EVERNA Rajni Sari - Putri Penyihir dari Pulau Dewata
Daftar Bagian
1. Perkenalan
PERKENALANEXT. TERRA EVERNA - BERAGAM PEMANDAN
2. Barong - Bagian 1
PROLOG - BARONG, SANG SINGA SUCIEXT. GUNUNG ID
3. Barong - Bagian 2
RANGDABagus! Kau pantas melihat wujud asliku sebel
4. Barong - Bagian 3
EXT. GUNUNG IDHARMA - LOKASI ERUPSI - SIANGRangd
5. Sari - Bagian 1
EXT. KOLAM TERATAI ISTANA - SIANGTak seorang pun
6. Sari - Bagian 2
EXT. BALAIRUNG ISTANA - MALAMMalam itu semarak d
7. Jaka - Bagian 1
EXT. DAERAH ISTANA - SIANGMatahari memancarkan s
8. Jaka - Bagian 2
EXT. BALAIRUNG PENDOPO ISTANA - MALAMFestival Ga
9. Lastika - Bagian 1
EXT. RUMAH LASTIKA - SIANGSari keluar dari rumah
10. Lastika - Bagian 2
EXT. CANDI KHARAYAN - SIANGSuasana sedih sangat
11. Airlangga - Bagian 1
EXT. TAMAN ISTANA - SIANGSari yang masih berduka
12. Airlangga - Bagian 2
INT. PENJARA KHUSUS - SIANGSari tersentak bangun
13. Nira dan Tuba - Bagian 1
EXT. KERATON ASTANA NUSA - MALAMSari dan Jaka me
14. Nira dan Tuba - Bagian 2
EXT. GUBUK JAKA - ATAP - PAGIMatahari terbit, me
15. Giri
EXT. HUTAN USANGHA - SIANGSari dan Jaka mendapat
16. Ki Rukah
EXT. HUTAN USANGHA - MALAMHutan jati yang lebat
17. Hanoman
EXT. DESA WANARA - SIANGSari, Jaka, dan pasukan
18. Taksaka - Bagian 1
INT. DESA WANARA - RUMAH RUKAH - SIANGPerlahan J
19. Taksaka - Bagian 2
TAKSAKASelamat datang di perbatasan antara Hutan U
20. Ni Dyah - Bagian 1
EXT. TEPI GUNUNG - SIANGPertarungan telah berakh
21. Ni Dyah - Bagian 2
EXT. PONDOK KAYU NI DYAH - SIANGMata Sari terbuk
22. Duhita - Bagian 1
EXT. PONDOK NI DYAH - MALAMSuasana tenang Danau
23. Duhita - Bagian 2
SARI(tegas)Jangan salah sangka. Kami sengaja membi
24. Isyana - Bagian 1
EXT. DANAU TARUB - PAGISari mengumpulkan kekuata
25. Isyana - Bagian 2
EXT. DANAU TARUB - BAWAH AIR - SIANGNaga air rak
26. Ajnadewi - Bagian 1
EXT. DANAU TARUB - SIANGNi Dyah, sosok lemah nam
27. Ajnadewi - Bagian 2
ISYANA(meremehkan)Kalau begitu, apa yang akan kau
28. Ajnadewi - Bagian 3
EXT. DANAU TARUB - PAGIPerahu meluncur melintasi
29. Calon Arang - Bagian 1
EXT. BALE GEDE - LEMBAH POHON TENGKORAK - SIANGS
30. Calon Arang - Bagian 2
EXT. JALUR HUTAN - LEMBAH POHON TENGKORAK - SIANG
31. Bhadara - Bagian 1
EXT. TEPI DANAU TARUB - SIANGJaka yang kelelahan
32. Bhadara - Bagian 2
INT. RUANG TAHTA - ISTANA ASTANA NUSA - SIANGWak
33. Agastya - Bagian 1
INT. RUANG BAWAH TANAH - LEMBAH POHON TENGKORAK -
34. Agastya - Bagian 2
EXT. MEDAN PERTEMPURAN - SIANGTentara Rainusa be
35. Rangda - Bagian 1
EXT. MEDAN PERTEMPURAN - SIANGPertempuran Karang
36. Rangda - Bagian 2
EXT. MEDAN PERTEMPURAN - SIANGJantung Sari berde
37. Ardani - Bagian 1
EXT. RUANG AJNADEWI - SIANGArdani, Putra Mahkota
38. Ardani - Bagian 2
EXT. DAERAH KUMUH KAMPUNG OGOH-OGOH - SIANGSari
9. Lastika - Bagian 1

EXT. RUMAH LASTIKA - SIANG

 

Sari keluar dari rumahnya, bersiap menemui Jaka, namun mendapati Jaka berdiri di depan pintu rumahnya. Wajah Jaka yang muram menimbulkan kekuatiran.

 

SARI

(terkejut)

Apa yang terjadi, Jaka?

 

Ekspresi Jaka tetap muram saat menyampaikan kabar tersebut.

 

JAKA

Tuan Putri diminta datang ke kamar utama istana.

Yang Mulia Raja sakit beberapa hari ini. Tak seorang pun tahu penyakit apa yang beliau derita. Tabib kerajaan telah memberi pengobatan terbaik, tetapi kondisi Yang Mulia Raja malah tambah parah. Baru tadi aku tahu Yang Mulia tak tertolong lagi dan mungkin akan segera meninggalkan dunia ini.

 

Air mata menggenang di mata Sari ketika kenyataan nasib ayahnya yang akan datang menimpanya.

 

SARI

(dengan menangis)

Astaga, Ayahanda... Pantas saja akhir-akhir ini Ibunda sibuk merawatnya dengan setia. Tapi tetap saja...

 

Kata-kata Sari terhenti, diliputi emosi. Air mata mengalir di wajahnya tak terkendali. Jaka secara naluriah mengulurkan tangan untuk menyeka air matanya, namun ragu-ragu, menghargai kebutuhan Sari untuk memproses perasaannya. Menunggu hingga Sari siap menghadapi kenyataan.

 

Jaka tetap diam, berdiri di sampingnya, memberikan dukungan di hadapannya yang diam.

 

CUT TO:

 

 

EXT. KAMAR TIDUR RAJA - SIANG

 

Langkah Sari terasa berat saat ia memasuki kamar tidur Raja, tatapannya tertuju pada sosok yang terbaring lemah di atas tempat tidur mewah berukir emas. Raja Rainusa, Marakata, yang dahulu bersemangat, kini tampak lebih tua dari usianya—kulit pucat, kerutan dalam di wajahnya, dan tubuh yang lemah dan kurus. Lastika, ibu Sari, berlutut di sampingnya, air mata berkaca-kaca namun ekspresinya tenang. Ratu dan Putra Mahkota berdiri di dekatnya, menangis dengan sedihnya.

 

MARAKATA

(lemah)

Lastika, sejak pertama kita bertemu, kau selalu memukauku dengan kecantikan, kecerdasan, dan ketegaran hati tiada tara. Itulah yang membuatku jatuh cinta padamu pada pandangan pertama.

 

Suara Raja bergetar, berjuang untuk mempertahankan kekuatannya.

 

MARAKATA

(masih lemah)

Sayang, statusmu yang bukan bangsawan tak memungkinkan dirimu menjadi permaisuri, apalagi ratu. Karena itulah, demi rakyat aku menunjukmu, Lastika sebagai Wali Negeri sementara. Kau harus memerintah negeri dan membimbing Putra Mahkota Ardani sampai dia cukup matang untuk menjadi penggantiku. Setelah Ardani menjadi raja, kau berhak mendampinginya sebagai penasihat.

 

Ekspresi Lastika tetap tidak berubah, air matanya mengalir deras saat dia menjawab dengan tekad yang tak tergoyahkan.

 

LASTIKA

(dengan menangis)

Hamba bersumpah akan melaksanakan kehendak Yang Mulia sebaik-baiknya.

 

Suara Marakata semakin melemah, kata-katanya kini pelan dan berat.

 

MARAKATA

(berjuang)

Baguslah, kini... sebagian beban jiwaku...

terangkat sudah. Dimana Rajni Sari?

 

Sari, yang berdiri di ambang pintu, merespons dengan suara gemetar.

 

SARI

(dengan menangis)

Hamba di sini, Yang Mulia.

 

Senyum tipis dan lemah menghiasi wajah sang Raja.

 

MARAKATA

(lelah)

Kecuali Sari, kalian semua... tinggalkan... ruangan ini...

 

Protes Ratu Ratna, kesedihannya terlihat jelas dalam suaranya.

 

RATNA

(menangis)

Tapi, Yang Mulia, saya dan Putra Mahkota harus tetap di sini.

 

MARAKATA

(tegang secara emosional)

Berani... menentangku?

 

Suara Marakata meninggi, penuh emosi dan ketegangan, menyebabkan dia terbatuk-batuk hebat, lalu tangannya berlumuran darah.

 

RATNA

(takut)

Hamba tak berani.

 

Dengan berat hati, Ratna mundur, memahami konsekuensi menantang keinginan Raja. Lastika, Ratna, Ardani, dan para pelayat lainnya dengan enggan meninggalkan ruangan, kesedihan mereka terlihat jelas. Sari tetap terpaku, pandangannya tertuju pada ayahnya yang sekarat.

 

Setelah hening beberapa saat, Marakata berbicara, suaranya nyaris berbisik.

 

MARAKATA

(lemah)

Mendekatlah... Sari...

 

Sari mendekati ayahnya, berlutut di sampingnya saat ayahnya berbaring di tempat tidur. Nafas Marakata menjadi tidak teratur, kulitnya membiru karena beban emosional.

 

Mata Marakata yang memudar tertuju pada mata Sari, senyuman lemah terbentuk.

 

MARAKATA

(tegang)

Kau secantik... ibumu, Sari. Tapi kau berbeda... darinya.

Ibumu... tegar dan tangguh, tapi kau... tulus dan... lembut.

 

Tangan Marakata yang gemetar membelai wajah Sari sambil memegangnya dengan lembut, air mata pun mengalir deras.

 

SARI

(melalui air mata)

Ayahanda, jangan tinggalkan aku. Aku masih ingin menghibur Ayahanda dengan tarianku.

 

MARAKATA

(bisikan)

Ayah tahu... kau menyayangi Ayah. Kau berlatih keras, menari hingga sempurna... demi Ayah. Maafkan Ayah... yang kurang... memperhatikanmu selama ini. Ayah harus... menyiapkan Ardani... karena dialah yang akan... menanggung beban takhta...

 

Mata Sari menyipit, menunggu kata-kata terakhir ayahnya. Tubuh Marakata gemetar tak terkendali, nafasnya semakin berat.

 

MARAKATA

(bisikan)

Sepanjang hidupku... saat paling bahagia bagiku adalah... saat menyaksikan... tarianmu. Saat itulah Ayah sadar... dunia kita... negeri kita ini... begitu indah. Dan segala keindahan itu... terpusat pada dirimu... dan terpancar lewat tarianmu...

Karena itulah Sari, teruslah menari. Sebarkan keindahan dan kedamaian sejati... ke seluruh negeri. Luluhkan hati... setiap insan... seperti kau telah... meluluhkan hati Ayah.

 

Diiringi satu embusan napas terakhir, Marakata menutup mata untuk selamanya. Tangannya yang tadi membelai wajah Sari jatuh lunglai, tiada lagi daya yang tersisa. Raja Marakata telah mangkat.

 

Air mata Sari mengalir deras saat ia menempel pada tubuh ayahnya yang dingin dan tak bernyawa, tangisnya menggema di seluruh ruangan.

 

SARI

(menangis sejadi-jadinya)

Ayah! Jangan tinggalkan aku! Masih banyak tarian yang ingin kutunjukkan pada Ayah! Andai aku lebih sering tampil, Ayah takkan sakit sampai begini, bukan? Ayah!

 

Wajah Sari terbenam di dada ayahnya, diliputi kesedihan. Suara ratapan memenuhi ruangan sementara yang lain ikut berduka, tapi Selir Lastika, dengan ekspresi tabah, tetap berada di ambang pintu, senyum tipis terlihat di bibirnya, tanpa disadari oleh yang lain.

 

CUT TO:

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
keteennnn keren banget gan
3 bulan 2 minggu lalu