluar sana matahari menjulang tinggi menyinari bumi yang amat indah sekali.

Seketika aura ruangan itu menggelap. Lebih gelap dari sebelumnya.


Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar