Landau Badai
1. Act 1 Sequence 1

INT. SEBUAH AULA GEDUNG – NIGHT

FADE IN

Screen LCD yang menunjukan tulisan; “Malam Seni – Pasca Penugasan Relawan.”

Aula dipadati oleh para Relawan, alumni, dan staff Yayasan. Para pendiri Yayasan duduk paling depan. Sementara beberapa Relawan yang baru selesai bertugas tersebar menjadi beberapa titik kumpulan. Mereka tengah bersiap untuk mementaskan kesenian khas daerah penugasan sebagai penutup dari kegiatan Orientasi Pasca Penugasan.

Ada kumpulan Relawan yang memakai riasan adat Papua, Baduy, Sangihe, Rote Ndao, Palembang, Pulau Bawean, Maluku. Dan yang terakhir, perkumpulan Relawan Kapuas Hulu.

Hanna, Ikmal, Cece, Atisha, dan Pace sudah berdandan khas Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Hanna dan Pace memakai baju bercorak dayak dengan ikat kepala bulu burung Ruai. Atisha dan Ikmal memakai baju khas melayu. Sementara Cece hanya cukup memakai baju merah dan menambahkan atribut pita pada ikat rambutnya.

CECE:

Oke, gue review lagi ya. Nanti yang pertama muncul itu Ikmal. Kita putar video tentang kehidupan orang utan di Kapuas Hulu dan keberagaman suku disana. Lalu masuk musik dayak, tim tari dayak masuk. Ganti musik melayu, tim tari melayu masuk. Terakhir lagu tionghoa, kita nari sama-sama. Lalu ditutup dengan lagu Anak Bintang and horray nikmati malam ini dengan sukacita.

Pace:

Yeah, keluarkan totalitas kita malam ini. Kalau mau malu-maluin jangan nanggung.

Semua temannya tertawa.

IKMAL:

Oke, selebrasi ala-alanya mana keluarkan.

CECE:

(mengulurkan tangan) Oke, Kahul Rangers!

Semua saling menumpukan tangan di atas tangan Cece

SEMUA:

Kami Satu Untuk Kapuas Hulu! Uwuwuwuwu (menirukan suara orangutan).

ATISHA:

Lama-lama lu menjiwai banget, Pace.

IKMAL:

Dia emang udah menyatu sama Orang Utan.

Hanna hanya tersenyum memperhatikan candaan teman-temannya.

CUT TO:

               Suara tepuk tangan terdengar bergemuruh menyambut salah satu founder Yayasan yang akan menyampaikan sambutannya. Ia membenarkan letak kacamatanya, wajahnya teduh dan berseri-seri, saat mulai berbicara suaranya lembut menenangkan seperti seorang ayah yang sedang bercerita kepada anak-anaknya.

FOUNDER:

Selama bekerja, Anda semua telah bertemu dengan banyak penggerak di daerah, melalui berbagai musim dan perayaan dalam waktu satu tahun. Selalu ada pertanyaan, apa yang akan terjadi setelah kita berpisah dengan orang-orang yang kita temui. Dari semua cerita; yang lucu, berkesan, dan juga suka dan duka yang dialami oleh semua yang ada di ruangan ini, satu yang akan selalu diingat bahwa kita pernah sama-sama bekerja, saling mendukung satu sama lain, dan memiliki mimpi yang sama untuk Indonesia sampai akhirnya kita kembali pada cerita hidupnya masing-masing. Maka malam ini kita akan mengenang cerita-cerita. Cerita kita semua. Duduk di aula ini, melihat panggung, mensyukuri perjalanan yang telah kita mulai dan selesaikan. Dan kita bahagia menikmati ketulusan perjuangan dan persahabatan di program kempemimpinan ini, setahun untuk selamanya.

Di tempatnya duduk, Hanna menatap sang founder dengan berkaca-kaca. Tak jauh darinya Ikmal pun memusatkan perhatiannya ke panggung.

Ingatan Hanna kembali kepada perjalanan satu tahun yang lalu saat dia baru pertama kali menginjakkan kaki di tanah Kalimantan.

Rasanya baru kemarin. Mendengar deru suara pesawat terbang tengah lepas landas.

DISSOLVE TO:

EXT. BANDARA SUPADIO PONTIANAK – DAY

Lima orang dengan rompi kerelawanan dan tas gunung di punggung berjalan menuju pintu keluar. Beberapa dari mereka memakai tas oranye dari organisasi kegiatan alam yang pernah memberikan pelatihan di rimba. Beberapa orang yang melewati mereka melirik penasaran dan dibalas dengan senyum ramah dari para Relawan.

Mereka duduk di kursi tunggu yang menghadap parkir. Cece mengecek ponselnya. Hanna mengipasi dirinya dengan topi. Atisha menyandarkan kepala ke tas gunungnya. Ikmal mengecek kamera di tasnya. Sementara Pace hanya duduk sambil memperhatikan sekeliling.

ATISHA:

Parah banget kamu, Han, pesawat lagi ada problem landing masih bisa tidur pules.

HANNA:

Ngantuk banget aku, Tish. Udah dua bulan ga bisa tidur nyenyak di barak, baru tadi bisa ngerasain deep sleep.

PACE:

Udah berasa sleeping beauty ya, Bu. Tinggal nunggu dijemput pangeran.

HANNA:

Mohon maaf, ya. Dengan segala kebulukanku ini cem mana ada homo sapiens yang tertarik.

Cece menurunkan ponselnya dan menyela obrolan teman-temannya.

CECE:

Oke, gengs, jadwal bis kita jam 1 siang. Bupati Kapuas Hulu punya rumah di Pontianak. Kita ditawari untuk istirahat dan makan siang dulu sambil nunggu jam 1.

IKMAL:

Sikat!

PACE:

Tunggu, tunggu. Bukannya di Kapuas Hulu ada bandara? Di Kota Putussibau. Kita ga naik pesawat?

IKMAL:

(Berdecak dan menggelengkan kepala) Naik pesawat ga kerasa. Mending naik bis. Kita bisa menyusuri Kalimantan Barat dan merasakan sensasi melewati hutan-hutan.

PACE:

Hajar lah kalau gitu.

HANNA:

Setelah lihat hutan Kalimantan nanti, kita jadi bisa bilang kalau hutan-hutan waktu pelatihan fisik kemarin ga ada apa-apanya.

CECE:

Oke, nanti Hanna dan Ikmal akan turun duluan di Kecamatan Silat Hulu. Sisanya turun di Putussibau. Atisha dan Pace lanjut naik perahu dan gue naik motor ke Desa Jangkang di Putussibau Utara. So, selamat menempuh perjalanan ke desa penugasan masing-masing.

HANNA:

Berapa lama perjalanan naik bis?

Cece hanya tersenyum.

CUT TO:

EXT. NANGA BONGKONG – NIGHT

Nanga Bongkong adalah sebuah desa yang terlewati oleh jalur bis. Tempat dimana Hanna dan Ikmal akan memasuki Kecamatan Silat Hulu. Hanna dan Ikmal menuruni bis Pontianak – Putussibau. Mereka kemudian melambai kepada teman-teman yang lain saat bis kembali melaju. Hanna menatap jam tangannya.

HANNA:

Waw. Sepuluh jam lebih di dalam bis. Aku nyaris ga lihat apa-apa sepanjang jalan. Gelap.

Ikmal berjalan terlebih dulu menuju sebuah warung yang dibangun di atas kolam ikan. Hanna mengikutinya.

IKMAL:

Iya lah, kamu kan tidur.

HANNA:

Tiap melek juga ga kelihatan ada apa-apa. Hutan semua.

IKMAL:

Kamu ga lihat ada pemandangan Sungai Kapuas waktu di Sanggau?

HANNA:

Ada, ya?

IKMAL:

Sepanjang jalan yang dilihat kelopak mata, sih.

Ikmal menghampiri pemilik warung.

IKMAL:

Bu, maaf. Kami mau ke Landau Badai sama Nanga Lungu. Tapi sudah kemalaman, baru bisa dijemput besok pagi. Bisa numpang istirahat dulu di depan sini ya, Pak?

PENJAGA WARUNG:

Sila meh. Galai diyak magang.

IKMAL:

Oh, kami bukan mau magang.

PENJAGA WARUNG:

Dari Jawa, ya? Belum tahu Bahasa Hulu.

IKMAL:

Maaf, Pak, saya baru sampai di Kapuas Hulu kemarin. Saya Ikmal dari Sumatera Barat.

Ikmal melirik ke arah Hanna yang dari tadi hanya senyum-senyum.

HANNA:

Oh, saya Hanna, dari Jawa Barat.

PENJAGA WARUNG:

Memang jodoh, ya. Sama-sama dari Barat datangnya ke Kalimantan Barat juga. Silakan, silakan. Cari saja tempat yang bisa dipakai istirahat. Lampu disini tidak pernah dimatikan.

IKMAL:

Terima kasih, Pak. Oh ya Pak, pesan teh manis hangatnya ya, Pak.

HANNA:

Dua ya, Pak.

PENJAGA WARUNG:

Aok.

CUT TO:

Dua teh manis hangat sudah tersisa sedikit di masing-masing gelas. Hanna merebahkan diri di kursi panjang. Tas pinggangnya ia jadikan bantal. Ikmal duduk bersandar di kursi, tas gunungnya ia berdirikan dan dijadikan tumpuan kakinya. Ikmal baru saja hendak memejamkan matanya, ketika Hanna mulai mengajaknya ngobrol.

HANNA:

Aok tuh maksudnya iya kali, ya? Kaya Haik gitu di bahasa mandarin.

IKMAL:

Mungkin. Sebulan dua bulan juga nanti kita ngerti Bahasa Hulu.

HANNA:

Kayak di film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara. Lama-lama si guru pendatangnya juga pakai Bahasa NTT dan lupa sama logat sundanya.

IKMAL:

Film tentang apa?

HANNA:

Penugasan guru di pelosok NTT. Gurunya muslim, murid-muridnya Katolik. Mengangkat isu perbedaan agama.

IKMAL:

Kaya gue, dong.

HANNA:

Iya. Kayanya kita memang sengaja ditugaskan di tempat yang menstimulus kemampuan adaptasi. Kamu muslim, warga Nanga Lungu Kristen. Aku Kristen, warga Landau Badai muslim. Tapi katanya disini beda agama nggak pernah jadi sumber konflik, ya?

IKMAL:

Kamu membayangkan bakalan ada konflik itu di desa?

HANNA:

Engga. Aku ga ada bayangan apa-apa.

Suara hewan malam menguasai tempat itu. Tidak ada suara apapun lagi meski warung ini tepat berada di pinggir jalan raya. Ikmal melirik Hanna yang masih tidak bisa tidur.

IKMAL:

Kamu kenapa ga lanjut kerja di Rumah Sakit aja? Malah ikut program ini.

HANNA:

Aku kan ga ikut kuliah Profesi. Memang ga ada rencana kerja di Rumah Sakit. Aku maunya lanjut kuliah dan jadi peneliti. Tapi pas ada pendaftaran program ini langsung ikut dulu aja sambil siapin diri buat kuliah lagi. Ini kesempatan buat dapet pengalaman berharga. Bukan kesempatan yang bisa datang dua kali. Kamu sendiri sampai harus resign kerja di Jakarta, kan? Nggak sayang sama kerjaannya?

IKMAL:

Itu keputusan yang ga akan pernah gue sesali, sih. Ada tiga kemungkinan orang yang tinggal di perkotaan datang ke tempat seperti ini. Pertama, dia tenaga pendidik yang ikut program Guru Garis Depan. Kedua, tenaga kesehatan yang ikut program Nusantara Sehat. Ketiga, misionaris keagamaan. Gue bukan ketiganya, makanya gue daftar program leadership ini.

HANNA:

Padahal kamu anak teknik, tapi punya passion di pemberdayaan masyarakat, ya?

IKMAL:

Emang gue kelihatan punya passion disitu?

HANNA:

Iya. Selama pelatihan di barak, kalau sudah ngomongin isu sosial kayaknya semua teori ada di kepala kamu. Analisismu juga tajam. Kamu mantan aktivis, ya?

IKMAL:

Definisi aktivis yang kayak apa?

HANNA:

Ga tahu. Aku kan cuma nanya. Kalau bukan akarena aktivis, apa yang bikin kamu melek isu sosial?

IKMAL:

(Terdiam sebentar, memejamkan matanya) Karena cita-cita gue mau jadi presiden.

HANNA:

For sure?

IKMAL:

Baru lihat ya ada orang yang cita-citanya mau jadi presiden?

HANNA:

Teman SD-ku ada yang pernah bilang mau jadi presiden. Tapi semakin dewasa, jarang aku punya teman yang masih bercita-cita mau jadi presiden. Mungkin ada, tapi ga seserius itu.

IKMAL:

Kurang serius apa gue sampai jauh-jauh ke tengah hutan gini buat melihat kondisi rakyatnya.

HANNA:

Lebay kamu, nih.

Hanna melirik Ikmal yang ternyata dari tadi berbicara sambil memejamkan mata. Ikmal tak lagi menanggapi obrolan Hanna dan akhirnya Hanna pun memilih untuk memiringkan badannya ke arah kolam. Menatapi kolam hingga tertidur.

CUT TO:

EXT. NANGA BONGKONG – DAY

Kolam yang berwarna hitam kini memancarkan sinar matahari pagi. Saat pandangan semakin ditarik ke atas maka kita bisa melihat pepohonan yang hanya menyisakan garis-garis tipis jalur darat. Di salah satu jalan berbatu dua kendaraan bermotor berjalan beriringan. Ikmal tengah dibonceng oleh Pak Faisal, dan Hanna dibonceng oleh Kokom.

Kokom tak henti mengajak Hanna bicara. Ia selalu tertawa lepas dan enerjik. Tubuhnya kurus tapi gagah di atas motor. Dengan kulit yang terpanggang sinar matahari, tidak menutupi kecantikan alaminya sebagai wanita campuran Dayak-Melayu.

HANNA (V.O)

Perjalanan pertama menuju Landau Badai, aku dijemput Kokom. Warga Landau Badai yang aktif sebagai guru honorer maupun kegiatan desa. Kita seumuran dan aku tinggal di rumahnya selama di Landau Badai. Sementara Ikmal dibonceng oleh Pak Faisal, suaminya Bu Nurlela yang menjadi Kepala Sekolah SD. Baik Kokom maupun Bu Nur, cerita keduanya pernah kutonton di youtube saat riset mengenai Landau Badai. Ya, desa ini pernah diliput oleh Lentera Indonesia.

Mereka berempat berhenti di Nanga Ngeri. Sudah ada Bapaknya Ayu yang menunggu disana. Menambatkan perahunya di salah satu pasak kayu yang ditancapkan di pinggir sungai.

HANNA (V.O CONT'D)

Tahun dimana aku bertugas, jalanan menuju Landau Badai belum sepenuhnya bisa dilewati motor. Jadi kita turun di Nanga Ngeri dan naik perahu Bapaknya Ayu, warga Nanga Lungu yang nanti akan menjadi keluarga angkat Ikmal. Ya, tempat Ikmal bertugas letaknya tepat setelah desa penugasanku.

Bapaknya Ayu menyiapkan perahu bermesin tempel 15 pk. Kokom menuruni tangga kayu terlebih dahulu untuk memimpin langkah Hanna. Di belakangnya, Ikmal mengawasi Hanna yang masih terlihat kepayahan karena perjalanan pesawat, bis, dan motor. Benar saja, Hanna terpeleset dan Ikmal dengan sigap memegangi lengan Hanna. Mereka berdua malah salah tingkah dan ditutupi dengan tertawa bersama.

Setelah semuanya naik perahu, Bapaknya Ayu menjalankan mesin perahu melawan arus Sungai Ensilat. Angin pagi menerpa wajah mereka. Sinar matahari mengintip dari sela-sela pepohonan yang mereka lalui di kanan-kiri mereka. Burung-burung dan suara binatang menambah lengkap perjalanan itu.

HANNA (V.O CONT'D):

Aku jadi ingat film Tanah Surga Katanya. Ada adegan yang diambil di atas perahu. Persis kaya perahu yang aku naiki sekarang. Ini adalah pengalaman pertamaku naik perahu di sungai dan di tengah hutan. Ga ada yang aku takuti selain tenggelam karena aku ga bisa berenang.

Perahu mogok karena bebatuan yang terlalu dangkal. Ikmal, Pak Faisal, dan Bapaknya Ayu turun dari perahu untuk mendorong perahu melewati Riam. Sementara Kokom memegangi tangan Hanna yang mengatur napasnya agar tidak panik.

HANNA (V.O CONT'D):

Dalam perjalanan pertama itu, yang aku pikirkan hanya kapan kita sampai? Kenapa Landau Badai jauh sekali masuk ke dalam hutan? Kenapa jarak satu desa ke desa lainnya harus sejauh ini? Tapi ternyata semakin aku menjalani hari di Landau Badai, semakin banyak hal-hal baru yang aku ketahui, dan semakin banyak hal-hal yang aku pertanyakan lebih ke diriku sendiri. Dan hari-hari selanjutnya hanya diisi satu pertanyaan; apa dampak positif yang bisa aku berikan untuk Landau Badai?

Perahu berhasil dijalankan kembali. Perjalanan berlanjut. Hanna menyandarkan kepalanya ke pundak Kokom untuk menenangkan diri. Hanna baru mengenalnya hari itu, tapi mulai saat itu Kokom-lah penyelamat hari-harinya di Landau Badai.

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar