Blind and Bad Rivalry
2. Alkuna


[Scene 1, malam hari, kawasan gedung sekolah terbengkalai, hujan deras]

Dea berlari sangat cepat berusaha menyelamatkan dirinya, dari beberapa orang yang mengejar.

Langkah Dea terhenti saat ia merasa sedang berlari sendirian.

(Dea, memanggil nama Caesar)

"Caesar? Caesar? Kau dimana? Caesar? Tidak bisa begini. Aku harus-,"

(Dea, kembali berlari sembari memikirkan Caesar)

"Aku harus mencarinya."

Langkah Dea terhenti saat mendengar teriakan keras dari Caesar.

(Caesar, meringis kesakitan)

"Dea, pulanglah! Cepat! Cepat pergi dari sini!"

(Dea, memanggil nama Caesar)

"Caesar! Caesar!"

Dea terbangun dari tidurnya. Seketika ia bangkit dan membasuh wajahnya. Menatap ke dalam cermin, dengan wajahnya yang terlihat pucat.

(Dea)

"Aku harus kerumah Caesar."


[Scene 2, rumah Caesar)

Dea kini berdiri didepan rumah Caesar setelah mendapat kabar jika kasus kematian Caesar telah ditutup sebagai kasus bunuh diri.

Dea berjalan masuk, menemui ayah dan ibu Caesar.

(Ibu Caesar menyambut)

"Dea? Dea?"

(Dea)

"Bibi!"

(Kamar Caesar)

Ibu Caesar menatap foto dan kesekeliling kamar Caesar.

(Dea)

"Bibi, cobalah melapor kembali dan tunjukkan vidio itu."

(Ibu Caesar, menangis sembari menatap foto Caesar)

"Aku sudah mengatakannya. Tetapi polisi tak percaya tanpa bukti itu. Bahkan uang dan posisi ayah Caesar tak berguna sama sekali. Padahal selama ini, kami bisa melakukan banyak hal dengan uang dan kekuasaan. Namun untuk Caesar, kenapa tak bisa?"

(Dea)

"Apa malam itu, Caesar menghubungi bibi?"

(Ibu Caesar)

"Ya, kami saling berbicara."

(Ibu Caesar, menceritakan kejadian malam sebelum mayat Caesar ditemukan).

"Malam itu, Caesar bilang akan pulang terlambat karena ada les tambahan. Aku mendengar suara hujan yang deras, sehingga aku yakin jika ia sedang dalam perjalanan menuju ke tempat lesnya. Harusnya, malam itu aku meminta sopir untuk menjemputnya. Namun aku terkejut saat ia berteriak keras dan panggilan seketika berakhir."

Ibu Caesar tampak cemas dan terus menghubungi Caesar kembali. Namun Caesar tak mengangkat telponnya.

"Jangan buat mama cemas, Caesar!"

Tak berselang lama, ibu Caesar mendapat kiriman vidio. Ia sangat terkejut saat melihat putranya disiksa dan dipukuli oleh beberapa orang.

"Caesar! Caesar! Tidak! Putraku! Tidakkkkk!"

"Ma!! Maa... Tolong Caesar ma!! Ma, tolong ma!!!"

(Ibu Caesar menangis ketika mengingat hal itu.)

(Ibu Caesar)

"Entah bagaimana? Riwayat panggilan kami dan vidio itu hilang. Seolah semua telah direncanakan. Aku tak punya bukti apapun, bahkan polisi juga tak menemukan bukti apapun."

Dea tak berani mengatakan masalah malam itu pada ibu Caesar. Alhasil, ia memilih memendamnya sendiri.


[Scene 3, lokasi pembunuhan/kejadian]

Rael menatap ke sekeliling tempat tersebut dengan serius.

(Rael)

"Bunga itu, Actaea pachypoda. Lebih dikenal dengan Doll's Eye. Hmm, malam itu aku juga melihat bunga yang sama didalam tas Aurora. Apa sebaiknya aku ke rumah Aurora? Aku harus kesana."

Tak berselang lama, Dea ternyata juga datang ke tempat itu. Keduanya pun tak sengaja bertemu. Walau begitu, Rael terlihat tak peduli.

(Dea menyapa Rael)

"Apa yang kau lakukan disini?"

(Rael)

"Aku juga akan mengatakan hal yang sama."

(Dea)

"Psikopat, ini ulah psikopat."

(Rael)

"Ini kasus bunuh diri. Aku hanya penasaran, kenapa Caesar mengakhiri hidupnya setelah mendapatkan peringkat satu umum?"

(Dea)

"Bukankah ini mirip dengan yang terjadi pada Aurora?"

(Rael, sedikit cetus)

"Tidak."

(Dea)

"Katakan jika kau tau sesuatu?"

(Rael, kesal, tapi sedikit cemas)

"Ada apa denganmu? Kau terlihat pucat. Kau tak sehat? Atau kau tau sesuatu?"

(Dea, sedikit murung)

"Aku hanya merasa takut. Caesar adalah temanku."

(Rael, kembali acuh dan cetus)

"Tapi kau bukan teman Aurora. Kau dan Caesar adalah salah satu dari sekian orang yang membuli Aurora. Apa sekarang kau mau mengakui hal itu?"

(Dea, sedikit tak nyaman dengan perkataan Rael)

"Aku-, itu!"

(Rael, dengan nada cetus, dan mengejek)

"Pulanglah! Lagi pula, jika kau mati terbakar. Bukankah Aurora lebih tenang. Setidaknya, jika penyebab ia bunuh diri ikut mati. Kalian bisa reunian lalu berbincang dan saling maaf-maafan di alam sana."

(Dea, sedikit kesal)

"Kenapa kau bercanda dalam situasi ini?"

(Rael)

"Berpikirlah Dea. Aku masih yakin, seseorang itu tak tau mengenai orang-orang yang terlibat dalam pembullian Aurora. Akan tetapi, seseorang itu tau jika Aurora dibenci karena posisinya sebagai peringkat satu umum."

(Dea, sedikit antusias)

"Jadi maksud mu, kemungkinan ayah Aurora adalah orangnya?"

(Rael)

"Entahlah. Dia ayah yang baik. Aku rasa tidak tapi mungkin!"


[Scene 4- Tempat tinggal Azriel, ruang kamar]

Azriel membuka beberapa berkas yang tenyata adalah hasil otopsi dari Caesar. Disampingnya juga terdapat layar komputer yang sedang memutar vidio Caesar sedang mendapat pukulan dan siksaan. Azriel kemudian keluar dari ruang rahasia didalam kamarnya lalu memakai hoodie, topi hitam dan berlalu pergi.


[Scene 5, gedung Apartment)

Rael telah sampai di apartment dan hendak berjalan turun ke basement bawah tanah. Tempat Aurora dan ayahnya tinggal.

(Rael, sedikit kesal dan cetus)

"Bisakah kau pulang?"

(Dea, seolah tak menyadari ekspresi kesal Rael)

"Aku ingin ikut."

(Rael, dengan nada kesal)

"Kau ini kenapa sih? Sudah ku bilang, ini tak ada hubungannya denganmu."

(Dea)

"Tapi ini ada hubungannya dengan Caesar. Kau mencoba mencari tau karena Aurora adalah temanmu kan? Maka aku juga sama."

(Rael, sembari menghela nafas)

"Aist, terserah kau saja."

Rael dan Dea turun ke basement, tak sengaja berpapasan dengan seseorang. Hal itu sontak disadari oleh Rael.

(Dea, penasaran dengan ekspresi Rael)

"Ada apa?"

(Rael, tampak penasaran)

"Tunggulah disini."

Rael mengejar seseorang tadi, dan seseorang itu menyadari hal itu. Aksi saling kejar terjadi.

(Rael kesal)

"Aist, sial!"

Rael terus mengejar seseorang tersebut dan berpikir mencari jalan pintas. Alhasil, ia berhasil dan langsung menyerang seseorang tersebut.

(Rael)

"Siapa kau?"

Tak mudah bagi Rael membuka masker seseorang itu. Yang ada, ia malah mendapat serangan balik.

(Rael berpikir)

"Dia berusaha menyerang ku tapi tak berniat menyakiti ku?"

Rael yang seorang anggota taekwondo menyadari jika seseorang didepannya memiliki kemampuan belah diri yang sama dengannya atau mungkin lebih baik darinya. Alhasil, seseorang itu berhasil melarikan diri.

(Rael sangat kesal)

"Asst, sial!"

Rael mendapat telpon dari Dea.

(Rael heran dengan panggilan itu)

"Heh? Dari mana dia mendapat nomor telponku? Halo! Apa?"

Rael segera berlari kembali ke rumah Aurora. Setelah Rael pergi, seseorang tadi membuka maskernya dan tersenyum ke arah Rael.

(Pria bermasker/ Azriel, tersenyum tipis melihat Rael berlalu pergi)

"Sudah kuduga, kau akan ikut campur."

Azriel perlahan mengubah ekpresinya menjadi sangat tajam.

(Basement Aurora)

Rael berlari kedalam rumah Aurora dan terkejut melihat percikan darah dilantai. Dea juga terlihat ketakutan dan memilih duduk dipojokan.

(Rael cemas)

"Dea?"

(Dea, dengan nada terbata-bata)

"I-itu! Di-dia ma-mati..."

Rael sampai jatuh ke lantai saking terkejutnya melihat ayah Aurora yang telah tewas dengan bersimbah darah. Rael bahkan tak bisa berkata-kata lagi. Tepat didinding yang berhadapan dengan Rael. Terdapat tulisan dari darah.

Rael mengambil gambar tulisan didinding rumah tersebut dan segera menghubungi polisi.

(Dea, merasa ketakutan)

"Rael?"

(Rael)

"Kau tunggu diluar."

(Dea)

"Hmm!"

Rael berjalan mendekati tubuh ayah Aurora dengan jarak yang lebih dekat. Rael tak sengaja melihat sebuah tanda di bagian belakang leher ayah Aurora. Membentuk sebuah tato kecil. Rael pun mengambil gambar tato tersebut dan berjalan keluar.


[Scene 6, sekolah]

semua siswa tengah membicarakan mengenai pelaku yang berhasil ditangkap oleh polisi. Membahas tentang pelaku yang bersikeras, jika ia bersama dengan seseorang dan meminta agar seseorang itu segera ditangkap. Menurutnya, seseorang itu adalah pembunuh Aurora dan Caesar. Sementara ia hanya membunuh ayah Aurora karena dendam pribadi.

Rael santai menanggapi berita tersebut. Rael duduk santai diatas rooftop lantai 3, sembari menatap semua siswa dengan teliti. Tak berselang lama, ia mengarahkan pandangannya ke Direktur sekolah PLY. Seorang wanita yang masih cukup muda untuk menjadi seorang Direktur sekolah.

(Rael berpikir)

"Dia-, dia yang membawa Aurora masuk ke sekolah ini. Ia juga cukup dekat dengan Aurora. Hari pemakaman itu, dia juga cukup lama dimakam Aurora dibandingkan yang lain. Tapi, bukan berarti aku harus curiga padanya kan? Aku yakin, pembunuh itu ada disekolah ini. Entah ia seorang siswa atau staf sekolah. Aist, kepala ku jadi sakit karena terus berfikir."

(Dea muncul tiba-tiba)

"Rael?"

(Rael terkejut)

"Oi!! Aist, kau mengagetkan ku. Kenapa? Ada apa lagi?"

(Dea)

"Cetus sekali."

(Rael dengan nada cetus)

"Kau pikir aku akan memaafkan mu atas apa yang telah kau lakukan!"

(Dea, sedikit sedih dengan perkataan Rael)

"Aku tau."

(Rael, berusaha menahan amarahnya, dan berbicara lebih lembut, namun mengintimidasi)

"Hey, apa sekarang kau takut dan tertekan? Caesar sudah merasakan, apa yang dirasakan oleh Aurora selama ini. Kau juga harus merasakannya, agar kau tau! Bagaimana rasanya dibulli dan disiksa tanpa sebab. Nikmatilah, Aurora atau mungkin Aurora masih hidup? Dia adalah sikopat yang kau maksud."

(Dea dengan raut wajah menyesal, dan mulai kesal)

"Cukup Rael. Aku tau, aku salah. Aku bahkan tak bisa memaafkan diriku sendiri. Tapi, tapi aku juga berusaha dalam hidupku. Aku akui yang kulakukan memang salah. Sangat salah, menyiksa orang lain hanya agar mereka tau bagaimana keadaan ku sekarang. Aku tau, aku salah."

(Rael)

"Kau tau alasan, kenapa kebanyakan orang sulit tidur dimalam hari?"

(Dea)

"Untuk menikmati waktu luang!"

(Rael)

"Karena mereka tak puas dengan apa yang mereka lakukan hari itu. Menenangkan diri, menangis lalu tersenyum diwaktu yang sama. Kebanyakan orang berusaha semaksimal mungkin untuk menghadapi dan menjalani sisa hidup mereka. Ada yang mendapat pujian dan juga hinaan. Dua hal itu memiliki kesamaan, yakni orang lain tak tau bagaimana usaha mereka untuk sampai ke titik itu. Apa yang mereka lihat, itulah yang mereka nilai."

Rael berlalu pergi.


Mendengar perkataan Rael tadi, mata Dea seketika berkaca-kaca dan berusaha agar air matanya tak menetes.

(Langkah Rael terhenti sejenak)

"Menangislah! Kau sudah memasuki fase dewasa sekarang. Menjadi orang dewasa dan hidup seperti orang dewasa sangatlah sulit. Jangan memikul semua beban itu sendiri."

Dea kemudian menangis dan terus mengusap air matanya. Terlihat jelas jika Dea sangat tertekan.


[Scene 7, Ruang osis)

Azriel menatap lembaran keluhan dan keinginan para siswa dimejanya sembari sarapan pagi. Walau begitu, cara makan Azriel sesekali membuat anggota osis yang lewat merasa terkejut dan juga heran. Pasalnya, ada sendok dan garpu di sisi piring. Tetapi Azriel memilih makan dengan menggunakan pisau sebagai pengganti sendok makan.

Pintu ruang Azriel terbuka dan terbanting keras saat Rael masuk dan terlihat kesal. Membawa selembar kertas ditangan kirinya.

(Rael sedikit meninggikan nada suaranya.)

"Apa ini? Sejak kapang aku mau mengisi kursi kosong sebagai wakil mu hah?"

(Azriel bergumam dengan santai)

"Duduklah!"

(Rael kesal)

"Tidak mau."

(Azriel bergumam lembut, tetapi sedikit mengintimidasi)

"Duduklah! Jika kau masih punya rasa takut."

Mendengar perkataan Azriel, Rael memilih duduk.

(Rael berpikir)

"Dia sedang mengancamku? Hah, aku bisa dalam masalah jika ayah sampai tau. Aku yakin itu yang sedang dipikirkan oleh Azriel."

Azriel tersenyum lalu berdiri dan menuju ke kulkas. Mengambil dua kaleng air soda. Ia kemudian membuka satu kaleng dan menaruhnya didepan Rael.

(Azriel)

"Kau takut pada ayahmu? Sepertinya itu menjadi kelemahan mu."

(Rael berbicara dengan tegas)

"Aku tak ingin menjadi anggota osis. Apalagi sampai menjadi wakilmu."

(Azriel)

"Minumlah!"

(Rael semakin kesal)

"Az?"

(Azriel bergumam lembut)

"Minum!"

Rael segera meminum air soda tersebut dengan kesal.

(Azriel menjelaskan)

"Bukankah ini akan sangat menguntungkan mu? Kau tau, semua siswa ingin menjadi anggota osis. Namun sangat sulit menjadi anggota osis disekolah ini. Bukan hanya nilai tetapi juga bakat dan kemampuan menjadi pertimbangan untuk masuk ke organisasi ini. Siswa yang berhasil masuk ke organisasi ini, sudah pasti terjamin akan kemampuannya. Bukankah ayahmu akan senang? Pikirkanlah!"

Walau pembawaan Azriel tenang dan selalu berbicara lembut. Bukan berarti ia manusia yang baik dan selembut itu. Yang ada malah sebaliknya.

(Rael kembali berpikir)

"Yang dikatakan Azriel memang benar. Aku juga akan lebih leluasa mencari bukti tentang kematian Aurora. Tapi, jika ku perhatikan. Tatapan Azriel mirip dengan seseorang yang aku kejar kemarin. Walau pelaku telah tertangkap. Aku masih curiga, bagaimana bisa tertangkap dengan mudah?"

(Azriel)

"Bagaimana? Kau tak perlu melakukan apapun. Cukup isi saja kursi yang kosong. Aku hanya tak suka melihat struktur organisasi tanpa nama pemilik."

(Rael)

"Entah apa yang kau rencanakan? Aku tidak peduli. Terserah, aku juga tak mau tau. Kau juga yang akan rugi nantinya."

Rael beranjak pergi dari sana.


Azriel masih menatap Rael dan tampak biasa saja hingga Rael menghilang dari pandangannya. Azriel kemudian membawa lembaran kertas itu keluar menuju ke ruang Direktur.


[Scene 8, ruang Direktur sekolah)

Azriel mengetuk pintu.

(Suara dari dalam ruang)

"Masuk!"

(Azriel masuk kedalam)

"Maaf mengganggu waktu anda."

(Direktur sekolah/ bu Diana)

"Ada apa?"

(Azriel)

"Saya rasa, anda sudah tau! Alasan saya datang kemari."

(Diana)

"Biar ku lihat."

Diana Folger adalah Direktur sekolah dari PLY. Dia juga terkenal tegas selama masa kepemimpinannya disekolah tersebut.

(Diana)

"Apa yang mereka inginkan? Ini tidak masuk akal."

(Azriel menjelaskan)

"Kenapa tidak? Itu keluhan mereka. Bukankah ini cukup menguntungkan sekolah? Jika soal dipersulit dari sebelumnya, dan jumlah soal untuk satu mata pelajaran ditambah menjadi 125 soal. Bukankah itu akan menjadikan PLY School sebagai sekolah unggulan dengan tingkat kesulitan yang lebih? Bukan sekolah ini yang akan rugi, tapi anak-anak itu jika mereka gagal dalam ujian. Begitu pula sebaliknya, mereka tak akan mungkin gagal dan akan berusaha keras."

(Diana tersenyum tipis)

"Jika seperti itu, maka bukan hanya siswa yang akan melakukan ujian. Tetapi juga para staf guru. Kemungkinan terbesarnya adalah mereka akan pensiun lebih cepat dari PLY. Karena tidak mungkin, aku akan membiarkan mereka bertahan. sementara itu, kemampuan mereka kalah telak dari siswanya."

(Azriel)

"Jadi, anda akan melakukan tes pada staf guru?"

(Diana kembali tersenyum)

"Tentu, sama seperti siswa lainnya. Staf guru juga harus melakukan ujian dan bersaing untuk bertahan disekolah ini. Sekolah ini membayar mereka dengan gaji yang fantastis. Tidak mungkin kemampuan mereka tak sebanding dengan apa yang diberikan sekolah ini. Semuanya harus seimbang dan saling menguntungkan. Jika semua siswa takut akan peringkat satu umum, bukankah menarik jika staf guru juga berfikir hal yang sama!"

(Azriel, sedikit serius dengan ekspresi datar)

"Apa yang anda katakan?"

(Diana)

"Ah tidak. Kebanyakan guru sekarang sangat mudah merendahkan muridnya. Seolah-olah mereka adalah raja dan ratu. Sementara muridnya adalah prajurit. Kadang membedakan dari segi bakat, kadang pula dari segi latar belakang ekonomi. Para orang tua juga begitu. Alhasil, bunuh diri adalah cara terbaik untuk diakui."

Azriel mengubah ekpresinya menjadi serius. Sementara Diana menatap Azriel dengan ekpresi tenang dan tersenyum hangat. Azriel kemudian membalas Diana dengan senyuman hangat pula. Azriel kemudian berdiri dan menunduk sekali lalu berbalik keluar.

(Diana)

"Azriel, apa kau pernah mendengar nama latin ini? Lycoris Radiata..."

Langkah Azriel terhenti sejenak lalu berbalik.

(Diana)

"Bunga spider lily, dijepang disebut Higanbana. Kata orang, bunga itu simbol kematian. Tapi itu hanya rumor."

(Azriel, masih dengan ekspresi dingin)

"Lalu?"

(Diana, terlihat mencoba memancing tanggapang Azriel)

"Sama seperti rumor yang lagi menyebar. Itu hanya rumor. Hanya kebetulan saja Caesar menjadi korban setelah menempati peringkat pertama."

(Azriel menjawab singkat, tampak acuh)

"Oh."

Azriel hendak keluar dari ruang Direktur. Tak sengaja ia melihat sebuah pajangan di pot berbentuk pohon 'Namibian Bottle Tree'.

(Azriel berpikir)

"Pachypodium lealii?"

Azriel berbalik ke arah Diana sejenak, dan tak sengaja melihat Diana melepas jasnya. Di belakang leher Diana terdapat satu tato.

Melihat itu, Azriel tersenyum sinis lalu berjalan keluar dari ruang itu.

Sementara disisi lain, Rael juga menatap gambar tato yang sama. Tato yang ia lihat pada bagian leher belakang ayah Aurora.

(Rael)

"Namibian..."

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar