Anemoi
Daftar Bagian
1. Bagian 1
Mata itu. Aku pernah melihat mata itu di suatu tempat sebelumnya. Mata tajam yang berbicara tanpa su
2. Bagian 2
Kenapa berhenti? Permainan gitarmu bagus, aku suka dengerinnya
3. Bagian 3
Sialan, Bu Tita pasti bakal membunuhku!
4. Bagian 4
Tapi seiring berjalannya waktu, aku merasa suaranya semakin mirip dengan suaraku sendiri
5. Bagian 5
Kalau kamu bertanya pada semua orang, aku yakin 'baik' dan 'Sadajiwa' nggak akan ada dalam kalim
6. Bagian 6
Sekarang kamu bahagia nggak?
7. Bagian 7
Aku nggak peduli soal kanker, yang aku peduliin tuh kamu sama masalahmu
8. Bagian 8
Selamat tinggal wajah tampanku
9. Bagian 9
Apa kamu masih nggak bahagia?
10. Bagian 10
Kayanya kamu cukup deket sama dia, ya?
11. Bagian 11
Kita cocok sebagai pasien dan dokter - tentu aja aku harus menyukainya untuk itu. Ada yang salah sam
12. Bagian 12
Apa aku menyukai Dayana? Apa aku menyukai Dayana seperti yang dikatakan Zafia? Apa aku menyukai Daya
13. Bagian 13
Sayangnya aku kaya domino, ya?
14. Bagian 14
Aduh, kalau Prianka aja ditolak apalagi aku? No, thanks!
15. Bagian 15
Aku harus jadi satu-satunya dihidupmu!
16. Bagian 16
Sadajiwa yang bersedia untuk mengatasi kekuranganku dan memperlakukanku layaknya aku adalah manusia
17. Bagian 17
Aku ... apa aku bagimu, Sada?
18. Bagian 18
Dasar dokter gadungan. Aku seharusnya membunuh Dayana juga. Kalian berdua menjijikan!
19. Bagian 19
Aku. . . aku peduli padanya. Aku sangat menyukainya, tapi kami belum sepakat soal perasaan masing-m
20. Bagian 20
Apa dia ... apa Bu Cempaka masih hidup?
21. Bagian 21
Jawabannya tetap nggak, Mas Sada
22. Bagian 22
Hal yang kamu katakan terakhir kali, tentang kita berada di fase yang beda, itu nggak bener, Daya.
23. Bagian 23
Kenapa seorang temen bisa membuatmu kurang tidur?
24. Bagian 24
Kenapa kamu pergi tujuh tahun lalu tanpa pamit, Shan?
25. Bagian 25
Kita baik-baik aja, Shan. Kalau kamu masih khawatir, aku udah melupakan kesalahanmu. Itu semua udah
26. Bagian 26
Seseorang yang sangat mengenal monster dalam diriku
27. Bagian 27
Kamu milik dunia luar, bukan di sini, terjebak dalam kotak putih ini bersamaku...
28. Bagian 28
Kenapa kamu harus bohong sama aku?
29. Bagian 29
Halo, apa ini Tita Mayangsari? Kamu sudah hidup bahagia rupanya sekarang
30. Bagian 30
Kalau dia memutuskan untuk tinggal bersamamu saat dia udah tahu soal itu, biarlah. Tapi kalau nggak,
31. Bagian 31
Berbohong. Begitu banyak kebohongan di antara kita berdua. Berapa banyak kebohongan yang akan kita l
32. Bagian 32
Mudah-mudahan kamu akan menemukan kedamaian di tempat barumu itu, Dayana. Hiduplah dengan baik. Ibu
33. Bagian 33
Sepertinya ada seseorang yang sedang dipermainkan...
34. Bagian 34
Jadi itu semua hanyalah bagian dari rencanamu ... Mengenalku ... mendapatkan kepercayaanku saat aku
35. Bagian 35
Kayanya aku lagi dalam kondisi nggak baik kalau disuruh nanganin pasien
36. Bagian 36
Saya ingin melindungi Ishana seperti kamu ingin melindungi suamimu. Nggak ada yang senang jadi penja
37. Bagian 37
Bagaimana dia bisa memberi tahu Sadajiwa bahwa tak ada masa depan yang terbentang di depannya?
38. Bagian 38
Aku masih nyimpen boneka beruang raksasa yang kamu kasih pas hari ulang tahunku yang keenam belas
39. Bagian 39
eseorang pernah bilang kalau hidup itu perihal pasang surut. Bahwa saat aku melewati masa sulit, aku
39. Bagian 39

SCENE 77 INT KANTOR BU TITA

Cast. Bu Tita, Bu Ningsih

Bu Ningsih : Ibunya bahkan nggak mau nunda pemindahannya meskipun dia dalam kondisi kaya gitu?

(Bu Ningsih bertanya tak percaya, menatapnya  dengan lusuh dan tiba-tiba Bu Tita merasa sepuluh kali lebih sakit dari sebelumnya)

Bu Ningsih : Gadis itu baru aja mengalami memar ringan!

(Wanita tua itu setengah berteriak)

Bu Ningsih : Apa dia sama sekali nggak ada rasa kasihannya? Meskipun Dayana cuma putri tirinya?

(Bu Tita berdehem, meronta di kursinya)

Bu Tita : Dia ... udah membuat keputusan. Saya nggak bisa melakukan apa pun untuk mengubah pikirannya

(Penjaga gerbang tua itu mengernyit, dan wajah Bu Tita semakin menunduk)

Bu Tita : Saya mencoba yang terbaik tapi saya beneran nggak punya kekuatan untuk mempengaruhinya. Dia keras kepala

(Bu Ningsih menghela napas berat)

Bu Ningsih : Apa ibu tirinya akan segera datang menjemputnya?

Bu Tita : Iya. Secepatnya. Mungkin dalam satu atau dua jam dari sekarang. Mereka membawanya ke Jepang lewat bandara Soetta

(Bu Ningsih merenung dengan muram)

Bu Ningsih : Gadis malang. Akan sangat sulit baginya untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Apalagi dengan kondisinya saat ini

(Tinju di tangan Bu Tita melengkung saat dia menutup dokumennya dan berdiri)

Bu Tita : Saya ikut mengantarnya

(Bu Tita berkata, menelan keraguannya)

Bu Tita : Saya akan memohon pihak RSJ supaya mengizinkan saya mengantarnya sampai bandara. Setidaknya saya akan memastikan dia naik pesawat dengan ... aman. Saya berhutang nyawa padanya

SCENE 78 INT PERJALANAN KE BANDARA

Cast. Dayana, Ibu tiri

(Dayana menatap langit dengan perasaan yang bergejolak, sedih dan kehampaan merenggut jiwanya. Hari ini dia akan mengakhiri semua penderitaannya dan memulai sesuatu yang baru. Tanpa masa lalu dan mungkin juga tanpa masa depan)

(Mobil rumah sakit melaju dengan kecepatan sedang, ada supir, Dayana dan Bu Tita di dalam mobil itu. Walau ibu tirinya tidak jadi ikut karena takut, wanita tua itu berniat mengirim puluhan bodyguard untuk mengawal Dayana, tapi ditolak Bu Tita karena dia masih merasa bersalah dan tak ingi beban Dayana bertambah)

(Kaki Dayana bergetar hebat, tiba-tiba Dayana mengamuk dan memukul kepala supir mobil RSJ yang sedang fokus menyetir di depannya. Bu Tita berusaha melerai serta berteriak sejadi-jadinya. Namun, entah kekuatan apa yang hinggap pada Dayana karena satu kali pukulannya mementalkan mobil itu ke besi trotoar jalanan yang sedang sepi dan mereka hampir jatuh ke jembatan di bawahnya. Mobil terbalik dan Dayana dapat melihat Bu Tita dan supir sedang berjuang demi hidup mereka)

(Dengan sedikit susah payah dan erangan, Dayana tersenyum. Akhirnya suara di dalam pikirannya menang, ia merangkak keluar saat Bu Tita dan supirnya terhimpit dan tak bisa keluar dari mobil itu. Mata Dayana bertemu dengan mata Bu Tita yang memohon ampun)

Bu Tita : Maaf... Dayana

Dayana : Agak terlambat, bukan?

(Di dalam pikirannya, hanya ada satu tujuan untuk menyelesaikan semua ini. Dayana merogoh saku celananya dan mengeluarkan korek api, lalu melemparkannya ke mobil. Saat Dayana berjalan menjauh, mobil itu meledak. Dia tertawa penuh arti, lalu mengucapkan selamat tinggal dengan manis pada psikiaternya itu)

(Dan Dayana langsung berlari dan berlari sampai kaki telanjangnya berdarah. Sampailah dia di rumah kediaman keluarga besar Ishana yang tampaknya semua orang sudah kenali dan media juga sering memberitakannya. Dayana masuk dengan gontai. Saat para staff mencoba menghalangnya, tapi tidak berhasil. Dayana kalap dan meraih botol alkohol di dapur. Rencananya kali ini tak boleh gagal lagi, sejauh ini semua tampak berjalan mulus)

Ibu tiri Dayana : Ishana?

Dayana : Hai, udah lama nggak ketemu. Ada pesan-pesan terakhir?

(Tanpa menunggu jawabannya, Dayana langsung menerjang dan menghajar Ibu tirinya habis-habisan sampai suara sirine polisi menggema di udara. Dayana melangkah ke jendela terbuka rumah itu. Dan melangkahkan satu kakinya ke luar jendela. Ada teriakan beberapa polisi dari bawah. Mencoba menahan aksi nekatnya. Namun—)

Dayana : Selamat tinggal dunia tanpa arti, dan sampai jumpa lagi Sada

(Dayana berbisik pelan, air mata panas menetes di belakang tenggorokannya dan membuat suaranya parau)

Dayana : Maaf aku nggak bisa terus bersamamu ... Aku akan pergi jauh dan kayanya aku nggak bisa nepatin janjiku... aku masih selalu menyakiti diriku sendiri dan entah kenapa itulah yang terbaik...

(Tubuhnya tergelincir ke bawah, begitu pula jantungnya saat menyentuh udara dan hancur berkeping-keping ke tanah)

Dayana : Selamat tinggal, Sadajiwa. Aku nggak pernah benci kamu

(Dayana bergumam pelan dengan napas terakhirnya sambil menyeringai)

SCENE 79 INT RUMAH KELUARGA SADAJIWA

Cast. Sadajiwa, Ishana, Winter, Rain

(VO Sadajiwa) Seseorang pernah bilang kalau hidup itu perihal pasang surut. Bahwa saat aku melewati masa sulit, aku harus selalu mencoba untuk bangkit, meskipun bangkit terdengar nggak masuk akal bagiku pada saat itu. Orang itu juga pernah bilang kalau sehabis move on, aku bisa lihat lagi ke belakang dan sadar kalau aku beruntung karena nggak gampang nyerah. Bahwa ternyata masih ada keberuntungan yang nyata — yaitu masih bersama dan saling support satu sama lain...

(Sadajiwa sedang melihat ke belakang — masa lalunya 10 tahun silam. Dia telah melihat kembali ke hari-hari berkabut yang terasa seperti kenangan yang jauh lebih termaklumi pada masa sekarang. Kadang-kadang kenangan itu masih menyakitinya, mengganggunya, dan pada hari-hari tertentu kenangan itu mungkin tampak lebih besar daripada kekuatannya sendiri)

(Tapi kemudian, dia akan mengangkat kepalanya dan melihat ke depan, tersenyum melihat pemandangan di depannya dan menyadari bahwa ya, untungnya dia tak menyerah. Sekarang, segalanya mulai lebih masuk akal bagi Sadajiwa)

(Ishana berlari di pantai dengan dua orang anak yang mengikutinya, seorang anak laki-laki menendang pasir ke arahnya dan seorang gadis menertawakannya karena hampir tersandung ke laut karena pasir mengenai matanya)

(Ishana membalas dengan memercikkan air ke anak laki-laki dan perempuan tersebut, yang kemudian berlari kembali ke arah Sadajiwa dan memanggilnya untuk meminta bantuan)

Winter :  Ayah! Ayah! Ibu membasahi kita dengan air!

(Sadajiwa meletakkan laptopnya dan memeluk kedua anak itu di pangkuannya, bibirnya terentang dengan senyuman penuh pengertian)

Sadajiwa : Itu nggak adil. Ayah penasaran, apa alasan ibu guyurin anak-anak manis ini, hm?

(Kedua anak itu menyeringai malu-malu dan Sadajiwa meremas kedua hidung mereka secara bergantian)

Sadajiwa : Ganti baju dulu sana, nanti keburu masuk angin. Nggak bakalan ada es krim buat anak-anak yang sakit selama seminggu penuh

Winter dan Rain : Siap, Ayah!

(Mereka memberi hormat dengan serempak, dan langsung berlomba kembali ke rumah mereka, ayah Sadajiwa yang sudah renta hanya bisa duduk di pendopo dengan senyum simpulnya, sembari dadah-dadah)

(Sadajiwa pernah terpuruk karena kehilangan ibunya dan juga kehilangan Dayana)

(Namun, hidup adalah perihal berjalan terus sampai akhir, layaknya lari marathon. Finish tampak jauh, dan ambigu. Tapi garis finish menunggunya seperti - rumah keluarga mereka, Sadajiwa merenungkan kata-kata itu sambil tersenyum)

Ishana : Pakai trik makanan manis buat disiplinin anak-anak lagi, kan?

(Sadajiwa mengangkat bahu, mengangkat alis kanannya dengan ekspresi main-main)

Sadajiwa : Bisa dipastiin aku bakalan nyikat gigi mereka sampai bersih. Simple...

Ishana : Terserah

(Ishana menjatuhkan diri di sampingnya, menatapnya dengan senyumannya saat dia menopang dirinya dengan satu tangan di atas handuk pantai)

Ishana : Dan kalau sampai mereka sakit gigi, kamulah yang harus nyeret mereka ke dokter gigi karena aku nggak mau berurusan dengan hal kaya gitu

(Sadajiwa berpura-pura menghela napas sedih dan mengambil laptopnya lagi)

Sadajiwa : Aku punya istri terbaik di seluruh semesta?

Ishana : Iya, istri terbaik

(Itu semua adalah sarkasme)

Sadajiwa : Kalau aku berpura-pura kamulah yang terbaik, berarti sebaliknya dong?

(Ishana menyeringai. Sadajiwa mengeluarkan tawa lembut dan menggelengkan kepalanya sebelum menutup laptopnya lagi dan memfokuskan pandangannya pada Ishana)

Ishana : Tapi jujur deh, kamu itu suami terbaik. Di mana lagi coba aku dapetin suami yang menarik, perhatian, dan cerdas kaya kamu? Seleraku cukup tinggi

(Sadajiwa bersiul dan berpura-pura memegang salah satu pipinya sendiri)

Sadajiwa : Sekarang aku yang sakit gigi

(Ishana menyeringai, dan membungkuk untuk mencium mulut Sadajiwa perlahan. Sadajiwa menghargai ciuman itu dan bersenandung, menikmatinya)

Sadajiwa : Itu keren, tapi aku baru sadar ternyata kamu lupa bilang kalau aku tuh jago banget di ranjang. Boleh nggak aku tersinggung?

Ishana : Kamu nggak terlalu jago ah

(Ishana menarik diri sambil tertawa kecil)

Sadajiwa : Bilang aja kamu gengsi ngakuinnya

(Ishana mengabaikan sindiran terang-terangan itu dan malah menampar lengan Sadajiwa)

Ishana : Kamu harus berangkat ke klinikmu dalam beberapa menit, baby. Kita nggak punya waktu buat semua itu

Sadajiwa : Selalu ada waktu buat itu, aku yakin bisa selesai dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Cukuplah...

(Ishana berkedip dan pura-pura kaget)

Ishana : Wow...

(Ishana mencuri ciuman di pipinya sebelum berbaring di atas handuk lagi dengan seringai lebar)

Ishana : Emangnya kamu udah selesai nulis novelnya? Aku nggak ngerti kenapa tulisan yang itu masih belum beres sedangkan kamu udah nerbitin begitu banyak buku ilmu psikologi tapi kayanya kamu nggak pernah bisa nyelesain yang itu. Kapan aku bisa baca naskah itu? Rasanya udah berabad-abad

(Sadajiwa menaruh laptopnya di meja dan menatapnya dengan kilatan sendu di matanya)

Sadajiwa : Karena naskah itu cerita terpenting bagiku. Aku nggak mau gitu aja mengakhirinya. Jangan memulainya, Ishana. Kamu tahu itu akan nyakitin kita berdua. Novel ini sebuah terapi berjalan. Karena sesuatu yang hilang akan tetap abadi di dalam sebuah tulisan...

(Ishana terpaku sebentar, ada kesedihan dan rasa sesal yang terpancar di raut wajahnya, lalu ia mengangguk padanya)

Ishana : Seenggaknya aku juga harus tahu, apa ada aku di dalam novelmu itu? Naskah itu bagian terpenting dari kamu, karena biasanya kamu males bikin cerita fiksi

Sadajiwa : Iya. Selalu ada kamu di dalam bagian dari hidupku. Kamulah keempat musim yang menjagaku agar tetap seimbang. Mewarnaiku dengan segala yang kamu punya. Kamu satu-satunya masa depanku — walau bukan satu-satunya di masa laluku... Jadi, harus dilanjut berapa ronde sekarang?

(Sadajiwa berkata dengan serius, mata cokelatnya berkilau)

Ishana : Mungkin setelah kamu kerja, karena kamu benar-benar harus pergi sekarang. Jangan bikin pasienmu nunggu. Kita di kota kecil, pinggiran Jogja. Walaupun waktunya nggak berjalan secepat di ibu kota, kita tetep harus menghargai waktu mereka

 

(Sadajiwa memberikan ciuman terakhir padanya sebelum berangkat ke klinik kejiwaan miliknya sendiri, melihat Ishana berjalan kembali ke rumah pantai mereka dengan anggun untuk mengurus kedua anak mereka yang penuh pasir yang kacau itu - Ishana menuntun ayah mertuanya untuk tidur siang di kamarnya)

(Sadajiwa tersenyum dan menatap laptop di meja, tatapannya melembut. Dia membuka kunci layarnya dan menyentuh foto dua orang gadis yang sedang saling rangkul)

Sadajiwa : Dari awal emang kamu selalu terlihat familiar, Daya. Ternyata aku pernah lihat kamu di dinding rumah Ishana sewaktu SMA. Walau dia nggak pernah cerita soal kamu — dan kenapa bahkan di dalam foto pun, kamu masih kelihatan nggak bahagia?

(Sadajiwa tersenyum sendu, dan tangannya membelai wajah Ishana kali ini)

Sadajiwa : Kayanya kita emang soulmate, hm? Terima kasih, kalian berdua sungguh hebat, kadang kalian berdua membuatku malu dan sadar, ternyata ada hidup yang lebih mengenaskan dari kehidupanku. Kekuatan kalian yang menguatkanku

(Berbisik pada dirinya sendiri, sebelum suara Ishana memekik dari kejauhan untuk menyuruhnya melayani pasien-pasiennya di klinik. Sadajiwa tersenyum lagi, tahu betul kalau kisahnya happy ending berkat kehadiran anak-anak manis itu — Winter dan Rain)

Suka
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar