Anonim
Daftar Bagian
1. Prolog
PLATO tertunduk lemah dengan wajah penuh lebam dan luka, mata bengkak, rambut basah acak-acakan, dud
2. Sayembara
Plato dilempar oleh dua sosok misterius ke ruang bawah tanah.
3. Retrospeksi
Saya jadi ingat zaman dulu. Ketak-ketik berisik semalaman. Pakai mesin tik. Itu masa-masa pas novel
4. Euforiateque
Mata Plato terbuka, terbangun dari tidur. Di tangannya masih menempel novel "LAPAR" karang
5. Perjumpaan
Di titik yang sama, tangan mereka berbarengan ingin mengambil buku yang sama. Keduanya kaget. Arum m
6. Pareidolia
Plato mengambil notes kecil. Menatap nomor ponsel Arum. Ia simpan nomor itu ke ponselnya lalu dengan
7. Pesan Kematian
Plato berjalan dengan tergesa-gesa, sesekali menengok ke belakang. Dari arah berlawanan, sebuah mobi
8. Oneiros
Plato dan Arum duduk berhadapan di sebuah meja. Sayup-sayup suara saksofon bernuansa jazz mengalun l
9. Perempuan Masa Lalu
Plato duduk menghadap Jati yang sedang mengaduk teh manis di cangkirnya. Wajah Plato tertunduk. Gest
10. Insiden Malam
Plato maraton di sepanjang sisi jalan. Ia terbayang wajah Sofia.
11. Langit Muram
Jati tak sengaja melirik koran tempo lalu tentang surat pembaca yang dibawa bu Tia. Ia duduk kembali
12. Sang Kelelawar
Gimana kalau selama ini aku sebenarnya bukan orang yang kamu kira?
13. Senjata Rahasia
Sesudah kamu tau semuanya, kamu takut sama aku?
14. Senyuman Terakhir
Arum meniupkan anak sumpit, menancap ke leher Mantra.
15. Post-Credits Scene
Di sebuah penginapan yang nyaman dekat pantai, Damar mengetik sesuatu di laptop.
5. Perjumpaan

48.   INT. TOKO BUKU – SIANG

CAST: PLATO, ARUM

Suasana toko buku cukup sepi.

Plato dan ARUM (25 tahun) menggeser langkah pelan, berhadapan dengan rak novel, fokus melihat-lihat judul buku.

Tangan mereka lantas tak sengaja ingin mengambil buku yang sama. Keduanya kaget. Arum melepas earphone yang menempel di telinga.

PLATO

(senyum)

Silakan, mbak dulu.

Arum senyum rikuh mengambil buku, diikuti Plato kemudian. Keduanya terlihat canggung, membuat sedikit jarak.

Plato menatap Arum, kagum dengan parasnya. Arum terlihat malu. Saat Arum balik menatap, Plato berlagak melihat cover buku dan membolak-balikkannya dengan gelagat seperti kepergok. Arum mengibaskan rambut. Diam-diam Plato menatap Arum lagi. Arum menahan senyum. Ia menatap Plato dan buku yang sedang dipegangnya.

ARUM

Mas...bisa baca kebalik ya.

Plato sekejap tersadar jika bukunya terbalik. Arum menahan geli. Plato salah tingkah.

PLATO

Dulu pernah punya. Belum tamat baca, hilang. Jadi, ya...udah sedikit tahu isinya.

Arum mengangguk pelan, masih menahan senyum sambil agak menggigit bibir.

Setelah jeda sesaat, Arum mengembalikan buku ke tempatnya, hendak pergi.

PLATO

Gak jadi ambil, mbak?

Arum menoleh.

ARUM

Saya gak lagi terburu-buru.

PLATO

Nggak suka genrenya, atau penulisnya?

Arum kebingungan menjawab. Ia tak jadi beranjak.

PLATO (CONT’D)

Biasanya orang mutusin baca buku karena faktor penulis ketimbang penasaran isinya.

ARUM

Hmmm tergantung...kasuistik sih.

ARUM (CONT’D)

Kalau satu buku dikarang oleh penulis terkenal yang pakai nama samaran, kira-kira bakal laku gak?

PLATO

Buku laku kan nggak harus bagus.

Arum tertawa. Plato dan Arum berdiri dengan posisi berhadapan seolah akan berdiskusi.

ARUM

Oke...mas sendiri bakal baca? Bagus gaknya buku apa bisa dilihat dari blurb, atau testimoni?

PLATO

(nada pelan)

Ya, harus dibaca sampai selesai.

ARUM

Persis. Semua kajian, kesan, konklusinya ada di akhir. Itu pun mustahil untuk semua seragam. Ibarat twist ending yang bisa membuat takjub atau justru menyebalkan buat orang lain. Tiap pembaca punya tafsir sendiri.

Plato terlihat makin tertarik.

ARUM (CONT’D)

(mengacungkan telunjuk dan jari tengah sebagai perumpamaan)

“Pengarang mati ketika teks lahir”. Pertanyaannya, dia dibunuh, kena serangan jantung, atau mati bunuh diri?

Sekarang Plato yang ganti kebingungan.

PLATO

Mesti dicari surat wasiatnya.

Arum menahan tawa. Ia kemudian melangkah pelan, sambil melihat-lihat buku lain, ia bicara lagi. Di samping belakangnya, Plato mengikuti.

ARUM

Kritikus sering mencurigai misi dari pesan terselubung karya lewat pembacaan teks. Biasanya karena latar belakang si pengarang. Semacam obsesi. Buat saya, karangan itu dialogis. Mungkin aja, pesan A direpresentasikan oleh tokoh A. Tapi kan ada sekian tokoh lain yang punya perspektif berbeda. Antitesisnya. Itu yang membuat cerita jadi hidup. Dramatis. Dan kita nikmati. Kedengaran ironi sih. Jadi gimana ceritanya satu unsur bisa dianggap juru bicara bagi sekian unsur lainnya, bahkan juru bicara resmi bagi si pengarang?

PLATO

Jadi mbak lebih setuju totalitas unsur dalam sebuah karya, begitu?

ARUM

Kalau mas naksir seseorang hanya karena tergila-gila pada matanya yang bulat jernih bagai telaga perawan atau hidungnya yang bangir, saya bilang itu fetish.

Plato tergelak. Keduanya berpandang-pandangan, lalu saling melengos.

PLATO

Tapi bukannya penilaian objektif diperlukan juga buat, katakanlah, pertanggungjawaban yang sifatnya ilmiah?

ARUM

Saya sebenarnya gak menggemari dikotomi dan perdebatannya. Ilmiah gak ilmiah. Pop atau sastra serius. layaknya musik, film, bahkan politik, sastra itu selera. Perjumpaan dengan sebuah buku itu jodoh. Kecewa setelah membaca, itu nasib.

Keduanya diam sesaat, seolah saling menunggu kalimat satu sama lain.

PLATO

Mmm mbak sering datang ke sini?

ARUM

Lumayan. Di sini suasananya enak sih. Tenang.

PLATO

Suka baca buku apa aja?

ARUM

Hmm apa ya...banyak. Termasuk yang mas lagi pegang.

PLATO

Kanya Ramla?

ARUM

Saya punya buku-bukunya yang lain.

PLATO

Wah. Saya tahunya cuma ini. Buat pancingan nulis sebenarnya.

ARUM

Lho mas pengarang?

PLATO

(agak gugup, teringat sesuatu)

Oh nggak. Saya wartawan.

ARUM

Pantas.

PLATO

Maksudnya?

ARUM

Dari tadi saya kayak diinterview.

PLATO

(tertawa)

Maaf kalau ngrasa begitu. Ga bermaksud.

ARUM

“Buku laku nggak harus bagus”. Pancingan yang jitu.

PLATO

(masih tertawa)

Kamu terlalu menganalisa.

Arum dan Plato terdiam canggung.

PLATO (CONT’D)

Tapi itu blunder.

ARUM

Gak juga..itu pembahasan yang klasik sih. Paradoks idealisme realisme. Selalu menggugah, kan.

PLATO

Omong-omong, pernah baca sastra koran?

ARUM

(sambil tertawa)

Makhluk apalagi itu? becanda. Ya, sesekali.

PLATO

(bernada penasaran)

Koran apa?

ARUM

(seperti memikirkan sesuatu)

Beberapa. Mas wartawan mana?

PLATO

(bernada ragu)

JELAJAH.

PLATO (CONT’D)

Kalau kamu, kerja di mana?

ARUM

Aku desain grafis.

PLATO

Keren.

ARUM

Yah, gak sia-sia sejak kecil ngegambar gunung matahari.

Plato tergelak. Keduanya kembali saling bertatapan sesaat, sebelum melengos dan saling diam.

Arum melirik jam tangan.

PLATO

Mmm saya, boleh hubungin kamu?

ARUM

(berpikir sesaat)

Yaaa, boleh. Kamu...bukan sejenis psikopat, kan?

Plato terkekeh.

PLATO

Karena tato?

ARUM

(Menggeleng, melihat jari dan leher Plato)

Psikopat biasanya rapi dan wangi.

Plato berlagak mencium ketiak. Arum merasa geli, geleng-geleng kepala.

Arum membuka ponsel, memperlihatkan nomornya. Plato mencatat di secarik notes kecil. Arum agak keheranan.

PLATO

Nama kamu...

ARUM

Arum.

PLATO

(berpikir sesaat)

Arum...aku DAMAR.

Arum dan Plato bersalaman.

ARUM

Jangan panggil aku mbak lagi ya.

Keduanya saling melempar senyum.

ARUM (CONT’D)

Aku, kayaknya mesti duluan DAMAR.

Plato melambaikan tangan. Arum pergi.

Plato menatapnya dengan segenap rasa hingga sosok Arum hilang dari pandangan.

CUT TO:

49.   EXT. JALANAN – SIANG

CAST: PLATO

Plato berjalan keluar dari toko buku.

POV PENGUNTIT: mengamati Plato dari kejauhan.

Plato merasa ada yang mengikutinya sepanjang jalan. Ia menoleh ke belakang. Tak ada siapa-siapa.

CUT TO:

50.   EXT./INT. METROMINI – SIANG

CAST: PLATO

Plato naik metromini, duduk agak di bagian depan. Ia membuka bungkusan buku yang baru dibeli. Tersenyum singkat, lalu membacanya.

POV PENGUNTIT: mengamati Plato dari bangku belakang.

CUT TO:

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar