Dzikir Sebuah Cincin Retak
Daftar Bagian
1. SCENE 1 INT, ASRAMA PONDOK, DINI HARI
Tampak asrama santri berwarna putih. Dalam sebuah ruangan yang cukup luas tampak beberapa santri mas
2. SCENE 2 EXT, GEDUNG BELAJAR DAN SEKITARNYA, PAGI
Hamid tidak tahu Akrom menghampirinya karena ia masih hanyut dalam kesendirian di bawah rumpun pohon
3. SCENE 3 INT, AULA PONDOK, PAGI
Suasana pelepasan kelas 6 di aula pondok. Pak Kiayi memberikan wejangan kepada para santrinya agar m
4. SCENE 4 INT, DALAM BUS LORENA, MADIUN, MENJELANG MAGHRIB
Hamid duduk pada bangku yang paling depan. Ia menggeser badannya ke pinggir jendela karena ada seora
5. SCENE 5 EXT/INT, DESA BAYUR KIDUL, RUMAH ASIH, KARAWANG, PAGI
"Ibu, maafkan Hamid bu, Hamid banyak salah sama Ibu, Hamid juga jarang kirim surat kepada Ibu&q
6. SCENE 6 EXT, TOKO KELONTONG, SENJA
"Mungkikah ia jadi milikku? Perjalananku masih panjang, adakah ia akan terus bertahan di desa i
7. SCENE 7 INT, RUMAH ASIH, MALAM IDUL FITRI
Hari demi hari telah kita lalui walaupun berbeda tempat. Tak terasa hubungan kita sudah hampir 2 tah
8. SCENE 8 EXT, MASJID DAN SEKITARNYA, PAGI
Hamid berkeliling desa, hingga bertemu Murni di jalan bersama kawan-kawannya
9. SCENE 9 INT, KAMAR MURNI, MALAM
"Adinda adalah adinda, bukan pakaian, bukan paras dan rupa, bukan celaan maupun sanjungan pada
10. SCENE 10 EXT/INT, BINTARO, CIPUTAT, PAGI HARI
Hamid turun dari angkot berjalan memasuki gang hingga sampai di sebuah rumah 2 lantai yang cukup ber
11. SCENE 11 EXT, RUMAH CING INAH, PAGI
Hamid mengenakan kemeja biru, celana hitam dan tas hitam tengah bersiap meninggalkan rumah bibinya u
12. SCENE 12 EXT, PONDOK, GEDUNG BELAJAR SANTRI, SIANG
Hamid menoleh ke arah sumber suara. Tampak pemuda tampan mengenakan pakaian hijau muda berdasi warna
13. SCENE 13 EXT, PONOROGO, SORE
Kebahagiaan Hamid mendapatkan kabar dari Yadi bahwa ia mendapat surat dari Murni
14. SCENE 14 INT, DALAM KAMAR RUKO BAKSO, SORE
"Oh ya kak, Murni ingin menyampaikan sesuatu, tapi mohon kakak menanggapi ini dengan tenang. In
15. SCENE 15 EXT/INT, LUMBUNG PADI, KARAWANG, SENJA
Hamid mengajak Murni bertemu di lumbung padi untuk memastikan kepergiannya ke Brunei. Hamid tidak be
16. SCENE 16 EXT/INT, RUMAH ASIH, SORE
Hamid ingin kembali ke pondok. Namun sebelum Hamid berangkat, tiba-tiba Wahid, keponakannya, merobek
17. SCENE 17 EXT, WARUNG BAKSO, PEKARANGAN BELAKANG, PAGI
Dalam keadaan galau, Hamid melayangkan tinjunya ke lemari kayu hingga cincin pemberian Murni itu ret
18. SCENE 18 INT, KAMAR WARUNG BAKSO, MALAM
Yadi menghibur Hamid yang masih galau agar melupakan sejenak masalah yang dihadapi. Tiba-tiba Hamid
19. SCENE 19 EXT, WARUNG BAKSO PAGI HARI
Keberangkatan Hamid dan Yadi ke Wonogiri untuk melunasi pembayaran bus
20. SCENE 20 EXT, PURWANTORO, PAGI HARI
Pemandangan daerah Purwantoro yang berbukit, di sebelah kanan dan kiri jalan dihiasi dengan pepohona
21. SCENE 21 EXT/INT, POOL BUS SEDYA MULYA, WONOGIRI, SIANG
Hamid dan Yadi segera turun dari motor dan membuka helm. Mereka memasuki kantor PO. Sedya Mulya untu
22. SCENE 22 EXT, PURWANTORO, SIANG
Di tengah jalan dalam menuju pulang, mereka menemukan pemandangan yang cukup indah dan sayang kalau
23. SCENE 23 EXT, ALUN-ALUN PONOROGO, SORE
Hamid dan Yadi berfoto-foto di taman Alun-Alun kota Ponorogo dengan menggunakan kamera secara bergan
24. SCENE 24 EXT, JALAN RAYA PONOROGO, MENJELANG MAGHRIB
Hari menjelang magrib. Saat di jalan utama Hamid hendak menyalip motor Suzuki Shogun yang ada di de
25. SCENE 25 INT, RUMAH SAKIT, PONOROGO MALAM
Saat kondisi Hamid mulai membaik, ia diperbolehkan pulang oleh dokter. Namun di tengah perjalanan, i
26. SCENE 26, EXT, WARUNG BAKSO, PONOROGO, SORE
Setelah merasa benar-benar sembuh, Hamid berpamitan dengan Yadi untuk kembali ke kampung halaman kar
27. SCENE 27 INT, MUSHALLA, KARAWANG, SORE
Hamid sedang mengajar santri di bulan Ramadhan. Para santri dan santriwati sedang menyimak hadits ya
28. SCENE 28 EXT, LAPANGAN DEKAT SAWAH, PAGI
Setelah selesai kegiatan muhadatsah dalam pesantren kilat di pagi hari, Lia meminta tolong kepada Ha
29. SCENE 29 EXT/INT, RESTORAN PANTAI, BRUNEI, SIANG
Murni tengah sibuk melayani pembeli di restoran pantai Taoyuan, Brunei. Karena wajahnya yang cantik
30. SCENE 30 EXT/INT, RUMAH LIA, BA"DA DZUHUR
Hamid berkunjung ke rumah Lia untuk berbagi ilmu bagaimana membuat teks pidato yang benar. Setelah b
31. SCENE 31 EXT, RUMAH ASIH, PAGI
Pesantren kilat sudah selesai. Hamid sudah siap-siap dengan tas hitam yang ia sampirkan di atas pund
32. SCENE 32 EXT, RUMAH LIA, PAGI
Hamid berpamitan dengan Lia. Ia memberikan kenang-kenangan berupa walkman kepada Lia. Lia tak berked
33. SCENE 33: kampus UIN, pagi
Keluar dari kampus, Hamid menuju toko fotokopi untuk membeli kertas surat
34. SCENE 34 EXT/INT, RUMAH CING INAH, MENJELANG SIANG
Murni mengirimkan surat dan foto dirinya kepada Hamid. Dalam suratnya, Murni menceritakan sebuah mim
35. SCENE 35 EXT/INT, RUMAH BI FITRI, SIANG
Setelah menamatkan pendidikannya di Karawang, Lia tinggal bersama bibinya di Bekasi. Ia mendapatkan
36. SCENE 36 EXT/INT,PERUM MAYANG PRATAMA, BEKASI, SIANG
Di salah satu sudut area TPA ada kamar kosong seperti gudang. Pemilik TPA, Bu Mirah, mengantarkan Li
37. SCENE 37 INT, RUMAH BI FITRI, BEKASI, MALAM
Lia dan Bi Fitri beserta ketiga anaknya yang masih kecil sedang makan malam. Bi Fitri menanyakan ten
38. SCENE 38 EXT, PERKOTAAN SLIPI, SIANG
Hamid berusaha mengadu nasib di Jakarta dengan cara mencari pekerjaan dari satu kantor ke kantor lai
39. SCENE 39 INT, DALAM BUS STEADY SAFE
Dalam subuah bus, Hamid merenungi nasibnya yang terumbang ambing dalam lautan cinta yang tak pasti.
40. SCENE 40 INT, RUMAH CING INAH, KAMAR HAMID, PAGI
Pagi ini surat cinta kembali datang dari Murni. Namun tampaknya kali ini Hamid harus menelan pahitny
41. SCENE 41 INT, WARTEL, PAGI MENJELANG SIANG
Karena benar-benar tidak nyaman diputuskan cintanya oleh Murni, hari itu juga Hamid langsung menelep
42. SCENE 42 INT, RUMAH BI FITRI, SIANG
Pembicaraan antara Lia dengan Bi Fitri tentang perkuliahan Lia dan calon pendamping hidupnya
43. SCENE 43 INT, BINTARO PLAZA, KANTIN, SORE
Hamid menjaga kantin. Sesekali ada pembeli yang datang dan membeli barang dagangannya. Samar-samar t
44. SCENE 44 EXT, KEBUN DEKAT REL KERETA API, SORE
Dalam kegalauan, Hamid larut dalam lamunan yang membawanya ke dalam flashback rangkaian kisah sejak
45. SCENE 45 EXT/INT, SEBUAH TAMAN & KAMAR HAMID
Dalam sebuah mimpi, Murni mengenakan pakaian serba putih. Hamid menekuk lututnya di depan Murni dan
46. SCENE 46 INT/EXT, WARTEL CIPUTAT VS RESTORAN BRUNEI, BA"DA MAGHRIB
Merasa dirinya tak tenang, Hamid menelepon Murni melalui wartel. Murni menyatakan dirinya baik-baik
47. SCENE 47 EXT, RUMAH CING INAH, CIPUTAT, PAGI
Hamid bertingkah aneh. Ia mengumpulkan dan menyatukan dua kertas dengan bentuk dan warna yang sama.
48. SCENE 48 EXT/INT, KANTIN KAMPUS, SIANG
Hamid kembali bertingkah aneh. Ia mencoba menyamakan dua buah gelas sisa aqua dengan volume air yang
49. SCENE 49 INT, RUMAH BI FITRI, BEKASI, SORE
Lia dan bibinya duduk di ruang tamu. Lia terlihat kusut, matanya bengkak dan masih terisak-isak kare
50. SCENE 50 EXT/INT, RUMAH CING INAH, CIPUTAT, SIANG
Murni mengirimkan surat permohonan maafnya karena telah memutuskan cinta Hamid. Surat itu masih teta
51. SCENE 51 INT, RUMAH CING INAH, KAMAR HAMID, CIPUTAT, SIANG
Hamid dan Murni berada di atas satu perahu berdua. Murni melihat ada bagian perahu Hamid yang bocor.
52. SCENE 52 EXT, RUMAH CING INAH, CIPUTAT, PAGI
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun telah tiba. Pagi itu Hamid sudah bersiap-siap berangkat ke Ka
53. SCENE 53 INT, TOKO ASIH, BA'DA MAGHRIB
Hamid melihat-lihat foto Murni yang dipegang oleh Asih. Awalnya biasa saja ia melihatnya, akan tetap
54. SCENE 54 EXT, MUSHALLA, MALAM, PULANG TARAWIH
Saat pulang tarawih bersama Asih, Hamid bertemu dengan Siti, saudara Murni yang membawa kabar pentin
55. SCENE 55 EXT/INT, RUMAH ASIH, PULANG TARAWIH
Setelah sampai di kamar Hamid, Asih memberi kabar kepada Hamid tentang Murni yang sebenarnya terjadi
56. SCENE 56 EXT, RUMAH ASIH, KARAWANG, PAGI
Hamid bersiap-siap kembali ke Jakarta. Sebelum berangkat, ia menitipkan surat terakhir untuk Murni k
57. SCENE 57 INT, DALAM BUS WARGA BARU, SIANG
Dalam perjalanan menuju Jakarta, Hamid dipenuhi rasa kekecewaan yang mendalam. Begitu pedih kenyataa
58. SCENE 58 EXT, TERAS RUMAH CING INAH, MALAM
Saat Ibu Hamid dan bibinya mencoba menghibur Hamid di tengah kekecewaannya, tiba-tiba Asih menelepon
59. SCENE 59 EXT, PESTA PERNIKAHAN, RUMAH MURNI, PAGI
Tampak di pagar rumah Murni janur kuning yang sudah melengkung. Di bawahnya ada sebuah kertas putih
60. SCENE 60 EXT, AREA PESAWAHAN, KARAWANG, SIANG
Hamid menelusuri area persawahan melalui pematang sawah untuk menemui Asih. Asih menganggap niat Ham
61. SCENE 61 INT, RUMAH BI FITRI, KAMAR LIA DI LANTAI 2, SORE
Lia berada dalam kekecewaan setelah beberapa laki-laki yang datang kepadanya semuanya belum direstui
62. SCENE 62 EXT/INT, MUSHALLA, KARAWANG, DZUHUR
Di luar dugaan, Hamid yang memang sudah tidak sudi lagi bertemu Murni karena akan menambah kekecewaa
63. SCENE 63 EXT, WARUNG ASIH, SORE
Hamid bertemu Lia di dekat warung Asih. Entah kenapa, tiba-tiba dalam hatinya sempat terbesit bahwa
64. SCENE 64 EXT, RUMAH CING INAH, PAGI
Setelah perjuangan yang sulit dan menantang, akhirnya Hamid diwisuda
65. SCENE 65 EXT, RUMAH CING INAH, TERAS, PAGI
Hamid merasa kesepian selalu sendiri setelah sekian lama tak percaya lagi dengan wanita. Kali ini ia
66. SCENE 66, PERUM MAYANG PRATAMA, BEKASI, SIANG
Saat Hamid menemui Lia di rumah Bi Fitri, ia mencoba bertanya kepada Lia tentang calon pendamping hi
67. SCENE 67 EXT, RUMAH NENEK LIA, PAGI
Hamid akhirnya bersanding dengan Lia di depan penghulu dan mengucapkan ijab kabul
68. SCENE 68 EXT/INT, RUMAH BARU, BOGOR
Setelah perjalanan hidup yang penuh liku dan terumbang ambing dalam lautan ketidakpastian, kini saat
15. SCENE 15 EXT/INT, LUMBUNG PADI, KARAWANG, SENJA

Tampak sebuah lumbung padi yang cukup besar. Dindingnya terbuat dari seng, beberapa bagian seng sudah terlihat berkarat. Di belakangnya hamparan sawah yang luas. Lumbung itu terlihat usang, sudah tidak digunakan lagi. Di depan lumbung, tampak Hamid duduk di atas motor astrea grand warna hitam sambil membuka kembali surat dari Murni. Sesekali ia menatap jauh ke arah tikungan jalan. Ya! Ada seseorang yang ia nanti-nantikan. Siapa lagi kalau bukan Murni.

Tidak lama kemudian tampak seorang gadis mengendarai sepeda biru tahun 98-an dengan santai dari arah tikungan jalan. Mata Hamid menatap tajam sambil mengernyitkan dahinya. Ia segera melipat surat yang dibawanya dan memasukkannya ke dalam amplop. Gadis itu semakin dekat. Sepeda warna biru, kaos panjang warna krem dan rok panjang batik warna hitam dengan hiasan bunga rampai membuatnya terlihat makin feminim. Rambut hitamnya yang panjang dan lurus terurai dengan indah pada bahunya. Sepeda itu segera masuk ke depan parkiran lumbung padi. Ia menyandarkan sepedanya tidak jauh dari motor Hamid sambil menoleh ke arah Hamid dan tersenyum. Hamid membalas senyumnya.

Murni : Dari tadi kak?

Hamid : Ah enggak, baru lima menit yang lalu (sambil beranjak dari duduknya. Di tangannya masih tergenggam surat dari Murni)

Murni : Lho itu seperti surat dari Murni ya kak? Kenapa dibawa-bawa?

Hamid : (tersenyum) Ya, ini memang surat dari kamu. Kaka sengaja mengajakmu bertemu di sini Mur. Ada hal penting yang akan kita bicarakan. Yuk di dalam saja, tidak enak di sini dilihat orang yang lewat.

Mereka masuk ke dalam lumbung padi. Hamid masuk terlebih dahulu, Murni berjalan di belakangnya. Pintu lumbung padi yang bagian depan dan belakangnya sangat terbuka lebar itu membiarkan angin sawah sepoi-sepoi masuk dan keluar dengan bebas.

Di dalam sudah ada dua buah kursi besi lipat yang sudah usang. Hamid meniup debu yang ada di salah satu kursi tersebut, lalu memberikannya pada Murni. Kemudian ia juga meniup debu yang ada di kursi yang lain dan langsung ia duduki. Saat ia baru saja duduk, ia langsung berkata:

Hamid : Jadi, apa benar kamu mau pergi ke Brunei Mur?

Murni : Iya kak (sambil menunduk)

Hamid : (mendesah, diam beberapa saat sambil membolak balik amplop Murni yang berisi surat darinya). Kamu sudah yakin? (mengernyitkan dahinya)

Murni : Insya Allah Murni sudah yakin Kak . . .

Hamid : Murni tega meninggalkan Kakak?? (menajamkan alisnya)

Murni : (Tersenyum)Lho . . . yang meninggalkan kakak itu, siapa kak?

    Murni ke sana kan untuk mencari kegiatan aja, sedangkan di sini Murni sudah lulus sekolah, masak mau nganggur?

Hamid : Ya kan bisa melanjutkan sekolah dulu ke tingkat yang lebih tinggi?

Murni : Inginnya sih begitu kak, tapi . . . (pandangannya perlahan keluar lumbung menatap hamparan sawah yang luas, menghela nafas). Kakak tahu sendiri, aku bukanlah seperti kebanyakan orang yang hidup serba berkecukupan . . . aku harus merubah nasibku kak . . (menajamkan alisnya)

Hamid : (Menghela nafas) Seandainya saja Kakak sudah bekerja . . . (terdiam sambil menatap jauh ke arah hamparan sawah)

Murni : Kenapa kak?

Hamid : Kalau Kakak sudah bekerja tentu tidak begini ceritanya Mur. Pasti Murni sudah Kakak bawa pergi. Atau meneruskan sekolah dengan bantuan Kakak. Nah apa mungkin kakak akan meneruskan kuliah sambil bekerja sehingga nanti kakak bisa mendapatkan uang dan kakak bisa mensupport kamu Mur. Tapi ya kendalanya kakak harus melanjutkan pengabdian dulu dan di sana itu kan memang tulus untuk pengabdian, artinya bukan bekerja. Mungkin nanti setelah pengabdian sekitar setengah tahun lagi, insya Allah kakak akan bisa segera mencari kerja Mur

Murni : Sudahlah Kak, tak ada gunanya berandai-andai. Mungkin sekarang memang bukan saatnya kita bersama Kak. Anggap saja perpisahan sementara ini sebagai proses pematangan diri kita masing-masing . . .

Hamid : (tersenyum) wah. . . ternyata cara berpikirmu lebih bagus daripada Kakak Mur! (menggeleng-gelengkan kepalanya)

Murni : Ah, mungkin saya kebetulan lagi bener aja Kak! hi hi hi!

     Oh ya Kak, hari sudah mulai sore, Murni harus membantu ibu memasak . . .

Hamid : Hm m m m h h Mengapa Kakak terasa berat melepasmu ya Mur??

     Kita memang sudah dua tahun menjalin hubungan ini, tapi kita kan jarang sekali bertemu muka. Paling hanya setahun dua kali. Itu artiya baru empat kali kita bertemu yang sesungguhnya.

Murni : Ahaai sesungguhnya... hi hi hi!.. Kakak bisa aja deh... Emang kalau ketemu di jalan kalau Murni mau ke warung itu bukan sungguhan ya?!

Hamid : Ya sungguhan sih sungguhan.... tapi yaaah...... cuma sebentar, kurang puas rasanya Mur! (menundukkan wajah sambil senyum)

Murni : Ya ayo bawa nih makanya ha ha ha!.....

Hamid : Ya itu dia tadi Mur yang kakak bilang, kalau kakak sudah ada pekerjaan, tentu bukan seperti ini kisahnya, toh?

Murni : Toooh... hi hi hi!

Hamid : Yeee... nih anak malah becanda. Orang lagi beduka dan bingung begini...

Murni : Iyaaa Murni paham kok kak (sambil tersenyum)

Hamid : Waduh senyumnya.... bikin ge er aja nih. Lihat tuh sebelah sana mentari ikut tersenyum. Itu kayak lagu Tommy J Pisa Mur, dengan judul Senja Nan Merah, Lagunya begini nih...”Mentari pun turut tersenyum... di saat kau lempar senyumu padaku....

Murni: Diiih... aneh tuh... apa iya, senyum kok di lempar, bola kali ah yang dilempar ha ha ha!

Hamid : Bener nih Mur kakak berat banget melepas kamu (menatap Murni dan segera melipat kedua bibirnya ke dalam sambil menajamkan alisnya)

Murni : (Terdiam membisu dan menunduk seperti sedang memikirkan sesuatu. Suasana hening beberapa saat. Tidak ada suara kecuali hembusan angin sawah yang menembus dinding-dinding lumbung padi)

Hamid : (melanjutkan kata-katanya) Apa kamu sudah siap tinggal di sana, sama siapa di sana, bagaimana lingkungan di sana. Dan bagaimana di sana kalau ada cowok yang ganteng, gagah, kaya raya dan dia suka sama kamu Mur. Kamu tuh cantik dan baik. Sementara aku ini masih belum terlihat jelas jalanku. Di pondok aja baru lulus belum kuliah...belum bekerja, dan....

Murni : Nah.. Nah... Nah... Kalau kakak berpikiran seperti itu bagaimana hubungan kita akan baik, kak. Kakak lho yang berkata seperti itu, bukan Murni. Bagaimana kalo kejadiannya nanti seperti yang kakak bilang, hayoooo...

Hamid : Astaghfirullah.... ih iya ya, ngeri juga sih...

Murni : Kalau menurut Murni, kita jalani saja dulu kak masing-masing. Hindari dulu keraguan yang ada. Itu kan bagaimana kakak saja yang mengatur diri kakak. Kalau kakak diliputi kecemasan seperti itu, nanti cita-cita kakak bisa terganggu karena belajar dan berkegiatan juga tidak akan maksimal.

Hamid : Ia Mur, mohon maaf kalau kata-kata kakak ini mungkin berlebihan. Semua itu karena kakak terlalu khawatir akan dirimu

Murni : Tenang aja kak, Murni tidak akan melupakan kakak kok. Kakak juga orang yang Murni kenal dengan baik. Murni akan ingat selalu dengan kebaikan kakak yang kakak selama ini berikan kepada Murni. Kalau memang kita berjodoh, pasti kita kan dipertemukan kembali kak

Hamid : Menganguk-angguk perlahan, kemudian berucap : “Amin...”

Keduanya menunduk dan terdiam beberapa saat. Perlahan keduanya saling bertatapan mata seolah sama-sama berat berpisah. Hamid memegang tangan kanan Murni lalu dipegangya erat-erat, dan berkata:

Hamid : Murni. . . jangan lupakan kakak ya . . .(nada bicaranya seperti tersendat menahan tangis, matanya berkaca-kaca dan berusaha menahan tangis)

Murni : (tersenyum, matanya berkaca kaca, namun ia juga berusaha menahan tangisnya)

     Tidak kak, Murni tidak akan melupakan Kakak. . . Oh ya, Murni ada sesuatu untuk Kakak. Sesuatu itu bukanlah barang berharga, tapi itu benda kesayangan Murni.

Lagu pengiring untuk adegan di bawah: Senja Nan Merah, Tommy J Pisa

Senja itu tak pernah ku lupa

Dikala aku sedang merajut cinta

Ketika mentari merah mewarnai awan

Disanalah hatiku lalu terlena

Mentaripun turut tersenyum

Di saat kau lemparkan senyummu padaku

Adakah rasa rindu di balik tirai hatimu

Pintu hatiku terbuka untukmu

Masih ingatkah engkau dikala mentari mulai menepi

Di hamparan rumput nan luas menghijau

Kau genggam erat tanganku kau peluk diriku

Masih ingatkah engkau di kala mentari mulai menepi

Di hamparan rumput nan luas menghijau

Kau genggam erat tanganku kau peluk diriku

Adegan:

Murni melepas sesuatu dari jari kelingking di tangan kirinya. Benda itu adalah cincin tembaga yang dulu pernah disebut-sebutnya saat pertama kali ia kirim surat ke Hamid sewaktu Hamid di pondok. Perlahan ia raih tangan kiri Hamid dan memasukkannya ke jari kelingking Hamid dan menatap Hamid sambil tersenyum. Hamid membalas senyumnya dengan mata yang masih berkaca-kaca sambil menahan tangis.

Murni langsung bergegas keluar lumbung menuju sepedanya. Hamid menatap tak berkedip. Ia mengikuti langkah Murni perlahan. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Bibirnya terkatup rapat. Murni menaiki sepedahnya, lalu mengayuhnya dengan segera menuju jalan utama. Murni perlahan makin jauh, tangannya terlihat menyeka air mata. Rambutnya yang hitam dan panjang melambai tertiup angin senja. Ia segera lenyap di tikungan jalan. Hamid berdiri mematung di depan lumbung. Pandangannya perlahan tertuju pada cincin yang melingkar di jari manisnya yang sebelah kiri. Tangan kanannya perlahan memegang cincin itu dengan gemetar. Satu tetes air mata tepat jatuh di atas cincin yang akan ia pegang. Hamid memegang dan memutar-mutarnya. Lagi . . . air matanya menetes di atas cincin tersebut.

(BCU: Dari cincin naik ke dada, leher, hingga wajah Hamid dengan air mata yang berlinang). Hamid menyeka air matanya, menghela nafas dalam-dalam dan langsung menuju motor bututnya. Hamid segera menghidupkan mesin motornya dan melaju menuju jalan raya untuk pulang ke rumah bibinya.

(Lumbung padi tempat Hamid dan Murni bertemu)

(Lumbung padi tampak dari luar)

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar