The Broken Feathers
Daftar Bagian
1. BAB 1: WINTER HOUSE
Irianti Hartono, mencari pertolongan kepada Dr. Wu, atas permasalahan yang sedang ia hadapi.
2. BAB 2: SUAKA
Irianti meminta tolong kepada temannya agar bisa mengeluarkan ia dari majikannya yang jahat. Asih, t
3. BAB 3: IRIANTI HARTONO
Rumah tangga Irianti di ujung tanduk. Ia mencoba mengambil keputusan untuk berpisah. alasannya: sadi
4. BAB 4: KEPERGIAN YANG TERGESA
Irianti memutuskan untuk pergi dari samping Indrawan. Ia sudah tak tahan lagi dengan kelainan yang d
5. BAB 5: PANGLIMA ADYAKSA
Panglima dan Ajeng adalah sepasang suami istri yang hubungan harmonisnya mulai sedikit goyah. Ajeng,
6. BAB 6: API DALAM SEKAM
Ada yang tidak beres dengan Ajeng. Panglima merasa bahwa tingkah laku istrinya itu sudah tidak seper
7. BAB 7: DOKTER ANDREAWAN SEPTANU
Dokter Andre tengah intens mengobati salah seorang pasien perempuan pengidap leukimia hingga waktuny
8. BAB 8: TANDA TANYA BESAR
Ibu Panglima menyadari bahwa ada yang salah dengan rumah tangga anaknya. Ia yakin ada yang salah den
9. BAB 9: SEMESTA RAYYA
Rayya merasa sedang terjebak Writer block, naskah yang harusnya selesai masih mangkrak. Ia mulai dit
10. BAB 10: LOG IN
Rayya memutuskan untuk mengunduh aplikasi karaoke online sebagai upayanya mencari suasana baru ketik
11. BAB 11: AFFAIR
Panglima semakin yakin bahwa Ajeng sedang ada main. Ia berusaha mendengar saran dari teman aplikasin
12. BAB 12: ALIBI
Panglima menghadapi situasi sulit, ketika ia menduga bahwa istrinya sedang selingkuh, fakta lain men
13. BAB 13: DEPORTASI
Irianti menghadapi permasalahan serius. Ia sedang dicari pihak kepolisian Taiwan karena dianggap seb
14. BAB 14: DIAGNOSIS
Panglima curiga dengan hasil pemeriksaan tes lab yang menyatakan Ajeng menderita leukimia. Sejauh in
15. BAB 15: DUSTA
Serapat apa pun menyembunyikan kebusukan, pada akhirnya akan tercium juga. Itulah yang kini dialami
16. BAB 16: PENGAKUAN
Ajeng pada akhirnya mengakui apa yang sebenarnya yang sudah ia lakukan. Hasil pemeriksaan lab penyak
17. BAB 17: SIMPANG JALAN
Panglima harus mengambil keputusan, antara harus bertahan atau melepaskan hubungannya dengan Ajeng.
18. BAB 18: BALASAN YANG SETIMPAL (ENDING)
Dokter Andre hilang, Ajeng terus mencari keberadaan calon ayah anaknya itu, tapi tak berhasil menemu
8. BAB 8: TANDA TANYA BESAR

EXT. to INT. Koridor rumah sakit menuju ruangan kantor. Pukul 12.30

Selepas melamar pekerjaan di salah satu perusahaan, Panglima berinisiatif untuk mampir ke rumah sakit tempat istrinya bekerja. Ia sengaja melakukannya tanpa memberitahu istrinya terlebih dahulu. Ia pikir hanya mampir sebentar, atau sekadar mengajak istrinya makan siang.

Panglima hampir mengetuk pintu kalau saja pemandangan di dalam kantor tidak membuatnya sedikit tercenung. Istrinya, Ajeng tengah duduk membelakangi pintu masuk, sementara di hadapannya seorang pria berjas putih tengah bicara lirih. Mereka tak memerhatikan sama sekali keberadaan seseorang di bingkai pintu.

Sebenarnya pemandangan demikian tidak akan membuat Panglima terkejut kalau saja ia tak melihat tangan istrinya tidak sedang mengusap paha lawan bicaranya yang tengah berbicara.

Panglima tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan, hanya saja dari cara mereka berbincang dengan disertai tawa genit Ajeng, terdengar begitu intim. Panglima sedikit terbakar api cemburu di dadanya. Ia inginnya masuk dan membuat mereka tersentak. Hanya saja ia coba mengendalikan emosinya dan berpikir bahwa apa yang ia lihat tidak seperti yang dirinya pikirkan.

Panglima coba menimang-nimang keputusannya: antara terus masuk, atau balik lagi. Akhirnya Panglima memutuskan. Ia mengetuk pintu.

Panglima (Mendeham): “Assalamualaikum.”

Di dalam ruangan, Ajeng dan si pria tampak sedikit terkejut. Mereka berjengkit dan saling menjauhkan kedekatan tubuh mereka. Obrolan mereka terhenti. Ajeng membalikkan wajah dan terkejut. Ada kegugupan terpancar dari kedua bola matanya.

Ajeng (Masih tampak gugup): “Oh, Mas Panglima … masuk, Mas, eu … tumben mampir, kenapa, Mas, ada hal pentingkah? Perihal Ibu?”

Panglima (Masih berdiri di bingkai pintu): “Enggak, Dek, Mas, Cuma mampir, kok. Lagi rapat, kah, Dek?”

Ajeng (Bangkit): “Eu … enggak, kok, Mas, hanya sedikit pembahasan perihal pasien. Eu … maaf, Mas, perkenalkan ini Dokter Andre.”

Dokter Andre mengangguk, kemudian menyorongkan tangan. Panglima segera menjabatnya.

Panglima: “Oh, gitu, ya. Ya, udah lanjutkan saja dulu, mas tunggu di luar.”

Dokter Andre (Tersenyum): “Nggak, kok, Mas. Sudah selesai. Silakan saja kalau ada perlu sama Ajeng. Saya ke ruangan dulu ya, Jeng, Mas. Permisi.”

Dokter Andre gegas keluar dari ruangan meninggalkan Ajeng yang tampak semakin gugup. Panglima mencoba menetralisir keadaan. Ia mencium kening istrinya itu dengan mesra.

Panglima: “Kamu kenapa, Dek, kayak gugup gitu.”

Ajeng (Menggigit bibir bawahnya): “Adek takut Mas berpikir macam-macam soal barusan.”

Panglima (Tertawa, meski dalam hatinya rasa curiga itu ada): “Nggaklah, Dek. Sudah makan? Kalau belum, Mas mau traktir Adek makan. Boleh?”

Ajeng (Tampak ragu): “Memang Mas ada duit?”

Panglima: “Dek, Mas mohon, jangan bahas itu lagi, ya.”

Ajeng mengangguk kemudian. Mereka keluar dari ruangan.

 

 

CUT …

 

INT. Ruang keluarga Ibu Panglima. Pukul 09.35

Panglima memutuskan pergi sendiri ke rumah ibunya meski istrinya tak kunjung bisa. Alasan Ajeng masih sama: sibuk. Padahal mengunjungi ibu mertuanya plus pemeriksaan kesehatan ibu mertuanya menjadi jadwal wajib yang biasa Ajeng lakukan. Sekali ini tidak.

Sebelum berangkat, Panglima kembali memohon kepada istrinya untuk bisa pergi. Hasilnya sama sekali tidak bisa. Panglima yang tidak pernah suka perdebatan, lebih memilih mengalah. Ia akhirnya memutuskan untuk pergi sendirian.

Hamidah (Menghampiri Panglima yang tengah makan camilan): “Sehat kamu, Nak? Lama nggak datang berkunjung, kamu dan istrimu apakah baik-baik saja?”

Panglima (Tersenyum): “Alhamdulilah, Bu. Saya dan Ajeng baik-baik saja.”

Hamidah (Menggeser duduknya): “Kamu yakin, Nak? Kok, ibu malah merasa kalau kalian sedang tidak baik-baik saja. Apakah itu benar?’

Panglima (Menatap ibunya penuh selidik. Ia yakin bahwa ibunya tahu sesuatu yang salah sedang terjadi dengan rumah tangga anaknya): “Kami baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit kesalahpahaman, Bu, tapi bukan masalah besar. Mungkin karena posisi saya yang lagi nggak kerja, Bu.”

Hamidah (Menatap Panglima dengan tatap haru): “Yakin cuma masalah itu saja, Nak? Tidak ada yang lain?”

Panglima (Mencoba tersenyum): “Ibu nggak usah kuatir. Kami baik-baik saja, kok. Percaya, deh, sama Panglima.”

Hamidah (Mengembangkan senyum): “Hati kecil seorang ibu tidak bisa dibohongi, Nak, tapi mudah-mudahan apa yang kamu katakan itu benar, Nak. Oh, iya, Ajeng kenapa nggak ikut? Bukankah jadwal periksa ibu sudah lama lewat, ya?”

Panglima: “Oh, iya, Bu, salam dari Ajeng, ia menitip permohonan maaf karena belum bisa datang berkunjung serta memeriksa kesehatan Ibu.”

Hamidah: “Oh, iya, Nak. Nggak apa-apa. Berhubung ibu sudah tak tahan dengan rasa sakit yang ibu derita, kemarin ibu jadinya periksa ke rumah sakit.”

Panglima: “Oh, iya, Bu, sekali lagi, maafkan Ajeng. Ia benar-benar lagi sibuk akhir-akhir ini.”

Hamidah (Tersenyum): “Nggak apa-apa, Nak. Ibu mafhum, kok. Oh, iya, Nak. Kemarin ibu periksa diantar adikmu. Periksa di rumah sakit tempat Ajeng kerja.”

Panglima: “Oh, ya? Bertemu istri saya nggak, Bu?”

Hamidah: “Ya. Ibu melihat Ajeng di koridor. Mau ibu hampiri nggak jadi, Nak. Jadi tidak sempat menyapa dan berbincang dengannya.”

Panglima: “Lho, kok, nggak jadi, kenapa memang, Bu?”

Hamidah (Termenung sesaat): “Ajeng lagi serius berbincang dengan seorang dokter, jadi ibu takut ganggu.”

Panglima (Melenguh): “Oh.”

Hamidah (bangkit dari tempat duduk): “Ya, udah, Nak. Ibu mau lihat dulu kerjaan Bapak. Kalau mau makan, ibu sudah siapin, kok.”

Panglima: “Oh, iya, Bu. Terima kasih, ya, Bu.”

 

Panglima termenung kemudian. Ia merasa bahwa ibunya sedang menyembunyikan sesuatu perihal Ajeng. Di mana pun Ibu bertemu Ajeng, biasanya Ibu akan menyapanya meski Ajeng tak melihat keberadaan Ibu sama sekali. Ini tidak. Pasti ada sesuatu yang salah. Inginnya Panglima bertanya perihal Ajeng kepada ibunya, tapi ibunya itu tergesa gegas. Perihal dokter itu, Panglima membatin, mungkin dokter yang dimaksud oleh ibunya itu adalah dokter yang sama yang tempo hari bersama Ajeng di ruangan. Mungkin.

 

 

CUT …

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar